Kekudusan dalam Penantian (Lukas 21: 34-36)
"Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi..." (Lukas 21: 34)
Ketika kita mendengar sebutan "orang kudus", siapa yang pertama kali ada di pikiran kita? Mungkin Rasul Paulus atau Rasul Petrus? Mungkin bahkan Paus Fransiskus? Atau mungkin orang-orang yang ditetapkan oleh gereja sebagai Santo atau Santo, orang-orang kudus? Misalnya, tanggal 14 Oktober 2018 yang lalu, almarhum Oscar Romero, seorang pastor yang mendedikasikan hidup untuk upaya-upaya kemanusian, menerima penetapan dari Gereja Katolik sebagai Santo/Orang Kudus. Mungkin tidak pernah terlintas di pikiran kita sendiri untuk menyebut diri kita sebagai orang kudus.
Saya ingin mengatakan bahwa Anda juga adalah orang kudus, saya juga orang kudus. Saya mengatakan ini bukan dengan nada kesombongan. Saya mengatakan ini dengan nada panggilan. Anda dan saya, jemaat Tuhan di GKJ Nehemia ini, dipanggil untuk menyatakan dan mewujudkan hidup sebagai orang-orang kudus. Bukankah saya manusia berdosa, penuh dengan kelemahan dan ketidaksempurnaan, mungkinkah saya hidup sebagai orang kudus? Kudus tidak serta merta berarti sempurna. Ada ungkapan: kesempurnaan itu milik surga, tetapi kekudusan adalah milik kita.
Orang kudus adalah orang-orang yang mengalami dan mewujudkan cinta kasih, karya, dan kehendak Sang Kudus Sejati, Allah Bapa, yang kita alami dalam Yesus, berulang-ulang dalam kehidupannya sehari-hari. Bukankah kita semua mengalami dan mewujudkan cinta kasih Yesus itu dalam kehidupan kita?
Itulah sebabnya dalam masa Adven ini kita kembali diingatkan untuk memahami dan menyatakan kekudusan hidup kita. Bukan untuk mewujudkan hidup sok kudus, agar dipuji dan dikagumi sesama, melainkan memancarkan kekudusan itu dalam kesetiaan pada karya dan kehendak Kristus dalam hidup kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Ketika kita mendengar sebutan "orang kudus", siapa yang pertama kali ada di pikiran kita? Mungkin Rasul Paulus atau Rasul Petrus? Mungkin bahkan Paus Fransiskus? Atau mungkin orang-orang yang ditetapkan oleh gereja sebagai Santo atau Santo, orang-orang kudus? Misalnya, tanggal 14 Oktober 2018 yang lalu, almarhum Oscar Romero, seorang pastor yang mendedikasikan hidup untuk upaya-upaya kemanusian, menerima penetapan dari Gereja Katolik sebagai Santo/Orang Kudus. Mungkin tidak pernah terlintas di pikiran kita sendiri untuk menyebut diri kita sebagai orang kudus.
Saya ingin mengatakan bahwa Anda juga adalah orang kudus, saya juga orang kudus. Saya mengatakan ini bukan dengan nada kesombongan. Saya mengatakan ini dengan nada panggilan. Anda dan saya, jemaat Tuhan di GKJ Nehemia ini, dipanggil untuk menyatakan dan mewujudkan hidup sebagai orang-orang kudus. Bukankah saya manusia berdosa, penuh dengan kelemahan dan ketidaksempurnaan, mungkinkah saya hidup sebagai orang kudus? Kudus tidak serta merta berarti sempurna. Ada ungkapan: kesempurnaan itu milik surga, tetapi kekudusan adalah milik kita.
Orang kudus adalah orang-orang yang mengalami dan mewujudkan cinta kasih, karya, dan kehendak Sang Kudus Sejati, Allah Bapa, yang kita alami dalam Yesus, berulang-ulang dalam kehidupannya sehari-hari. Bukankah kita semua mengalami dan mewujudkan cinta kasih Yesus itu dalam kehidupan kita?
Itulah sebabnya dalam masa Adven ini kita kembali diingatkan untuk memahami dan menyatakan kekudusan hidup kita. Bukan untuk mewujudkan hidup sok kudus, agar dipuji dan dikagumi sesama, melainkan memancarkan kekudusan itu dalam kesetiaan pada karya dan kehendak Kristus dalam hidup kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Aku adalah Alfa dan Omega (Wahyu 1: 4-8)
"Aku adalah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa." (Wahyu 1: 4-8)
Jika bukan Tuhan Allah, lalu siapa? Jika bukan pada Tuhan Allah kita beribadah, lalu pada siapa? Ketika manusia tidak mengakui campur tangan Tuhan Allah dalam sejarah kehidupan mereka, manusia sendirilah yang akan menjadi Tuhan Allah dalam hidup mereka sendiri. Homo Deus. Bukan Tuhan Allah yang disembah manusia, tetapi manusia menyembah dirinya sendiri sebagai Allah.
Problem inilah yang dihadapi umat Kristen pada saat kitab Wahyu dituliskan. Umat Kristen awal diperhadapkan pada ritus pemuliaan kaisar sebagai yang ilahi, Tuhan atau Dewa. Kaisar Domitianus yang memerintah Romawi pada saat itu menuntut kehormatan ilahi bagi dirinya. Diberlakukan juga ritual penyembahan dan pemujaan pada dirinya. Yang taat hidup aman dan terjamin, yang menolak akan ditangkap dan dihukum.
Wahyu yang diterima Yohanes di pulau Patmos ini menegaskan panggilan umat Kristen awal untuk setia dan hanya tetap beribadah pada Tuhan Allah yang hidup, yang dikenal di dalam kuasa dan cinta kasih Yesus yang menebus dosa (ayat 5). Tuhan Allah Alfa dan Omega, Yang Mahakuasa. Bukan kaisar Romawi, Tuhan Allahlah asal (Alfa) dan tujuan (Omega) kehidupan manusia. Tuhan Allahlah yang berdaulat dan pemilik atas kehidupan ini. Di dunia ini, bukan kaisar penguasa tertinggi, Tuhan Allahlah Yang Mahakuasa, dalam bahasa Yunani memakai kata Sang Pantokrator, Penguasa atas semua.
Jadi, jangan pernah meragukan kedaulatan Tuhan Allah atas kehidupan ini, betapapun hidup yang kita jalani sedang tidak mudah. Penolakan orang-orang Kristen awal untuk menyembah Kaisar Roma menunjukkan bahkan dalam penderitaan hidup karena persekusi Romawi pada mereka, mereka tetap memiliki pengharapan yang tak goyah terhadap Sang Alfa dan Omega. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Jika bukan Tuhan Allah, lalu siapa? Jika bukan pada Tuhan Allah kita beribadah, lalu pada siapa? Ketika manusia tidak mengakui campur tangan Tuhan Allah dalam sejarah kehidupan mereka, manusia sendirilah yang akan menjadi Tuhan Allah dalam hidup mereka sendiri. Homo Deus. Bukan Tuhan Allah yang disembah manusia, tetapi manusia menyembah dirinya sendiri sebagai Allah.
Problem inilah yang dihadapi umat Kristen pada saat kitab Wahyu dituliskan. Umat Kristen awal diperhadapkan pada ritus pemuliaan kaisar sebagai yang ilahi, Tuhan atau Dewa. Kaisar Domitianus yang memerintah Romawi pada saat itu menuntut kehormatan ilahi bagi dirinya. Diberlakukan juga ritual penyembahan dan pemujaan pada dirinya. Yang taat hidup aman dan terjamin, yang menolak akan ditangkap dan dihukum.
Wahyu yang diterima Yohanes di pulau Patmos ini menegaskan panggilan umat Kristen awal untuk setia dan hanya tetap beribadah pada Tuhan Allah yang hidup, yang dikenal di dalam kuasa dan cinta kasih Yesus yang menebus dosa (ayat 5). Tuhan Allah Alfa dan Omega, Yang Mahakuasa. Bukan kaisar Romawi, Tuhan Allahlah asal (Alfa) dan tujuan (Omega) kehidupan manusia. Tuhan Allahlah yang berdaulat dan pemilik atas kehidupan ini. Di dunia ini, bukan kaisar penguasa tertinggi, Tuhan Allahlah Yang Mahakuasa, dalam bahasa Yunani memakai kata Sang Pantokrator, Penguasa atas semua.
Jadi, jangan pernah meragukan kedaulatan Tuhan Allah atas kehidupan ini, betapapun hidup yang kita jalani sedang tidak mudah. Penolakan orang-orang Kristen awal untuk menyembah Kaisar Roma menunjukkan bahkan dalam penderitaan hidup karena persekusi Romawi pada mereka, mereka tetap memiliki pengharapan yang tak goyah terhadap Sang Alfa dan Omega. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pribadi yang Menuntun pada Kebenaran Tuhan (Daniel 12: 1-3)
"Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya". (Daniel 12: 3)
Apa yang menjadi nilai-nilai utama kita dalam menjalani hidup ini? Apakah kebenaran masih menjadi salah satu nilai utama yang kita pegang? Di dunia ketika kebohongan menyeruak di segala aspek hidup, seperti hoaks di dunia maya, akankah kita ikut berpihak pada kebohongan dan mengabaikan kebenaran untuk menggapai tujuan dan kepentingan pribadi kita? Ataukah kita tetap setia berpegang dan hidup dalam kebenaran Tuhan apapun risiko yang kita hadapi?
Daniel mendapatkan visi apokaliptik. Visi apokaliptik merupakan sejenis penglihatan yang menyingkapkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa datang. Di masa datang, mana yang akan terberkati oleh Tuhan? Orang-orang yang memutarbalikkan kebenaran dan menggadaikan kebenaran demi kepentingan pribadi ataukah orang-orang yang setia pada kebenaran Tuhan apapun risiko yang dihadapinya? Kata “Kebenaran”, dalam ayat 3, memakai kata Ibrani tsadeq, yang mengandung arti kelurusan atau persesuaian. Benar berarti lurus atau sesuai dengan jalan dan kehendak Allah.
Hidup Daniel sendiri telah mewujudkan pribadi yang benar dan menuntun sesamanya pada kebenaran Tuhan. Tidak sekalipun ia meninggalkan Tuhan, walau ia berada di pembuangan Babel. Tekanan sang penguasa tidak juga membuatnya gentar, bahkan karena kebenaran yang dengan setia dipegangnya menjadikan para penguasa bersimpati kepada Daniel. Para penguasa tersebut adalah Raja Nebukadnezar, Raja Belsyazar, Raja Darius, dan Raja Koresh.
Jadi, jangan pernah mengabaikan untuk hidup dalam kebenaran Tuhan. Tuhan ada di pihak kebenaran. Tidak hanya Tuhan, bahkan sesama pada akhirnya juga bersimpati pada mereka yang berpegang pada kebenaran, bukan pada mereka yang hidup dalam kebohongan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Apa yang menjadi nilai-nilai utama kita dalam menjalani hidup ini? Apakah kebenaran masih menjadi salah satu nilai utama yang kita pegang? Di dunia ketika kebohongan menyeruak di segala aspek hidup, seperti hoaks di dunia maya, akankah kita ikut berpihak pada kebohongan dan mengabaikan kebenaran untuk menggapai tujuan dan kepentingan pribadi kita? Ataukah kita tetap setia berpegang dan hidup dalam kebenaran Tuhan apapun risiko yang kita hadapi?
Daniel mendapatkan visi apokaliptik. Visi apokaliptik merupakan sejenis penglihatan yang menyingkapkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa datang. Di masa datang, mana yang akan terberkati oleh Tuhan? Orang-orang yang memutarbalikkan kebenaran dan menggadaikan kebenaran demi kepentingan pribadi ataukah orang-orang yang setia pada kebenaran Tuhan apapun risiko yang dihadapinya? Kata “Kebenaran”, dalam ayat 3, memakai kata Ibrani tsadeq, yang mengandung arti kelurusan atau persesuaian. Benar berarti lurus atau sesuai dengan jalan dan kehendak Allah.
Hidup Daniel sendiri telah mewujudkan pribadi yang benar dan menuntun sesamanya pada kebenaran Tuhan. Tidak sekalipun ia meninggalkan Tuhan, walau ia berada di pembuangan Babel. Tekanan sang penguasa tidak juga membuatnya gentar, bahkan karena kebenaran yang dengan setia dipegangnya menjadikan para penguasa bersimpati kepada Daniel. Para penguasa tersebut adalah Raja Nebukadnezar, Raja Belsyazar, Raja Darius, dan Raja Koresh.
Jadi, jangan pernah mengabaikan untuk hidup dalam kebenaran Tuhan. Tuhan ada di pihak kebenaran. Tidak hanya Tuhan, bahkan sesama pada akhirnya juga bersimpati pada mereka yang berpegang pada kebenaran, bukan pada mereka yang hidup dalam kebohongan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pribadi yang Peduli terhadap Yang lain (Markus 12: 41-44)
“Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” (Markus 12: 44)
Lebih mudah mana untuk dilakukan? Menunjukkan kepedulian atau acuh tak acuh terhadap yang lain? Ya, Anda sudah tahu jawabannya! Selalu lebih mudah untuk acuh tak acuh daripada peduli. Kepedulian tidak hanya membuat hidup kita menjadi “repot”, namun juga membuat kita bisa kehilangan sesuatu yang kita anggap berharga dalam hidup kita. Itulah sebabnya banyak orang lebih bersikap acuh tak acuh dibandingkan peduli.
Namun demikian, janda miskin yang dilihat Yesus di Bait Allah tersebut justru mewujudkan pribadi yang peduli terhadap yang lain. Sebagai seorang janda miskin, pada zaman itu, bahkan bisa dimaklumi kalau ia tidak bisa memberikan persembahan di Bait Allah. Para Janda miskin menerima pemeliharaan hidup dari anggaran finansial Bait Allah. Janda miskin ini bisa saja berpikir daripada dipersembahkan di Bait Allah, lebih baik digunakan untuk kepentingan sendiri.
Kepedulian janda miskin inilah yang mendorongnya untuk tetap memberikan persembahan di Bait Allah. Ia memberikan persembahan sejumlah dua peser, yaitu satu duit. Dua koin yang di tangannya tersebut ia masukkan ke kotak persembahan yang ada di Bait Allah tersebut. Secara nominal, ini bukan jumlah uang yang besar. Yang dipersembahkan janda miskin itu dua peser (mata uang Yunani: lepton), dua peser itu bernilai sama dengan satu duit (mata uang Romawi: quadran). Satu duit waktu itu hanya bisa dipakai untuk membeli satu ikat kecil buah anggur atau satu buah delima.
Yesus menilai persembahan janda miskin ini bukan berdasar berapa besar koin yang diberikan, melainkan berapa besar “ruang hati” yang tersedia untuk rela berbagi dan peduli. Menjadi pribadi yang peduli terhadap yang lain berarti kesediaan untuk mau memperbesar “ruang hati” yang membuat kita bisa semakin peduli terhadap yang lain. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Lebih mudah mana untuk dilakukan? Menunjukkan kepedulian atau acuh tak acuh terhadap yang lain? Ya, Anda sudah tahu jawabannya! Selalu lebih mudah untuk acuh tak acuh daripada peduli. Kepedulian tidak hanya membuat hidup kita menjadi “repot”, namun juga membuat kita bisa kehilangan sesuatu yang kita anggap berharga dalam hidup kita. Itulah sebabnya banyak orang lebih bersikap acuh tak acuh dibandingkan peduli.
Namun demikian, janda miskin yang dilihat Yesus di Bait Allah tersebut justru mewujudkan pribadi yang peduli terhadap yang lain. Sebagai seorang janda miskin, pada zaman itu, bahkan bisa dimaklumi kalau ia tidak bisa memberikan persembahan di Bait Allah. Para Janda miskin menerima pemeliharaan hidup dari anggaran finansial Bait Allah. Janda miskin ini bisa saja berpikir daripada dipersembahkan di Bait Allah, lebih baik digunakan untuk kepentingan sendiri.
Kepedulian janda miskin inilah yang mendorongnya untuk tetap memberikan persembahan di Bait Allah. Ia memberikan persembahan sejumlah dua peser, yaitu satu duit. Dua koin yang di tangannya tersebut ia masukkan ke kotak persembahan yang ada di Bait Allah tersebut. Secara nominal, ini bukan jumlah uang yang besar. Yang dipersembahkan janda miskin itu dua peser (mata uang Yunani: lepton), dua peser itu bernilai sama dengan satu duit (mata uang Romawi: quadran). Satu duit waktu itu hanya bisa dipakai untuk membeli satu ikat kecil buah anggur atau satu buah delima.
Yesus menilai persembahan janda miskin ini bukan berdasar berapa besar koin yang diberikan, melainkan berapa besar “ruang hati” yang tersedia untuk rela berbagi dan peduli. Menjadi pribadi yang peduli terhadap yang lain berarti kesediaan untuk mau memperbesar “ruang hati” yang membuat kita bisa semakin peduli terhadap yang lain. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pribadi yang Mencintai Firman TUHAN (Mazmur 119: 1-8)
"Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat TUHAN" (Mazmur 119: 1)
Apa yang menjadi kompas moral dalam hidup kita? Ketika kita memerlukan pedoman dalam menjalani hidup kita ini, apa yang menjadi referensi kita dalam mengambil keputusan untuk mengatasi persoalan hidup kita? Mungkin kita akan konsultasi dengan teman, orang tua, atau orang lain yang berpengaruh dalam hidup kita; melalui mesin pencari google atau buku yang kita baca, bahkan juga konsultasi dengan pendeta. Semua ini tentu bisa menjadi referensi yang baik. Namun demikian, apakah kita juga terbiasa memakai firman Tuhan sebagai referensi dalam hidup kita?
Sang Pemazmur menegaskan keberadaan umat yang berbahagia/terberkati, ketika mereka mau menata hidup mereka dalam ketaatan terhadap Taurat Tuhan. Ketika mereka mau menjadikan Taurat Tuhan sebagai kompas moral dan iman dalam kehidupan mereka. Dalam maksud yang sama untuk mendorong umat hidup menurut Taurat-Nya, sang pemazmur memberi penekanan melalui ungkapan-ungkapan yang berbeda: Taurat/pengajaran (ayat 1), peringatan (ayat 2), jalan (ayat 3), titah (ayat 4), ketetapan (ayat 5), perintah (ayat 6), dan hukum (ayat 7).
Dengan demikian, Taurat Tuhan menjadi andalan utama umat sebagai kompas moral dan iman. Firman Tuhanlah yang menjadi referensi utama umat dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi persoalan hidup mereka. Sebuah pengambilan keputusan hidup tanpa menengok lebih dulu pada firman-Nya, rentan menjadi keputusan yang bisa sesuai dengan kehendak Tuhan.
Apakah dengan demikian kita sebagai umat-Nya sekarang ini diajak untuk selalu membuka-buka Alkitab kita seperti anak-anak kita membuka buku "kunci jawaban soal-soal" pelajaran sekolah mereka? Sering Alkitab bahkan tidak menyediakan kunci jawaban seperti buku anak kita itu, tetapi jawaban akan kita temukan ketika kita secara sungguh-sungguh memakai firman-Nya sebagai kompas moral dan iman dalam hidup kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Apa yang menjadi kompas moral dalam hidup kita? Ketika kita memerlukan pedoman dalam menjalani hidup kita ini, apa yang menjadi referensi kita dalam mengambil keputusan untuk mengatasi persoalan hidup kita? Mungkin kita akan konsultasi dengan teman, orang tua, atau orang lain yang berpengaruh dalam hidup kita; melalui mesin pencari google atau buku yang kita baca, bahkan juga konsultasi dengan pendeta. Semua ini tentu bisa menjadi referensi yang baik. Namun demikian, apakah kita juga terbiasa memakai firman Tuhan sebagai referensi dalam hidup kita?
Sang Pemazmur menegaskan keberadaan umat yang berbahagia/terberkati, ketika mereka mau menata hidup mereka dalam ketaatan terhadap Taurat Tuhan. Ketika mereka mau menjadikan Taurat Tuhan sebagai kompas moral dan iman dalam kehidupan mereka. Dalam maksud yang sama untuk mendorong umat hidup menurut Taurat-Nya, sang pemazmur memberi penekanan melalui ungkapan-ungkapan yang berbeda: Taurat/pengajaran (ayat 1), peringatan (ayat 2), jalan (ayat 3), titah (ayat 4), ketetapan (ayat 5), perintah (ayat 6), dan hukum (ayat 7).
Dengan demikian, Taurat Tuhan menjadi andalan utama umat sebagai kompas moral dan iman. Firman Tuhanlah yang menjadi referensi utama umat dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi persoalan hidup mereka. Sebuah pengambilan keputusan hidup tanpa menengok lebih dulu pada firman-Nya, rentan menjadi keputusan yang bisa sesuai dengan kehendak Tuhan.
Apakah dengan demikian kita sebagai umat-Nya sekarang ini diajak untuk selalu membuka-buka Alkitab kita seperti anak-anak kita membuka buku "kunci jawaban soal-soal" pelajaran sekolah mereka? Sering Alkitab bahkan tidak menyediakan kunci jawaban seperti buku anak kita itu, tetapi jawaban akan kita temukan ketika kita secara sungguh-sungguh memakai firman-Nya sebagai kompas moral dan iman dalam hidup kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pengharapan Keluarga dalam Kelemahan dan Keterbatasan Hidup (Yeremia 31: 7-9)
"Dengan menangis mereka akan datang..., Aku akan memimpin mereka ke sungai-sungai, di jalan yang rata, di mana mereka tidak akan tersandung..." (Yeremia 31: 7-9)
Adakah keluarga yang tidak memiliki kelemahan dan keterbatasan hidup? Tentu tidak ada! Tidak ada manusia sempurna. Tidak ada ayah atau bunda yang sempurna. Tidak ada juga anak yang sempurna. Demikian juga tidak ada keluarga yang sempurna. Keluarga mana pun, di samping memiliki kekuatan dan kelebihan, juga memiliki kelemahan dan kekurangan.
Upaya keluarga untuk mengelola kehidupan agar bisa selalu berubah menjadi baik, tidak perlu dimengerti sebagai upaya menggapai kesempurnaan. Sebuah keluarga bisa saja tidak sempurna, tapi bisa tetap baik. Memakai skala penilaian 0-10, 10 itu sempurna, namun demikian 9 atau 8 itu tetap baik. Orang tua terjebak dalam ilusi kesempurnaan jika dirundung sedih berkepanjangan mengetahui anak-anak mereka ada yang pintar dan bodoh, ada yang sehat dan disabilitas. Kelemahan dan keterbatasan yang seharusnya bisa dikelola sebagai faktor yang tetap menumbuhkan harapan, malah menjadi perusak harapan.
Umat Israel yang saat itu sedang dalam pembuangan di Babel, juga berada dalam beragam kelemahan dan keterbatasan hidup. Peristiwa pembuangan di Babel itu sendiri barangkali tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh mereka. Mereka adalah umat pilihan Allah. Tentulah berkat dan kesejahteraan yang hanya akan diberikan Tuhan setiap saat bagi mereka.
Namun demikian, bahkan umat pilihan-Nya bukan umat yang sempurna. Terlihat dalam ketaatannya kepada Tuhan, juga dalam perjalanan hidupnya. Akan tetapi, Allah tidak serta menolak yang tidak sempurna ini. Allah tetap merangkul, menerima, dan memimpin perjalanan hidup mereka. Ketika sebagai keluarga kita bisa merasakan bahkan dalam keterbatasan dan kelemahan hidup kita, Allah masih tetap menerima kita, kita akan semakin dimampukan mengelola kelemahan dan keterbatasan hidup secara lebih baik, walau tidak bisa berubah menjadi sempurna . Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Adakah keluarga yang tidak memiliki kelemahan dan keterbatasan hidup? Tentu tidak ada! Tidak ada manusia sempurna. Tidak ada ayah atau bunda yang sempurna. Tidak ada juga anak yang sempurna. Demikian juga tidak ada keluarga yang sempurna. Keluarga mana pun, di samping memiliki kekuatan dan kelebihan, juga memiliki kelemahan dan kekurangan.
Upaya keluarga untuk mengelola kehidupan agar bisa selalu berubah menjadi baik, tidak perlu dimengerti sebagai upaya menggapai kesempurnaan. Sebuah keluarga bisa saja tidak sempurna, tapi bisa tetap baik. Memakai skala penilaian 0-10, 10 itu sempurna, namun demikian 9 atau 8 itu tetap baik. Orang tua terjebak dalam ilusi kesempurnaan jika dirundung sedih berkepanjangan mengetahui anak-anak mereka ada yang pintar dan bodoh, ada yang sehat dan disabilitas. Kelemahan dan keterbatasan yang seharusnya bisa dikelola sebagai faktor yang tetap menumbuhkan harapan, malah menjadi perusak harapan.
Umat Israel yang saat itu sedang dalam pembuangan di Babel, juga berada dalam beragam kelemahan dan keterbatasan hidup. Peristiwa pembuangan di Babel itu sendiri barangkali tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh mereka. Mereka adalah umat pilihan Allah. Tentulah berkat dan kesejahteraan yang hanya akan diberikan Tuhan setiap saat bagi mereka.
Namun demikian, bahkan umat pilihan-Nya bukan umat yang sempurna. Terlihat dalam ketaatannya kepada Tuhan, juga dalam perjalanan hidupnya. Akan tetapi, Allah tidak serta menolak yang tidak sempurna ini. Allah tetap merangkul, menerima, dan memimpin perjalanan hidup mereka. Ketika sebagai keluarga kita bisa merasakan bahkan dalam keterbatasan dan kelemahan hidup kita, Allah masih tetap menerima kita, kita akan semakin dimampukan mengelola kelemahan dan keterbatasan hidup secara lebih baik, walau tidak bisa berubah menjadi sempurna . Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pengharapan Keluarga dalam Perlindungan TUHAN (Mazmur 91: 9-16)
"Sebab TUHAN ialah tempat perlindunganmu, Yang Mahatinggi telah kaubuat tempat perteduhanmu." (Mazmur 91: 9)
Bagi anak-anak, orang tua mereka adalah sosok yang super. Apa juga bisa dilakukan oleh orang tua bagi mereka. Mengabulkan segala permohonan mereka dan juga memberikan jaminan keamanan dan perlindungan. Namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan usia anak, anak mulai menyadari orang tua bukan lagi sosok super dalam hidup mereka. Orang tua tidak bisa tiba-tiba hadir dan melindungi mereka ketika mereka diejek dan bahkan didorong sampai jatuh oleh teman sekelas mereka. Namun demikian, mereka menyadari cinta kasih orang tua tak berubah walau tak selalu bisa hadir dan memberikan perlindungan. Ketika mereka pulang ke rumah, dengan penuh cinta kasih, orang tua akan mengobati luka-luka, menghibur dan menguatkan anak-anaknya.
Umat Allah meyakini kehadiran dan karya Tuhan, juga dalam gambaran super semacam ini. Tuhan Allah yang Mahakuasa dan Mahakasih. Karena kuasa-Nyalah, umat akan mendapat perlindungan Tuhan. Karena kasih-Nya, Tuhan mengutus malaikat-malaikat-Nya untuk menjaga mereka dalam segala perjalanan hidup mereka. Pemahaman dan keyakinan semacam ini tentu sangat baik, namun demikian kelirulah umat kalau umat kemudian mengambil kesimpulan bahwa umat Allah adalah umat yang pasti bebas/steril dari berbagai penderitaan dan beban hidup. Mazmur ini tidak menyatakan bahwa Allah menjanjikan umat-Nya menjadi steril/bebas dari penderitaan hidup, melainkan yang dijanjikan adalah perlindungan dan kekuatan Allah bagi umat-Nya dalam berbagai kondisi hidupnya. "Aku akan menyertai dia dalam kesesakan..." (ayat 15). Kesesakan bisa saja tetap dialami dan dihadapi umat-Nya, namun Allah akan menyertai umat-Nya dalam kesesakan tersebut.
Oleh sebab itu, sebagai keluarga Kristen, kita tetap bisa meletakkan pengharapan keluarga kita dalam perlindungan-Nya, seperti seorang anak yang pulang dari sekolah dan menjumpai ibu atau ayahnya di rumah yang membalut luka-lukanya dan memberi penghiburan padanya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Bagi anak-anak, orang tua mereka adalah sosok yang super. Apa juga bisa dilakukan oleh orang tua bagi mereka. Mengabulkan segala permohonan mereka dan juga memberikan jaminan keamanan dan perlindungan. Namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan usia anak, anak mulai menyadari orang tua bukan lagi sosok super dalam hidup mereka. Orang tua tidak bisa tiba-tiba hadir dan melindungi mereka ketika mereka diejek dan bahkan didorong sampai jatuh oleh teman sekelas mereka. Namun demikian, mereka menyadari cinta kasih orang tua tak berubah walau tak selalu bisa hadir dan memberikan perlindungan. Ketika mereka pulang ke rumah, dengan penuh cinta kasih, orang tua akan mengobati luka-luka, menghibur dan menguatkan anak-anaknya.
Umat Allah meyakini kehadiran dan karya Tuhan, juga dalam gambaran super semacam ini. Tuhan Allah yang Mahakuasa dan Mahakasih. Karena kuasa-Nyalah, umat akan mendapat perlindungan Tuhan. Karena kasih-Nya, Tuhan mengutus malaikat-malaikat-Nya untuk menjaga mereka dalam segala perjalanan hidup mereka. Pemahaman dan keyakinan semacam ini tentu sangat baik, namun demikian kelirulah umat kalau umat kemudian mengambil kesimpulan bahwa umat Allah adalah umat yang pasti bebas/steril dari berbagai penderitaan dan beban hidup. Mazmur ini tidak menyatakan bahwa Allah menjanjikan umat-Nya menjadi steril/bebas dari penderitaan hidup, melainkan yang dijanjikan adalah perlindungan dan kekuatan Allah bagi umat-Nya dalam berbagai kondisi hidupnya. "Aku akan menyertai dia dalam kesesakan..." (ayat 15). Kesesakan bisa saja tetap dialami dan dihadapi umat-Nya, namun Allah akan menyertai umat-Nya dalam kesesakan tersebut.
Oleh sebab itu, sebagai keluarga Kristen, kita tetap bisa meletakkan pengharapan keluarga kita dalam perlindungan-Nya, seperti seorang anak yang pulang dari sekolah dan menjumpai ibu atau ayahnya di rumah yang membalut luka-lukanya dan memberi penghiburan padanya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pengharapan Keluarga dalam Keadilan (Markus 10: 28-31)
"...orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat:..., dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal." (Markus 10: 30)
Tidak ada orang yang senang merasakan atau menerima perlakukan ketidakadilan. Dalam hidup keluarga bisa muncul keluhan dari sang kakak atau adik yang merasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang tua mereka. Misalnya tindakan yang dianggap pilih kasih orang tua kepada anak dan pembagian tanggung jawab tugas-tugas dalam rumah tangga.
Rasa mendapat perlakuan tidak adil ternyata tidak hanya muncul dalam hubungan dalam keluarga. Manusia bahkan bisa merasakan diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Manusia telah menyerahkan segala-galanya untuk Tuhan, tetapi apa yang Tuhan balaskan bagi pengabdian mereka? Mereka melihat orang-orang jahat semakin sukses dengan kekayaan dan kesenangan dalam hidupnya, sedangkan mereka yang memberikan hidup, milik, dan waktunya untuk Tuhan tetap hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.
Perkataan Petrus kepada Yesus menggemakan harapan semacam ini: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau". Jelas sekali, perkataan Petrus ini memiliki nada mengingatkan Yesus. Apa yang akan mereka peroleh dari Tuhan, setelah mereka habis-habisan meninggalkan sesuatu untuk mengikut Yesus? Bagi Petrus, upah yang mereka terima dari Tuhan menjadi penanda keadilan Tuhan bagi mereka. Kalau tidak ada upah berarti Tuhan tidak adil karena mereka telah meninggalkan segala-galanya untuk mengikuti Tuhan.
Yesus menjanjikan upah bagi mereka yang mengikuti-Nya. Upah dalam kehidupan umat-Nya saat hidup (present), juga upah di masa datang (future) bagi umat-Nya, yaitu hidup kekal. Yesus pasti akan bertindak adil, walau mungkin keadilan-Nya tidak selalu persis dengan yang kita bayangkan. Oleh sebab itu, sebagai keluarga Kristen, kita tetap bisa meletakkan pengharapan keluarga kita dalam keadilan-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Tidak ada orang yang senang merasakan atau menerima perlakukan ketidakadilan. Dalam hidup keluarga bisa muncul keluhan dari sang kakak atau adik yang merasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang tua mereka. Misalnya tindakan yang dianggap pilih kasih orang tua kepada anak dan pembagian tanggung jawab tugas-tugas dalam rumah tangga.
Rasa mendapat perlakuan tidak adil ternyata tidak hanya muncul dalam hubungan dalam keluarga. Manusia bahkan bisa merasakan diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Manusia telah menyerahkan segala-galanya untuk Tuhan, tetapi apa yang Tuhan balaskan bagi pengabdian mereka? Mereka melihat orang-orang jahat semakin sukses dengan kekayaan dan kesenangan dalam hidupnya, sedangkan mereka yang memberikan hidup, milik, dan waktunya untuk Tuhan tetap hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.
Perkataan Petrus kepada Yesus menggemakan harapan semacam ini: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau". Jelas sekali, perkataan Petrus ini memiliki nada mengingatkan Yesus. Apa yang akan mereka peroleh dari Tuhan, setelah mereka habis-habisan meninggalkan sesuatu untuk mengikut Yesus? Bagi Petrus, upah yang mereka terima dari Tuhan menjadi penanda keadilan Tuhan bagi mereka. Kalau tidak ada upah berarti Tuhan tidak adil karena mereka telah meninggalkan segala-galanya untuk mengikuti Tuhan.
Yesus menjanjikan upah bagi mereka yang mengikuti-Nya. Upah dalam kehidupan umat-Nya saat hidup (present), juga upah di masa datang (future) bagi umat-Nya, yaitu hidup kekal. Yesus pasti akan bertindak adil, walau mungkin keadilan-Nya tidak selalu persis dengan yang kita bayangkan. Oleh sebab itu, sebagai keluarga Kristen, kita tetap bisa meletakkan pengharapan keluarga kita dalam keadilan-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pengharapan Keluarga dalam Keutuhan Melalui Rekonsiliasi YESUS di Kayu Salib (Ibrani 2: 5-13)
"Tetapi TUHAN menjawab Musa: "Masakan kuasa TUHAN akan kurang untuk melakukan itu? Sekarang engkau akan melihat apakah firman-Ku terjadi kepadamu atau tidak!" (Ibrani 2: 10-11)
Banyak hal bisa mengganggu keutuhan hidup berkeluarga. Persoalan relasi dan komunikasi antaranggota keluarga, keuangan keluarga, konflik, kekerasan dalam keluarga, kegagalan mengelola keragaman dalam keluarga, egoisme, dsb. Keutuhan yang terganggu tidak hanya berwujud fisik, misalnya pisah kamar atau rumah, namun juga bisa berwujud psikis. Walau tetap tinggal dalam satu rumah, masing-masing anggota keluarga sudah tidak lagi punya "hati" satu dengan yang lain.
Keutuhan relasi, secara teologis, rupanya juga menjadi problem manusia dengan Allah. Problem ini disadari oleh manusia. Bahkan mereka berupaya mengatasi problem ini. Bagi Umat Israel dalam dunia sosial yang diceritakan di kitab Perjanjian Baru, problem ini coba diatasi dengan sistem korban. Umat dengan setia mempersembahkan korban, termasuk korban bakaran kepada Tuhan, baik sebagai korban syukur maupun korban penghapus dosa. Dalam Bait Allah di Yerusalem, Imam Besarlah yang akan memimpin upacara korban ini. Imam Besar bertindak sebagai pembangun relasi dan komunikasi antara manusia dan Allah.
Yesus lebih dari seorang imam besar. Seorang imam besar hanya membawa korban untuk dipersembahkan kepada Allah, dan itu akan dilakukan berulang-ulang sepanjang tahun-tahun kehidupan, sehingga boleh dikatakan hampir tak ada gunanya sama sekali. Korban yang dibawa Yesus adalah diri-Nya sendiri melalui ketaatan-Nya kepada Sang Bapa melalui tindakan rekonsiliasi/pendamaian manusia dengan Bapa dengan kematian-Nya di kayu salib. Pendamaian-Nya adalah sekali untuk selamanya. Keutuhan Allah-manusia kembali terwujud melalui Yesus. Rekonsiliasi Yesus inilah yang kiranya bisa menjadi pengharapan kita dalam mewujudkan dan menjaga keutuhan dalam kehidupan keluarga kita. Amin. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Banyak hal bisa mengganggu keutuhan hidup berkeluarga. Persoalan relasi dan komunikasi antaranggota keluarga, keuangan keluarga, konflik, kekerasan dalam keluarga, kegagalan mengelola keragaman dalam keluarga, egoisme, dsb. Keutuhan yang terganggu tidak hanya berwujud fisik, misalnya pisah kamar atau rumah, namun juga bisa berwujud psikis. Walau tetap tinggal dalam satu rumah, masing-masing anggota keluarga sudah tidak lagi punya "hati" satu dengan yang lain.
Keutuhan relasi, secara teologis, rupanya juga menjadi problem manusia dengan Allah. Problem ini disadari oleh manusia. Bahkan mereka berupaya mengatasi problem ini. Bagi Umat Israel dalam dunia sosial yang diceritakan di kitab Perjanjian Baru, problem ini coba diatasi dengan sistem korban. Umat dengan setia mempersembahkan korban, termasuk korban bakaran kepada Tuhan, baik sebagai korban syukur maupun korban penghapus dosa. Dalam Bait Allah di Yerusalem, Imam Besarlah yang akan memimpin upacara korban ini. Imam Besar bertindak sebagai pembangun relasi dan komunikasi antara manusia dan Allah.
Yesus lebih dari seorang imam besar. Seorang imam besar hanya membawa korban untuk dipersembahkan kepada Allah, dan itu akan dilakukan berulang-ulang sepanjang tahun-tahun kehidupan, sehingga boleh dikatakan hampir tak ada gunanya sama sekali. Korban yang dibawa Yesus adalah diri-Nya sendiri melalui ketaatan-Nya kepada Sang Bapa melalui tindakan rekonsiliasi/pendamaian manusia dengan Bapa dengan kematian-Nya di kayu salib. Pendamaian-Nya adalah sekali untuk selamanya. Keutuhan Allah-manusia kembali terwujud melalui Yesus. Rekonsiliasi Yesus inilah yang kiranya bisa menjadi pengharapan kita dalam mewujudkan dan menjaga keutuhan dalam kehidupan keluarga kita. Amin. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ibadah Yang Memampukan Umat Tetap Meyakini Kuasa TUHAN yang Menopang Kehidupan
"Tetapi TUHAN menjawab Musa: "Masakan kuasa TUHAN akan kurang untuk melakukan itu? Sekarang engkau akan melihat apakah firman-Ku terjadi kepadamu atau tidak!" (Bilangan 11: 23)
Manusia rupanya bisa menjadi kecewa dan bahkan mengungkapkan kekecewaan mereka kepada Tuhan. Tentu saja ekspresi kekecewaan itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Misalnya: Doa-doa yang tidak dikabulkan. Penyakit yang tidak kunjung sembuh. Bisnis yang gagal dan bangkrut. Pengalaman dukacita yang mendalam. Beban dan penderitaan hidup yang dihadapi. Kekecewaan semacam ini bisa muncul tampaknya didasarkan pada anggapan bahwa Tuhan lah yang sepenuhnya harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tuhan, Tuhan menjadi pihak penerima kekesalan, kekecewaan, kemarahan, bahkan juga kebencian manusia atas apa yang terjadi dalam hidupnya.
Umat Israel yang sedang berada di padang gurun, merasa kesal dan kecewa kepada Tuhan yang mereka anggap harus bertanggung jawab atas nasib yang mereka alami. Di padang gurun mereka merasa kekurangan gizi, karena hanya makan roti manna. Mereka menuntut bisa makan daging. Kekecewaan yang mereka alami di padang gurun bahkan membuat mereka menjadi "buta" atas kasih dan penyelamatan Allah yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Dengan entengnya, mereka berujar bahwa keadaan mereka di Mesir malah lebih baik daripada keadaaan mereka sekarang. Masih enak di zaman Mesir, dibandingkan zaman sekarang.
Musa bahkan juga terjebak dalam cara berpikir mayoritas umat yang tidak benar di hadapan Tuhan. Ia juga ikut-ikutan menganggap Tuhan telah memperlakukan umat-Nya dengan buruk (Bil. 11: 10). Ia juga meragukan kuasa Tuhan untuk menopang kehidupan umat di padang gurun tersebut (Bil.11: 22). Tuhan menanggapi semua kekecewaan dan keluhan umat dan Musa, dengan mengatakan: "Masakan kuasa Tuhan akan kurang untuk melakukan itu?"
Jika suatu saat Anda merasa kecewa terhadap Tuhan atas apa yang terjadi di dalam hidup Anda, jangan justru mengabaikan Tuhan, tetapi carilah Tuhan! Carilah Tuhan dalam firman-Nya yang kita baca dan dengarkan, terutama juga dalam ibadah yang kita hayati. Melalui ibadah, dalam setiap perjumpaan kita dengan saudara seiman dan firman-Nya, kita akan dimampukan untuk tetap meyakini kuasa Tuhan yang menopang kehidupan kita dalam segala keadaannya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Manusia rupanya bisa menjadi kecewa dan bahkan mengungkapkan kekecewaan mereka kepada Tuhan. Tentu saja ekspresi kekecewaan itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Misalnya: Doa-doa yang tidak dikabulkan. Penyakit yang tidak kunjung sembuh. Bisnis yang gagal dan bangkrut. Pengalaman dukacita yang mendalam. Beban dan penderitaan hidup yang dihadapi. Kekecewaan semacam ini bisa muncul tampaknya didasarkan pada anggapan bahwa Tuhan lah yang sepenuhnya harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Karena sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tuhan, Tuhan menjadi pihak penerima kekesalan, kekecewaan, kemarahan, bahkan juga kebencian manusia atas apa yang terjadi dalam hidupnya.
Umat Israel yang sedang berada di padang gurun, merasa kesal dan kecewa kepada Tuhan yang mereka anggap harus bertanggung jawab atas nasib yang mereka alami. Di padang gurun mereka merasa kekurangan gizi, karena hanya makan roti manna. Mereka menuntut bisa makan daging. Kekecewaan yang mereka alami di padang gurun bahkan membuat mereka menjadi "buta" atas kasih dan penyelamatan Allah yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Dengan entengnya, mereka berujar bahwa keadaan mereka di Mesir malah lebih baik daripada keadaaan mereka sekarang. Masih enak di zaman Mesir, dibandingkan zaman sekarang.
Musa bahkan juga terjebak dalam cara berpikir mayoritas umat yang tidak benar di hadapan Tuhan. Ia juga ikut-ikutan menganggap Tuhan telah memperlakukan umat-Nya dengan buruk (Bil. 11: 10). Ia juga meragukan kuasa Tuhan untuk menopang kehidupan umat di padang gurun tersebut (Bil.11: 22). Tuhan menanggapi semua kekecewaan dan keluhan umat dan Musa, dengan mengatakan: "Masakan kuasa Tuhan akan kurang untuk melakukan itu?"
Jika suatu saat Anda merasa kecewa terhadap Tuhan atas apa yang terjadi di dalam hidup Anda, jangan justru mengabaikan Tuhan, tetapi carilah Tuhan! Carilah Tuhan dalam firman-Nya yang kita baca dan dengarkan, terutama juga dalam ibadah yang kita hayati. Melalui ibadah, dalam setiap perjumpaan kita dengan saudara seiman dan firman-Nya, kita akan dimampukan untuk tetap meyakini kuasa Tuhan yang menopang kehidupan kita dalam segala keadaannya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Ibadah yang Mendorong Pelayanan (Markus 9: 33-37)
"Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah." (Markus 9: 35)
Paus Fransiskus, beberapa bulan setelah menerima inaugurasinya sebagai Paus, mengatakan,"Dunia mengatakan kepada kita untuk mencari kesuksesan, kekuasaan, dan uang; Allah mengatakan kepada kita untuk mencari kerendahan hati, pelayanan, dan kasih". Jadi bagi Paus, kekuasaan sesungguhnya adalah untuk melayani. Para pemegang kekuasaan, kesuksesan, dan uang semestinya membiarkan dirinya diinspirasi oleh pelayanan yang rendah hati, nyata, dan setia (99 Cara Belajar Hidup Ala Pope Francis, hal.12).
Apa yang menjadi inspirasi para murid Yesus ketika mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka? Kesuksesan? Kekuasaan? Uang? Mungkin semua itu yang ada di pikiran mereka ketika mengikuti Yesus. Barangkali masa depan yang terbayang di pikiran mereka: Rezim Romawi disingkirkan, Yesus sebagai ganti kaisar Romawi. Ketika Yesus menjadi Raja Israel, tentu saja mereka sebagai orang-orang di "lingkaran dalam" Yesus, apalagi yang dianggap terbesar di antara mereka, akan terjamin kesejahteraan, kekuasaan, uang, dan kesuksesan hidupnya.
Yesus terlihat tahu apa yang dipikirkan murid-murid-Nya ini. Ia menanggapi dengan cara yang barangkali mengagetkan mereka. Barangsiapa yang mau menjadi terbesar/terdahulu, hendaknya menjadi pelayan dari semuanya. Kata pelayan, dalam bahasa Yunaninya, diakonos, menunjuk pada seseorang yang pekerjaannya mempersiapkan meja dan makanan dalam suatu acara jamuan. Orang-orang Yunani melihat ini sebagai pekerjaan para budak. Orang merdeka tidak akan mau melakukan pekerjaan ini. Setelah itu, Yesus memeluk seorang anak kecil, yang pada zaman itu, seorang anak kurang diberi tempat dan diperhitungkan dalam struktur sosial masyarakat. Dengan melakukan tindakan semacam ini, bagi Yesus, kepelayanan akan juga tampak dalam solidaritas dan karya murid-murid terhadap mereka yang lemah, tak berarti, tersisihkan, seperti terhadap anak kecil ini.
Mampukah kita menjadikan ibadah kita sebagai inspirasi yang mendorong pelayanan kita kepada sesama? Bahkan ketika kesuksesan, kekuasaan, dan uang menjadi berkat yang diberikan Tuhan kepada kita, kita dengan sukacita bisa memakainya sebagai sarana pelayanan bagi sesama, bukan demi kepentingan kita sendiri. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Paus Fransiskus, beberapa bulan setelah menerima inaugurasinya sebagai Paus, mengatakan,"Dunia mengatakan kepada kita untuk mencari kesuksesan, kekuasaan, dan uang; Allah mengatakan kepada kita untuk mencari kerendahan hati, pelayanan, dan kasih". Jadi bagi Paus, kekuasaan sesungguhnya adalah untuk melayani. Para pemegang kekuasaan, kesuksesan, dan uang semestinya membiarkan dirinya diinspirasi oleh pelayanan yang rendah hati, nyata, dan setia (99 Cara Belajar Hidup Ala Pope Francis, hal.12).
Apa yang menjadi inspirasi para murid Yesus ketika mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka? Kesuksesan? Kekuasaan? Uang? Mungkin semua itu yang ada di pikiran mereka ketika mengikuti Yesus. Barangkali masa depan yang terbayang di pikiran mereka: Rezim Romawi disingkirkan, Yesus sebagai ganti kaisar Romawi. Ketika Yesus menjadi Raja Israel, tentu saja mereka sebagai orang-orang di "lingkaran dalam" Yesus, apalagi yang dianggap terbesar di antara mereka, akan terjamin kesejahteraan, kekuasaan, uang, dan kesuksesan hidupnya.
Yesus terlihat tahu apa yang dipikirkan murid-murid-Nya ini. Ia menanggapi dengan cara yang barangkali mengagetkan mereka. Barangsiapa yang mau menjadi terbesar/terdahulu, hendaknya menjadi pelayan dari semuanya. Kata pelayan, dalam bahasa Yunaninya, diakonos, menunjuk pada seseorang yang pekerjaannya mempersiapkan meja dan makanan dalam suatu acara jamuan. Orang-orang Yunani melihat ini sebagai pekerjaan para budak. Orang merdeka tidak akan mau melakukan pekerjaan ini. Setelah itu, Yesus memeluk seorang anak kecil, yang pada zaman itu, seorang anak kurang diberi tempat dan diperhitungkan dalam struktur sosial masyarakat. Dengan melakukan tindakan semacam ini, bagi Yesus, kepelayanan akan juga tampak dalam solidaritas dan karya murid-murid terhadap mereka yang lemah, tak berarti, tersisihkan, seperti terhadap anak kecil ini.
Mampukah kita menjadikan ibadah kita sebagai inspirasi yang mendorong pelayanan kita kepada sesama? Bahkan ketika kesuksesan, kekuasaan, dan uang menjadi berkat yang diberikan Tuhan kepada kita, kita dengan sukacita bisa memakainya sebagai sarana pelayanan bagi sesama, bukan demi kepentingan kita sendiri. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ujaran Kebencian dan Permusuhan Bukan Bagian dari Ibadah (Yakobus 3: 5-12)
"Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah." (Yakobus 3: 9)
Tahukah Anda, bahwa setiap ujaran atau ucapan yang kita katakan bisa memengaruhi dan mengubah jalinan saraf otak kita? Andrew Newberg, seorang pakar neurosains, dalam bukunya Words Can Change Your Brain (hal. 32-33), memberitahukan kepada kita bahwa ujaran-ujaran positif yang kita katakan akan mengaktifkan pada saraf otak kita hormon pengurang stress. Sebaliknya, ujaran-ujaran negatif, seperti ujaran kebencian, akan mengacaukan saraf otak kita yang melindungi kita dari stress, bahkan lambat atau cepat bisa merusak otak kita.
Di samping itu, ujaran-ujaran negatif, termasuk ujaran kebencian yang diarahkan kepada orang lain juga akan berdampak vital bagi orang lain. Orang lain akan merasakan sakit hati secara psikologis, perasaan hina dan takut, atau sebaliknya kemarahan untuk melakukan pembalasan baik secara fisik maupun psikis.
Yakobus mengingatkan umat agar bijak dalam berujar atau berkata-kata. Umat harus belajar mengendalikan diri dalam hal berujar, sehingga ujaran yang keluar adalah ujaran yang membangun kehidupan dan iman, bukan yang merusak kehidupan dan iman. Dengan menggunakan lidah sebagai kiasan, Yakobus mengajak agar lidah dipakai untuk memuji Tuhan, bukan untuk mengutuk segala ciptaan Tuhan, termasuk mengutuk sesamanya manusia. Dengan menggunakan mulut sebagai kiasan, Yakobus mengajak agar mulut dipakai untuk mengucapkan berkat bukan mengucapkan kutuk.
Dengan demikian, ujaran kebencian dan ujaran permusuhan bukan bagian dari ibadah. Ibadah akan selalu membawa relasi kita dengan sesama manusia, bahkan dalam kemajemukan agama yang ada, dalam relasi penuh hormat dan kasih. Oleh karena itu penting untuk memperhatikan bahasa kita sehari-hari atau bahasa ibadah kita, jangan sampai disusupi dengan ujaran-ujaran kebencian dan permusuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Tahukah Anda, bahwa setiap ujaran atau ucapan yang kita katakan bisa memengaruhi dan mengubah jalinan saraf otak kita? Andrew Newberg, seorang pakar neurosains, dalam bukunya Words Can Change Your Brain (hal. 32-33), memberitahukan kepada kita bahwa ujaran-ujaran positif yang kita katakan akan mengaktifkan pada saraf otak kita hormon pengurang stress. Sebaliknya, ujaran-ujaran negatif, seperti ujaran kebencian, akan mengacaukan saraf otak kita yang melindungi kita dari stress, bahkan lambat atau cepat bisa merusak otak kita.
Di samping itu, ujaran-ujaran negatif, termasuk ujaran kebencian yang diarahkan kepada orang lain juga akan berdampak vital bagi orang lain. Orang lain akan merasakan sakit hati secara psikologis, perasaan hina dan takut, atau sebaliknya kemarahan untuk melakukan pembalasan baik secara fisik maupun psikis.
Yakobus mengingatkan umat agar bijak dalam berujar atau berkata-kata. Umat harus belajar mengendalikan diri dalam hal berujar, sehingga ujaran yang keluar adalah ujaran yang membangun kehidupan dan iman, bukan yang merusak kehidupan dan iman. Dengan menggunakan lidah sebagai kiasan, Yakobus mengajak agar lidah dipakai untuk memuji Tuhan, bukan untuk mengutuk segala ciptaan Tuhan, termasuk mengutuk sesamanya manusia. Dengan menggunakan mulut sebagai kiasan, Yakobus mengajak agar mulut dipakai untuk mengucapkan berkat bukan mengucapkan kutuk.
Dengan demikian, ujaran kebencian dan ujaran permusuhan bukan bagian dari ibadah. Ibadah akan selalu membawa relasi kita dengan sesama manusia, bahkan dalam kemajemukan agama yang ada, dalam relasi penuh hormat dan kasih. Oleh karena itu penting untuk memperhatikan bahasa kita sehari-hari atau bahasa ibadah kita, jangan sampai disusupi dengan ujaran-ujaran kebencian dan permusuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ibadah yang Berdampak Baik bagi Sesama (Yakobus 2: 14-17)
Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?" (Yakobus 2: 14)
Ibadah semestinya mendorong umat untuk bertindak baik pada sesamanya. Bruce Sheiman, seorang ateis, dalam bukunya: An Atheist Defends Religion, dengan jujur bahkan mengakui peran penting agama(termasuk ibadahnya tentu saja) sebagai penopang moralitas dan watak welas asih manusia dalam kehidupan ini. Jadi, kalau ada suatu ibadah yang mendorong umat bertindak tidak baik pada sesamanya, di mana letak kekeliruannya?
Kita keliru memahami perkataan Yakobus jika kita memahami Yakobus sedang mempertentangkan antara iman dengan perbuatan. Kita diajak oleh Yakobus bukan untuk memilih antara iman dan perbuatan, seakan-akan salah satu lebih unggul dibandingkan lainnya. Kita diajak untuk memahami iman dan perbuatan sebagai satu kesatuan utuh dalam relasi kita bersama Tuhan.
Itulah sebabnya iman menjadi timpang/tidak utuh, jika seorang beriman mengabaikan perbuatan yang seharusnya muncul atas dasar imannya tersebut. Seorang beriman tidak akan membiarkan lenyap watak welas asihnya dan mengabaikan seseorang yang seharusnya bisa ditolongnya. Iman yang tidak membiarkan watak welas asihnya muncul, akan menjadi iman yang layu, tak berkembang, dan akhirnya mati.
Yakobus tidak sedang menolak pengajaran yang ada waktu itu: manusia dibenarkan karena iman. Yakobus juga tidak sedang mengajarkan: manusia dibenarkan karena perbuatannya. Yang Yakobus ajarkan adalah manusia yang dibenarkan karena iman sekaligus manusia yang mewujudkan perbuatan baik atas dasar imannya tersebut. Iman dan perbuatan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Jadi, wujudkanlah iman kita dalam perbuatan-perbuatan baik pada sesama! Hayatilah setiap ibadah sebagai ibadah yang berdampak baik bagi sesama kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ibadah semestinya mendorong umat untuk bertindak baik pada sesamanya. Bruce Sheiman, seorang ateis, dalam bukunya: An Atheist Defends Religion, dengan jujur bahkan mengakui peran penting agama(termasuk ibadahnya tentu saja) sebagai penopang moralitas dan watak welas asih manusia dalam kehidupan ini. Jadi, kalau ada suatu ibadah yang mendorong umat bertindak tidak baik pada sesamanya, di mana letak kekeliruannya?
Kita keliru memahami perkataan Yakobus jika kita memahami Yakobus sedang mempertentangkan antara iman dengan perbuatan. Kita diajak oleh Yakobus bukan untuk memilih antara iman dan perbuatan, seakan-akan salah satu lebih unggul dibandingkan lainnya. Kita diajak untuk memahami iman dan perbuatan sebagai satu kesatuan utuh dalam relasi kita bersama Tuhan.
Itulah sebabnya iman menjadi timpang/tidak utuh, jika seorang beriman mengabaikan perbuatan yang seharusnya muncul atas dasar imannya tersebut. Seorang beriman tidak akan membiarkan lenyap watak welas asihnya dan mengabaikan seseorang yang seharusnya bisa ditolongnya. Iman yang tidak membiarkan watak welas asihnya muncul, akan menjadi iman yang layu, tak berkembang, dan akhirnya mati.
Yakobus tidak sedang menolak pengajaran yang ada waktu itu: manusia dibenarkan karena iman. Yakobus juga tidak sedang mengajarkan: manusia dibenarkan karena perbuatannya. Yang Yakobus ajarkan adalah manusia yang dibenarkan karena iman sekaligus manusia yang mewujudkan perbuatan baik atas dasar imannya tersebut. Iman dan perbuatan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Jadi, wujudkanlah iman kita dalam perbuatan-perbuatan baik pada sesama! Hayatilah setiap ibadah sebagai ibadah yang berdampak baik bagi sesama kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Beribadah Dengan Segenap Hati (Mazmur 15: 1-5)
"TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus? Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya,..." (Mazmur 15: 1-2)
Kesalehan rohani rupanya tidak serta merta berbanding lurus dengan kesalehan sosial. Orang-orang yang rajin beribadah, tidak serta merta menjadi orang-orang yang saleh juga dalam perilaku sosial-kemasyarakatan. Tidak mengherankan, ketika para koruptor atau penjahat ditangkap, kita bahkan bisa melihat simbol-simbol keagamaan yang melekat pada diri mereka.
Apakah yang sebenarnya terjadi saat umat beribadah? Apakah umat beragama terjebak pada ritualisme ibadah, sehingga ibadah diikuti sekadar sebagai kewajiban tanpa makna? Apakah ibadah diikuti hanya supaya persepsi masyarakat pada mereka tetap terjaga baik: "Saya tahu Bapak dan Ibu itu rajin beribadah..." Atau memang ada begitu banyak pengganggu/pengalih perhatiaan saat umat beribadah, sehingga umat tidak bisa menghayati suatu ibadah yang diikuti dengan baik?
Sang Pemazmur menunjukkan kepada umat, persiapan sebelum umat beribadah atau datang menghadap Tuhan, sangat penting. Persiapan ibadah pada dasarnya menyangkut totalitas ibadah. Kemah atau tempat ibadah tentu harus dipersiapkan dengan baik sebelum dipakai untuk ibadah (Kemah ibadah pada zaman itu disebut Tabernakel. Menandakan umat berada sebagai bangsa nomaden, yang berpindah-pindah tempat). Alat-alat peribadahan yang disiapkan dengan baik akan memperlancar ritual ibadah.
Namun demikian, ibadah itu tidak sekadar mempersiapkan alat-alat ibadah dengan baik. Umat juga harus menata hatinya dengan baik sebelum beribadah kepada Tuhan. Umat diundang untuk beribadah dengan segenap hati. Sebelum ikut beribadah, umat bahkan diharapkan sudah membereskan perilaku sosialnya di masyarakat: Berlaku tidak cela, bersikap adil dan benar, tidak menyebarkan fitnah, tidak berbuat jahat pada sesamanya, dst. Ketika semua itu dibereskan lebih dulu sebelum ibadah, maka umat akan mampu menghayati ibadah dengan baik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kesalehan rohani rupanya tidak serta merta berbanding lurus dengan kesalehan sosial. Orang-orang yang rajin beribadah, tidak serta merta menjadi orang-orang yang saleh juga dalam perilaku sosial-kemasyarakatan. Tidak mengherankan, ketika para koruptor atau penjahat ditangkap, kita bahkan bisa melihat simbol-simbol keagamaan yang melekat pada diri mereka.
Apakah yang sebenarnya terjadi saat umat beribadah? Apakah umat beragama terjebak pada ritualisme ibadah, sehingga ibadah diikuti sekadar sebagai kewajiban tanpa makna? Apakah ibadah diikuti hanya supaya persepsi masyarakat pada mereka tetap terjaga baik: "Saya tahu Bapak dan Ibu itu rajin beribadah..." Atau memang ada begitu banyak pengganggu/pengalih perhatiaan saat umat beribadah, sehingga umat tidak bisa menghayati suatu ibadah yang diikuti dengan baik?
Sang Pemazmur menunjukkan kepada umat, persiapan sebelum umat beribadah atau datang menghadap Tuhan, sangat penting. Persiapan ibadah pada dasarnya menyangkut totalitas ibadah. Kemah atau tempat ibadah tentu harus dipersiapkan dengan baik sebelum dipakai untuk ibadah (Kemah ibadah pada zaman itu disebut Tabernakel. Menandakan umat berada sebagai bangsa nomaden, yang berpindah-pindah tempat). Alat-alat peribadahan yang disiapkan dengan baik akan memperlancar ritual ibadah.
Namun demikian, ibadah itu tidak sekadar mempersiapkan alat-alat ibadah dengan baik. Umat juga harus menata hatinya dengan baik sebelum beribadah kepada Tuhan. Umat diundang untuk beribadah dengan segenap hati. Sebelum ikut beribadah, umat bahkan diharapkan sudah membereskan perilaku sosialnya di masyarakat: Berlaku tidak cela, bersikap adil dan benar, tidak menyebarkan fitnah, tidak berbuat jahat pada sesamanya, dst. Ketika semua itu dibereskan lebih dulu sebelum ibadah, maka umat akan mampu menghayati ibadah dengan baik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Berjuang Melawan Roh-roh Pemecah-belah Bangsa (Efesus 6: 10-20)
"...karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging..., melawan roh-roh jahat di udara!" (Efesus 6: 12)
Masyarakat kita kelihatannya masih sangat rentan dipecah-belah atas nama Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Berdasarkan hasil penelitian Setara Institute for Democracy and Peace dari 20 provinsi Indonesia, Setara Institute menemukan setidaknya terdapat 109 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dengan 136 tindakan pelanggaran pada bulan Januari-Juni 2018. Jenis tindakan pelanggaran meliputi: intoleransi, pelaporan penodaan agama, ujaran kebencian, dan diskriminasi.
"Bangsa kita sudah sepakat untuk hidup beragam, itu yang perlu dijaga. Perlu terus menerus edukasi untuk bisa saling menghormati antar-umat beragama", demikian perkataan Marsudi Syuhud, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Beliau juga menyampaikan: "Keberagaman pun akan selalu mengedepankan moral dan akhlak, bukan fitnah atau ujaran kebencian".(Kompas, 21 Agustus 2018,hal. 4)
Dalam surat Rasul Paulus ini, ada seruan: "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah" (ayat 11). Apa maksud Rasul Paulus dengan seruan ini? Apakah Sang Rasul sedang menggelorakan perang dan kekerasan fisik terhadap mereka yang bukan pengikut-pengikutnya?
Rasul Paulus memang memakai gambaran perlengkapan senjata, namun demikian gambaran kekerasan dan kebrutalan perang dari perlengkapan senjata ini, justru dilucutinya. Ikat pinggang, baju zirah, kasut, ketopong, dan pedang tidak lagi menjadi simbol kekerasan, namun pelayanan dan perjuangan hidup dalam kasih Tuhan. Kebenaran, keadilan, damai sejahtera, keselamatan, dan firman-Nya, menjadi "senjata" melawan roh-roh jahat yang memecah-belah kehidupan bersama. Jadi, dalam konteks negara kita ini, kenakanlah "senjata", yaitu kebenaran, keadilan, damai sejahtera, keselamatan, dan firman-Nya, untuk melawan beragam ujaran kebencian, fitnah, intoleransi, diskriminasi yang bisa memecah-belah bangsa kita ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Masyarakat kita kelihatannya masih sangat rentan dipecah-belah atas nama Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Berdasarkan hasil penelitian Setara Institute for Democracy and Peace dari 20 provinsi Indonesia, Setara Institute menemukan setidaknya terdapat 109 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dengan 136 tindakan pelanggaran pada bulan Januari-Juni 2018. Jenis tindakan pelanggaran meliputi: intoleransi, pelaporan penodaan agama, ujaran kebencian, dan diskriminasi.
"Bangsa kita sudah sepakat untuk hidup beragam, itu yang perlu dijaga. Perlu terus menerus edukasi untuk bisa saling menghormati antar-umat beragama", demikian perkataan Marsudi Syuhud, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Beliau juga menyampaikan: "Keberagaman pun akan selalu mengedepankan moral dan akhlak, bukan fitnah atau ujaran kebencian".(Kompas, 21 Agustus 2018,hal. 4)
Dalam surat Rasul Paulus ini, ada seruan: "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah" (ayat 11). Apa maksud Rasul Paulus dengan seruan ini? Apakah Sang Rasul sedang menggelorakan perang dan kekerasan fisik terhadap mereka yang bukan pengikut-pengikutnya?
Rasul Paulus memang memakai gambaran perlengkapan senjata, namun demikian gambaran kekerasan dan kebrutalan perang dari perlengkapan senjata ini, justru dilucutinya. Ikat pinggang, baju zirah, kasut, ketopong, dan pedang tidak lagi menjadi simbol kekerasan, namun pelayanan dan perjuangan hidup dalam kasih Tuhan. Kebenaran, keadilan, damai sejahtera, keselamatan, dan firman-Nya, menjadi "senjata" melawan roh-roh jahat yang memecah-belah kehidupan bersama. Jadi, dalam konteks negara kita ini, kenakanlah "senjata", yaitu kebenaran, keadilan, damai sejahtera, keselamatan, dan firman-Nya, untuk melawan beragam ujaran kebencian, fitnah, intoleransi, diskriminasi yang bisa memecah-belah bangsa kita ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kemajemukan Budaya dan Agama yang Menumbuhkan Hikmat TUHAN (Amsal 9: 9-12)
"Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian!" (Amsal 9: 10)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan, merupakan kutipan kecil sila ke-4 dari Pancasila. Mohammad Hatta, dalam kaitan ini menjelaskan bahwa "Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Menurut Yudi Latif dalam bukunya: Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, ciri hikmat/kebijaksanaan ini merefleksikan orientasi etis yang menyaratkan kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif, dalam rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok (hal. 477, 487)
Apa pesan dari perikop kitab Amsal ini? Menjadi manusia hidup penuh hikmat itu penting. Lalu bagaimana seseorang bisa menjadi manusia berhikmat? Dalam ayat nas ini ada nasihat: Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN. Maksudnya, ketika seseorang mendasarkan hidupnya dan melekat pada Tuhan, hikmat Tuhan juga akan bertumbuh melalui orang itu. Ini yang membedakan manusia dengan hikmat Tuhan dengan manusia yang bodoh. Manusia bodoh itu bukan manusia yang kekurangan pengetahuan, melainkan mereka yang meremehkan atau mengabaikan prinsip-prinsip moral/etika yang dikehendaki Tuhan secara sengaja. Bisa saja seseorang cerdas secara intelektual, namun bodoh dalam hal hikmat Tuhan, karena secara sengaja melanggar kebenaran Tuhan.
Jadilah manusia berhikmat, dan dalam konteks bangsa ini, salah satu pilar penting menjadi berhikmat dalam Tuhan adalah kerendahan hati. Rendah hati hidup dalam kemajemukan budaya dan agama. Mereka yang tidak belajar rendah hati akan gagal memahami kehendak Tuhan, karena mereka tidak akan bisa melihat kemajemukan budaya dan agama di Indonesia sebagai berkat Tuhan bagi bangsa ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan, merupakan kutipan kecil sila ke-4 dari Pancasila. Mohammad Hatta, dalam kaitan ini menjelaskan bahwa "Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Menurut Yudi Latif dalam bukunya: Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, ciri hikmat/kebijaksanaan ini merefleksikan orientasi etis yang menyaratkan kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif, dalam rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok (hal. 477, 487)
Apa pesan dari perikop kitab Amsal ini? Menjadi manusia hidup penuh hikmat itu penting. Lalu bagaimana seseorang bisa menjadi manusia berhikmat? Dalam ayat nas ini ada nasihat: Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN. Maksudnya, ketika seseorang mendasarkan hidupnya dan melekat pada Tuhan, hikmat Tuhan juga akan bertumbuh melalui orang itu. Ini yang membedakan manusia dengan hikmat Tuhan dengan manusia yang bodoh. Manusia bodoh itu bukan manusia yang kekurangan pengetahuan, melainkan mereka yang meremehkan atau mengabaikan prinsip-prinsip moral/etika yang dikehendaki Tuhan secara sengaja. Bisa saja seseorang cerdas secara intelektual, namun bodoh dalam hal hikmat Tuhan, karena secara sengaja melanggar kebenaran Tuhan.
Jadilah manusia berhikmat, dan dalam konteks bangsa ini, salah satu pilar penting menjadi berhikmat dalam Tuhan adalah kerendahan hati. Rendah hati hidup dalam kemajemukan budaya dan agama. Mereka yang tidak belajar rendah hati akan gagal memahami kehendak Tuhan, karena mereka tidak akan bisa melihat kemajemukan budaya dan agama di Indonesia sebagai berkat Tuhan bagi bangsa ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Berbahagialah Bangsa yang Berlindung Pada-NYA (Mazmur 34: 1-9)
"Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!" (Mazmur 34: 9)
Ada sekitar 4.300 agama di dunia ini. Agama Kristen/Katolik memiliki penganut sekitar 2,1 Milyar di dunia ini. Pemeluk agama Islam sekitar 1,5 Milyar, pemeluk agama Hindu sekitar 900 juta, penganut agama Budha sekitar 376 juta, dst. Sedangkan mereka yang dikategorikan kelompok sekuler/nonreligius/agnostik/ateis berjumlah sekitar 1,1 Milyar. Dari data ini, kita mengetahui bahwa pada dasarnya dunia ini lebih banyak dihuni oleh orang-orang yang beragama dibandingkan yang tidak beragama, terlepas dari keragaman agama yang ada dan penghayatan keberadaan dan karya Tuhan yang berbeda. Apakah dunia kita ini akan menjadi lebih baik, berbahagia, dan diberkati Tuhan karena mayoritas penduduknya adalah orang-orang beragama?
Sang pemazmur sangat meyakini Tuhanlah sumber kebahagiaan, kebaikan, dan perlindungan. Itulah sebabnya kita bisa datang, mencari dan dekat pada-Nya. Bahkan pengalaman iman bersama Tuhan sungguh dapat dirasakan melalui pancaindera manusia. Kecaplah dan lihatlah...(ayat 9). Pengalaman iman bersama Tuhan adalah pengalaman real, bukan fantasi atau imaginasi manusia. Tuhan hadir dalam karya kasih dan perlindungan-Nya bagi umat manusia di dunia ini. Tuhan menyelamatkan manusia yang menderita/tertindas dari segala kesesakannya, demikian pengalaman iman yang juga dinyatakan oleh sang pemazmur (ayat 7).
Agama memang bukan Tuhan. Tuhan tidak bisa diidentikan bahkan dengan agama manapun. Agama menjadi sarana bagi manusia untuk bertumbuh dan memelihara iman dalam Tuhan. Namun jika tidak dihayati dengan bijak, agama memang juga bisa menjadi sumber permusuhan dan perpecahan bangsa. Hindarilah kesombongan keagamaan! Agamaku yang paling benar, agamamu yang paling salah. Bangsa yang berlindung pada-Nya adalah bangsa yang menjamin warganegaranya bebas-bertanggungjawab menghayati perlindungan Tuhan melalui agama dan kepercayaannya masing-masing. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Tetap Berharap pada TUHAN dalam Kemajemukan Budaya dan Agama (2 Efesus 4: 1-16)
"Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu," (Efesus 4: 3-4)
Kemajemukan memang bisa berwatak ganda. Bisa memiliki watak konstruktif/membangun/memperkaya, namun juga bisa memiliki watak memisah-misahkan. Karena watak ganda inilah, ada orang-orang yang merasa tidak nyaman dengan kemajemukan, sehingga kemajemukan dilihat sebagai problem dalam kehidupan. Bagi mereka, yang diperlukan adalah keseragaman atau kesamaan. Sebaliknya, ada orang-orang yang bersyukur atas kemajemukan, karena justru menjadi kekuatan untuk merayakan/memperkaya/membangun kehidupan dengan keragaman yang berlimpah. Kemajemukan tidak dipandang sebagai problem, namun justru sebagai berkat.
Isu kemajemukan ini, rupanya juga menjadi perhatian Rasul Paulus dalam suratnya kepada orang-orang Kristen di Efesus ini. Ada ketegangan antara orang-orang Kristen Yahudi dengan orang-orang Kristen dari bangsa lain. "Tembok-tembok pemisah" tercipta di antara orang-orang Kristen ini (baca pasal 2 ayat 14). Mereka tumbuh dalam budaya yang berbeda, dan tentu saja cara penghayatan kekristenan yang agak berbeda. Orang-orang Kristen Yahudi, yang bersunat, menghayati iman dengan cara yang agak berbeda dengan orang-orang Kristen dari bangsa lain (yang tidak bersunat).
Rasul Paulus mengingatkan mereka, kematian Kristus telah merobohkan "tembok-tembok pemisah", yaitu perseteruan yang memisah-misahkan mereka. Dalam Kristus, tidak ada lagi diskriminasi terhadap sesama atas dasar perbedaan kultur, suka bangsa, dan cara penghayatan iman mereka kepada Kristus. Kemajemukan adalah anugerah dan berkat, bukan problem. Itulah sebabnya dalam kemajemukan yang ada, mereka dipanggil untuk tetap berharap pada Tuhan, dalam memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kemajemukan memang bisa berwatak ganda. Bisa memiliki watak konstruktif/membangun/memperkaya, namun juga bisa memiliki watak memisah-misahkan. Karena watak ganda inilah, ada orang-orang yang merasa tidak nyaman dengan kemajemukan, sehingga kemajemukan dilihat sebagai problem dalam kehidupan. Bagi mereka, yang diperlukan adalah keseragaman atau kesamaan. Sebaliknya, ada orang-orang yang bersyukur atas kemajemukan, karena justru menjadi kekuatan untuk merayakan/memperkaya/membangun kehidupan dengan keragaman yang berlimpah. Kemajemukan tidak dipandang sebagai problem, namun justru sebagai berkat.
Isu kemajemukan ini, rupanya juga menjadi perhatian Rasul Paulus dalam suratnya kepada orang-orang Kristen di Efesus ini. Ada ketegangan antara orang-orang Kristen Yahudi dengan orang-orang Kristen dari bangsa lain. "Tembok-tembok pemisah" tercipta di antara orang-orang Kristen ini (baca pasal 2 ayat 14). Mereka tumbuh dalam budaya yang berbeda, dan tentu saja cara penghayatan kekristenan yang agak berbeda. Orang-orang Kristen Yahudi, yang bersunat, menghayati iman dengan cara yang agak berbeda dengan orang-orang Kristen dari bangsa lain (yang tidak bersunat).
Rasul Paulus mengingatkan mereka, kematian Kristus telah merobohkan "tembok-tembok pemisah", yaitu perseteruan yang memisah-misahkan mereka. Dalam Kristus, tidak ada lagi diskriminasi terhadap sesama atas dasar perbedaan kultur, suka bangsa, dan cara penghayatan iman mereka kepada Kristus. Kemajemukan adalah anugerah dan berkat, bukan problem. Itulah sebabnya dalam kemajemukan yang ada, mereka dipanggil untuk tetap berharap pada Tuhan, dalam memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Spiritualitas Berbagi (2 Raja-raja 4: 42-44)
"Lalu berkatalah Elisa: "Berilah itu kepada orang-orang ini, supaya mereka makan." (2 Raja-raja 4: 42)
Ada nasihat kuno Cina semacam ini: "Jika kamu ingin bahagia selama satu jam, ambilah nampan makanmu. Jika kamu ingin bahagia selama satu hari, pergilah memancing. Jika kamu ingin bahagia selama satu tahun, terimalah bagian warisanmu. Jika kamu ingin bahagia selama-lamanya, tolonglah sesamamu". Ada pergeseran sumber kebahagiaan, dari sikap menerima menjadi sikap yang mau berbagi pertolongan.
Akhir-akhir ini, ada banyak riset yang menunjukkan kemampuan manusia untuk berbagi, merupakan kemampuan yang ditopang oleh jalinan saraf otak manusia. Otak kita terpateri untuk bereaksi berbagi pertolongan (pertolongan bisa dalam bentuk apa saja) bagi pihak yang memerlukan. Motif manusia berbagi memang bisa bermacam-macam. Terlepas dari motifnya, dorongan berbagi ini mendapat topangan mekanisme biologis saraf otak kita.
Ada seseorang yang berasal dari tempat yang bernama Baal-Salisa, berbagi hasil panen sulungnya kepada nabi Elisa. Ia berbagi dua puluh roti (yang dibuat dari gandum hasil pertama panen tahun itu) serta gandum yang baru dipotong. Tidak jelas siapa orang itu dan mengapa ia berbagi hasil panennya kepada nabi Elisa, namun yang jelas ia menampakkan kemurahan hatinya. Nabi Elisa pun menunjukkan kemurahan hati yang sama. Ia segera memerintahkan pelayannya untuk membagikan roti-roti itu kepada rombongan nabi yang bersama dengannya. "Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya mereka makan".
Dalam masa kelaparan yang sedang dihadapi orang-orang di negeri itu, lebih mudah menyimpan kelebihan makanan untuk diri sendiri, dibandingkan berbagi dengan sesama.Untuk apa harus berbagi, bisa-bisa kami sendiri yang akan mati kelaparan? Namun demikian, bukan sikap semacam ini yang ditunjukkan orang dari Baal Salisa dan Nabi Elisa. Berbagi terhadap sesama yang memerlukan pertolongan, telah melekat menjadi bagian dari spiritualitas mereka. Mereka hidup dalam spiritualitas berbagi. Bagaimana dengan kita? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ada nasihat kuno Cina semacam ini: "Jika kamu ingin bahagia selama satu jam, ambilah nampan makanmu. Jika kamu ingin bahagia selama satu hari, pergilah memancing. Jika kamu ingin bahagia selama satu tahun, terimalah bagian warisanmu. Jika kamu ingin bahagia selama-lamanya, tolonglah sesamamu". Ada pergeseran sumber kebahagiaan, dari sikap menerima menjadi sikap yang mau berbagi pertolongan.
Akhir-akhir ini, ada banyak riset yang menunjukkan kemampuan manusia untuk berbagi, merupakan kemampuan yang ditopang oleh jalinan saraf otak manusia. Otak kita terpateri untuk bereaksi berbagi pertolongan (pertolongan bisa dalam bentuk apa saja) bagi pihak yang memerlukan. Motif manusia berbagi memang bisa bermacam-macam. Terlepas dari motifnya, dorongan berbagi ini mendapat topangan mekanisme biologis saraf otak kita.
Ada seseorang yang berasal dari tempat yang bernama Baal-Salisa, berbagi hasil panen sulungnya kepada nabi Elisa. Ia berbagi dua puluh roti (yang dibuat dari gandum hasil pertama panen tahun itu) serta gandum yang baru dipotong. Tidak jelas siapa orang itu dan mengapa ia berbagi hasil panennya kepada nabi Elisa, namun yang jelas ia menampakkan kemurahan hatinya. Nabi Elisa pun menunjukkan kemurahan hati yang sama. Ia segera memerintahkan pelayannya untuk membagikan roti-roti itu kepada rombongan nabi yang bersama dengannya. "Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya mereka makan".
Dalam masa kelaparan yang sedang dihadapi orang-orang di negeri itu, lebih mudah menyimpan kelebihan makanan untuk diri sendiri, dibandingkan berbagi dengan sesama.Untuk apa harus berbagi, bisa-bisa kami sendiri yang akan mati kelaparan? Namun demikian, bukan sikap semacam ini yang ditunjukkan orang dari Baal Salisa dan Nabi Elisa. Berbagi terhadap sesama yang memerlukan pertolongan, telah melekat menjadi bagian dari spiritualitas mereka. Mereka hidup dalam spiritualitas berbagi. Bagaimana dengan kita? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Takkan Kekurangan Aku (Mazmur 23: 1-6)
"TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku." (Mazmur 23: 1)
Pasti tidak nyaman, hidup serba kekurangan. Kurang makan, kurang kasih sayang, kurang uang, kurang tidur, kurang pintar, dan masih banyak lagi yang bisa kita tambahkan. Akan tetapi, apakah hidup kita juga terasa lebih nyaman jikalau hidup serba berlebih? Kelebihan makan, kelebihan tidur, kelebihan uang, kelebihan kasih sayang, dsb.
Tuhan adalah gembalaku. Takkan kekurangan aku. Sang Pemazmur menghayati relasi umat dengan Tuhan dengan metafora gembala dan domba. Metafora ini dipakai sang pemazmur untuk menekankan keyakinannya atas perlindungan dan pemeliharaan Tuhan terhadap umat-Nya. Gembala adalah pihak yang selalu siap untuk menjaga, melindungi dan merawat domba-dombanya. Domba-domba mudah menjadi sasaran binatang buas dan pencuri pada waktu itu. Domba-domba juga mudah terluka dan sakit menapaki jalan-jalan sulit penuh batu-batu tajam dan duri. Domba-domba juga mudah terpisah dari kawanan dan terhilang tak tahu arah.
Mungkin semacam itulah yang juga ada di pikiran sang pemazmur. Umat Tuhan juga merupakan umat yang bisa menjadi sasaran kejahatan lawan-lawannya (di ayat 5, disinggung tentang kehadiran lawan). Umat Tuhan juga bisa mudah "terluka" dan "sakit" dalam menapaki perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan dan kesulitan hidup yang ada. Umat Tuhan juga bisa "terhilang" dan "terpisah" dari persekutuan umat beriman karena beban hidup yang harus dihadapinya. Umat Tuhan pun juga bisa kehilangan orientasi diri, tak tahu bagaimana harus menjalani hidup yang berkenan di hadapan Tuhan.
"Tak kan kekurangan aku". Pertama-tama bukan dimaksudkan untuk membahas hidup kita akan menjadi serba berkecukupan atau berlebihan di dalam Tuhan, melainkan untuk menyatakan keyakinan kita yang total akan pemeliharaan Tuhan. Tuhan adalah gembalaku, masih kurangkah hidupku, masihkah perlu ilah lain? Tidak! Tidak ada yang kurang dalam hidup kita, ketika Tuhan adalah gembala kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pasti tidak nyaman, hidup serba kekurangan. Kurang makan, kurang kasih sayang, kurang uang, kurang tidur, kurang pintar, dan masih banyak lagi yang bisa kita tambahkan. Akan tetapi, apakah hidup kita juga terasa lebih nyaman jikalau hidup serba berlebih? Kelebihan makan, kelebihan tidur, kelebihan uang, kelebihan kasih sayang, dsb.
Tuhan adalah gembalaku. Takkan kekurangan aku. Sang Pemazmur menghayati relasi umat dengan Tuhan dengan metafora gembala dan domba. Metafora ini dipakai sang pemazmur untuk menekankan keyakinannya atas perlindungan dan pemeliharaan Tuhan terhadap umat-Nya. Gembala adalah pihak yang selalu siap untuk menjaga, melindungi dan merawat domba-dombanya. Domba-domba mudah menjadi sasaran binatang buas dan pencuri pada waktu itu. Domba-domba juga mudah terluka dan sakit menapaki jalan-jalan sulit penuh batu-batu tajam dan duri. Domba-domba juga mudah terpisah dari kawanan dan terhilang tak tahu arah.
Mungkin semacam itulah yang juga ada di pikiran sang pemazmur. Umat Tuhan juga merupakan umat yang bisa menjadi sasaran kejahatan lawan-lawannya (di ayat 5, disinggung tentang kehadiran lawan). Umat Tuhan juga bisa mudah "terluka" dan "sakit" dalam menapaki perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan dan kesulitan hidup yang ada. Umat Tuhan juga bisa "terhilang" dan "terpisah" dari persekutuan umat beriman karena beban hidup yang harus dihadapinya. Umat Tuhan pun juga bisa kehilangan orientasi diri, tak tahu bagaimana harus menjalani hidup yang berkenan di hadapan Tuhan.
"Tak kan kekurangan aku". Pertama-tama bukan dimaksudkan untuk membahas hidup kita akan menjadi serba berkecukupan atau berlebihan di dalam Tuhan, melainkan untuk menyatakan keyakinan kita yang total akan pemeliharaan Tuhan. Tuhan adalah gembalaku, masih kurangkah hidupku, masihkah perlu ilah lain? Tidak! Tidak ada yang kurang dalam hidup kita, ketika Tuhan adalah gembala kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Tak Gentar Berpegang dan Menyuarakan Kebenaran (Markus 6: 14-29)
"Karena Yohanes pernah menegor Herodes: "Tidak halal engkau mengambil isteri saudaramu!" (Markus 6: 18)
Manusia pada umumnya berpihak pada kebenaran. Jonathan Haidt, seorang profesor psikologi, bahkan berpandangan manusia terlahirkan untuk kebenaran (born to be righteous). Di sisi positifnya, manusia akan menata hidupnya selaras dengan kebenaran-kebenaran yang diyakininya, entah kebenaran moral atau agama. Demi kebenaran, apapun risikonya akan dihadapi. Manusia bisa tak gentar berpegang dan menyuarakan kebenarannya. Di sisi negatifnya, jikalau salah penataan, menjadikan manusia berwatak moralistik, yakni gemar memberikan penghakiman dan penilaian negatif bagi orang-orang yang tidak hidup sesuai dengan kebenaran yang mereka anut.
Yohanes Pembaptis merupakan sosok yang tak gentar berpegang dan menyuarakan kebenaran. Tidak tanggung-tanggung, ia mencela tindakan Herodes Antipas yang menurutnya telah melanggar kebenaran hukum-hukum Tuhan tentang kekudusan pernikahan (bandingkan Imamat 18:16; 20:21). Herodes telah mengambil Herodias (yang masih terikat perkawinan dengan Filipus-saudaranya, satu ayah beda ibu) menjadi istrinya, setelah ia terlebih dulu menceraikan istrinya, putri Raja Nabatea Aretas IV. "Tidak halal engkau mengambil istri saudaramu", ujar Yohanes Pembaptis.
Dengan menyuarakan kebenaran itu, pastilah Yohanes Pembaptis menyadari risiko yang akan dihadapinya. Namun ia tak gentar terhadap risiko yang diterimanya, bahkan juga ketika kritiknya itu berujung masuknya ke penjara di Makhareus. Di Makhareus inilah, Yohanes menemui ajalnya setelah Herodias meminta kepalanya sebagai hadiah bagi anak perempuannya. Peristiwa ini juga dicatat oleh Flavius Josephus, seorang sejarahwan Yahudi waktu itu, dalam salah satu bukunya, dengan menuliskan: Herodes membunuh Yohanes, seorang baik yang telah mengajarkan orang-orang Yahudi menjadi orang berhikmat, berpegang kebenaran dan setia pada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Manusia pada umumnya berpihak pada kebenaran. Jonathan Haidt, seorang profesor psikologi, bahkan berpandangan manusia terlahirkan untuk kebenaran (born to be righteous). Di sisi positifnya, manusia akan menata hidupnya selaras dengan kebenaran-kebenaran yang diyakininya, entah kebenaran moral atau agama. Demi kebenaran, apapun risikonya akan dihadapi. Manusia bisa tak gentar berpegang dan menyuarakan kebenarannya. Di sisi negatifnya, jikalau salah penataan, menjadikan manusia berwatak moralistik, yakni gemar memberikan penghakiman dan penilaian negatif bagi orang-orang yang tidak hidup sesuai dengan kebenaran yang mereka anut.
Yohanes Pembaptis merupakan sosok yang tak gentar berpegang dan menyuarakan kebenaran. Tidak tanggung-tanggung, ia mencela tindakan Herodes Antipas yang menurutnya telah melanggar kebenaran hukum-hukum Tuhan tentang kekudusan pernikahan (bandingkan Imamat 18:16; 20:21). Herodes telah mengambil Herodias (yang masih terikat perkawinan dengan Filipus-saudaranya, satu ayah beda ibu) menjadi istrinya, setelah ia terlebih dulu menceraikan istrinya, putri Raja Nabatea Aretas IV. "Tidak halal engkau mengambil istri saudaramu", ujar Yohanes Pembaptis.
Dengan menyuarakan kebenaran itu, pastilah Yohanes Pembaptis menyadari risiko yang akan dihadapinya. Namun ia tak gentar terhadap risiko yang diterimanya, bahkan juga ketika kritiknya itu berujung masuknya ke penjara di Makhareus. Di Makhareus inilah, Yohanes menemui ajalnya setelah Herodias meminta kepalanya sebagai hadiah bagi anak perempuannya. Peristiwa ini juga dicatat oleh Flavius Josephus, seorang sejarahwan Yahudi waktu itu, dalam salah satu bukunya, dengan menuliskan: Herodes membunuh Yohanes, seorang baik yang telah mengajarkan orang-orang Yahudi menjadi orang berhikmat, berpegang kebenaran dan setia pada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Tetap Tegar, Walau Ditolak (Markus 6: 1-6a)
"Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus,...?" (Markus 6: 3)
Pada umumnya, kita kecewa apabila mengalami penolakan. Lamaran pekerjaan yang ditolak, permohonan kenaikan gaji, pengajuan pinjaman dana talangan untuk buka usaha, juga upaya seorang pemuda yang menyatakan cintanya kepada seseorang yang dikasihinya. Respons tentu bisa beragam. Ada yang patah hati, patah semangat, stress, depresi, benci, dendam, atau yang menanggapinya secara biasa-biasa saja. Yang menanggapi dengan biasa saja, penolakan dianggap sebagai "bumbu" kehidupan tanpa harus menjadikan patah arang dalam menjalani kehidupan.
Yesus ditolak di Nazaret! Ada perubahan emosi yang dialami orang-orang yang ada di Nazaret tersebut ketika berjumpa dengan Yesus. Dari rasa takjub (ayat 2), menjadi rasa kecewa dan penolakan (ayat 3). Mereka takjub dengan hikmat yang dimiliki Yesus dan mukjizat yang dilakukan-Nya. Namun dengan cepat mereka juga kecewa dan menolak Dia setelah menyadari identitas Yesus sebenarnya.
Bukankah Ia ini tukang kayu... bukankah Ia ini anak Maria... bukankah saudara-saudarinya ada bersama kita...? Bukankah Ia ini...? Tampaknya masih ada banyak alasan lain yang bisa dikemukakan orang-orang Nazaret tersebut untuk menolak Yesus. Tampaknya orang-orang Nazaret itu berharap sosok yang mendatangi mereka di Nazaret itu bukan Yesus, yang di mata mereka tak ubahnya tetap manusia biasa dan lemah seperti mereka. Tampaknya mereka berharap sosok yang lebih agung, kuat, dan mungkin juga perkasa yang datang ke kampung halaman mereka tersebut. Ada semacam bias selektif, yang memilah-milah mana seseorang yang dianggap layak dan tidak layak dalam mengajar atau memimpin mereka, dan mereka tidak melihat itu dalam diri Yesus.
Walau ditolak, Yesus tetap tegar. Yesus tidak membenci mereka. Ia hanya heran atas sikap mereka tersebut. Seperti Yesus, mari kita belajar tetap tegar, dalam menghadapi penolakan! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pada umumnya, kita kecewa apabila mengalami penolakan. Lamaran pekerjaan yang ditolak, permohonan kenaikan gaji, pengajuan pinjaman dana talangan untuk buka usaha, juga upaya seorang pemuda yang menyatakan cintanya kepada seseorang yang dikasihinya. Respons tentu bisa beragam. Ada yang patah hati, patah semangat, stress, depresi, benci, dendam, atau yang menanggapinya secara biasa-biasa saja. Yang menanggapi dengan biasa saja, penolakan dianggap sebagai "bumbu" kehidupan tanpa harus menjadikan patah arang dalam menjalani kehidupan.
Yesus ditolak di Nazaret! Ada perubahan emosi yang dialami orang-orang yang ada di Nazaret tersebut ketika berjumpa dengan Yesus. Dari rasa takjub (ayat 2), menjadi rasa kecewa dan penolakan (ayat 3). Mereka takjub dengan hikmat yang dimiliki Yesus dan mukjizat yang dilakukan-Nya. Namun dengan cepat mereka juga kecewa dan menolak Dia setelah menyadari identitas Yesus sebenarnya.
Bukankah Ia ini tukang kayu... bukankah Ia ini anak Maria... bukankah saudara-saudarinya ada bersama kita...? Bukankah Ia ini...? Tampaknya masih ada banyak alasan lain yang bisa dikemukakan orang-orang Nazaret tersebut untuk menolak Yesus. Tampaknya orang-orang Nazaret itu berharap sosok yang mendatangi mereka di Nazaret itu bukan Yesus, yang di mata mereka tak ubahnya tetap manusia biasa dan lemah seperti mereka. Tampaknya mereka berharap sosok yang lebih agung, kuat, dan mungkin juga perkasa yang datang ke kampung halaman mereka tersebut. Ada semacam bias selektif, yang memilah-milah mana seseorang yang dianggap layak dan tidak layak dalam mengajar atau memimpin mereka, dan mereka tidak melihat itu dalam diri Yesus.
Walau ditolak, Yesus tetap tegar. Yesus tidak membenci mereka. Ia hanya heran atas sikap mereka tersebut. Seperti Yesus, mari kita belajar tetap tegar, dalam menghadapi penolakan! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kaya dalam Pelayanan Kasih (2 Korintus 8: 7-15)
"Maka sekarang, sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu, ...demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini." (2 Korintus 8: 7)
Menurut Anda, lebih besar mana kebahagiaan yang dirasakan anak-anak, pada saat mereka menerima pemberian atau pada saat mereka memberi? Barangkali dengan cepat kita akan menjawab: Tentu pada saat anak menerima pemberian dari orang lain. Akan tetapi jawaban semacam ini ternyata tidak selalu tepat. Seorang pakar psikologi, Profesor Elizabeth Dunn, pernah mengadakan riset dan percobaan mengenai hal ini. Hasilnya? Kebahagiaan terbesar yang dirasakan anak justru pada saat mereka bisa memberi kepada orang lain. Pada dasarnya, kebahagiaan yang muncul saat memberi pada orang lain itu merupakan bagian yang melekat pada hakikat manusia. Tidak hanya bagi anak-anak, bahkan bagi semua orang.
Jemaat Kristen Makedonia dalam segala hal kalah jikalau dibandingkan dengan jemaat Kristen Korintus. Baik dilihat dari sisi jumlah jemaat, sumber daya manusianya maupun kekayaan finansialnya. Namun demikian Rasul Paulus masih melihat dari sisi perhatian kepada jemaat Kristen yang miskin di Yerusalem, perhatian jemaat Makedonia lebih besar dibanding jemaat Korintus. Dalam kekurangan dan keterbatasan finansial, jemaat Makedonia tetap rela membantu jemaat Kristen Yerusalem yang lebih "sekeng" secara finansial dari dirinya. Kata Rasul Paulus, "Meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan". (ayat 2).
Rasul Paulus menasihati jemaat Korintus agar memberikan perhatian yang lebih besar bagi jemaat miskin Yerusalem. Ungkapan yang dipakai "kaya dalam pelayanan kasih", menunjukkan bantuan keuangan yang harus ditingkatkan untuk jemaat Yerusalem. Seakan-akan Paulus hendak mengatakan: "Masak kamu nggak malu sama Jemaat Makedonia, walau miskin, tetapi memberikan bantuan uang yang lebih baik dari kamu"
Uang yang telah kita terima sebagai berkat dari Tuhan, biarlah juga bisa menjadi persembahan yang hidup bagi pembangunan jemaat Tuhan dalam kehidupan ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Menurut Anda, lebih besar mana kebahagiaan yang dirasakan anak-anak, pada saat mereka menerima pemberian atau pada saat mereka memberi? Barangkali dengan cepat kita akan menjawab: Tentu pada saat anak menerima pemberian dari orang lain. Akan tetapi jawaban semacam ini ternyata tidak selalu tepat. Seorang pakar psikologi, Profesor Elizabeth Dunn, pernah mengadakan riset dan percobaan mengenai hal ini. Hasilnya? Kebahagiaan terbesar yang dirasakan anak justru pada saat mereka bisa memberi kepada orang lain. Pada dasarnya, kebahagiaan yang muncul saat memberi pada orang lain itu merupakan bagian yang melekat pada hakikat manusia. Tidak hanya bagi anak-anak, bahkan bagi semua orang.
Jemaat Kristen Makedonia dalam segala hal kalah jikalau dibandingkan dengan jemaat Kristen Korintus. Baik dilihat dari sisi jumlah jemaat, sumber daya manusianya maupun kekayaan finansialnya. Namun demikian Rasul Paulus masih melihat dari sisi perhatian kepada jemaat Kristen yang miskin di Yerusalem, perhatian jemaat Makedonia lebih besar dibanding jemaat Korintus. Dalam kekurangan dan keterbatasan finansial, jemaat Makedonia tetap rela membantu jemaat Kristen Yerusalem yang lebih "sekeng" secara finansial dari dirinya. Kata Rasul Paulus, "Meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan". (ayat 2).
Rasul Paulus menasihati jemaat Korintus agar memberikan perhatian yang lebih besar bagi jemaat miskin Yerusalem. Ungkapan yang dipakai "kaya dalam pelayanan kasih", menunjukkan bantuan keuangan yang harus ditingkatkan untuk jemaat Yerusalem. Seakan-akan Paulus hendak mengatakan: "Masak kamu nggak malu sama Jemaat Makedonia, walau miskin, tetapi memberikan bantuan uang yang lebih baik dari kamu"
Uang yang telah kita terima sebagai berkat dari Tuhan, biarlah juga bisa menjadi persembahan yang hidup bagi pembangunan jemaat Tuhan dalam kehidupan ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Jangan Pernah Ragu Terhadap Pertolongan TUHAN (Mazmur 107: 23-32)
"Maka berseru-serulah mereka kepada TUHAN dalam kesesakan mereka, dan dikeluarkan-Nya mereka dari kecemasan mereka." (Mazmur 107: 28)
Bolehkah kita merasa ragu terhadap pertolongan Tuhan? Bukankah adakalanya kita juga merasakan Tuhan tidak menolong kita? Ketika kita berdoa memohon kesembuhan dari keluarga kita yang sakit, kenyataan yang kita hadapi justru sebaliknya, mereka meninggal dunia. Tentu saja pertanyaan semacam ini bisa muncul menjadi pertanyaan kita. Saya yakin, Tuhan juga tidak akan marah dengan pertanyaan semacam ini.
Namun demikian, menurut saya ada pertanyaan lain yang lebih penting untuk kita jawab terlebih dulu. Mengapa kita harus merasa ragu terhadap pertolongan Tuhan? Apakah karena doa kita tidak terjawab sesuai dengan yang kita minta, kita kemudian menjadi ragu terhadap pertolongan Tuhan dalam hidup kita?
Sang pemazmur tidak meragukan pertolongan Tuhan. Bahkan mazmur 107 ini diawali dengan seruan untuk mengucap syukur karena kebaikan Tuhan yang tiada henti-hentinya diterima umat. "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya" (ayat 1). Pertolongan Tuhan tentu saja tidak identik dengan hidup umat yang bebas dari segala penderitaan, sakit, dan krisis hidup. Justru sebaliknya, kita keliru jika pertolongan Tuhan disamakan dengan hidup kita yang harus bebas dari segala penderitaan yang ada. Adakah manusia di dunia ini yang bisa sepenuhnya bebas dari penderitaan? Tentu tidak ada.
Pertolongan Tuhan bisa diterima umat kapan saja. Juga di saat hidup sudah berada di "ambang batas" kematian. Kiasan sang pemazmur yang menggambarkan kapal dan penumpangnya yang "turun ke samudera raya" (ayat 26) menggambarkan keberadaan manusia di "ambang batas", yang mendapatkan pertolongan dari Tuhan.
Jangan pernah ragu terhadap pertolongan Tuhan! Barangkali memang tidak setiap yang kita doakan terkabul, namun tidak berarti Tuhan telah berhenti menolong kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Bolehkah kita merasa ragu terhadap pertolongan Tuhan? Bukankah adakalanya kita juga merasakan Tuhan tidak menolong kita? Ketika kita berdoa memohon kesembuhan dari keluarga kita yang sakit, kenyataan yang kita hadapi justru sebaliknya, mereka meninggal dunia. Tentu saja pertanyaan semacam ini bisa muncul menjadi pertanyaan kita. Saya yakin, Tuhan juga tidak akan marah dengan pertanyaan semacam ini.
Namun demikian, menurut saya ada pertanyaan lain yang lebih penting untuk kita jawab terlebih dulu. Mengapa kita harus merasa ragu terhadap pertolongan Tuhan? Apakah karena doa kita tidak terjawab sesuai dengan yang kita minta, kita kemudian menjadi ragu terhadap pertolongan Tuhan dalam hidup kita?
Sang pemazmur tidak meragukan pertolongan Tuhan. Bahkan mazmur 107 ini diawali dengan seruan untuk mengucap syukur karena kebaikan Tuhan yang tiada henti-hentinya diterima umat. "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya" (ayat 1). Pertolongan Tuhan tentu saja tidak identik dengan hidup umat yang bebas dari segala penderitaan, sakit, dan krisis hidup. Justru sebaliknya, kita keliru jika pertolongan Tuhan disamakan dengan hidup kita yang harus bebas dari segala penderitaan yang ada. Adakah manusia di dunia ini yang bisa sepenuhnya bebas dari penderitaan? Tentu tidak ada.
Pertolongan Tuhan bisa diterima umat kapan saja. Juga di saat hidup sudah berada di "ambang batas" kematian. Kiasan sang pemazmur yang menggambarkan kapal dan penumpangnya yang "turun ke samudera raya" (ayat 26) menggambarkan keberadaan manusia di "ambang batas", yang mendapatkan pertolongan dari Tuhan.
Jangan pernah ragu terhadap pertolongan Tuhan! Barangkali memang tidak setiap yang kita doakan terkabul, namun tidak berarti Tuhan telah berhenti menolong kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Tidak Lagi Hidup Untuk Diri Sendiri, Tetapi Untuk KRISTUS (2 Korintus 5: 11-15)
"...dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia,..." (2 Korintus 5: 15)
Ingatlah para martir! Kalau kita bisa bertanya pada mereka apa artinya hidup untuk Kristus, mereka akan menjawab: "Setia hingga akhir hayat", "Setia pada Kristus walau mengalami penderitaan dan penganiayaan", "Mengasihi semua orang, seperti Kristus juga mengasihi semua orang". Intinya, kehidupan para martir tidak tertuju untuk diri sendiri melainkan tertuju pada Kristus. Bagi para martir ini sebenarnya juga tersedia kesempatan untuk mengkhianati iman mereka. Pada zaman Romawi, mereka cukup menyatakan dan menyembah Kaisar sebagai Tuhan, dan mereka akan lolos dari hukuman. Namun demikian, mereka tidak mau melakukan, karena bagi mereka hidup adalah bagi Kristus.
Apa yang dilakukan para martir ini, tidak terpisahkan dari apa yang telah dilakukan Yesus dalam karya penyelamatan-Nya bagi umat manusia. Rasul Paulus menuliskan: "Dan Kristus telah mati untuk semua orang..." (ayat 15). Inilah wujud solidaritas Kristus pada penderitaan dan dosa umat manusia. Kematian Kristus menebus manusia dari "kutuk" hukum Taurat. Dosa-dosa manusia ditebus dengan jalan Kristus menjadi senasib dalam kematian manusia, supaya manusia dapat mengambil bagian dalam kebangkitan-Nya sebagai manusia baru dalam Kristus. Dalam bahasa teologis, inilah yang disebut sebagai "prinsip solidaritas". Bahkan bagi Rasul Paulus inilah berita yang paling pokok: keselamatan manusia melalui solidaritas Yesus kepada manusia berdosa, khususnya melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Tentu saja "prinsip solidaritas" ini sebuah karunia, juga sekaligus undangan. Undangan bagi kita untuk tidak lagi hidup bagi diri sendiri, melainkan bagi Kristus.
Jadi, ketika Anda merasa menjadi orang Kristen kok banyak tantangan dan hambatan, apa bisa kuat hidup untuk Kristus? Ingatlah para martir, ingatlah solidaritas Yesus dalam kematian dan kebangkitan-Nya untuk keselamatan manusia. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ingatlah para martir! Kalau kita bisa bertanya pada mereka apa artinya hidup untuk Kristus, mereka akan menjawab: "Setia hingga akhir hayat", "Setia pada Kristus walau mengalami penderitaan dan penganiayaan", "Mengasihi semua orang, seperti Kristus juga mengasihi semua orang". Intinya, kehidupan para martir tidak tertuju untuk diri sendiri melainkan tertuju pada Kristus. Bagi para martir ini sebenarnya juga tersedia kesempatan untuk mengkhianati iman mereka. Pada zaman Romawi, mereka cukup menyatakan dan menyembah Kaisar sebagai Tuhan, dan mereka akan lolos dari hukuman. Namun demikian, mereka tidak mau melakukan, karena bagi mereka hidup adalah bagi Kristus.
Apa yang dilakukan para martir ini, tidak terpisahkan dari apa yang telah dilakukan Yesus dalam karya penyelamatan-Nya bagi umat manusia. Rasul Paulus menuliskan: "Dan Kristus telah mati untuk semua orang..." (ayat 15). Inilah wujud solidaritas Kristus pada penderitaan dan dosa umat manusia. Kematian Kristus menebus manusia dari "kutuk" hukum Taurat. Dosa-dosa manusia ditebus dengan jalan Kristus menjadi senasib dalam kematian manusia, supaya manusia dapat mengambil bagian dalam kebangkitan-Nya sebagai manusia baru dalam Kristus. Dalam bahasa teologis, inilah yang disebut sebagai "prinsip solidaritas". Bahkan bagi Rasul Paulus inilah berita yang paling pokok: keselamatan manusia melalui solidaritas Yesus kepada manusia berdosa, khususnya melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Tentu saja "prinsip solidaritas" ini sebuah karunia, juga sekaligus undangan. Undangan bagi kita untuk tidak lagi hidup bagi diri sendiri, melainkan bagi Kristus.
Jadi, ketika Anda merasa menjadi orang Kristen kok banyak tantangan dan hambatan, apa bisa kuat hidup untuk Kristus? Ingatlah para martir, ingatlah solidaritas Yesus dalam kematian dan kebangkitan-Nya untuk keselamatan manusia. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Jangan Kalah Terhadap Godaan Hidup (Kejadian 3: 8-19)
Firman-Nya: "… Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?" (Kejadian 3: 11)
Manusia itu makhluk hidup yang mudah digoda atau dibujuk. Karakter semacam inilah yang membuat bidang manajemen pemasaran dengan yakin mengembangkan beragam teknik bujuk rayu/penggoda, misalnya, melalui iklan. Andrea Gardner, seorang pakar di bidang ini, bahkan meyakini tidak ada seseorang yang bisa kebal terhadap iklan. Bujuk rayu/godaan semakin canggih, yang diwujudkan melalui iklan yang bisa menyentuh kedalaman hasrat seseorang.
Salah satu model yang dipakai dalam manajemen pemasaran adalah model bujuk rayu AIDA. Attention (A), menarik perhatian. Interest (I), menciptakan minat. Desire (D), menyentuh hasrat terdalam. Action (A), dorongan untuk mengambil tindakan. Ketika sebuah iklan atau bujuk rayu/godaan memenuhi model AIDA ini, tingkat keberhasilan pun semakin tinggi.
Apa yang terjadi pada Adam dan Hawa? Mereka telah kalah terhadap godaan hidup. Ular, sang penggoda dengan cerdiknya menciptakan perhatian (Attention): "Tentulah Allah berfirman, semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan? (ayat 1). Setelah itu ular menumbuhkan minat (Interest): "Sekali-kali kamu tidak akan mati..." (ayat 4). Kemudian ular menyentuh hasrat (Desire) yang terdalam dalam diri Adam dan Hawa: "...kamu akan menjadi seperti Allah." (ayat 5). A-I-D, yang dipaparkan ular membuat Hawa dan Adam tergoda untuk bertindak (Action) memakan buah terlarang itu. Peristiwa Adam dan Hawa terjatuh dalam godaan tersebut, rupanya tidak segera membuat mereka menyadari kesalahan mereka.
Mereka bahkan saling menyalahkan satu dengan yang lain. Adam menyalahkan Hawa, Hawa menyalahkan ular. Jangan kalah terhadap godaan hidup! Kenalilah cara-cara godaan itu bekerja! Hati-hatilah dengan titik lemah kita! Ketika godaan-godaan hidup yang bisa membuat kita melanggar kebenaran dan kehendak Tuhan telah menyentuh hasrat kita yang terdalam, segera jauhi godaan itu. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Manusia itu makhluk hidup yang mudah digoda atau dibujuk. Karakter semacam inilah yang membuat bidang manajemen pemasaran dengan yakin mengembangkan beragam teknik bujuk rayu/penggoda, misalnya, melalui iklan. Andrea Gardner, seorang pakar di bidang ini, bahkan meyakini tidak ada seseorang yang bisa kebal terhadap iklan. Bujuk rayu/godaan semakin canggih, yang diwujudkan melalui iklan yang bisa menyentuh kedalaman hasrat seseorang.
Salah satu model yang dipakai dalam manajemen pemasaran adalah model bujuk rayu AIDA. Attention (A), menarik perhatian. Interest (I), menciptakan minat. Desire (D), menyentuh hasrat terdalam. Action (A), dorongan untuk mengambil tindakan. Ketika sebuah iklan atau bujuk rayu/godaan memenuhi model AIDA ini, tingkat keberhasilan pun semakin tinggi.
Apa yang terjadi pada Adam dan Hawa? Mereka telah kalah terhadap godaan hidup. Ular, sang penggoda dengan cerdiknya menciptakan perhatian (Attention): "Tentulah Allah berfirman, semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan? (ayat 1). Setelah itu ular menumbuhkan minat (Interest): "Sekali-kali kamu tidak akan mati..." (ayat 4). Kemudian ular menyentuh hasrat (Desire) yang terdalam dalam diri Adam dan Hawa: "...kamu akan menjadi seperti Allah." (ayat 5). A-I-D, yang dipaparkan ular membuat Hawa dan Adam tergoda untuk bertindak (Action) memakan buah terlarang itu. Peristiwa Adam dan Hawa terjatuh dalam godaan tersebut, rupanya tidak segera membuat mereka menyadari kesalahan mereka.
Mereka bahkan saling menyalahkan satu dengan yang lain. Adam menyalahkan Hawa, Hawa menyalahkan ular. Jangan kalah terhadap godaan hidup! Kenalilah cara-cara godaan itu bekerja! Hati-hatilah dengan titik lemah kita! Ketika godaan-godaan hidup yang bisa membuat kita melanggar kebenaran dan kehendak Tuhan telah menyentuh hasrat kita yang terdalam, segera jauhi godaan itu. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Bukan Sekadar Taat Pada Aturan Agama (Markus 2: 23-3: 6)
"Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat" (Markus 2: 17)
Seorang pendeta dan teolog bernama John Shelby Spong, menulis sebuah buku berjudul: Rescuing the Bible from Fundamentalism. Menyelamatkan Alkitab Dari Fundamentalisme. Mengapa Alkitab harus diselamatkan dari kaum fundamentalis? Kaum fundamentalis biasanya hanya membaca dan memahami alkitab secara literal/harfiah. Apa yang tertulis dalam Alkitab dipahami secara harfiah, apa adanya seperti yang tertulis di ayat-ayat Alkitab tersebut. Jadi jika di dalam Alkitab tertulis: dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah... (lih. Mark. 9: 43), maka tanpa ragu-ragu kaum fundamentalis akan menjatuhkan hukuman potong tangan bagi pencuri.
Apakah ada yang keliru dengan pemahaman yang harfiah/literal, ketika membaca Alkitab? Tidak sepenuhnya keliru, karena di dalam Alkitab ada teks-teks Alkitab yang memang bisa dipahami secara harfiah, apa adanya. Namun pemahaman harfiah, bukan satu-satunya cara membaca Alkitab. Masih ada pemahaman historis, spiritual, dan metaforis. Persoalannya adalah ada banyak teks Alkitab yang tidak boleh dipahami secara harfiah. Kalau dipahami secara harfiah, yang terjadi seringkali penyalahgunaan Alkitab untuk kepentingan pribadi. Dari sejarah gereja kita mengetahui, pemahaman harfiah/literal ini dipakai untuk mendukung perbudakan, diskriminasi rasial, ketidakadilan gender, dan bahkan membenarkan perang atas nama agama.
Sejak awal, orang-orang Farisi ini memang ingin menerapkan "pasal" hukum Taurat secara harfiah pada Yesus dan murid-murid-Nya. Ketika mereka melihat murid-murid Yesus memetik gandum pada hari Sabat dan Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, mereka bereaksi keras, menuduh mereka menista hari Sabat. Yesus bukan seorang yang anti aturan agama Yahudi atau hukum Sabat, namun Yesus memahami ketaatan yang buta terhadap aturan/hukum Sabat justru bertentangan dengan kehendak Allah. Aturan dan hukum agama semestinya dipakai untuk menopang keselamatan manusia, bukan mencelakan manusia. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Seorang pendeta dan teolog bernama John Shelby Spong, menulis sebuah buku berjudul: Rescuing the Bible from Fundamentalism. Menyelamatkan Alkitab Dari Fundamentalisme. Mengapa Alkitab harus diselamatkan dari kaum fundamentalis? Kaum fundamentalis biasanya hanya membaca dan memahami alkitab secara literal/harfiah. Apa yang tertulis dalam Alkitab dipahami secara harfiah, apa adanya seperti yang tertulis di ayat-ayat Alkitab tersebut. Jadi jika di dalam Alkitab tertulis: dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah... (lih. Mark. 9: 43), maka tanpa ragu-ragu kaum fundamentalis akan menjatuhkan hukuman potong tangan bagi pencuri.
Apakah ada yang keliru dengan pemahaman yang harfiah/literal, ketika membaca Alkitab? Tidak sepenuhnya keliru, karena di dalam Alkitab ada teks-teks Alkitab yang memang bisa dipahami secara harfiah, apa adanya. Namun pemahaman harfiah, bukan satu-satunya cara membaca Alkitab. Masih ada pemahaman historis, spiritual, dan metaforis. Persoalannya adalah ada banyak teks Alkitab yang tidak boleh dipahami secara harfiah. Kalau dipahami secara harfiah, yang terjadi seringkali penyalahgunaan Alkitab untuk kepentingan pribadi. Dari sejarah gereja kita mengetahui, pemahaman harfiah/literal ini dipakai untuk mendukung perbudakan, diskriminasi rasial, ketidakadilan gender, dan bahkan membenarkan perang atas nama agama.
Sejak awal, orang-orang Farisi ini memang ingin menerapkan "pasal" hukum Taurat secara harfiah pada Yesus dan murid-murid-Nya. Ketika mereka melihat murid-murid Yesus memetik gandum pada hari Sabat dan Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, mereka bereaksi keras, menuduh mereka menista hari Sabat. Yesus bukan seorang yang anti aturan agama Yahudi atau hukum Sabat, namun Yesus memahami ketaatan yang buta terhadap aturan/hukum Sabat justru bertentangan dengan kehendak Allah. Aturan dan hukum agama semestinya dipakai untuk menopang keselamatan manusia, bukan mencelakan manusia. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Roh Kudus Menuntun Kita: Hidup Oleh Roh, Bukan Daging (Roma 8: 12-17)
"Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh..., kamu akan hidup" (Roma 8: 13)
Pernahkah Anda mendengar kata-kata semacam ini? Kecil bahagia, muda foya-foya, tua kaya raya, mati maunya masuk surga. Wah... kalau bisa terkabul enak sekali ya... Namun demikian, hidup yang semacam ini bukanlah hidup yang bermakna. Hidup hanya menjadi siklus biologis semata, karena yang dipikirkan hanya bagaimana diri sendiri menikmati hidup, bukan bagaimana diri ini bisa bermakna bagi yang lain.
Rasul Paulus menyebut hidup yang tak bermakna, hidup hanya demi kepentingan diri sendiri semacam ini dengan sebutan "hidup menurut daging". Kehidupan semacam ini adalah jenis kehidupan yang mengabaikan kehendak dan panggilan Allah dalam kehidupan, yang dipikirkan hanyalah bagaimana mewujudkan kepentingan dirinya sendiri selama ada di dunia ini. Hidup menurut daging akan membawa kepada kematian, tidak hanya sekadar kematian fisik, tetapi juga kematian iman, karena mereka yang hidup menurut daging dikuasai oleh dosa.
Ada jenis kehidupan lain. Kehidupan yang bermakna. Kehidupan yang disebut oleh Rasul Paulus sebagai "hidup menurut Roh". Kehidupan ini adalah kehidupan yang mewujudkan kehendak dan panggilan Tuhan. Kehidupan yang juga mewujudkan damai sejahtera Allah. Yang utama bukan lagi bertanya berapa lama lagi aku hidup di dunia ini, namun bertanya berapa lama pun hidupku di dunia ini, bagaimana caranya ya agar aku bisa menjadikan hidupku ini bermakna, bagi Tuhan dan sesama. Bagi Rasul Paulus, mereka yamg "hidup menurut Roh" adalah mereka yang tidak lagi hidup dalam penghukuman Allah. Mereka adalah milik Kristus, mereka adalah anak-anak-Nya, mereka adalah ahli waris-Nya.
Jadi, mari kita buat "Grand Design" hidup kita masing-masing. Kita buat rencana besar dalam hidup kita masing-masing bahwa hidupku haruslah menjadi hidup yang bermakna. Jangan biarkan hidup kita berlalu, entah sampai kapan hidup kita di dunia ini, tanpa menghasilkan makna. Ingat, kita bukan sekadar manusia biologis, kita manusia bermakna. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pernahkah Anda mendengar kata-kata semacam ini? Kecil bahagia, muda foya-foya, tua kaya raya, mati maunya masuk surga. Wah... kalau bisa terkabul enak sekali ya... Namun demikian, hidup yang semacam ini bukanlah hidup yang bermakna. Hidup hanya menjadi siklus biologis semata, karena yang dipikirkan hanya bagaimana diri sendiri menikmati hidup, bukan bagaimana diri ini bisa bermakna bagi yang lain.
Rasul Paulus menyebut hidup yang tak bermakna, hidup hanya demi kepentingan diri sendiri semacam ini dengan sebutan "hidup menurut daging". Kehidupan semacam ini adalah jenis kehidupan yang mengabaikan kehendak dan panggilan Allah dalam kehidupan, yang dipikirkan hanyalah bagaimana mewujudkan kepentingan dirinya sendiri selama ada di dunia ini. Hidup menurut daging akan membawa kepada kematian, tidak hanya sekadar kematian fisik, tetapi juga kematian iman, karena mereka yang hidup menurut daging dikuasai oleh dosa.
Ada jenis kehidupan lain. Kehidupan yang bermakna. Kehidupan yang disebut oleh Rasul Paulus sebagai "hidup menurut Roh". Kehidupan ini adalah kehidupan yang mewujudkan kehendak dan panggilan Tuhan. Kehidupan yang juga mewujudkan damai sejahtera Allah. Yang utama bukan lagi bertanya berapa lama lagi aku hidup di dunia ini, namun bertanya berapa lama pun hidupku di dunia ini, bagaimana caranya ya agar aku bisa menjadikan hidupku ini bermakna, bagi Tuhan dan sesama. Bagi Rasul Paulus, mereka yamg "hidup menurut Roh" adalah mereka yang tidak lagi hidup dalam penghukuman Allah. Mereka adalah milik Kristus, mereka adalah anak-anak-Nya, mereka adalah ahli waris-Nya.
Jadi, mari kita buat "Grand Design" hidup kita masing-masing. Kita buat rencana besar dalam hidup kita masing-masing bahwa hidupku haruslah menjadi hidup yang bermakna. Jangan biarkan hidup kita berlalu, entah sampai kapan hidup kita di dunia ini, tanpa menghasilkan makna. Ingat, kita bukan sekadar manusia biologis, kita manusia bermakna. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Roh Kudus Menuntun Kita: Menyatakan Kebenaran ALLAH (Kisah Para Rasul 2: 1-21)
" tetapi itulah yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi Yoel:..." (Kisah Para Rasul 2: 16)
Ada beberapa sikap yang bisa muncul tentang kebenaran. Mereka yang menerima kebenaran, dan mereka yang menolak kebenaran. Mereka yang mau menyatakan kebenaran, dan mereka yang menghindar dari kebenaran. Mereka yang setia hidup dalam kebenaran, dan mereka yang dengah mudah mengingkari kebenaran.
Rupanya tidak mudah bagi orang-orang Yahudi diaspora yang saat itu berkumpul di hari Pentakosta Yahudi, untuk menerima kebenaran Allah dinyatakan. Peristiwa yang terjadi di hari Pentakosta itu, ditanggapi dengan sikap yang beragam. Ketika murid-murid Yesus menerima kepenuhan Roh Kudus dan berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, beberapa di antara yang hadir menuduh mereka sedang mabuk anggur.
Tentu saja murid-murid Yesus tidak sedang mabuk anggur. Rasul Petrus memberikan penjelasannya kepada mereka. Kebenaran Allah sedang dinyatakan. Kebenaran Allah yang sebelumnya telah dinubuatkan melalui nabi Yoel, "bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia". Siapa saja yang akan menerima pencurahan Roh Kudus tersebut? Perhatikan baik-baik, orang-orang yang disebutkan Rasul Petrus:anak laki-laki, anak-anak perempuan;kaum muda, kaum tua;hamba laki-laki, hamba perempuan. Hamba di sini pada zaman itu berarti budak.
Jadi, laki-perempuan, tua-muda, tuan-hamba, semuanya menerima pencurahan Roh Kudus. Ini tentu sebuah pernyataan kebenaran revolusioner pada zaman itu. Ketika pada saat itu kaum perempuan, anak-anak, dan budak dianggap kelompok tak berharga, Roh Kudus justru tercurahkan juga bagi mereka.
Terimalah, nyatakanlah, dan setialah terhadap kebenaran Allah ini: melalui Roh Kudus, Sang Bapa telah memberikan karunia dan kasih-Nya pada semua orang, termasuk bagi semua orang yang selama ini dikucilkan atau dipandang rendah oleh masyarakat. Jadi, jangan pernah sekalipun Anda merasa tidak layak disertai oleh Roh Kudus. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ada beberapa sikap yang bisa muncul tentang kebenaran. Mereka yang menerima kebenaran, dan mereka yang menolak kebenaran. Mereka yang mau menyatakan kebenaran, dan mereka yang menghindar dari kebenaran. Mereka yang setia hidup dalam kebenaran, dan mereka yang dengah mudah mengingkari kebenaran.
Rupanya tidak mudah bagi orang-orang Yahudi diaspora yang saat itu berkumpul di hari Pentakosta Yahudi, untuk menerima kebenaran Allah dinyatakan. Peristiwa yang terjadi di hari Pentakosta itu, ditanggapi dengan sikap yang beragam. Ketika murid-murid Yesus menerima kepenuhan Roh Kudus dan berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, beberapa di antara yang hadir menuduh mereka sedang mabuk anggur.
Tentu saja murid-murid Yesus tidak sedang mabuk anggur. Rasul Petrus memberikan penjelasannya kepada mereka. Kebenaran Allah sedang dinyatakan. Kebenaran Allah yang sebelumnya telah dinubuatkan melalui nabi Yoel, "bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia". Siapa saja yang akan menerima pencurahan Roh Kudus tersebut? Perhatikan baik-baik, orang-orang yang disebutkan Rasul Petrus:anak laki-laki, anak-anak perempuan;kaum muda, kaum tua;hamba laki-laki, hamba perempuan. Hamba di sini pada zaman itu berarti budak.
Jadi, laki-perempuan, tua-muda, tuan-hamba, semuanya menerima pencurahan Roh Kudus. Ini tentu sebuah pernyataan kebenaran revolusioner pada zaman itu. Ketika pada saat itu kaum perempuan, anak-anak, dan budak dianggap kelompok tak berharga, Roh Kudus justru tercurahkan juga bagi mereka.
Terimalah, nyatakanlah, dan setialah terhadap kebenaran Allah ini: melalui Roh Kudus, Sang Bapa telah memberikan karunia dan kasih-Nya pada semua orang, termasuk bagi semua orang yang selama ini dikucilkan atau dipandang rendah oleh masyarakat. Jadi, jangan pernah sekalipun Anda merasa tidak layak disertai oleh Roh Kudus. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Roh Kudus Tidak Salah Memilih Kamu (Kisah Para Rasul 10: 34-48)
"Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?" (Kisah Para Rasul 10: 47)
Dalam hidup ini, seseorang bisa saja memiliki dua perasaan semacam ini. (1)Salah memilih,(2)Salah dipilih. Ketika membeli sesuatu kita bisa merasa telah salah memilih, karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan kita. Sebaliknya, ketika kita dipilih untuk suatu tugas tertentu dan tidak bisa menyelesaikannya, kita merasa salah dipilih, mestinya bukan kita yang dipilih. Syukurlah, dalam percakapan pastoral sebelum pernikahan, pasangan yang saya tanya selalu menjawab: tidak salah pilih. Ya coba bayangkan, kalau belum menikah saja mereka sudah merasa salah pilih, bagaimana hidup pernikahan mereka selanjutnya?
Apakah Roh Kudus bisa salah memilih orang? Pertanyaan semacam ini mungkin muncul juga dalam diri Rasul Petrus maupun orang-orang Kristen dari Yope yang menemaninya menemui Kornelius di Kaisarea. Kornelius bukan orang Yahudi, sekalipun ia simpatisan orang Yahudi dan praktik agama Yahudi, ia dalam pandangan umum sosio-religius Yahudi waktu itu merupakan orang yang tidak tahir, cemar, dan bahkan najis. Mengapa orang semacam ini yang harus ditemui Rasul Petrus?
Kalau kita melihat keberadaan Kornelius memang mengagumkan. Sekalipun ia bukan orang Yahudi, dan bahkan sebagai perwira pasukan Romawi bila perlu bisa membunuh orang-orang Yahudi yang melawan Romawi, ia menunjukkan hospitalitasnya (keramahtamahan, hormat, dan kebaikan) terhadap orang-orang Yahudi. Ia bahkan banyak memberikan persembahan/sedekah bagi orang-orang Yahudi.
Penglihatan yang diterima Kornelius dan juga karunia yang diberikan Roh Kudus padanya, semakin jelas menunjukkan dirinya dipilih Allah untuk menjadi umat-Nya. Tanpa diketahui oleh Petrus dan orang-orang Kristen Yahudi waktu itu, Roh Kudus telah berkarya bagi orang-orang bangsa lain untuk membawa mereka pada Kristus. Jadi, pada dasarnya, tidak ada orang yang tidak pantas dipilih oleh Roh Kudus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Dalam hidup ini, seseorang bisa saja memiliki dua perasaan semacam ini. (1)Salah memilih,(2)Salah dipilih. Ketika membeli sesuatu kita bisa merasa telah salah memilih, karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan kita. Sebaliknya, ketika kita dipilih untuk suatu tugas tertentu dan tidak bisa menyelesaikannya, kita merasa salah dipilih, mestinya bukan kita yang dipilih. Syukurlah, dalam percakapan pastoral sebelum pernikahan, pasangan yang saya tanya selalu menjawab: tidak salah pilih. Ya coba bayangkan, kalau belum menikah saja mereka sudah merasa salah pilih, bagaimana hidup pernikahan mereka selanjutnya?
Apakah Roh Kudus bisa salah memilih orang? Pertanyaan semacam ini mungkin muncul juga dalam diri Rasul Petrus maupun orang-orang Kristen dari Yope yang menemaninya menemui Kornelius di Kaisarea. Kornelius bukan orang Yahudi, sekalipun ia simpatisan orang Yahudi dan praktik agama Yahudi, ia dalam pandangan umum sosio-religius Yahudi waktu itu merupakan orang yang tidak tahir, cemar, dan bahkan najis. Mengapa orang semacam ini yang harus ditemui Rasul Petrus?
Kalau kita melihat keberadaan Kornelius memang mengagumkan. Sekalipun ia bukan orang Yahudi, dan bahkan sebagai perwira pasukan Romawi bila perlu bisa membunuh orang-orang Yahudi yang melawan Romawi, ia menunjukkan hospitalitasnya (keramahtamahan, hormat, dan kebaikan) terhadap orang-orang Yahudi. Ia bahkan banyak memberikan persembahan/sedekah bagi orang-orang Yahudi.
Penglihatan yang diterima Kornelius dan juga karunia yang diberikan Roh Kudus padanya, semakin jelas menunjukkan dirinya dipilih Allah untuk menjadi umat-Nya. Tanpa diketahui oleh Petrus dan orang-orang Kristen Yahudi waktu itu, Roh Kudus telah berkarya bagi orang-orang bangsa lain untuk membawa mereka pada Kristus. Jadi, pada dasarnya, tidak ada orang yang tidak pantas dipilih oleh Roh Kudus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Roh Kudus Tidak Salah Memilih Kamu (Kisah Para Rasul 10: 34-48)
"Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?" (Kisah Para Rasul 10: 47)
Dalam hidup ini, seseorang bisa saja memiliki dua perasaan semacam ini. (1)Salah memilih,(2)Salah dipilih. Ketika membeli sesuatu kita bisa merasa telah salah memilih, karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan kita. Sebaliknya, ketika kita dipilih untuk suatu tugas tertentu dan tidak bisa menyelesaikannya, kita merasa salah dipilih, mestinya bukan kita yang dipilih. Syukurlah, dalam percakapan pastoral sebelum pernikahan, pasangan yang saya tanya selalu menjawab: tidak salah pilih. Ya coba bayangkan, kalau belum menikah saja mereka sudah merasa salah pilih, bagaimana hidup pernikahan mereka selanjutnya?
Apakah Roh Kudus bisa salah memilih orang? Pertanyaan semacam ini mungkin muncul juga dalam diri Rasul Petrus maupun orang-orang Kristen dari Yope yang menemaninya menemui Kornelius di Kaisarea. Kornelius bukan orang Yahudi, sekalipun ia simpatisan orang Yahudi dan praktik agama Yahudi, ia dalam pandangan umum sosio-religius Yahudi waktu itu merupakan orang yang tidak tahir, cemar, dan bahkan najis. Mengapa orang semacam ini yang harus ditemui Rasul Petrus?
Kalau kita melihat keberadaan Kornelius memang mengagumkan. Sekalipun ia bukan orang Yahudi, dan bahkan sebagai perwira pasukan Romawi bila perlu bisa membunuh orang-orang Yahudi yang melawan Romawi, ia menunjukkan hospitalitasnya (keramahtamahan, hormat, dan kebaikan) terhadap orang-orang Yahudi. Ia bahkan banyak memberikan persembahan/sedekah bagi orang-orang Yahudi.
Penglihatan yang diterima Kornelius dan juga karunia yang diberikan Roh Kudus padanya, semakin jelas menunjukkan dirinya dipilih Allah untuk menjadi umat-Nya. Tanpa diketahui oleh Petrus dan orang-orang Kristen Yahudi waktu itu, Roh Kudus telah berkarya bagi orang-orang bangsa lain untuk membawa mereka pada Kristus. Jadi, pada dasarnya, tidak ada orang yang tidak pantas dipilih oleh Roh Kudus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Dalam hidup ini, seseorang bisa saja memiliki dua perasaan semacam ini. (1)Salah memilih,(2)Salah dipilih. Ketika membeli sesuatu kita bisa merasa telah salah memilih, karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan kita. Sebaliknya, ketika kita dipilih untuk suatu tugas tertentu dan tidak bisa menyelesaikannya, kita merasa salah dipilih, mestinya bukan kita yang dipilih. Syukurlah, dalam percakapan pastoral sebelum pernikahan, pasangan yang saya tanya selalu menjawab: tidak salah pilih. Ya coba bayangkan, kalau belum menikah saja mereka sudah merasa salah pilih, bagaimana hidup pernikahan mereka selanjutnya?
Apakah Roh Kudus bisa salah memilih orang? Pertanyaan semacam ini mungkin muncul juga dalam diri Rasul Petrus maupun orang-orang Kristen dari Yope yang menemaninya menemui Kornelius di Kaisarea. Kornelius bukan orang Yahudi, sekalipun ia simpatisan orang Yahudi dan praktik agama Yahudi, ia dalam pandangan umum sosio-religius Yahudi waktu itu merupakan orang yang tidak tahir, cemar, dan bahkan najis. Mengapa orang semacam ini yang harus ditemui Rasul Petrus?
Kalau kita melihat keberadaan Kornelius memang mengagumkan. Sekalipun ia bukan orang Yahudi, dan bahkan sebagai perwira pasukan Romawi bila perlu bisa membunuh orang-orang Yahudi yang melawan Romawi, ia menunjukkan hospitalitasnya (keramahtamahan, hormat, dan kebaikan) terhadap orang-orang Yahudi. Ia bahkan banyak memberikan persembahan/sedekah bagi orang-orang Yahudi.
Penglihatan yang diterima Kornelius dan juga karunia yang diberikan Roh Kudus padanya, semakin jelas menunjukkan dirinya dipilih Allah untuk menjadi umat-Nya. Tanpa diketahui oleh Petrus dan orang-orang Kristen Yahudi waktu itu, Roh Kudus telah berkarya bagi orang-orang bangsa lain untuk membawa mereka pada Kristus. Jadi, pada dasarnya, tidak ada orang yang tidak pantas dipilih oleh Roh Kudus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kebangkitan-Nya Bagi Semua Bangsa (Kisah Para Rasul 8: 26-40)
"Adalah seorang Etiopia, seorang sida-sida, ...yang pergi ke Yerusalem untuk beribadah" (Kisah Para Rasul 8: 27)
Jika Anda ditanya, "Apakah karya penyelamatan Allah hanya diperuntukkan terbatas bagi bangsa tertentu?" Saya yakin, Anda dengan cepat akan menjawab, "Tidak!" Kita atau anak-anak kita, juga sudah terbiasa menyanyikan lagu sekolah minggu dengan lirik semacam ini: Yesus cinta sgala bangsa... Bangsa-bangsa di dunia... Hitam, putih, dan kuning... semua dicinta Tuhan... Yesus cinta sgala bangsa di dunia.
Namun demikian, konteks zaman Filipus dulu tampaknya agak berbeda. Bagi agama Yahudi pada waktu itu, orang-orang yang bersimpati terhadap Yahudi, tidak serta merta bisa diterima menjadi pemeluk agama Yahudi. Para simpatisan ini biasa disebut sebagai seseorang yang "takut akan Allah". Tentu para simpatisan ini tetap dihargai oleh orang-orang Yahudi, namun para simpatisan ini tidak akan menjalani proses inisiasi/masuk menjadi pemeluk agama Yahudi sepenuhnya.
Pengalaman semacam ini, rupanya dialami juga oleh seorang sida-sida dari Etiopia. Orang ini memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap agama Yahudi. Bahkan ia jauh-jauh menyempatkan diri pergi dari tempat tinggalnya menuju Yerusalem, barangkali untuk menghadiri pesta keagamaan Yahudi di Bait Allah. Namun demikian, di Bait Allah, ia pasti hanya bisa memasuki pelataran yang memang dikhususkan bagi para simpatisan.
Sepulangnya dari Yerusalem inilah, sida-sida ini berjumpa dengan Filipus. Perjumpaan dengan Filipus mengubah hidupnya. Ia dibaptis dalam nama Yesus oleh Filipus. Yesus yang mati dan bangkit diberitakan Filipus sebagai penggenapan kitab nabi Yesaya yang dibacanya. Jadi, kebangkitan Yesus telah menjadi warta keselamatan yang diperuntukkan bagi semua bangsa. Sida-sida, seseorang yang telah dikebiri (salah satu hambatan juga untuk diterima sepenuhnya menjadi pemeluk agama Yahudi) dan orang bukan Yahudi, diterima sepenuhnya menjadi pengikut Kristus. Jadi, pada dasarnya, tidak ada orang yang tidak pantas menjadi milik Kristus! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Jika Anda ditanya, "Apakah karya penyelamatan Allah hanya diperuntukkan terbatas bagi bangsa tertentu?" Saya yakin, Anda dengan cepat akan menjawab, "Tidak!" Kita atau anak-anak kita, juga sudah terbiasa menyanyikan lagu sekolah minggu dengan lirik semacam ini: Yesus cinta sgala bangsa... Bangsa-bangsa di dunia... Hitam, putih, dan kuning... semua dicinta Tuhan... Yesus cinta sgala bangsa di dunia.
Namun demikian, konteks zaman Filipus dulu tampaknya agak berbeda. Bagi agama Yahudi pada waktu itu, orang-orang yang bersimpati terhadap Yahudi, tidak serta merta bisa diterima menjadi pemeluk agama Yahudi. Para simpatisan ini biasa disebut sebagai seseorang yang "takut akan Allah". Tentu para simpatisan ini tetap dihargai oleh orang-orang Yahudi, namun para simpatisan ini tidak akan menjalani proses inisiasi/masuk menjadi pemeluk agama Yahudi sepenuhnya.
Pengalaman semacam ini, rupanya dialami juga oleh seorang sida-sida dari Etiopia. Orang ini memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap agama Yahudi. Bahkan ia jauh-jauh menyempatkan diri pergi dari tempat tinggalnya menuju Yerusalem, barangkali untuk menghadiri pesta keagamaan Yahudi di Bait Allah. Namun demikian, di Bait Allah, ia pasti hanya bisa memasuki pelataran yang memang dikhususkan bagi para simpatisan.
Sepulangnya dari Yerusalem inilah, sida-sida ini berjumpa dengan Filipus. Perjumpaan dengan Filipus mengubah hidupnya. Ia dibaptis dalam nama Yesus oleh Filipus. Yesus yang mati dan bangkit diberitakan Filipus sebagai penggenapan kitab nabi Yesaya yang dibacanya. Jadi, kebangkitan Yesus telah menjadi warta keselamatan yang diperuntukkan bagi semua bangsa. Sida-sida, seseorang yang telah dikebiri (salah satu hambatan juga untuk diterima sepenuhnya menjadi pemeluk agama Yahudi) dan orang bukan Yahudi, diterima sepenuhnya menjadi pengikut Kristus. Jadi, pada dasarnya, tidak ada orang yang tidak pantas menjadi milik Kristus! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kebangkitan KRISTUS Mendorong Tindakan Kasih pada Sesama (I Yohanes 3: 11-18)
"Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita" (I Yohanes 3: 16)
Bayangkan cerita imaginer ini. Di pagi hari, Anda sudah sampai gereja siap untuk beribadah, dengan berpakaian bersih dan rapi. Tadi malam hujan deras, sungai dekat gereja meluap dan bahkan mengalir deras. Tiba-tiba terdengar dan terlihat anak kecil yang tidak Anda kenal minta tolong, terbawa derasnya arus sungai mengalir. Anda sendiri adalah seorang yang jago berenang. Apa yang akan Anda lalukan? Saya yakin, Anda akan segera terjun ke sungai itu untuk menyelamatkan anak itu. Anda mau melakukan perbuatan ini, betapapun Anda tidak mengenal anak itu.
Perilaku kasih semacam ini disebut sebagai perilaku altruis. Studi sains akhir-akhir ini memang menunjukkan bahwa anggapan manusia sebagai makhluk egois dalam sejarah evolusinya, telah ditinggalkan banyak pakar. Pandangan sains terbaru lebih mendukung pandangan bahwa perilaku manusia, seperti altruis merupakan hakikat manusia yang built-in dalam otak manusia, yang telah memampukan manusia bertahan hidup dalam perjalanan evolusionernya. Seorang profesor ahli sosiobiologi, Edward O. Wilson, menyebutkan perilaku altruis sebagai wujud the social conquest of earth, penaklukan secara sosial manusia (bukan individual), terhadap kehidupan di planet bumi ini
Puncak perilaku altruis ini ditunjukkan oleh Yesus. Seperti yang dituliskan dalam surat Yohanes ini: Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita. Tanpa altruisme Yesus, keselamatan tidak dimungkinkan.
Orang-orang yang percaya dan mengikuti Yesus dipanggil untuk juga mewujudkan terus-menerus perilaku altruis ini dalam imannya kepada Yesus. Seorang Kristen yang altruis merupakan seorang Kristen yang rela memberi diri dalam totalitas pelayanan kepada sesama, tanpa membeda-bedakan suku dan agama. Kebangkitan-Nya telah menunjukkan kekuatan cinta kasih yang mengatasi budaya permusuhan dan kebencian. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Bayangkan cerita imaginer ini. Di pagi hari, Anda sudah sampai gereja siap untuk beribadah, dengan berpakaian bersih dan rapi. Tadi malam hujan deras, sungai dekat gereja meluap dan bahkan mengalir deras. Tiba-tiba terdengar dan terlihat anak kecil yang tidak Anda kenal minta tolong, terbawa derasnya arus sungai mengalir. Anda sendiri adalah seorang yang jago berenang. Apa yang akan Anda lalukan? Saya yakin, Anda akan segera terjun ke sungai itu untuk menyelamatkan anak itu. Anda mau melakukan perbuatan ini, betapapun Anda tidak mengenal anak itu.
Perilaku kasih semacam ini disebut sebagai perilaku altruis. Studi sains akhir-akhir ini memang menunjukkan bahwa anggapan manusia sebagai makhluk egois dalam sejarah evolusinya, telah ditinggalkan banyak pakar. Pandangan sains terbaru lebih mendukung pandangan bahwa perilaku manusia, seperti altruis merupakan hakikat manusia yang built-in dalam otak manusia, yang telah memampukan manusia bertahan hidup dalam perjalanan evolusionernya. Seorang profesor ahli sosiobiologi, Edward O. Wilson, menyebutkan perilaku altruis sebagai wujud the social conquest of earth, penaklukan secara sosial manusia (bukan individual), terhadap kehidupan di planet bumi ini
Puncak perilaku altruis ini ditunjukkan oleh Yesus. Seperti yang dituliskan dalam surat Yohanes ini: Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita. Tanpa altruisme Yesus, keselamatan tidak dimungkinkan.
Orang-orang yang percaya dan mengikuti Yesus dipanggil untuk juga mewujudkan terus-menerus perilaku altruis ini dalam imannya kepada Yesus. Seorang Kristen yang altruis merupakan seorang Kristen yang rela memberi diri dalam totalitas pelayanan kepada sesama, tanpa membeda-bedakan suku dan agama. Kebangkitan-Nya telah menunjukkan kekuatan cinta kasih yang mengatasi budaya permusuhan dan kebencian. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kebangkitan KRISTUS Membangkitkan Kesadaran dan Pertobatan (Kisah Para Rasul 3: 11-20)
"Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan" (Kisah Para Rasul 3: 19)
Seorang remaja mendapat surat tilang dari polisi karena melanggar rambu-rambu lalu lintas. Agar terhindar dari tilang, remaja ini berdalih bahwa dirinya tidak mengetahui adanya rambu-rambu itu. Apakah remaja itu akan bebas dari tilang? Tentu saja tidak, alasan ketidaktahuannya tidak akan membebaskannya dari tilang.
Dalam kotbah di Serambi Salomo tersebut, Rasul Petrus mewartakan kemesiasan Yesus. Yesus, Yang Kudus dan Benar, telah ditolak oleh orang-orang Israel. Bahkan tidak hanya sekadar ditolak, tetapi juga dibunuh (disalibkan). Orang-orang Israel ini barangkali berpikir telah berhasil melenyapkan Yesus. Namun demikian, Yesus yang mati adalah Yesus yang dibangkitkan. Kematian dan kebangkitan Yesus justru menjadi jalan Allah menggenapi apa yang telah difirmankan-Nya dahulu dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, yaitu Mesias yang diutus-Nya harus menderita.
Rasul Petrus mengatakan perbuatan orang-orang Israel ini terjadi atas dasar ketidaktahuan mereka. Kata "ketidaktahuan" dalam bahasa Yunani, diambil dari kata "agnoeo". Kata ini memang bisa memiliki makna tidak memiliki pengetahuan, namun juga bisa memiliki makna berbeda, yakni memiliki pengetahuan, tapi mengabaikannya. Jadi sebenarnya tahu, tetapi diabaikan.
Namun demikian, "ketidaktahuan" mereka tidak otomatis membebaskan mereka dari tanggung jawab. Rasul Petrus berseru kepada mereka, "Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan". Yesus yang bangkit mengundang mereka untuk kembali kepada-Nya, menyadari dan mengakui dosa serta bertobat hidup seturut dengan kehendak-Nya.
Jadi, kalau dalam hidup ini kita jatuh dalam dosa, tidak usah membuah dalih dan pembelaan karena kita tidak mengetahui yang kita lakukan itu perbuatan dosa. Lebih baik menyadari, mengakui, dan menyatakan pertobatan kepada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Seorang remaja mendapat surat tilang dari polisi karena melanggar rambu-rambu lalu lintas. Agar terhindar dari tilang, remaja ini berdalih bahwa dirinya tidak mengetahui adanya rambu-rambu itu. Apakah remaja itu akan bebas dari tilang? Tentu saja tidak, alasan ketidaktahuannya tidak akan membebaskannya dari tilang.
Dalam kotbah di Serambi Salomo tersebut, Rasul Petrus mewartakan kemesiasan Yesus. Yesus, Yang Kudus dan Benar, telah ditolak oleh orang-orang Israel. Bahkan tidak hanya sekadar ditolak, tetapi juga dibunuh (disalibkan). Orang-orang Israel ini barangkali berpikir telah berhasil melenyapkan Yesus. Namun demikian, Yesus yang mati adalah Yesus yang dibangkitkan. Kematian dan kebangkitan Yesus justru menjadi jalan Allah menggenapi apa yang telah difirmankan-Nya dahulu dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, yaitu Mesias yang diutus-Nya harus menderita.
Rasul Petrus mengatakan perbuatan orang-orang Israel ini terjadi atas dasar ketidaktahuan mereka. Kata "ketidaktahuan" dalam bahasa Yunani, diambil dari kata "agnoeo". Kata ini memang bisa memiliki makna tidak memiliki pengetahuan, namun juga bisa memiliki makna berbeda, yakni memiliki pengetahuan, tapi mengabaikannya. Jadi sebenarnya tahu, tetapi diabaikan.
Namun demikian, "ketidaktahuan" mereka tidak otomatis membebaskan mereka dari tanggung jawab. Rasul Petrus berseru kepada mereka, "Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan". Yesus yang bangkit mengundang mereka untuk kembali kepada-Nya, menyadari dan mengakui dosa serta bertobat hidup seturut dengan kehendak-Nya.
Jadi, kalau dalam hidup ini kita jatuh dalam dosa, tidak usah membuah dalih dan pembelaan karena kita tidak mengetahui yang kita lakukan itu perbuatan dosa. Lebih baik menyadari, mengakui, dan menyatakan pertobatan kepada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pengharapan Damai Sejahtera Melalui Kebangkitan-NYA (Yohanes 20: 19-29)
"Maka kata Yesus sekali lagi: "Damai sejahtera bagi kamu!" (Yohanes 20: 21)
Kerapkali agama dituduh sebagai sumber kekerasan dan ketidakdamaian hidup. Bisa jadi tuduhan itu benar, kalau yang dilihat adalah wajah agama yang ditunjukkan oleh kelompok-kelompok militan keagamaan yang memang gemar melakukan kekerasan atas nama agama yang dianutnya. Namun tuduhan itu jelas tidak benar, karena agama-agama secara inheren menjunjung dan mencintai perdamaian.
Salam damai, menjadi salam yang menegaskan watak agama pembawa damai ini. Ketika Yesus yang bangkit menampakkan diri, Ia berucap, "Damai sejahtera bagi kamu!" Salam Yesus ini memang membawa makna yang lebih dalam saat itu. Suasana yang dialami murid-murid pada waktu itu memang bukan suasana damai sejahtera. Mereka dalam suasana ketakutan kepada orang-orang Yahudi, setelah menyaksikan sikap mereka terhadap Yesus yang akhirnya mati disalibkan.
Perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit, mengubah ketakutan mereka menjadi sukacita. Kebangkitan Yesus membawa pengharapan damai sejahtera bagi mereka dan memampukan mereka untuk tetap memegang keberadaan iman mereka sebagai iman yang memancarkan damai sejahtera bagi sesama, bukan kebencian dan permusuhan bagi sesama. Pengutusan yang diberikan Yesus kepada mereka adalah pengutusan "damai sejahtera", bukan pengutusan untuk membalas persekusi dan kekerasan iman yang mereka alami dengan kekerasan dan kebencian yang sama. Tidak kebetulan Yesus bersabda, "Jika kamu mengampuni dosa orang, dosamu diampuni..." (ayat 23). Ini sebuah pengutusan untuk tetap mewartakan pengampunan, cinta kasih, dan damai sejahtera, meskipun telah menjadi korban kebencianatas nama agama.
Jadi, jika ada sekelompok orang yang menyebarkan ujaran kebencian dan permusuhan atas nama agama kepada kita, jangan kita membalas dengan respons yang sama, tetapi tetap tunjukkan kita tetap menghayati iman yang mewujudkan damai sejahtera-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kerapkali agama dituduh sebagai sumber kekerasan dan ketidakdamaian hidup. Bisa jadi tuduhan itu benar, kalau yang dilihat adalah wajah agama yang ditunjukkan oleh kelompok-kelompok militan keagamaan yang memang gemar melakukan kekerasan atas nama agama yang dianutnya. Namun tuduhan itu jelas tidak benar, karena agama-agama secara inheren menjunjung dan mencintai perdamaian.
Salam damai, menjadi salam yang menegaskan watak agama pembawa damai ini. Ketika Yesus yang bangkit menampakkan diri, Ia berucap, "Damai sejahtera bagi kamu!" Salam Yesus ini memang membawa makna yang lebih dalam saat itu. Suasana yang dialami murid-murid pada waktu itu memang bukan suasana damai sejahtera. Mereka dalam suasana ketakutan kepada orang-orang Yahudi, setelah menyaksikan sikap mereka terhadap Yesus yang akhirnya mati disalibkan.
Perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit, mengubah ketakutan mereka menjadi sukacita. Kebangkitan Yesus membawa pengharapan damai sejahtera bagi mereka dan memampukan mereka untuk tetap memegang keberadaan iman mereka sebagai iman yang memancarkan damai sejahtera bagi sesama, bukan kebencian dan permusuhan bagi sesama. Pengutusan yang diberikan Yesus kepada mereka adalah pengutusan "damai sejahtera", bukan pengutusan untuk membalas persekusi dan kekerasan iman yang mereka alami dengan kekerasan dan kebencian yang sama. Tidak kebetulan Yesus bersabda, "Jika kamu mengampuni dosa orang, dosamu diampuni..." (ayat 23). Ini sebuah pengutusan untuk tetap mewartakan pengampunan, cinta kasih, dan damai sejahtera, meskipun telah menjadi korban kebencianatas nama agama.
Jadi, jika ada sekelompok orang yang menyebarkan ujaran kebencian dan permusuhan atas nama agama kepada kita, jangan kita membalas dengan respons yang sama, tetapi tetap tunjukkan kita tetap menghayati iman yang mewujudkan damai sejahtera-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kebangkitan KRISTUS Membawa Pengharapan Menuju Perubahan Hidup (Yohanes 20: 1-10)
"Maka masuklah juga murid yang lain, yang lebih dahulu sampai di kubur itu dan ia melihatnya dan percaya. " (Yohanes 20: 8)
Apa yang akan terjadi bagi masa depan umat manusia di dunia ini? Perubahan hidup yang baik, ataukah perubahan hidup yang semakin buruk? Banyak orang melihat masa depan umat manusia dalam nada negatif, kehancuran dan kemusnahan. Banyak negara akan bubar, umat manusia semakin menderita sengsara. Namun demikian, banyak orang yang melihat masa depan manusia dalam nada positif, penuh pengharapan, tidak hanya kaum beragama melainkan juga para saintis.
Apa yang terjadi di hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap? Maria Magdalena, Simon Petrus, dan "murid lain yang dikasihi Yesus", mendapati kubur Yesus yang telah kosong. Maria Magdalena mengambil kesimpulan (yang keliru) ketika memberitahu kubur yang kosong ini kepada Petrus dan "murid yang dikasihi" tersebut: jenazah Yesus telah diambil/dicuri orang lain (ayat 2).
Sebaliknya, Simon Petrus pasti tahu, jenazah Yesus tidak dicuri orang. Darimana ia bisa tahu? Dari kain kapan yang tergeletak di tanah, dan kain peluh yang berada di sudut tempat lainnya dengan kondisi terlipat/tergulung. Kalau mayat dicuri, ya pasti dicuri utuh dengan kain kapan yang menutupinya, masakan dicuri dalam keadaan telanjang, dan kok masih sempat-sempatnya pencuri melipat kain peluhnya. "Murid yang dikasihi" memberikan respons yang lebih jelas. Ketika ia melihat kondisi kubur itu, ia percaya. Percaya apa? Percaya bahwa masa depan yang penuh harapan dalam Yesus masih ada. Percaya bahwa perubahan hidup yang baik dimungkinkan melalui iman terhadap Yesus.
Inilah model iman yang penting, dengan sikap positif dan penuh pengharapan, tetap memercayai Allah yang empunya dan pemelihara masa depan kita, betapapun kita tidak tahu dengan pasti masa depan kita. Dengan iman semacam ini, kebangkitan Yesus sungguh akan memampukan kita membawa perubahan hidup yang lebih baik di masa depan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Apa yang akan terjadi bagi masa depan umat manusia di dunia ini? Perubahan hidup yang baik, ataukah perubahan hidup yang semakin buruk? Banyak orang melihat masa depan umat manusia dalam nada negatif, kehancuran dan kemusnahan. Banyak negara akan bubar, umat manusia semakin menderita sengsara. Namun demikian, banyak orang yang melihat masa depan manusia dalam nada positif, penuh pengharapan, tidak hanya kaum beragama melainkan juga para saintis.
Apa yang terjadi di hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap? Maria Magdalena, Simon Petrus, dan "murid lain yang dikasihi Yesus", mendapati kubur Yesus yang telah kosong. Maria Magdalena mengambil kesimpulan (yang keliru) ketika memberitahu kubur yang kosong ini kepada Petrus dan "murid yang dikasihi" tersebut: jenazah Yesus telah diambil/dicuri orang lain (ayat 2).
Sebaliknya, Simon Petrus pasti tahu, jenazah Yesus tidak dicuri orang. Darimana ia bisa tahu? Dari kain kapan yang tergeletak di tanah, dan kain peluh yang berada di sudut tempat lainnya dengan kondisi terlipat/tergulung. Kalau mayat dicuri, ya pasti dicuri utuh dengan kain kapan yang menutupinya, masakan dicuri dalam keadaan telanjang, dan kok masih sempat-sempatnya pencuri melipat kain peluhnya. "Murid yang dikasihi" memberikan respons yang lebih jelas. Ketika ia melihat kondisi kubur itu, ia percaya. Percaya apa? Percaya bahwa masa depan yang penuh harapan dalam Yesus masih ada. Percaya bahwa perubahan hidup yang baik dimungkinkan melalui iman terhadap Yesus.
Inilah model iman yang penting, dengan sikap positif dan penuh pengharapan, tetap memercayai Allah yang empunya dan pemelihara masa depan kita, betapapun kita tidak tahu dengan pasti masa depan kita. Dengan iman semacam ini, kebangkitan Yesus sungguh akan memampukan kita membawa perubahan hidup yang lebih baik di masa depan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Nama TUHAN Ada Dalam Hidupmu
“… menyongsong Dia sambil berseru-seru: "Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!” (Yohanes 12: 13)
Victor Frankl seorang Yahudi yang menjadi tahanan di kamp konsentrasi NAZI, memperhatikan dua respons yang berbeda dari para tahanan yang menderita di tempat tersebut. Mereka yang telah kehilangan makna hidup karena penderitaannya tersebut. Mereka hanya memperhatikan kepentingan sendiri dan tidak segan-segan melakukan pemerasan dan kekerasan terhadap sesama tahanan. Namun demikian, tetap ada mereka yang tidak mau kehilangan makna hidup sebagai manusia. Penderitaan yang mereka alami tidak menghalangi mereka menolong sesama tahanan dan berbagi jatah makanan yang sudah minim.
Umat Israel yang waktu itu sedang berada di bawah penjajahan Romawi tentu saja juga hidup dalam penderitaan. Ada aturan-aturan yang harus mereka patuhi dan ada pajak-pajak yang harus mereka bayarkan. Beban hidup semakin berat dirasakan oleh umat pada umumnya. Di tengah-tengah situasi semacam inilah seseorang bisa kehilangan makna hidup sebagai manusia. Mereka bisa jatuh menjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi sesamanya).
Ketika Yesus masuk ke kota Yerusalem, disambut oleh orang banyak dengan seruan hosana dan lambaian daun palem. Apa yang mendorong orang banyak melakukan itu? Orang banyak itu ingin lepas dari penderitaan hidup mereka, tanpa harus kehilangan makna hidup mereka sebagai manusia. Yesus yang masuk ke Yerusalem dengan menaiki keledai dan bukan kuda (lihat Zakharia 9:9-10), telah meneguhkan harapan mereka akan hadirnya Raja Damai yang mewujudkan karya penyelamatan-Nya dengan cinta kasih dan bukan jalan kekerasan terhadap sesamanya.
Sebagai orang Kristen, bahkan dalam penderitaan hidup yang kita hadapi, kita tetap bisa menjadikan hidup kita bermakna bagi orang lain. Mengapa? Karena nama Tuhan ada dalam kehidupan kita. Kita membawa kemuliaan nama Tuhan tersebut. Dalam beragam kondisi hidup yang ada, kita tetap dipanggil menjadi homo homini socius (manusia menjadi sahabat bagi sesamanya), bukan homo homini lupus. Amin.
Victor Frankl seorang Yahudi yang menjadi tahanan di kamp konsentrasi NAZI, memperhatikan dua respons yang berbeda dari para tahanan yang menderita di tempat tersebut. Mereka yang telah kehilangan makna hidup karena penderitaannya tersebut. Mereka hanya memperhatikan kepentingan sendiri dan tidak segan-segan melakukan pemerasan dan kekerasan terhadap sesama tahanan. Namun demikian, tetap ada mereka yang tidak mau kehilangan makna hidup sebagai manusia. Penderitaan yang mereka alami tidak menghalangi mereka menolong sesama tahanan dan berbagi jatah makanan yang sudah minim.
Umat Israel yang waktu itu sedang berada di bawah penjajahan Romawi tentu saja juga hidup dalam penderitaan. Ada aturan-aturan yang harus mereka patuhi dan ada pajak-pajak yang harus mereka bayarkan. Beban hidup semakin berat dirasakan oleh umat pada umumnya. Di tengah-tengah situasi semacam inilah seseorang bisa kehilangan makna hidup sebagai manusia. Mereka bisa jatuh menjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi sesamanya).
Ketika Yesus masuk ke kota Yerusalem, disambut oleh orang banyak dengan seruan hosana dan lambaian daun palem. Apa yang mendorong orang banyak melakukan itu? Orang banyak itu ingin lepas dari penderitaan hidup mereka, tanpa harus kehilangan makna hidup mereka sebagai manusia. Yesus yang masuk ke Yerusalem dengan menaiki keledai dan bukan kuda (lihat Zakharia 9:9-10), telah meneguhkan harapan mereka akan hadirnya Raja Damai yang mewujudkan karya penyelamatan-Nya dengan cinta kasih dan bukan jalan kekerasan terhadap sesamanya.
Sebagai orang Kristen, bahkan dalam penderitaan hidup yang kita hadapi, kita tetap bisa menjadikan hidup kita bermakna bagi orang lain. Mengapa? Karena nama Tuhan ada dalam kehidupan kita. Kita membawa kemuliaan nama Tuhan tersebut. Dalam beragam kondisi hidup yang ada, kita tetap dipanggil menjadi homo homini socius (manusia menjadi sahabat bagi sesamanya), bukan homo homini lupus. Amin.
Belajar Taat Seperti YESUS (Ibrani 5: 5-10)
"Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya." (Ibrani 5: 8)
Lebih mudah mana, bersikap taat pada aturan/perintah atau melanggarnya? Mungkin kita akan mengatakan tergantung pada aturan/perintahnya. Kalau aturan/perintahnya baik, lebih mudah menaatinya. Kalau buruk, lebih mudah melanggarnya. Benarkah demikian? Seringkali terjadi, yang menjadi pertimbangan bukan baik/buruk, tetapi sesuai dengan kepentingan pribadinya atau tidak. Kalau aturan baik, tetapi tidak sesuai dengan kepentingan pribadinya, godaan untuk melanggar sangat kuat. Demikian pula sebaliknya, kalau aturan buruk tetapi menguntungkan pribadinya, dengan taat dilakukannya.
Yesus, Sang Anak taat kepada Sang Bapa. Ketaatan Yesus bukan untuk kepentingan pribadi-Nya. Ketaatan Yesus untuk kepentingan umat manusia. Ketaatan Yesus muncul dalam kerendahan hati-Nya, bukan dalam arogansi-Nya. Penulis surat Ibrani menerangkan ketaatan Yesus seperti ini dengan kiasan yang menarik, Yesus sebagai Imam Besar, Imam Agung.
Imam Besar merupakan jabatan paling tinggi dalam struktur agama Yahudi. Seorang Imam Besar tentu saja menerima ketaatan dari umatnya. Ia mendapat kemuliaan dari umatnya dengan ketaatan umat yang ditunjukkan kepadanya. Ia punya hak dan kuasa membawa kurban persembahan umat kepada Tuhan untuk pengampunan dosa umat dan dirinya sendiri. Tentu saja, semakin besar kuasanya, semakin besar pula godaan untuk bersikap arogan.
Yesus, Sang Imam Besar, tidak memuliakan diri sendiri dalam status-Nya sebagai Imam Besar. Yesus bukanlah imam yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan manusia (pasal 4 ayat 15). Yesus bahkan rela menderita dalam ketaatan-Nya kepada kehendak Sang Bapa untuk menyelamatkan manusia. Ketaatan-Nya yang terwujud dalam hidup, pelayanan, dan kematian-Nya menjadikan-Nya sumber keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya (ayat 9). Jadi, mari kita belajar taat seperti Yesus, supaya kita juga bisa menjadi sumber berkat yang abadi bagi sesama kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Lebih mudah mana, bersikap taat pada aturan/perintah atau melanggarnya? Mungkin kita akan mengatakan tergantung pada aturan/perintahnya. Kalau aturan/perintahnya baik, lebih mudah menaatinya. Kalau buruk, lebih mudah melanggarnya. Benarkah demikian? Seringkali terjadi, yang menjadi pertimbangan bukan baik/buruk, tetapi sesuai dengan kepentingan pribadinya atau tidak. Kalau aturan baik, tetapi tidak sesuai dengan kepentingan pribadinya, godaan untuk melanggar sangat kuat. Demikian pula sebaliknya, kalau aturan buruk tetapi menguntungkan pribadinya, dengan taat dilakukannya.
Yesus, Sang Anak taat kepada Sang Bapa. Ketaatan Yesus bukan untuk kepentingan pribadi-Nya. Ketaatan Yesus untuk kepentingan umat manusia. Ketaatan Yesus muncul dalam kerendahan hati-Nya, bukan dalam arogansi-Nya. Penulis surat Ibrani menerangkan ketaatan Yesus seperti ini dengan kiasan yang menarik, Yesus sebagai Imam Besar, Imam Agung.
Imam Besar merupakan jabatan paling tinggi dalam struktur agama Yahudi. Seorang Imam Besar tentu saja menerima ketaatan dari umatnya. Ia mendapat kemuliaan dari umatnya dengan ketaatan umat yang ditunjukkan kepadanya. Ia punya hak dan kuasa membawa kurban persembahan umat kepada Tuhan untuk pengampunan dosa umat dan dirinya sendiri. Tentu saja, semakin besar kuasanya, semakin besar pula godaan untuk bersikap arogan.
Yesus, Sang Imam Besar, tidak memuliakan diri sendiri dalam status-Nya sebagai Imam Besar. Yesus bukanlah imam yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan manusia (pasal 4 ayat 15). Yesus bahkan rela menderita dalam ketaatan-Nya kepada kehendak Sang Bapa untuk menyelamatkan manusia. Ketaatan-Nya yang terwujud dalam hidup, pelayanan, dan kematian-Nya menjadikan-Nya sumber keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya (ayat 9). Jadi, mari kita belajar taat seperti Yesus, supaya kita juga bisa menjadi sumber berkat yang abadi bagi sesama kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Percaya Kepada YESUS (Yohanes 3: 14-21)
"...supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3: 16)
"Yang penting kita percaya kepada Yesus, pasti selamat". Demikian pandangan beberapa orang Kristen yang sering saya dengar. Salahkah memiliki pandangan semacam ini? Tidak salah! Namun demikian pandangan semacam ini memerlukan penjelasan lebih lanjut, apa yang dimaksudkan dengan "percaya".
Dalam percakapan dengan Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi dari mazhab Farisi, Yesus mengungkapkan begitu besarnya kasih Allah akan dunia ini. Betapapun dunia menolak Allah, dalam hal ini manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang Allah, Allah tetap mengasihi dunia ini.
Kasih Allah nyata dalam pengutusan Anak-Nya yang Tunggal ke dalam dunia ini. Inkarnasi dalam diri Yesus, kehidupan dan pelayanan Yesus, serta kelak kematian-Nya di kayu salib mewujudkan kasih Allah yang besar bagi umat manusia di dunia ini. Namun demikian, maksud dan tujuan Allah ini tidak dengan sendirinya tercapai. Manusia diundang Allah untuk menanggapi karya kasih-Nya dengan percaya kepada Anak Tunggal-Nya tersebut, yaitu percaya kepada Yesus.
Apa yang dimaksud dengan "percaya"? Kebanyakan orang memahami kata "percaya" sebagai tindakan memegang dengan teguh seperangkat ajaran, aturan, dan kewajiban dalam agama Kristen. Jadi, percaya pertama-tama menyangkut kemampuan kognitif, atau akal pikiran.
Dalam bahasa Injil Yohanes ini, juga bahasa teologis kekristenan pada umumnya, "percaya" tidak hanya menyangkut masalah kognitif, namun juga tindakan menyerahkan segenap hidup pada Allah dan bersedia dipimpin dalam jalan, kebenaran, dan terang-Nya sehingga dapat mewujudkan kesetiaan pada Allah dalam segenap hidup kita. Itulah sebabnya, Yesus kemudian juga bersabda: "Siapa saja yang berbuat jahat membenci terang... siapa saja yang melakukan yang benar, ia datang kepada terang (ayat 20-21). Karena apa gunanya, seseorang percaya kepada ajaran Yesus, tetapi hidupnya tidak sesuai dengan terang Yesus? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
"Yang penting kita percaya kepada Yesus, pasti selamat". Demikian pandangan beberapa orang Kristen yang sering saya dengar. Salahkah memiliki pandangan semacam ini? Tidak salah! Namun demikian pandangan semacam ini memerlukan penjelasan lebih lanjut, apa yang dimaksudkan dengan "percaya".
Dalam percakapan dengan Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi dari mazhab Farisi, Yesus mengungkapkan begitu besarnya kasih Allah akan dunia ini. Betapapun dunia menolak Allah, dalam hal ini manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang Allah, Allah tetap mengasihi dunia ini.
Kasih Allah nyata dalam pengutusan Anak-Nya yang Tunggal ke dalam dunia ini. Inkarnasi dalam diri Yesus, kehidupan dan pelayanan Yesus, serta kelak kematian-Nya di kayu salib mewujudkan kasih Allah yang besar bagi umat manusia di dunia ini. Namun demikian, maksud dan tujuan Allah ini tidak dengan sendirinya tercapai. Manusia diundang Allah untuk menanggapi karya kasih-Nya dengan percaya kepada Anak Tunggal-Nya tersebut, yaitu percaya kepada Yesus.
Apa yang dimaksud dengan "percaya"? Kebanyakan orang memahami kata "percaya" sebagai tindakan memegang dengan teguh seperangkat ajaran, aturan, dan kewajiban dalam agama Kristen. Jadi, percaya pertama-tama menyangkut kemampuan kognitif, atau akal pikiran.
Dalam bahasa Injil Yohanes ini, juga bahasa teologis kekristenan pada umumnya, "percaya" tidak hanya menyangkut masalah kognitif, namun juga tindakan menyerahkan segenap hidup pada Allah dan bersedia dipimpin dalam jalan, kebenaran, dan terang-Nya sehingga dapat mewujudkan kesetiaan pada Allah dalam segenap hidup kita. Itulah sebabnya, Yesus kemudian juga bersabda: "Siapa saja yang berbuat jahat membenci terang... siapa saja yang melakukan yang benar, ia datang kepada terang (ayat 20-21). Karena apa gunanya, seseorang percaya kepada ajaran Yesus, tetapi hidupnya tidak sesuai dengan terang Yesus? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Cinta Untuk Rumah-MU Menghanguskan Aku! (Yohanes 2: 13-22)
"Maka teringatlah murid-murid-NYA, bahwa ada tertulis: "Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku." (Yohanes 2: 17)
Konflik yang terjadi antara satu pihak dengan pihak lainnya seringkali terjadi bukan karena ketidaktahuan salah satu pihak untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Konflik terjadi justru karena kedua belah pihak memahami dirinya sendiri sebagai satu-satunya pihak yang membawa kebenaran. Kami benar, mereka salah.
Dalam pandangan para pemuka agama Yahudi di Bait Alah Yerusalem, kebenaran satu-satunya untuk menghadap Allah yang kudus di Bait-Nya adalah dengan mempersembahkan korban yang murni, halal, tiada cacat dan noda. Untuk itulah segala binatang dan uang yang dibawa dari luar masuk ke Bait Allah harus dimurnikan. Caranya? Dengan menukarkan dengan binatang dan uang yang telah dimurnikan oleh imam-imam Yahudi di tempat penukaran di pelataran Bait Allah.
Dampak dari praktik ini menyangkut dampak ekonomis dan teologis. Dampak ekonomis adalah ada pihak-pihak yang diuntungkan karena selisih harga dari pertukaran tersebut, baik para pemuka agama yang memberi label halal bagi binatang dan uang tersebut maupun para penjual yang bisa mempermainkan harga pasar seenaknya. Yang paling dirugikan tentu para peziarah ke Bait Allah tersebut. Dampak teologisnya adalah hanya orang-orang tertentu (dalam hal ini yang mampu menyediakan barang dan uang yang halal) yang bisa datang menghadap Tuhan di Bait Allah Yerusalem. Ideologi Bait Allah yang dipelihara para pemuka agama Yahudi tersebut telah menciptakan diskriminasi mengenai siapa orang yang pantas dan tidak pantas menghadap Allah di Bait-Nya.
Yesus hadir di Bait Allah itu dengan menegakkan kebenaran yang berbeda dengan ideologi Bait Allah. Aksi-Nya di Bait Allah menegaskan bahwa siapapun dapat datang menyembah Allah Bapa tanpa merasa takut ditolak oleh Allah, misalnya karena tidak membawa persembahan tertentu. Bait Allah adalah Rumah Bapa. Rumah ini terbuka bagi siapa saja yang mau datang dan mencintai-Nya. Cinta-Yesus pada Rumah Bapa, memungkinkan bagi semua orang untuk bisa datang kepada-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Konflik yang terjadi antara satu pihak dengan pihak lainnya seringkali terjadi bukan karena ketidaktahuan salah satu pihak untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Konflik terjadi justru karena kedua belah pihak memahami dirinya sendiri sebagai satu-satunya pihak yang membawa kebenaran. Kami benar, mereka salah.
Dalam pandangan para pemuka agama Yahudi di Bait Alah Yerusalem, kebenaran satu-satunya untuk menghadap Allah yang kudus di Bait-Nya adalah dengan mempersembahkan korban yang murni, halal, tiada cacat dan noda. Untuk itulah segala binatang dan uang yang dibawa dari luar masuk ke Bait Allah harus dimurnikan. Caranya? Dengan menukarkan dengan binatang dan uang yang telah dimurnikan oleh imam-imam Yahudi di tempat penukaran di pelataran Bait Allah.
Dampak dari praktik ini menyangkut dampak ekonomis dan teologis. Dampak ekonomis adalah ada pihak-pihak yang diuntungkan karena selisih harga dari pertukaran tersebut, baik para pemuka agama yang memberi label halal bagi binatang dan uang tersebut maupun para penjual yang bisa mempermainkan harga pasar seenaknya. Yang paling dirugikan tentu para peziarah ke Bait Allah tersebut. Dampak teologisnya adalah hanya orang-orang tertentu (dalam hal ini yang mampu menyediakan barang dan uang yang halal) yang bisa datang menghadap Tuhan di Bait Allah Yerusalem. Ideologi Bait Allah yang dipelihara para pemuka agama Yahudi tersebut telah menciptakan diskriminasi mengenai siapa orang yang pantas dan tidak pantas menghadap Allah di Bait-Nya.
Yesus hadir di Bait Allah itu dengan menegakkan kebenaran yang berbeda dengan ideologi Bait Allah. Aksi-Nya di Bait Allah menegaskan bahwa siapapun dapat datang menyembah Allah Bapa tanpa merasa takut ditolak oleh Allah, misalnya karena tidak membawa persembahan tertentu. Bait Allah adalah Rumah Bapa. Rumah ini terbuka bagi siapa saja yang mau datang dan mencintai-Nya. Cinta-Yesus pada Rumah Bapa, memungkinkan bagi semua orang untuk bisa datang kepada-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Jangan Malu Karena YESUS! (Markus 8: 31-38)
"Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku..., Anak Manusia pun akan malu karena orang itu..." (Markus 8: 38)
Ketika Anda bertetangga dengan seorang pengusaha sukses dan pengusaha yang gagal dan bangkrut, mana yang membuat Anda lebih terkesan? Ketika Anda mau mendaftarkan anak Anda masuk sekolah baru, mana yang akan menjadi tujuan Anda, sekolah yang favorit atau sekolah yang biasa-biasa saja? Ketika Anda dipindahkan tempat kerja oleh kantor Anda, dan bisa memilih kota besar atau kota terpencil, mana yang akan Anda pilih? Pada umumnya seseorang akan menjawab: pengusaha sukses, sekolah favorit, dan kota besar.
Pada umumnya, seseorang memiliki obsesi terhadap yang besar, megah, sukses, kaya, dan sehat. Sesuatu yang bisa menghalangi obsesi tersebut, biasanya akan dihindari. Jeff Brown, dalam bukunya, The Winner's Brain, bahkan dengan yakin menjelaskan adanya semacam jalinan saraf "otak pemenang" yang inheren dalam diri manusia, yang membuat manusia mengejar dan menggemari kemenangan, keberhasilan, kemegahan, dan kesuksesan hidup.
Mungkin itulah sebabnya Petrus menjadi gusar kepada Yesus ketika Yesus mengajarkan kedatangan Anak Manusia yang harus menanggung banyak penderitaan dan mengalami pembunuhan. Bukankah yang dicari para pengikut dari Yesus adalah kejayaan, kemegahan, kemuliaan, dan kesuksesan? Mengapa Sang Guru malah bicara tentang penderitaan dan kematian? Dalam dunia Yesus waktu itu, penderitaan dan kesengsaraan hidup dianggap sebagai yang memalukan. Malu, hidup kok sebagai orang yang menderita. Malu, hidup kok sebagai orang yang tidak berharga. Malu, hidup kok sebagai orang yang tidak diberkati Tuhan. Bagi mereka, hidup kaya, sukses, mulia, tanda hidup yang diberkati Tuhan.
Jangan malu menderita karena Yesus! Yesus tidak pernah mengajak kita untuk memuja-muja dan mencari penderitaan, seperti yang dilakukan para masokhis. Itu adalah konsekuensi yang kita harus siap tanggung, jikalau dalam mengikut Yesus dan setia pada-Nya, kita menghadapi beragam penderitaan karena iman kita kepada-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ketika Anda bertetangga dengan seorang pengusaha sukses dan pengusaha yang gagal dan bangkrut, mana yang membuat Anda lebih terkesan? Ketika Anda mau mendaftarkan anak Anda masuk sekolah baru, mana yang akan menjadi tujuan Anda, sekolah yang favorit atau sekolah yang biasa-biasa saja? Ketika Anda dipindahkan tempat kerja oleh kantor Anda, dan bisa memilih kota besar atau kota terpencil, mana yang akan Anda pilih? Pada umumnya seseorang akan menjawab: pengusaha sukses, sekolah favorit, dan kota besar.
Pada umumnya, seseorang memiliki obsesi terhadap yang besar, megah, sukses, kaya, dan sehat. Sesuatu yang bisa menghalangi obsesi tersebut, biasanya akan dihindari. Jeff Brown, dalam bukunya, The Winner's Brain, bahkan dengan yakin menjelaskan adanya semacam jalinan saraf "otak pemenang" yang inheren dalam diri manusia, yang membuat manusia mengejar dan menggemari kemenangan, keberhasilan, kemegahan, dan kesuksesan hidup.
Mungkin itulah sebabnya Petrus menjadi gusar kepada Yesus ketika Yesus mengajarkan kedatangan Anak Manusia yang harus menanggung banyak penderitaan dan mengalami pembunuhan. Bukankah yang dicari para pengikut dari Yesus adalah kejayaan, kemegahan, kemuliaan, dan kesuksesan? Mengapa Sang Guru malah bicara tentang penderitaan dan kematian? Dalam dunia Yesus waktu itu, penderitaan dan kesengsaraan hidup dianggap sebagai yang memalukan. Malu, hidup kok sebagai orang yang menderita. Malu, hidup kok sebagai orang yang tidak berharga. Malu, hidup kok sebagai orang yang tidak diberkati Tuhan. Bagi mereka, hidup kaya, sukses, mulia, tanda hidup yang diberkati Tuhan.
Jangan malu menderita karena Yesus! Yesus tidak pernah mengajak kita untuk memuja-muja dan mencari penderitaan, seperti yang dilakukan para masokhis. Itu adalah konsekuensi yang kita harus siap tanggung, jikalau dalam mengikut Yesus dan setia pada-Nya, kita menghadapi beragam penderitaan karena iman kita kepada-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Jangan Kau Ingat Dosa-dosaku! (Mazmur 25: 1-10)
“Dosa-dosaku pada waktu muda dan pelanggaran-pelanggaranku janganlah Kauingat..." (Mazmur 25: 7)
Ada seseorang yang punya keyakinan bahwa Tuhan itu penuh kasih. Tuhan selalu berkenan memberi pengampunan dosa bagi umat-Nya. Ini tentu saja suatu keyakinan yang baik. Namun demikian, keyakinan ini bisa disalah mengerti, jika keyakinan ini membuat orang tergoda untuk memanipulasinya. “Aku berbuat dosa lagi…lagi…dan lagi, tidak masalah, toh ketika aku berdoa lagi mohon ampun, Tuhan tetap akan mengampuninya.
Apakah model keyakinan semacam ini yang ada di pikiran sang pemazmur ketika mohon pengampunan dosa dari Tuhan? Tentu saja tidak. Tidak ada maksud sama sekali dari sang pemazmur pada waktu itu mempermainkan atau memanipulasi kasih dan pengampunan Tuhan.
Sang pemazmur, menyadari keberdosaanya. Dosa akan mendatangkan penghukuman, itulah sebabnya ia memohon Tuhan berkenan tidak lagi mengingat dosa-dosanya. Tuhan peduli terhadap kebenaran, walaupun Tuhan sosok yang penuh kasih. Kebenaran tidak kemudian diabaikan dengan pengampunan. Tuhan adalah Tuhan yang peduli terhadap kebenaran.
Itulah sebabnya sang pemazmur mengatakan bahwa Tuhan itu baik dan benar (ayat 8). Tuhan tidak hanya baik, sehingga berkenan memberi pengampunan. Tuhan juga benar, sehingga Tuhan: menunjukkan jalan kepada orang yang sesat, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati, yaitu mereka yang mau dipimpin oleh-Nya.
Kita, seperti sang pemazmur, memerlukan pengampunan dosa dari Tuhan. Pengampuan yang diberikan-Nya, membuat perjalanan iman kita bisa kita lalui dengan tenang. Ibaratnya, ketika kita berjalan, suatu saat kita bisa saja jatuh terpeleset. Kita tidak mencari-cari supaya terpeleset, namun bisa saja kita terpeleset. Kita tidak mencari-cari dosa, namun bisa saja kita terpeleset karena dosa. Meski demikian, pengalaman terpeleset ini tidak membuat kita undur dari Tuhan atau ketakutan terhadap Tuhan, karena kita bisa meminta pengampunan dari Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ada seseorang yang punya keyakinan bahwa Tuhan itu penuh kasih. Tuhan selalu berkenan memberi pengampunan dosa bagi umat-Nya. Ini tentu saja suatu keyakinan yang baik. Namun demikian, keyakinan ini bisa disalah mengerti, jika keyakinan ini membuat orang tergoda untuk memanipulasinya. “Aku berbuat dosa lagi…lagi…dan lagi, tidak masalah, toh ketika aku berdoa lagi mohon ampun, Tuhan tetap akan mengampuninya.
Apakah model keyakinan semacam ini yang ada di pikiran sang pemazmur ketika mohon pengampunan dosa dari Tuhan? Tentu saja tidak. Tidak ada maksud sama sekali dari sang pemazmur pada waktu itu mempermainkan atau memanipulasi kasih dan pengampunan Tuhan.
Sang pemazmur, menyadari keberdosaanya. Dosa akan mendatangkan penghukuman, itulah sebabnya ia memohon Tuhan berkenan tidak lagi mengingat dosa-dosanya. Tuhan peduli terhadap kebenaran, walaupun Tuhan sosok yang penuh kasih. Kebenaran tidak kemudian diabaikan dengan pengampunan. Tuhan adalah Tuhan yang peduli terhadap kebenaran.
Itulah sebabnya sang pemazmur mengatakan bahwa Tuhan itu baik dan benar (ayat 8). Tuhan tidak hanya baik, sehingga berkenan memberi pengampunan. Tuhan juga benar, sehingga Tuhan: menunjukkan jalan kepada orang yang sesat, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati, yaitu mereka yang mau dipimpin oleh-Nya.
Kita, seperti sang pemazmur, memerlukan pengampunan dosa dari Tuhan. Pengampuan yang diberikan-Nya, membuat perjalanan iman kita bisa kita lalui dengan tenang. Ibaratnya, ketika kita berjalan, suatu saat kita bisa saja jatuh terpeleset. Kita tidak mencari-cari supaya terpeleset, namun bisa saja kita terpeleset. Kita tidak mencari-cari dosa, namun bisa saja kita terpeleset karena dosa. Meski demikian, pengalaman terpeleset ini tidak membuat kita undur dari Tuhan atau ketakutan terhadap Tuhan, karena kita bisa meminta pengampunan dari Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Jangan Menjadi Orang-orang yang Tidak Percaya! (II Korintus 4: 3-6)
"...yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini,..." (II Korintus 4: 4)
Konteks tempat kita berada sangat berperan penting dalam membentuk kehidupan kita. Seseorang yang lahir dan dibesarkan dalam kampung yang mencurigai kultur dan agama kampung tetangga sebelah yang berbeda, akan lebih mudah mengembangkan sikap prasangka dan permusuhan terhadap perbedaan kultur atau agama yang ada. Namun demikian, setiap orang tentu tetap bisa melakukan konstruksi diri, secara sadar mewujudkan dan membedakan diri dari pengaruh yang dominan dari konteks tempat seseorang hidup.
Konteks kota Korintus, tampaknya agak menimbulkan rasa cemas pada diri Rasul Paulus ketika memikirkan orang-orang Kristen yang berada di kota ini. Paulus pernah berada di kota ini selama kurang lebih 21 bulan, hampir dua tahun lamanya. Ketika Paulus merninggalkan kota ini, Paulus meninggalkan jemaat Kristen yang terdiri dari ratusan orang yang sedang berkembang.
Konteks kota Korintus adalah konteks kota kosmopolitan. Korintus merupakan kota tempat pertemuan dan perdagangan, yang dilengkapi dengan dua pelabuhan besar: Kengkrea dan Lechaion. Yang paling tersohor dari kota ini adalah perilaku moralnya yang buruk. Banyaknya kelab malam dan adanya kuil dewi Aphrodite yang terletak di puncak kota itu, yang berfungsi seperti "Gunung Kemukus" yang ada di Jawa Tengah, menunjukkan perilaku amoral orang-orang yang ada di kota tersebut.
Konteks kota Korintus semacam ini, telah membutakan pikiran orang-orang Korintus yang tidak percaya pada Injil mengenai Yesus yang diwartakan Rasul Paulus. "Ilah zaman ini", bisa saja tetap menjadi ancaman yang mempengaruhi iman/kepercayaan orang-orang yang telah percaya pada Kristus. Apa "ilah zaman ini", yang menjadi konteks tempat kita hidup? Tetaplah percaya, jangan menjadi orang-orang yang tidak percaya, karena terpengaruh oleh "ilah zaman ini". Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Konteks tempat kita berada sangat berperan penting dalam membentuk kehidupan kita. Seseorang yang lahir dan dibesarkan dalam kampung yang mencurigai kultur dan agama kampung tetangga sebelah yang berbeda, akan lebih mudah mengembangkan sikap prasangka dan permusuhan terhadap perbedaan kultur atau agama yang ada. Namun demikian, setiap orang tentu tetap bisa melakukan konstruksi diri, secara sadar mewujudkan dan membedakan diri dari pengaruh yang dominan dari konteks tempat seseorang hidup.
Konteks kota Korintus, tampaknya agak menimbulkan rasa cemas pada diri Rasul Paulus ketika memikirkan orang-orang Kristen yang berada di kota ini. Paulus pernah berada di kota ini selama kurang lebih 21 bulan, hampir dua tahun lamanya. Ketika Paulus merninggalkan kota ini, Paulus meninggalkan jemaat Kristen yang terdiri dari ratusan orang yang sedang berkembang.
Konteks kota Korintus adalah konteks kota kosmopolitan. Korintus merupakan kota tempat pertemuan dan perdagangan, yang dilengkapi dengan dua pelabuhan besar: Kengkrea dan Lechaion. Yang paling tersohor dari kota ini adalah perilaku moralnya yang buruk. Banyaknya kelab malam dan adanya kuil dewi Aphrodite yang terletak di puncak kota itu, yang berfungsi seperti "Gunung Kemukus" yang ada di Jawa Tengah, menunjukkan perilaku amoral orang-orang yang ada di kota tersebut.
Konteks kota Korintus semacam ini, telah membutakan pikiran orang-orang Korintus yang tidak percaya pada Injil mengenai Yesus yang diwartakan Rasul Paulus. "Ilah zaman ini", bisa saja tetap menjadi ancaman yang mempengaruhi iman/kepercayaan orang-orang yang telah percaya pada Kristus. Apa "ilah zaman ini", yang menjadi konteks tempat kita hidup? Tetaplah percaya, jangan menjadi orang-orang yang tidak percaya, karena terpengaruh oleh "ilah zaman ini". Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Jangan Samakan AKU Dengan Lainnya! (Yesaya 40: 21-31)
"Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia?" firman Yang Maha Kudus." (Yesaya 40: 25)
Ketika seseorang sedang berada dalam persoalan hidup, siapa yang seringkali menjadi sasaran kekesalan, kekecewaan, bahkan kemarahannya? Mungkin sasarannya justru diri sendiri. Yang disalahkan pertama-tama justru diri sendiri. Padahal belum tentu diri sendiri penyebab persoalan hidupnya. Sasaran lainnya adalah orang lain. Orang lain itulah yang telah menyebabkan persoalan hidupnya. Ia tidak bersalah, orang lain yang salah. Ia adalah korban, orang lain pelakunya. Sasaran lainnya adalah roh jahat/iblis/setan. Sejak semula pihak ini memang dianggap punya rancangan dan perbuatan yang jahat bagi manusia. Sasaran yang sering tidak disangka adalah Tuhan. Tuhan disalahkan atas persoalan hidup yang dialami manusia. Karena semua ada di dalam kehendak-Nya, maka Tuhan pantas untuk disalahkan atau bahkan dimintai pertanggungjawaban atas persoalan hidup yang dialami umat manusia.
Situasi umat Israel pada waktu itu sedang berada di pembuangan Babel. Bertahun-tahun lamanya mereka berada dalam persoalan hidup tersebut, tanpa terlihat tanda-tanda mereka akan bebas dari penderitaan hidup tersebut. Di sinilah umat Israel mulai mencari sasaran "tembak" penyebab penderitaan hidup mereka. Siapa sasarannya? Bukan mereka sendiri, bukan bangsa Babel, melainkan Tuhan. Kata mereka, "Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan hakku tidak diperhatikan Allahku".
Benarkah Tuhan tidak memperhatikan umat-Nya? Umat jelas keliru menyamakan Tuhan yang hidup, dengan ilah-ilah mati lainnya yang tidak punya daya apapun atas kehidupan ini. Kedaulatan semesta dan isinya ini tidak bertumpu pada ilah-ilah yang mati, melainkan Allah yang hidup. Iman kepada Allah yang hidup ini mestinya tetap terjaga walaupun umat sedang berada dalam persoalan hidup mereka.
Yang penting, dalam persoalan hidup yang masih kita alami, janganlah kita berpikir bahwa Tuhan sudah melupakan atau bahkan menghukum kita. Jangan samakan Tuhan yang hidup dengan ilah-ilah yang mati, yang memang tidak punya daya penyelamatan bagi kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ketika seseorang sedang berada dalam persoalan hidup, siapa yang seringkali menjadi sasaran kekesalan, kekecewaan, bahkan kemarahannya? Mungkin sasarannya justru diri sendiri. Yang disalahkan pertama-tama justru diri sendiri. Padahal belum tentu diri sendiri penyebab persoalan hidupnya. Sasaran lainnya adalah orang lain. Orang lain itulah yang telah menyebabkan persoalan hidupnya. Ia tidak bersalah, orang lain yang salah. Ia adalah korban, orang lain pelakunya. Sasaran lainnya adalah roh jahat/iblis/setan. Sejak semula pihak ini memang dianggap punya rancangan dan perbuatan yang jahat bagi manusia. Sasaran yang sering tidak disangka adalah Tuhan. Tuhan disalahkan atas persoalan hidup yang dialami manusia. Karena semua ada di dalam kehendak-Nya, maka Tuhan pantas untuk disalahkan atau bahkan dimintai pertanggungjawaban atas persoalan hidup yang dialami umat manusia.
Situasi umat Israel pada waktu itu sedang berada di pembuangan Babel. Bertahun-tahun lamanya mereka berada dalam persoalan hidup tersebut, tanpa terlihat tanda-tanda mereka akan bebas dari penderitaan hidup tersebut. Di sinilah umat Israel mulai mencari sasaran "tembak" penyebab penderitaan hidup mereka. Siapa sasarannya? Bukan mereka sendiri, bukan bangsa Babel, melainkan Tuhan. Kata mereka, "Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan hakku tidak diperhatikan Allahku".
Benarkah Tuhan tidak memperhatikan umat-Nya? Umat jelas keliru menyamakan Tuhan yang hidup, dengan ilah-ilah mati lainnya yang tidak punya daya apapun atas kehidupan ini. Kedaulatan semesta dan isinya ini tidak bertumpu pada ilah-ilah yang mati, melainkan Allah yang hidup. Iman kepada Allah yang hidup ini mestinya tetap terjaga walaupun umat sedang berada dalam persoalan hidup mereka.
Yang penting, dalam persoalan hidup yang masih kita alami, janganlah kita berpikir bahwa Tuhan sudah melupakan atau bahkan menghukum kita. Jangan samakan Tuhan yang hidup dengan ilah-ilah yang mati, yang memang tidak punya daya penyelamatan bagi kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Rumah Tuhan Sumber Kekudusan (Markus 1: 21-28)
"Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah." (Markus 1: 24)
Seorang jemaat pernah berkata,"Gereja itu kan tempat yang dikuduskan ya pak. Akan tetapi kok ada yang bilang pernah lihat hantu atau sejenisnya di gereja. Mengapa hantu bisa terlihat penampakannya di gereja?"
Bagaimana memberi respons terhadap pertanyaan semacam ini? (1)Apakah betul ada penampakan hantu di gereja, tentu masih perlu dikaji lebih mendalam. Bisa saja seseorang mengira melihat hantu, padahal bukan. Ingat, bahkan mata kita mudah salah melihat apa yang terlihat, dan saraf otak kita juga bisa keliru menafsir apa yang dilihat oleh mata. (2)Kalaupun ada hantu di gereja, pertanyaan kita: mengapa hantu itu "betah" di gereja, apakah mau mencari kedamaian atau mengganggu mereka yang beribadah? Kalau mau mencari kedamaian ...ya biarkan saja. Kalau mau mengganggu... ya kita jangan mau diganggu! Tunjukkan bahwa kuasa Yesus yang ada pada kita lebih kuat daripada kuasa hantu atau roh jahat lainnya.
Ada seseorang yang kerasukan roh jahat di sinagoge Kapernaum. Perhatikan kisah ini: Orang itu bisa berada bahkan ikut dalam ibadah di Kapernaum tersebut. Sebuah sinagoge tentu sebuah tempat yang sudah dikuduskan menurut tata cara pengudusan waktu itu. Meski demikian, roh jahat yang merasuki orang tersebut tidak tahan terhadap kehadiran Yesus. Bahkan roh jahat tersebut tampak ketakutan,"Apakah Engkau datang untuk membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah".Yesus kemudian mengusir roh jahat dari tubuh orang tersebut, orang tersebut dipulihkan kembali oleh Yesus. Roh jahat keluar dari orang tersebut, dengan demikian roh jahat keluar dari rumah ibadah tersebut.
Biarlah kekudusan Yesus terpancar dalam hidup kita. Biarlah kekudusan-Nya memampukan kita semakin hidup kudus melalui gereja-Nya di sini. Biarlah melalui gereja kita ini, kita dimampukan menemukan sumber kekudusan-Nya, sehingga kita semakin dikuatkan mengatasi beragam godaan dan gangguan kuasa roh jahat. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Seorang jemaat pernah berkata,"Gereja itu kan tempat yang dikuduskan ya pak. Akan tetapi kok ada yang bilang pernah lihat hantu atau sejenisnya di gereja. Mengapa hantu bisa terlihat penampakannya di gereja?"
Bagaimana memberi respons terhadap pertanyaan semacam ini? (1)Apakah betul ada penampakan hantu di gereja, tentu masih perlu dikaji lebih mendalam. Bisa saja seseorang mengira melihat hantu, padahal bukan. Ingat, bahkan mata kita mudah salah melihat apa yang terlihat, dan saraf otak kita juga bisa keliru menafsir apa yang dilihat oleh mata. (2)Kalaupun ada hantu di gereja, pertanyaan kita: mengapa hantu itu "betah" di gereja, apakah mau mencari kedamaian atau mengganggu mereka yang beribadah? Kalau mau mencari kedamaian ...ya biarkan saja. Kalau mau mengganggu... ya kita jangan mau diganggu! Tunjukkan bahwa kuasa Yesus yang ada pada kita lebih kuat daripada kuasa hantu atau roh jahat lainnya.
Ada seseorang yang kerasukan roh jahat di sinagoge Kapernaum. Perhatikan kisah ini: Orang itu bisa berada bahkan ikut dalam ibadah di Kapernaum tersebut. Sebuah sinagoge tentu sebuah tempat yang sudah dikuduskan menurut tata cara pengudusan waktu itu. Meski demikian, roh jahat yang merasuki orang tersebut tidak tahan terhadap kehadiran Yesus. Bahkan roh jahat tersebut tampak ketakutan,"Apakah Engkau datang untuk membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah".Yesus kemudian mengusir roh jahat dari tubuh orang tersebut, orang tersebut dipulihkan kembali oleh Yesus. Roh jahat keluar dari orang tersebut, dengan demikian roh jahat keluar dari rumah ibadah tersebut.
Biarlah kekudusan Yesus terpancar dalam hidup kita. Biarlah kekudusan-Nya memampukan kita semakin hidup kudus melalui gereja-Nya di sini. Biarlah melalui gereja kita ini, kita dimampukan menemukan sumber kekudusan-Nya, sehingga kita semakin dikuatkan mengatasi beragam godaan dan gangguan kuasa roh jahat. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
ALLAH Gunung Batuku, dan Kota Bentengku (Mazmur 62: 1-9)
"Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah." (Mazmur 62: 3)
Ada kelompok kekristenan yang dengan tegas menolak perawatan medis, juga asuransi kesehatan dan jiwa. Bagi mereka, orang percaya harus pertama-tama menyandarkan kesehatan dan keselamatan mereka pada Tuhan. Doa kesembuhan dipandang lebih penting dan bisa menggantikan perawatan medis untuk kesembuhan penyakit. Demikian pula, asuransi kesehatan atau jiwa dipandang sebagai tindakan menyangkal pemeliharaan Tuhan dan menggambarkan ketidakyakinan manusia atas kuasa Tuhan yang memelihara kehidupan mereka.
Apakah sang pemazmur juga mempertentangkan upaya manusia dengan tindakan Allah, ketika ia mengatakan: hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku? Kota Yerusalem, yang direbut oleh Daud pada waktu itu dari orang-orang Yebus, didirikan di atas gunung batu, yang menjulang tinggi di pegunungan Yehuda. Karena letaknya yang tinggi, kota ini aman dari serangan tiba-tiba yang datang dari musuh-musuh Daud. Yerusalem yang berbenteng ini memang menjadi kota benteng yang kuat, kokoh, dan melindungi warganya dari beragam bahaya. Ungkapan "gunung batuku" dan "kota bentengku" mereflesikan hal ini.
Daud bersyukur atas kota Yerusalem yang aman ini. Namun Daud juga sungguh menyadari bahwa keselamatan yang diterima melalui kota ini, merupakan cermin dari keselamatan yang Allah berikan kepada Daud dan umat-Nya. Bukan Yerusalem, Allahlah sesungguhnya "gunung batu" dan "kota benteng", karena Allahlah yang memelihara dan menyelamatkan Daud dan umat-Nya. Itulah sebabnya Daud menggambarkan pemeliharaan Allah ini dengan seruan: Dialah gunung batuku, kota bentengku.
Sarana-sarana fisik apapun, termasuk temuan-temuan terbaru manusia dalam bidang sains dan kedokteran, tidak perlu dilihat sebagai upaya-upaya menyangkal iman kepada Tuhan. Pemeliharaan Tuhan bagi umat-Nya juga bisa dialami melalui perkembangan sains dan medis. Jadi jangan pernah mempertentangkan doa dengan perawatan medis, juga mempertentangkan asuransi dengan keimanan pada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ada kelompok kekristenan yang dengan tegas menolak perawatan medis, juga asuransi kesehatan dan jiwa. Bagi mereka, orang percaya harus pertama-tama menyandarkan kesehatan dan keselamatan mereka pada Tuhan. Doa kesembuhan dipandang lebih penting dan bisa menggantikan perawatan medis untuk kesembuhan penyakit. Demikian pula, asuransi kesehatan atau jiwa dipandang sebagai tindakan menyangkal pemeliharaan Tuhan dan menggambarkan ketidakyakinan manusia atas kuasa Tuhan yang memelihara kehidupan mereka.
Apakah sang pemazmur juga mempertentangkan upaya manusia dengan tindakan Allah, ketika ia mengatakan: hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku? Kota Yerusalem, yang direbut oleh Daud pada waktu itu dari orang-orang Yebus, didirikan di atas gunung batu, yang menjulang tinggi di pegunungan Yehuda. Karena letaknya yang tinggi, kota ini aman dari serangan tiba-tiba yang datang dari musuh-musuh Daud. Yerusalem yang berbenteng ini memang menjadi kota benteng yang kuat, kokoh, dan melindungi warganya dari beragam bahaya. Ungkapan "gunung batuku" dan "kota bentengku" mereflesikan hal ini.
Daud bersyukur atas kota Yerusalem yang aman ini. Namun Daud juga sungguh menyadari bahwa keselamatan yang diterima melalui kota ini, merupakan cermin dari keselamatan yang Allah berikan kepada Daud dan umat-Nya. Bukan Yerusalem, Allahlah sesungguhnya "gunung batu" dan "kota benteng", karena Allahlah yang memelihara dan menyelamatkan Daud dan umat-Nya. Itulah sebabnya Daud menggambarkan pemeliharaan Allah ini dengan seruan: Dialah gunung batuku, kota bentengku.
Sarana-sarana fisik apapun, termasuk temuan-temuan terbaru manusia dalam bidang sains dan kedokteran, tidak perlu dilihat sebagai upaya-upaya menyangkal iman kepada Tuhan. Pemeliharaan Tuhan bagi umat-Nya juga bisa dialami melalui perkembangan sains dan medis. Jadi jangan pernah mempertentangkan doa dengan perawatan medis, juga mempertentangkan asuransi dengan keimanan pada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Di Rumah Tuhan, Kita Dengar Panggilan-NYA (1 Samuel 3: 1-10)
"Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab: "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar." (1 Samuel 3: 10)
Dalam konteks gerejawi, kita tidak asing dengan makna kata "panggilan". Suatu panggilan (Inggris: Vocation, Latin: Vocare), kita pahami, secara melekat ada pada orang-orang yang percaya kepada Tuhan.
Paling tidak, ada tiga makna yang biasa kita pahami apabila mendengar kata "panggilan" ini. Makna pertama, terkait kapan-di mana-bagaimana, kita dipanggil untuk menjadi umat-Nya. Makna kedua, terkait mengapa-untuk apa kita dipanggil sebagai umat-Nya. Makna ketiga, sering dikaitkan dengan kapan-di mana-bagaimana saya dipanggil Tuhan ke surga (meninggal dunia).
Dalam makna pertama dan kedua inilah, saat itu pengalaman panggilan Samuel. Mengapa Samuel? Samuel sesungguhnya seseorang yang sejak awal sudah disiapkan untuk menerima panggilan Tuhan. Ibunda Samuel, yakni Hana telah membuat nasar kepada Tuhan. Jika ia melahirkan anak laki-laki, anaknya itu akan dipersembahkan untuk melayani Tuhan.
Ketika anaknya lahir, Hana memenuhi nasarnya. Ia bahkan menamai anaknya Samuel, yang berarti Allah telah mendengar. Bagi Hana, Allah telah mendengar dan mengabulkan permohonannya, kini gilirannya untuk menepati nasarnya. Hana memberikan kesempatan bagi Samuel untuk melayani Tuhan di Rumah Tuhan di Silo, tempat imam Eli melayani (1 Samuel 2: 18).
Dan di Rumah Tuhan itulah, Samuel mendengar panggilan Tuhan. "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar". Pada dasarnya, Samuel tidak hanya mendengar panggilan-Nya, ia juga menerima panggilan tersebut. Ia melakukannya, dan kita akhirnya tahu untuk apa ia dipanggil-Nya. Kita mengenalnya sebagai Nabi, Imam, dan Hakim yang membawa mandat Allah bagi umat-Nya.
Jangan pernah jauh dari Rumah Tuhan, kita akan mendengar panggilan-Nya bagi hidup dan pelayanan kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Dalam konteks gerejawi, kita tidak asing dengan makna kata "panggilan". Suatu panggilan (Inggris: Vocation, Latin: Vocare), kita pahami, secara melekat ada pada orang-orang yang percaya kepada Tuhan.
Paling tidak, ada tiga makna yang biasa kita pahami apabila mendengar kata "panggilan" ini. Makna pertama, terkait kapan-di mana-bagaimana, kita dipanggil untuk menjadi umat-Nya. Makna kedua, terkait mengapa-untuk apa kita dipanggil sebagai umat-Nya. Makna ketiga, sering dikaitkan dengan kapan-di mana-bagaimana saya dipanggil Tuhan ke surga (meninggal dunia).
Dalam makna pertama dan kedua inilah, saat itu pengalaman panggilan Samuel. Mengapa Samuel? Samuel sesungguhnya seseorang yang sejak awal sudah disiapkan untuk menerima panggilan Tuhan. Ibunda Samuel, yakni Hana telah membuat nasar kepada Tuhan. Jika ia melahirkan anak laki-laki, anaknya itu akan dipersembahkan untuk melayani Tuhan.
Ketika anaknya lahir, Hana memenuhi nasarnya. Ia bahkan menamai anaknya Samuel, yang berarti Allah telah mendengar. Bagi Hana, Allah telah mendengar dan mengabulkan permohonannya, kini gilirannya untuk menepati nasarnya. Hana memberikan kesempatan bagi Samuel untuk melayani Tuhan di Rumah Tuhan di Silo, tempat imam Eli melayani (1 Samuel 2: 18).
Dan di Rumah Tuhan itulah, Samuel mendengar panggilan Tuhan. "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar". Pada dasarnya, Samuel tidak hanya mendengar panggilan-Nya, ia juga menerima panggilan tersebut. Ia melakukannya, dan kita akhirnya tahu untuk apa ia dipanggil-Nya. Kita mengenalnya sebagai Nabi, Imam, dan Hakim yang membawa mandat Allah bagi umat-Nya.
Jangan pernah jauh dari Rumah Tuhan, kita akan mendengar panggilan-Nya bagi hidup dan pelayanan kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Rumah TUHAN Sumber Keselamatan (Kisah Para Rasul 19: 1-8)
"Selama tiga bulan Paulus mengunjungi rumah ibadat di situ dan mengajar dengan berani..." (Kisah Para Rasul 19: 8)
Kita biasa mendengar istilah "Kristen Kapal Selam". Istilah ini dipakai untuk menggambarkan orang Kristen yang tidak rutin pergi ke gereja setiap hari Minggu. Seperti kapal selam, mereka munculnya hanya sekali-kali. Mereka hanya pergi beribadah di gereja, sekali-kali saja, terutama pada saat hari-hari besar gerejawi, misalnya Natal, Paskah, atau saat perjamuan kudus. Bahkan ada yang baru muncul, saat minta nikahnya diberkati di gereja, setelah itu "hilang", entah ke mana...
Saya kadang berpikir mengapa seseorang bisa menjadi jemaat kapal selam. Apakah mereka terlalu sibuk atau tidak punya waktu untuk datang ke gereja di hari Minggu? Apakah mereka merasa tidak disambut dan diterima dengan baik di gerejanya? Apakah mereka tidak cocok dengan gaya ibadahnya? Apakah mereka merasa tidak dibangun imannya melalui kotbah-kotbah para pendetanya? Apakah mereka merasa tidak damai sejahtera dan bertumbuh keselamatannya ketika beribadah di gereja? Apakah mereka malas? Apakah mereka menganggap tidak penting pergi beribadah di gereja? Tentu saya tidak tahu jawaban mereka, hanya mereka yang tahu, jawaban mereka juga bisa berbeda satu dengan lainnya.
Rasul Paulus untuk pertama kalinya tiba di kota Efesus, diperkirakan sekitar tahun 52 Masehi. Kota Efesus merupakan kota pelabuhan yang sangat penting waktu itu. Di kota inilah, segala orang dari beragam budaya dan bangsa bertemu. Diperkirakan ada lebih dari 10.000 orang Yahudi tinggal di kota Efesus. Tidak mengherankan, di antara mereka ada yang telah menerima baptisan Yohanes.
Rasul Paulus datang ke kota Efesus untuk mewartakan keselamatan Allah dalam nama Yesus Kristus. Di kota ini, Rasul Paulus memakai rumah ibadah Yahudi (sinagoge) untuk menjadi pusat pewartaan dan sumber keselamatan Allah di dalam Yesus. Seperti Paulus, apakah kita juga bisa memakai dan memanfaatkan Rumah Ibadah/Rumah Tuhan, yakni GKJ Nehemia kita ini, tetap menjadi sumber pertumbuhan iman dan keselamatan kita dan sesama kita? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kita biasa mendengar istilah "Kristen Kapal Selam". Istilah ini dipakai untuk menggambarkan orang Kristen yang tidak rutin pergi ke gereja setiap hari Minggu. Seperti kapal selam, mereka munculnya hanya sekali-kali. Mereka hanya pergi beribadah di gereja, sekali-kali saja, terutama pada saat hari-hari besar gerejawi, misalnya Natal, Paskah, atau saat perjamuan kudus. Bahkan ada yang baru muncul, saat minta nikahnya diberkati di gereja, setelah itu "hilang", entah ke mana...
Saya kadang berpikir mengapa seseorang bisa menjadi jemaat kapal selam. Apakah mereka terlalu sibuk atau tidak punya waktu untuk datang ke gereja di hari Minggu? Apakah mereka merasa tidak disambut dan diterima dengan baik di gerejanya? Apakah mereka tidak cocok dengan gaya ibadahnya? Apakah mereka merasa tidak dibangun imannya melalui kotbah-kotbah para pendetanya? Apakah mereka merasa tidak damai sejahtera dan bertumbuh keselamatannya ketika beribadah di gereja? Apakah mereka malas? Apakah mereka menganggap tidak penting pergi beribadah di gereja? Tentu saya tidak tahu jawaban mereka, hanya mereka yang tahu, jawaban mereka juga bisa berbeda satu dengan lainnya.
Rasul Paulus untuk pertama kalinya tiba di kota Efesus, diperkirakan sekitar tahun 52 Masehi. Kota Efesus merupakan kota pelabuhan yang sangat penting waktu itu. Di kota inilah, segala orang dari beragam budaya dan bangsa bertemu. Diperkirakan ada lebih dari 10.000 orang Yahudi tinggal di kota Efesus. Tidak mengherankan, di antara mereka ada yang telah menerima baptisan Yohanes.
Rasul Paulus datang ke kota Efesus untuk mewartakan keselamatan Allah dalam nama Yesus Kristus. Di kota ini, Rasul Paulus memakai rumah ibadah Yahudi (sinagoge) untuk menjadi pusat pewartaan dan sumber keselamatan Allah di dalam Yesus. Seperti Paulus, apakah kita juga bisa memakai dan memanfaatkan Rumah Ibadah/Rumah Tuhan, yakni GKJ Nehemia kita ini, tetap menjadi sumber pertumbuhan iman dan keselamatan kita dan sesama kita? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th