TERANG MENGALAHKAN KEGELAPAN (Yohanes 1:1-13)
Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasai (Yohanes1: 5)
Di jalan tol, seorang sopir truk di depan bus yang kami tumpangi dalam perjalanan pulang menuju makam agak teledor mengendara. Entah ia mengantuk atau kelelahan. Kondektur bus kami melemparkan botol minuman plastik ke arah pengendara truk itu. Tidak terjadi kecelakaan akibat keteledoran sopir truk, tetapi tindakan kondetur bus itu suatu “kecelakaan” lain yang amat disayangkan, yakni tindakan yang merendahkan. Berbicara mengenai mengalahkan, bukan berarti mendominasi. Dominasi mengakibatkan bahaya yang sangat menakutkan (pertikaian). Untuk mengalahkan kegelapan, berarti kita harus menyangkal diri sendiri terlebih dahulu. Dalam arti kita membutuhkan kontrol atas tindakan dan perilakuk agar tidak mendominasi (dalam arti negatif). Menyangkal diri bukan berarti mengalahkan atau menjatuhkan sesamanya. Hal yang paling utama saat ini dalam konteks Indonesia yang bersifat negatif adalah tindakan tidak memanusiakan manusia. Tindakan kondektur tersebut merupakan salah satu contoh konkrit tindakan yang tidak memanusiakan manusia (kegelapan). Bagaimana kita menyangkal diri untuk menyadarkan orang-orang yang memperlakukan sesamanya dengan cara yang merendahkan, itu masih harus terus diperjuangkan. Dibutuhkan usaha yang sungguh-sungguh menjalankan misi ini. Ketika Yesus berjuang membela orang-orang yang terpinggirkan, tidak serta merta sikapnya dapat diterima. Namun, Ia tidak membalas dengan cara yang merendahkan. Ada perasaan-perasaan tidak terima diperlakukan dengan cara yang merendahkan. Tetapi, apa kata iman Kristen adalah,”Apa yang ingin orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Selamat berjuang. Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
Di jalan tol, seorang sopir truk di depan bus yang kami tumpangi dalam perjalanan pulang menuju makam agak teledor mengendara. Entah ia mengantuk atau kelelahan. Kondektur bus kami melemparkan botol minuman plastik ke arah pengendara truk itu. Tidak terjadi kecelakaan akibat keteledoran sopir truk, tetapi tindakan kondetur bus itu suatu “kecelakaan” lain yang amat disayangkan, yakni tindakan yang merendahkan. Berbicara mengenai mengalahkan, bukan berarti mendominasi. Dominasi mengakibatkan bahaya yang sangat menakutkan (pertikaian). Untuk mengalahkan kegelapan, berarti kita harus menyangkal diri sendiri terlebih dahulu. Dalam arti kita membutuhkan kontrol atas tindakan dan perilakuk agar tidak mendominasi (dalam arti negatif). Menyangkal diri bukan berarti mengalahkan atau menjatuhkan sesamanya. Hal yang paling utama saat ini dalam konteks Indonesia yang bersifat negatif adalah tindakan tidak memanusiakan manusia. Tindakan kondektur tersebut merupakan salah satu contoh konkrit tindakan yang tidak memanusiakan manusia (kegelapan). Bagaimana kita menyangkal diri untuk menyadarkan orang-orang yang memperlakukan sesamanya dengan cara yang merendahkan, itu masih harus terus diperjuangkan. Dibutuhkan usaha yang sungguh-sungguh menjalankan misi ini. Ketika Yesus berjuang membela orang-orang yang terpinggirkan, tidak serta merta sikapnya dapat diterima. Namun, Ia tidak membalas dengan cara yang merendahkan. Ada perasaan-perasaan tidak terima diperlakukan dengan cara yang merendahkan. Tetapi, apa kata iman Kristen adalah,”Apa yang ingin orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Selamat berjuang. Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
IMANUEL: ALLAH MENYERTAI KITA (Matius 1: 18-25, 23)
”Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” (Matius 1:18)
Ketika bangun pagi apa yang anda lakukan? Apakah bersyukur atau bersedih, karena keinginan kita belum terpenuhi? Kita sering mengartikan Tuhan hanya sebagai kebaikan. Maksudnya, kita berpikir bahwa ketika segala sesuatu yang kita lakukan berjalan dengan baik dan lancar, kita berpikir Tuhan itu ada. Tetapi, ketika apa yang terjadi adalah hal yang buruk, kita berpikir Tuhan itu tidak ada. Sementara kita berpikir, berbagai macam hal bisa terjadi tanpa sempat kita pikirkan atau duga. Kita melihat dunia di sekeliling kita begitu penuh penderitaan. Begitu inginnya segala sesuatu berjalan dengan sempurna, kita menjadi takut dan terus memaksa diri untuk memberikan yang terbaik, karena takut mengecewakan orang lain. Penulis Matius, menulis cerita tentang Yusuf yang digambarkan ingin lari dari tanggung jawab. Yusuf berpikir bahwa kehamilan Maria sesuatu yang buruk dan mengecewakan banyak orang. Ia tidak perrcaya bahwa kehamilan Maria adalah kehendak Tuhan, melainkan karena rekayasa manusia. Kehamilan Maria, memang rencana Tuhan, meskipun dalam kegiatannya manusia sebagai subjeknya (pelakunya). Rencana Tuhan tidak dapat kita duga. Tuhan tidak sedang bermain dadu. Ia tidak memilihkan rencana-rencana mana yang pantas dan mana yang tidak pantas terjadi di dalam kehidupan manusia. Pikiran manusia yang kecil ini tidak cukup untuk mengendalikan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Ia memberikan yang terbaik. Kita hanya dapat berusaha, berdoa, dan bergumul. Imanuel: Allah menyertai kita! Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
Ketika bangun pagi apa yang anda lakukan? Apakah bersyukur atau bersedih, karena keinginan kita belum terpenuhi? Kita sering mengartikan Tuhan hanya sebagai kebaikan. Maksudnya, kita berpikir bahwa ketika segala sesuatu yang kita lakukan berjalan dengan baik dan lancar, kita berpikir Tuhan itu ada. Tetapi, ketika apa yang terjadi adalah hal yang buruk, kita berpikir Tuhan itu tidak ada. Sementara kita berpikir, berbagai macam hal bisa terjadi tanpa sempat kita pikirkan atau duga. Kita melihat dunia di sekeliling kita begitu penuh penderitaan. Begitu inginnya segala sesuatu berjalan dengan sempurna, kita menjadi takut dan terus memaksa diri untuk memberikan yang terbaik, karena takut mengecewakan orang lain. Penulis Matius, menulis cerita tentang Yusuf yang digambarkan ingin lari dari tanggung jawab. Yusuf berpikir bahwa kehamilan Maria sesuatu yang buruk dan mengecewakan banyak orang. Ia tidak perrcaya bahwa kehamilan Maria adalah kehendak Tuhan, melainkan karena rekayasa manusia. Kehamilan Maria, memang rencana Tuhan, meskipun dalam kegiatannya manusia sebagai subjeknya (pelakunya). Rencana Tuhan tidak dapat kita duga. Tuhan tidak sedang bermain dadu. Ia tidak memilihkan rencana-rencana mana yang pantas dan mana yang tidak pantas terjadi di dalam kehidupan manusia. Pikiran manusia yang kecil ini tidak cukup untuk mengendalikan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Ia memberikan yang terbaik. Kita hanya dapat berusaha, berdoa, dan bergumul. Imanuel: Allah menyertai kita! Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
TANDA-TANDA KEHADIRAN SANG MESIAS (Matius 11: 2-11)
Yesus menjawab mereka:”Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang-orang miskin diberitakan kabar baik (Matius 11:4,5)
Masa adven ini adalah masa di mana kita memperingati akan kedatangan Sang Juruselamat yang pernah datang kedunia. Berbicara mengenai tanda-tanda kehadiran Sang Juruselamat atau Sang Mesias, tidak ada seorang pun yang tahu. Seperti disebutkan bahwa Ia datang selayaknya pencuri. (1 Tes.5:2). Ketika berbicara mengenai kehadiran Sang Mesias, harus kita sadari juga bahwa kehadiran Sang Mesias bukan saja mengenai kehadiran-Nya pada masa yang akan datang. Tetapi, berbicara juga mengenai kehadiran-Nya saat ini di tengah-tengah kehidupan kita. Ada yang mengatakan bahwa kehadiran Sang Mesias ditandai dengan adanya berbagai macam bencana alam. Tetapi, Ia sendiri tidak pernah mengatakan dalam bentuk apa Sang Mesias hadir kembali dalam kehidupan manusia. Matius 11:2-11 merupakan refleksi iman mereka (pengikut-pengikut Kristus yang tertidas) bahwa akan ada Mesias yang akan datang menyelamatkan. Berbicara mengenai tanda-tanda kehadiran Sang Mesias, dalam masa penantian Mesias yang kedua (parousia) ini, banyak yang mengaku bahwa Ia percaya kepada Sang Mesias, namun mereka tidak memahami penyelamatan Sang Mesias dalam kehidupannya. Seperti orang yang terjebak di atas atap tersebut. Ia mengira kehidupan yang ia jalani kini bukanlah penyelamatan Sang Mesias. Pengharapan itu penting. Itulah yang digumuli oleh pembaca Matius. Maksudnya ialah tanda-tanda kedatangan Sang Mesias di dalam kehidupan mereka adalah dengan adanya pengharapan. Pengharapan dalam arti terus bergumul, berusaha, dan berdoa kepada Sang Mesias. Kadang orang tidak dapat melihat adanya pengharapan atau karya penyelamatan Sang Mesias di dalam kehidupannya. Mereka berpikir Sang Mesias sedang tidak berkarya di dalam hidupnya. Untuk itu, penulis ingin mengajak mereka dan kita untuk tetap berpengharapan di dalam Dia. Selamat berpengharapan. Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
Masa adven ini adalah masa di mana kita memperingati akan kedatangan Sang Juruselamat yang pernah datang kedunia. Berbicara mengenai tanda-tanda kehadiran Sang Juruselamat atau Sang Mesias, tidak ada seorang pun yang tahu. Seperti disebutkan bahwa Ia datang selayaknya pencuri. (1 Tes.5:2). Ketika berbicara mengenai kehadiran Sang Mesias, harus kita sadari juga bahwa kehadiran Sang Mesias bukan saja mengenai kehadiran-Nya pada masa yang akan datang. Tetapi, berbicara juga mengenai kehadiran-Nya saat ini di tengah-tengah kehidupan kita. Ada yang mengatakan bahwa kehadiran Sang Mesias ditandai dengan adanya berbagai macam bencana alam. Tetapi, Ia sendiri tidak pernah mengatakan dalam bentuk apa Sang Mesias hadir kembali dalam kehidupan manusia. Matius 11:2-11 merupakan refleksi iman mereka (pengikut-pengikut Kristus yang tertidas) bahwa akan ada Mesias yang akan datang menyelamatkan. Berbicara mengenai tanda-tanda kehadiran Sang Mesias, dalam masa penantian Mesias yang kedua (parousia) ini, banyak yang mengaku bahwa Ia percaya kepada Sang Mesias, namun mereka tidak memahami penyelamatan Sang Mesias dalam kehidupannya. Seperti orang yang terjebak di atas atap tersebut. Ia mengira kehidupan yang ia jalani kini bukanlah penyelamatan Sang Mesias. Pengharapan itu penting. Itulah yang digumuli oleh pembaca Matius. Maksudnya ialah tanda-tanda kedatangan Sang Mesias di dalam kehidupan mereka adalah dengan adanya pengharapan. Pengharapan dalam arti terus bergumul, berusaha, dan berdoa kepada Sang Mesias. Kadang orang tidak dapat melihat adanya pengharapan atau karya penyelamatan Sang Mesias di dalam kehidupannya. Mereka berpikir Sang Mesias sedang tidak berkarya di dalam hidupnya. Untuk itu, penulis ingin mengajak mereka dan kita untuk tetap berpengharapan di dalam Dia. Selamat berpengharapan. Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
KERAJAAN SORGA SUDAH DEKAT (Matius 3: 1-12)
“Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat.” (Matius 3:2)
Ketika berbicara mengenai kerajaan sorga yang metafisis di bumi orang-orang mengalami kesulitan. Orang-orang juga menjadi takut karena mereka telah diberikan bayangan bahwa kedatangan Kerajaan Sorga itu seperti yang digambarkan di dalam kitab Wahyu (dalam gambaran yang mengerikan dan baru akan terjadi di masa yang akan datang). Pertanyaannya benarkah demikian? Setiap orang membutuhkan pemahaman yang benar akan kerajaan sorga, namun tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kerajaan sorga itu sendiri. Berbicara mengenai kerajaan sorga di tengah masyarakat plural, ada perbedaan-perbedaan keyakinan atau pandangan yang menunjukkan bahwa ada “keperecayaan eksklusif” yang menganggap kerajaan sorga itu hanyalah milik golongan tertentu. Kita yakin bahwa setiap orang akan diselamatkan, tetapi bukan karena perbuatannya melainkan karena anugerah. Sebagai orang percaya kita percaya bahwa semua orang adalah umat Tuhan yang sama-sama memiliki kerajaan sorga itu. Namun, akibat kepercayaan eksklusif masing-masing golongan manusia tetap terpecah-pecah. Terpecah-pecahnya masing-masing golongan tidak disadari bukanlah akibat perbedaan pandangan itu, melainkan manusia tidak memahami mengapa mereka memperdebatkan perbedaan itu. Untuk itu, ketika berbicara mengenai kerajaan sorga sudah dekat sebetulnya berbicara mengenai usaha manusia “menyatakan kepada semua orang” bahwa kerajaan sorga itu bukanlah sesuatu yang bersifat partial atau milik sebagian golongan saja, melainkan milik semua umat. Seperti disebutkan di atas bahwa manusia tentu akan merasa takut, apabila kerajaan sorga digambarkan sebagai sesuatu yang menyeramkan. Untuk konteks di tengah-tengah manusia yang terpecah-pecah ini, sebagai orang percaya kita harus bisa menjelaskan bahwa kerajaan sorga itu bukanlah sesuatu yang mengerikan yang akan datang, melainkan sesuatu yang sudah ada di sini, saat ini dan kerajaan sorga itu adalah sesuatu yang bersifat perdamaian. Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
Ketika berbicara mengenai kerajaan sorga yang metafisis di bumi orang-orang mengalami kesulitan. Orang-orang juga menjadi takut karena mereka telah diberikan bayangan bahwa kedatangan Kerajaan Sorga itu seperti yang digambarkan di dalam kitab Wahyu (dalam gambaran yang mengerikan dan baru akan terjadi di masa yang akan datang). Pertanyaannya benarkah demikian? Setiap orang membutuhkan pemahaman yang benar akan kerajaan sorga, namun tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kerajaan sorga itu sendiri. Berbicara mengenai kerajaan sorga di tengah masyarakat plural, ada perbedaan-perbedaan keyakinan atau pandangan yang menunjukkan bahwa ada “keperecayaan eksklusif” yang menganggap kerajaan sorga itu hanyalah milik golongan tertentu. Kita yakin bahwa setiap orang akan diselamatkan, tetapi bukan karena perbuatannya melainkan karena anugerah. Sebagai orang percaya kita percaya bahwa semua orang adalah umat Tuhan yang sama-sama memiliki kerajaan sorga itu. Namun, akibat kepercayaan eksklusif masing-masing golongan manusia tetap terpecah-pecah. Terpecah-pecahnya masing-masing golongan tidak disadari bukanlah akibat perbedaan pandangan itu, melainkan manusia tidak memahami mengapa mereka memperdebatkan perbedaan itu. Untuk itu, ketika berbicara mengenai kerajaan sorga sudah dekat sebetulnya berbicara mengenai usaha manusia “menyatakan kepada semua orang” bahwa kerajaan sorga itu bukanlah sesuatu yang bersifat partial atau milik sebagian golongan saja, melainkan milik semua umat. Seperti disebutkan di atas bahwa manusia tentu akan merasa takut, apabila kerajaan sorga digambarkan sebagai sesuatu yang menyeramkan. Untuk konteks di tengah-tengah manusia yang terpecah-pecah ini, sebagai orang percaya kita harus bisa menjelaskan bahwa kerajaan sorga itu bukanlah sesuatu yang mengerikan yang akan datang, melainkan sesuatu yang sudah ada di sini, saat ini dan kerajaan sorga itu adalah sesuatu yang bersifat perdamaian. Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
BERSIAPLAH, KEDATANGAN-NYA TIDAK BISA DIDUGA! (Matius 24: 36-44)
”Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga." (Matius 24:44)
Berbicara mengenai kerajaan sorga, akan terasa tidak real apabila kita hanya menantikan kedatangan Yesus yang kedua kalinya atau menantikan saat setelah kematian. Apakah kerajaan sorga hanya terdapat setelah kedatangan Yesus yang kedua kalinya? Hendaklah kamu juga siap sedia. Setiap pertemuan adalah sangat berharga. Ketika anda berinteraksi dengan orang yang anda rasa belum anda kenal atau sama sekali belum mengenalnya, anda berbicara dengan orang tersebut entah mengenai hal apa, sebetulnya anda telah mengasihi. Anda mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Tuhan tidak dapat kita pahami hanya melalui satu cara. Tuhan ingin umat-Nya mempersiapkan diri. Karena anda mengalami perjumpaan dengan Tuhan setiap hari melalui orang-orang di sekitar anda. Tidak ada sesuatu yang kebetulan. Anda berinteraksi, maka di situ kasih terhadap sesama harus dinyatakan. Entah dengan memberikan senyuman atau membantu meneriakaan kata ”stop” saat orang yang anda temui di dalam angkot tidak didengar oleh sopir angkot. Ketika anda berpikir bahwa tidak seorang pun yang perduli terhadap anda atau ketika anda berpikir bahwa pergumulan anda tidak segera dijawab sesuai harapan anda, anda lekas menjadi berputus asa. Tanpa melihat sisi lain dari kenyataan yang ada, bahwa anda sedang diproses dengan cara yang tidak dapat anda lihat. Anda merasa sedang jalan di tempat. Sebetulnya Allah telah menyiapkan jawaban yang luar biasa. Ia menanti anda mempersiapkan diri untuk menerima karunia-karunia yang anda pikir tidak akan Ia berikan. Entah melalui orang-orang yang kita kenal maupun tidak. Atau melalui cara yang kita duga, maupun tidak kita duga. Bersiaplah. Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
Berbicara mengenai kerajaan sorga, akan terasa tidak real apabila kita hanya menantikan kedatangan Yesus yang kedua kalinya atau menantikan saat setelah kematian. Apakah kerajaan sorga hanya terdapat setelah kedatangan Yesus yang kedua kalinya? Hendaklah kamu juga siap sedia. Setiap pertemuan adalah sangat berharga. Ketika anda berinteraksi dengan orang yang anda rasa belum anda kenal atau sama sekali belum mengenalnya, anda berbicara dengan orang tersebut entah mengenai hal apa, sebetulnya anda telah mengasihi. Anda mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Tuhan tidak dapat kita pahami hanya melalui satu cara. Tuhan ingin umat-Nya mempersiapkan diri. Karena anda mengalami perjumpaan dengan Tuhan setiap hari melalui orang-orang di sekitar anda. Tidak ada sesuatu yang kebetulan. Anda berinteraksi, maka di situ kasih terhadap sesama harus dinyatakan. Entah dengan memberikan senyuman atau membantu meneriakaan kata ”stop” saat orang yang anda temui di dalam angkot tidak didengar oleh sopir angkot. Ketika anda berpikir bahwa tidak seorang pun yang perduli terhadap anda atau ketika anda berpikir bahwa pergumulan anda tidak segera dijawab sesuai harapan anda, anda lekas menjadi berputus asa. Tanpa melihat sisi lain dari kenyataan yang ada, bahwa anda sedang diproses dengan cara yang tidak dapat anda lihat. Anda merasa sedang jalan di tempat. Sebetulnya Allah telah menyiapkan jawaban yang luar biasa. Ia menanti anda mempersiapkan diri untuk menerima karunia-karunia yang anda pikir tidak akan Ia berikan. Entah melalui orang-orang yang kita kenal maupun tidak. Atau melalui cara yang kita duga, maupun tidak kita duga. Bersiaplah. Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
DALAM DIA ADA PENGAMPUNAN (Lukas 23: 33-43)
“Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34a)
Ada yin ada yang. Ada hitam ada putih. Ada baik ada buruk begitulah kehidupan ini. Coba anda renungkan sejenak apa yang anda lakukan saat ini. Mana yang sedang anda lakukan? Ketika masih kanak-kanak dulu, ada sebuah komik terkenal yang menceritakan kisah tentang persahabatan manusia dan robot kucing dari masa depan. Kucing tersebut memiliki berbagai macam alat yang dapat membawa manusia pergi ke mana saja, bahkan ke masa lalu. Biasanya manusia tersebut kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan. Yesus berkata ketika Ia disalib :”Ya, Bapa ampunilah mereka, sebab mereka, tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Ia tahu dan memang benar-benar adalah Anak Allah. Namun, manusia tidak percaya terhadap-Nya. Sungguh sebuah kesalahan yang tidak disadari oleh manusia. Tidak mau mengakui Yesus karena Yesus tidak hadir dalam sosok yang mereka harapkan. Orang-orang memojokkan Yesus karena mereka berpikir bahwa Yesus ingin menggoyahkan kedudukan mereka. Hingga kematiannya menjelang, orang di sebelah kanan yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus, tidak mau mengakui Yesus. Tidak mau mengakui karena orang itu berpikir bahwa apapun yang menjadi kepercayaannya pasti diselamatkan. Justru pikiran semacam ini yang membuat ia tidak diselamatkan. Tetapi, orang di sebelah kiri Yesus, mau mengakui Yesus sebagai juruselamat meskipun ia belum mengenal Yesus. Ia diselamatkan bukan karena “kepercayaannya”, tetapi karena Ia melihat Yesus adalah benar-benar juruselamat. Pertanyaannya, apakah untuk meyakini firman Tuhan kita harus menunggu Yesus datang kedua kali? Berbicara mengenai kerajaan sorgawi akan terasa sangat tidak real apabila kita membayangkan bahwa kerajaan sorga itu hanya ada setelah kematian. Adalah sebuah kekeliruan apabila kita menunggu untuk memperbaiki kesalahan kita. Jangan menunggu. Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
Ada yin ada yang. Ada hitam ada putih. Ada baik ada buruk begitulah kehidupan ini. Coba anda renungkan sejenak apa yang anda lakukan saat ini. Mana yang sedang anda lakukan? Ketika masih kanak-kanak dulu, ada sebuah komik terkenal yang menceritakan kisah tentang persahabatan manusia dan robot kucing dari masa depan. Kucing tersebut memiliki berbagai macam alat yang dapat membawa manusia pergi ke mana saja, bahkan ke masa lalu. Biasanya manusia tersebut kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan. Yesus berkata ketika Ia disalib :”Ya, Bapa ampunilah mereka, sebab mereka, tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Ia tahu dan memang benar-benar adalah Anak Allah. Namun, manusia tidak percaya terhadap-Nya. Sungguh sebuah kesalahan yang tidak disadari oleh manusia. Tidak mau mengakui Yesus karena Yesus tidak hadir dalam sosok yang mereka harapkan. Orang-orang memojokkan Yesus karena mereka berpikir bahwa Yesus ingin menggoyahkan kedudukan mereka. Hingga kematiannya menjelang, orang di sebelah kanan yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus, tidak mau mengakui Yesus. Tidak mau mengakui karena orang itu berpikir bahwa apapun yang menjadi kepercayaannya pasti diselamatkan. Justru pikiran semacam ini yang membuat ia tidak diselamatkan. Tetapi, orang di sebelah kiri Yesus, mau mengakui Yesus sebagai juruselamat meskipun ia belum mengenal Yesus. Ia diselamatkan bukan karena “kepercayaannya”, tetapi karena Ia melihat Yesus adalah benar-benar juruselamat. Pertanyaannya, apakah untuk meyakini firman Tuhan kita harus menunggu Yesus datang kedua kali? Berbicara mengenai kerajaan sorgawi akan terasa sangat tidak real apabila kita membayangkan bahwa kerajaan sorga itu hanya ada setelah kematian. Adalah sebuah kekeliruan apabila kita menunggu untuk memperbaiki kesalahan kita. Jangan menunggu. Oleh : Ni Luh Nugraheni Suyepha
TIDAK SEHELAI PUN RAMBUT KEPALA AKAN HILANG (Lukas 21: 7-19)
”Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang. Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.” (Lukas 21:18, 19)
Betapa pun orang mengatakan dan menganggap kita inferior atau kita dipandang sebagai orang-orang yang miskin dan rendah, kita adalah ciptaan Tuhan. Bukan karena pandangan orang yang menilai kita jelek, kemudian kita mengidentifikasikan diri dengan apa yang mereka katakan. Diri kita adalah mulia dihadapan Allah. Kesadaran itulah yang harus dimiliki. Lukas ingin meyakinkan Theofilus bahwa Kristus akan memelihara dirinya, meskipun ia akan dianggap inferior oleh para penyembah Artemis lainnya karena percaya kepada Kristus. Perkataan berbicara lebih keras daripada kenyataan. Theofilus sedang dalam pergumulan menghadapi orang-orang yang tidak dapat menerima perbedaan. Tidak semua orang pada zaman itu dapat menerima perkataan orang lain dengan akal sehat (common sense). Masih banyak orang yang belum bisa menerima iman (kepercayaan) orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin tanpa sadar orang lain menolak kita. Ketika secara tidak langsung kita menyatakan kepada orang lain dan berkata,”Saya tahu bahwa saya melakukan hal yang salah.” Kita memiliki harapan dan niat untuk berubah. Tetapi, kemudian orang lain berkata,”Makanya...udah tahu salah ngapain terus dilakukan?” Mungkin mendengar hal semacam itu membuat kita merasa tidak diperdulikan. Melalui perikop ini, penulis ingin mengatakan bahwa kita harus bertahan di dalam iman kita. Dalam sebuah Pendalaman Alkitab dikatakan hidup adalah perjuangan. Tentu di dalam menempuh kehidupan ini tidak sedikit halangan untuk mempertahankan iman kita kepada Kristus. Orang yang sudah lama mengikut Kristus tidak berarti terlepas dari tantangan. Oleh: Ni Luh Nugraheni Suyepha
Betapa pun orang mengatakan dan menganggap kita inferior atau kita dipandang sebagai orang-orang yang miskin dan rendah, kita adalah ciptaan Tuhan. Bukan karena pandangan orang yang menilai kita jelek, kemudian kita mengidentifikasikan diri dengan apa yang mereka katakan. Diri kita adalah mulia dihadapan Allah. Kesadaran itulah yang harus dimiliki. Lukas ingin meyakinkan Theofilus bahwa Kristus akan memelihara dirinya, meskipun ia akan dianggap inferior oleh para penyembah Artemis lainnya karena percaya kepada Kristus. Perkataan berbicara lebih keras daripada kenyataan. Theofilus sedang dalam pergumulan menghadapi orang-orang yang tidak dapat menerima perbedaan. Tidak semua orang pada zaman itu dapat menerima perkataan orang lain dengan akal sehat (common sense). Masih banyak orang yang belum bisa menerima iman (kepercayaan) orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin tanpa sadar orang lain menolak kita. Ketika secara tidak langsung kita menyatakan kepada orang lain dan berkata,”Saya tahu bahwa saya melakukan hal yang salah.” Kita memiliki harapan dan niat untuk berubah. Tetapi, kemudian orang lain berkata,”Makanya...udah tahu salah ngapain terus dilakukan?” Mungkin mendengar hal semacam itu membuat kita merasa tidak diperdulikan. Melalui perikop ini, penulis ingin mengatakan bahwa kita harus bertahan di dalam iman kita. Dalam sebuah Pendalaman Alkitab dikatakan hidup adalah perjuangan. Tentu di dalam menempuh kehidupan ini tidak sedikit halangan untuk mempertahankan iman kita kepada Kristus. Orang yang sudah lama mengikut Kristus tidak berarti terlepas dari tantangan. Oleh: Ni Luh Nugraheni Suyepha
DI HADAPAN DIA, SEMUA ORANG HIDUP (Lukas 20: 27-40)
Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup” (Lukas 20:38)
Orang-orang Saduki adalah orang-orang yang hanya menerima ”kitab tertulis” (Pentateukh, lima kitab pertama Alkitab). Orang-orang Saduki tidak mempercayai akan kehidupan kekal. Keluaran 3:6 mengatakan bahwa:”Allah adalah Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub.” Dari ayat ini, mereka menyimpulkan bahwa Allah itu adalah Allah para leluhur yang sudah mati. Tetapi, Yesus menunjukkan dari ayat ini bahwa jika Allah itu adalah Allah ”para leluhur” itu, maka mereka pasti hidup. Jika, Allah adalah Allah untuk orang-orang yang hidup. Maka kebangkitan itu terbukti. ”Kekinian” dapat menjadikan seseorang tidak dapat terbuka terhadap ”harapan futuris.” Yesus tahu ”kekinian” mereka, karena mereka hanya ingin mempertahankan posisi mereka. Mereka ingin menjadikan ”harapan futuris” Yesus, menjadi hal yang menggelikan. Mereka malu terhadap diri sendiri, mereka tidak berbuat sesuatu bagi orang-orang yang menderita. Tetapi, mereka tidak ingin kehilangan pamornya di hadapan orang banyak. Jika, ”harapan futuris” Yesus menarik keberpihakan orang banyak kepada-Nya, maka otomatis orang-orang Saduki dan ajarannya tidak diterima. Yesus ingin mengatakan bahwa masih ada ”harapan”. Pandangan ini didasarkan pada penderitaan orang-orang sezaman-Nya. Yesus ingin membangkitkan harapan orang-orang pada saat itu. Di sorga tidak akan ada yang menderita. Jika, orang-orang Saduki adalah orang-orang yang kaya dan makmur, tetapi menganggap orang-orang di luarnya adalah orang-orang yang ”inferior” dan menggelikan, maka Yesus ingin mengatakan bahwa di hadapan-Nya semua orang sama. Yesus tidak ingin orang-orang hanya ”menghapal” hukum-hukum Allah, tetapi lupa terhadap tujuan hidup (menolong orang-orang yang menderita). Oleh: Ni Luh Nugraheni Suyepa
Orang-orang Saduki adalah orang-orang yang hanya menerima ”kitab tertulis” (Pentateukh, lima kitab pertama Alkitab). Orang-orang Saduki tidak mempercayai akan kehidupan kekal. Keluaran 3:6 mengatakan bahwa:”Allah adalah Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub.” Dari ayat ini, mereka menyimpulkan bahwa Allah itu adalah Allah para leluhur yang sudah mati. Tetapi, Yesus menunjukkan dari ayat ini bahwa jika Allah itu adalah Allah ”para leluhur” itu, maka mereka pasti hidup. Jika, Allah adalah Allah untuk orang-orang yang hidup. Maka kebangkitan itu terbukti. ”Kekinian” dapat menjadikan seseorang tidak dapat terbuka terhadap ”harapan futuris.” Yesus tahu ”kekinian” mereka, karena mereka hanya ingin mempertahankan posisi mereka. Mereka ingin menjadikan ”harapan futuris” Yesus, menjadi hal yang menggelikan. Mereka malu terhadap diri sendiri, mereka tidak berbuat sesuatu bagi orang-orang yang menderita. Tetapi, mereka tidak ingin kehilangan pamornya di hadapan orang banyak. Jika, ”harapan futuris” Yesus menarik keberpihakan orang banyak kepada-Nya, maka otomatis orang-orang Saduki dan ajarannya tidak diterima. Yesus ingin mengatakan bahwa masih ada ”harapan”. Pandangan ini didasarkan pada penderitaan orang-orang sezaman-Nya. Yesus ingin membangkitkan harapan orang-orang pada saat itu. Di sorga tidak akan ada yang menderita. Jika, orang-orang Saduki adalah orang-orang yang kaya dan makmur, tetapi menganggap orang-orang di luarnya adalah orang-orang yang ”inferior” dan menggelikan, maka Yesus ingin mengatakan bahwa di hadapan-Nya semua orang sama. Yesus tidak ingin orang-orang hanya ”menghapal” hukum-hukum Allah, tetapi lupa terhadap tujuan hidup (menolong orang-orang yang menderita). Oleh: Ni Luh Nugraheni Suyepa
KELUARGA YANG MURAH HATI (Lukas 19: 1-10)
Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Lukas 19:8)
Zakheus adalah orang yang mau berubah menjadi murah hati. Murah hati bukan berarti “murahan.” Banyak orang menyangka bahwa seseorang yang murah hati, seperti orang yang murahan (tidak memiliki harga diri). Padahal, murah hati itu sulit, karena memerlukan “komitmen” dan “kerelaan” untuk berubah. Dibutuhkan komitmen dan kerelaan yang besar untuk murah hati, sebab kemungkinan untuk “disakiti” oleh orang lain itu selalu ada, sehingga dapat merubah komitmen dan kerelaan itu. Orang-orang tidak suka terhadap Zakheus yang mau berubah. Hal ini, sering terjadi pada masyarakat pada saat itu. Mereka menganggap orang yang mau berubah adalah orang yang “munafik”. Apa yang mereka katakan seolah-olah itu yang paling benar. Sehingga, sering mematikan karakter orang lain. Bermurah hati, juga berarti memberi “kebebasan” kepada orang lain untuk berubah. Bukan malah mengatakan orang lain munafik. Orang-orang Farisi, penguasa-penguasa Romawi dan orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang tidak suka terhadap “tindakan” Yesus yang murah hati, karena mereka telah “kalah” dari Yesus. Mereka tidak dapat melakukan yang dilakukan Yesus (murah hati). Mereka iri terhadap Yesus, yang sudah lebih “maju.” Tetapi, Yesus yakin bahwa apa yang dilakukan-Nya (murah hati) adalah kehendak Bapa-Nya. Tidak ada yang dapat menghalangi-Nya untuk murah hati. Murah hati itu tidak mudah. Setiap orang membutuhkan usaha untuk melakukannya. Dalam proses itu, marilah kita bersama-sama berpengharapan bahwa kita semua akan dimampukan Tuhan. Oleh : Ni Luh Nugraheni S.
Zakheus adalah orang yang mau berubah menjadi murah hati. Murah hati bukan berarti “murahan.” Banyak orang menyangka bahwa seseorang yang murah hati, seperti orang yang murahan (tidak memiliki harga diri). Padahal, murah hati itu sulit, karena memerlukan “komitmen” dan “kerelaan” untuk berubah. Dibutuhkan komitmen dan kerelaan yang besar untuk murah hati, sebab kemungkinan untuk “disakiti” oleh orang lain itu selalu ada, sehingga dapat merubah komitmen dan kerelaan itu. Orang-orang tidak suka terhadap Zakheus yang mau berubah. Hal ini, sering terjadi pada masyarakat pada saat itu. Mereka menganggap orang yang mau berubah adalah orang yang “munafik”. Apa yang mereka katakan seolah-olah itu yang paling benar. Sehingga, sering mematikan karakter orang lain. Bermurah hati, juga berarti memberi “kebebasan” kepada orang lain untuk berubah. Bukan malah mengatakan orang lain munafik. Orang-orang Farisi, penguasa-penguasa Romawi dan orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang tidak suka terhadap “tindakan” Yesus yang murah hati, karena mereka telah “kalah” dari Yesus. Mereka tidak dapat melakukan yang dilakukan Yesus (murah hati). Mereka iri terhadap Yesus, yang sudah lebih “maju.” Tetapi, Yesus yakin bahwa apa yang dilakukan-Nya (murah hati) adalah kehendak Bapa-Nya. Tidak ada yang dapat menghalangi-Nya untuk murah hati. Murah hati itu tidak mudah. Setiap orang membutuhkan usaha untuk melakukannya. Dalam proses itu, marilah kita bersama-sama berpengharapan bahwa kita semua akan dimampukan Tuhan. Oleh : Ni Luh Nugraheni S.
KELUARGA YANG RENDAH HATI (Lukas 18: 9-14)
Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan oleh Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan. (Lukas 18 : 14)
Berbicara mengenai rendah hati, orang tidak dapat berbicara mengenai rendah hati ketika :di atas bukit” Contoh: politisi (apartheid). Seseorang tidak akan bisa melakukan apa yang dinamakan “menghargai” perbedaan, ketika ia “di atas” orang lain. Karena merasa harus lebih “tinggi” (mempertahankan status quo) dari orang lain, sehingga mereka “gengsi” untuk menghargai sesama. Kita semua tahu Yesus, Pelayanannya terhadap kaum marginal (terpinggirkan) begitu tulus. Ketulusan-Nya membuat Ia benar-benar “rendah”. Ia memposisikan diri “rendah” dan bergaul dengan semua orang, termasuk pelacur. (Lukas 7 : 36-50). Untuk menjadi rendah hati itu sulit. Tantangan terbesarnya, seperti yang telah disebutkan di atas adalah mempertahankan status quo (ingin menang sendiri). Di masyarakat pedesaan Bali, pada saat sebuah keluarga ada yang meninggal, orang-orang yang memiliki keahlian sebagai tukang kayu akan membantu proses pembuatan peti dengan sukarela. Orang-orang yang memiliki bahan untuk membuat peti, akan menyumbangkan bahannya. Orang yang berduka akan menggantinya ketika ia telah mampu untuk mengembalikan, tidak mampu pun tidak apa-apa. Yang penting ia juga mau hadir pada saat kematian orang lain. Kehadiran adalah suatu hal yang sederhana, namun sangat penting. Hal ini (kehadiran) adalah wujud kerendhan hati orang-orang didesa. Seperti Yesus, yang selalu “hadir” di dalam setiap kehidupan kaum marginal. Dengan kerendahan hati Yesus, maka tercipta sukacita di hati mereka. Maukah kita menjadi keluarga yang membawa kerendahan hati? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Berbicara mengenai rendah hati, orang tidak dapat berbicara mengenai rendah hati ketika :di atas bukit” Contoh: politisi (apartheid). Seseorang tidak akan bisa melakukan apa yang dinamakan “menghargai” perbedaan, ketika ia “di atas” orang lain. Karena merasa harus lebih “tinggi” (mempertahankan status quo) dari orang lain, sehingga mereka “gengsi” untuk menghargai sesama. Kita semua tahu Yesus, Pelayanannya terhadap kaum marginal (terpinggirkan) begitu tulus. Ketulusan-Nya membuat Ia benar-benar “rendah”. Ia memposisikan diri “rendah” dan bergaul dengan semua orang, termasuk pelacur. (Lukas 7 : 36-50). Untuk menjadi rendah hati itu sulit. Tantangan terbesarnya, seperti yang telah disebutkan di atas adalah mempertahankan status quo (ingin menang sendiri). Di masyarakat pedesaan Bali, pada saat sebuah keluarga ada yang meninggal, orang-orang yang memiliki keahlian sebagai tukang kayu akan membantu proses pembuatan peti dengan sukarela. Orang-orang yang memiliki bahan untuk membuat peti, akan menyumbangkan bahannya. Orang yang berduka akan menggantinya ketika ia telah mampu untuk mengembalikan, tidak mampu pun tidak apa-apa. Yang penting ia juga mau hadir pada saat kematian orang lain. Kehadiran adalah suatu hal yang sederhana, namun sangat penting. Hal ini (kehadiran) adalah wujud kerendhan hati orang-orang didesa. Seperti Yesus, yang selalu “hadir” di dalam setiap kehidupan kaum marginal. Dengan kerendahan hati Yesus, maka tercipta sukacita di hati mereka. Maukah kita menjadi keluarga yang membawa kerendahan hati? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
KELUARGA BERTUMBUH DALAM IMAN (Lukas 18: 1-8)
Akan tetapi, jika Anak manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi? (Lukas 18: 8)
Apakah pertumbuhan iman bisa diukur? Tentu saja! Ada orang yang lemah iman, ada juga orang yang kuat imannya ketika berhadapan dengan penderitaan hidup. Ada orang yang memiliki iman sebesar biji sesawi, ada juga yang memiliki iman sebesar biji nangka. Pada dasarnya, iman itu sesuatu yang dinamis, bukan sesuatu yang statis. Tentu saja iman kita bisa menjadi statis (tidak bertumbuh, malah mungkin menjadi layu) kalau kita menganggap iman otomatis bertumbuh dengan sendirinya. Pertumbuhan iman harus diupayakan. Itulah inti perumpamaan mengenai hakim yang lalim yang disampaikan oleh Yesus. Hakim yang lalim itu tak pernah berniat untuk menangani kasus yang melibatkan janda miskin tersebut. Biasanya kasus semacam ini tidak memberikan keuntungan materi bagi hakim tersebut. Akan tetapi, karena janda miskin itu tidak jemu-jemu mendatangi rumah hakim untuk meminta pertolongannya, sang hakim pada akhirnya mengabulkan permohonannya. Sangat jelas, janda miskin itu punya keyakinan yang kokoh bahwa pada suatu saat sang hakim pasti akan mau menolongnya. Oleh sebab itulah ia tidak jemu-jemu meminta pertolongan padanya. Seperti seorang janda yang tidak pernah merasa jemu mengupayakan nasibnya agar dibela oleh hakim lalim itu, demikian juga seorang yang bertumbuh dalam iman tidak akan pernah merasa jemu untuk memercayakan hidupnya pada Tuhan. Bertumbuh dalam iman berarti tetap memiliki iman yang kokoh pada Tuhan bahkan ketika hidup berjalan tidak seperti yang diharapkan. Pada umumnya, iman bertumbuh dalam saat-saat sukacita manusia. Meski demikian, iman pun sebenarnya tetap bisa bertumbuh pada saat penderitaan dan dukacita kita. Oleh karena itu, jangan biarkan penderitaan dan dukacita yang Anda alami menjadikan iman Anda layu! Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Apakah pertumbuhan iman bisa diukur? Tentu saja! Ada orang yang lemah iman, ada juga orang yang kuat imannya ketika berhadapan dengan penderitaan hidup. Ada orang yang memiliki iman sebesar biji sesawi, ada juga yang memiliki iman sebesar biji nangka. Pada dasarnya, iman itu sesuatu yang dinamis, bukan sesuatu yang statis. Tentu saja iman kita bisa menjadi statis (tidak bertumbuh, malah mungkin menjadi layu) kalau kita menganggap iman otomatis bertumbuh dengan sendirinya. Pertumbuhan iman harus diupayakan. Itulah inti perumpamaan mengenai hakim yang lalim yang disampaikan oleh Yesus. Hakim yang lalim itu tak pernah berniat untuk menangani kasus yang melibatkan janda miskin tersebut. Biasanya kasus semacam ini tidak memberikan keuntungan materi bagi hakim tersebut. Akan tetapi, karena janda miskin itu tidak jemu-jemu mendatangi rumah hakim untuk meminta pertolongannya, sang hakim pada akhirnya mengabulkan permohonannya. Sangat jelas, janda miskin itu punya keyakinan yang kokoh bahwa pada suatu saat sang hakim pasti akan mau menolongnya. Oleh sebab itulah ia tidak jemu-jemu meminta pertolongan padanya. Seperti seorang janda yang tidak pernah merasa jemu mengupayakan nasibnya agar dibela oleh hakim lalim itu, demikian juga seorang yang bertumbuh dalam iman tidak akan pernah merasa jemu untuk memercayakan hidupnya pada Tuhan. Bertumbuh dalam iman berarti tetap memiliki iman yang kokoh pada Tuhan bahkan ketika hidup berjalan tidak seperti yang diharapkan. Pada umumnya, iman bertumbuh dalam saat-saat sukacita manusia. Meski demikian, iman pun sebenarnya tetap bisa bertumbuh pada saat penderitaan dan dukacita kita. Oleh karena itu, jangan biarkan penderitaan dan dukacita yang Anda alami menjadikan iman Anda layu! Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
KELUARGA PENUH DENGAN UCAP SYUKUR (Lukas 17: 11-19)
Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain daripada orang asing ini? (Lukas 17:18)
Pada saat apakah manusia pada umumnya melupakan Tuhan? Pada saat senang ataukah saat sedih? Pada saat berdaya ataukah saat tidak berdaya? Seseorang bisa melupakan Tuhan pada saat sedih ataupun suka, sebaliknya seseorang juga bisa ingat kepada Tuhan saat berdaya maupun tidak berdaya. Kesepuluh orang kusta itu ingat Yesus pada saat mereka sedang sedih dan tak berdaya. Ketika Yesus lewat di tempat mereka dikucilkan oleh masyarakat karena sakit kusta yang dideritanya, mereka datang dan memohon agar Yesus menyembuhkan mereka. Begitu mendengar permintaan orang-orang kusta ini, Yesus menyuruh mereka pergi dan memperlihatkan diri mereka kepada imam-imam. Ini tentu jawaban yang tidak mereka harapkan. Mereka ingin sembuh, tetapi Yesus malah memerintahkan mereka untuk menghadap imam-imam. Apakah imam-imam itu mau menerima mereka yang sakit kusta dan yang juga dinyatakan najis oleh hukum agama karena penyakit yang dideritanya tersebut? Namun, tekad mereka sudah bulat. Harapan satu-satunya untuk sembuh hanya ada pada Yesus. Mereka pergi melakukan seperti yang diperintahkan Yesus dan dalam perjalanan kesepuluh orang kusta itu menjadi sembuh dari sakitnya. Meski demikian, hanya satu orang yang ingat Yesus pada saat suka. Ia, seorang Samaria yang kembali untuk berucap syukur pada Yesus atas kesembuhan yang dikaruniakan. Apakah keluarga kita berucap syukur kepada Tuhan pada saat senang atau sedih? Kita bisa berucap syukur pada Tuhan saat sedih dan tak berdaya, bukan karena kita pasrah dan menerima begitu saja apa yang telah membuat kita sedih dan tak berdaya, tetapi karena kita yakin Tuhan tidak akan meninggalkan kita dalam saat sedih dan tak berdaya. Kita juga berucap syukur pada Tuhan pada saat senang atau bahagia , karena kita yakin kesenangan atau kebahagiaan yang kita rasakan itu berasal dari berkat-berkat Tuhan yang dianugerahkan pada kita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Pada saat apakah manusia pada umumnya melupakan Tuhan? Pada saat senang ataukah saat sedih? Pada saat berdaya ataukah saat tidak berdaya? Seseorang bisa melupakan Tuhan pada saat sedih ataupun suka, sebaliknya seseorang juga bisa ingat kepada Tuhan saat berdaya maupun tidak berdaya. Kesepuluh orang kusta itu ingat Yesus pada saat mereka sedang sedih dan tak berdaya. Ketika Yesus lewat di tempat mereka dikucilkan oleh masyarakat karena sakit kusta yang dideritanya, mereka datang dan memohon agar Yesus menyembuhkan mereka. Begitu mendengar permintaan orang-orang kusta ini, Yesus menyuruh mereka pergi dan memperlihatkan diri mereka kepada imam-imam. Ini tentu jawaban yang tidak mereka harapkan. Mereka ingin sembuh, tetapi Yesus malah memerintahkan mereka untuk menghadap imam-imam. Apakah imam-imam itu mau menerima mereka yang sakit kusta dan yang juga dinyatakan najis oleh hukum agama karena penyakit yang dideritanya tersebut? Namun, tekad mereka sudah bulat. Harapan satu-satunya untuk sembuh hanya ada pada Yesus. Mereka pergi melakukan seperti yang diperintahkan Yesus dan dalam perjalanan kesepuluh orang kusta itu menjadi sembuh dari sakitnya. Meski demikian, hanya satu orang yang ingat Yesus pada saat suka. Ia, seorang Samaria yang kembali untuk berucap syukur pada Yesus atas kesembuhan yang dikaruniakan. Apakah keluarga kita berucap syukur kepada Tuhan pada saat senang atau sedih? Kita bisa berucap syukur pada Tuhan saat sedih dan tak berdaya, bukan karena kita pasrah dan menerima begitu saja apa yang telah membuat kita sedih dan tak berdaya, tetapi karena kita yakin Tuhan tidak akan meninggalkan kita dalam saat sedih dan tak berdaya. Kita juga berucap syukur pada Tuhan pada saat senang atau bahagia , karena kita yakin kesenangan atau kebahagiaan yang kita rasakan itu berasal dari berkat-berkat Tuhan yang dianugerahkan pada kita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
MELAKUKAN YANG HARUS DILAKUKAN (Lukas 17 : 7-10)
...Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan. (Lukas 17:10)
Apakah ada sesuatu yang menurut Anda harus Anda lakukan di dalam kehidupan ini? Ada orang yang merasa harus menyelamatkan lingkungan hidup. Orang lain lagi merasa harus bekerja keras supaya sukses. Ada juga orang yang merasa harus menghalang-halangi orang lain membangun tempat ibadah mereka. Tentu saja, pertanyaan selanjutnya: Mengapa harus? Siapa yang mengharuskan? Yesus mengajarkan spiritualitas kehambaan kepada orang banyak agar mereka bisa memahami relasi mereka dengan Tuhan dan sesama. Mengapa spiritualitas seorang hamba dan bukan seorang tuan? Karena di hadapan Tuhan, umat manusia adalah hamba yang harus melaksanakan kehendak tuannya. Harus berarti wajib, tidak bisa tidak, tidak ada tawar menawar! Tuhan memberikan tugas kepada manusia, manusia harus melakukan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya tersebut. Dalam spiritualitas kehambaan, seorang hamba harus senantiasa siap sedia melakukan tugas yang diberikan tuannya tanpa kenal lelah. Seorang hamba juga tidak perlu mengharapkan pujian, ucapan terima kasih dan imbalan jasa dari tuannya. Seorang hamba bahkan juga perlu menegaskan di hadapan tuannya apa yang telah diperbuatnya untuk tuannya sebenarnya tidaklah berarti apa-apa. Spiritualitas kehambaan seperti inilah yang dilakukan Yesus melalui kematian-Nya di kayu salib. Yesus, Sang Putra telah menempatkan diri sebagai Hamba yang harus melakukan tugas yang diberikan Bapa-Nya untuk mewujudkan keselamatan bagi manusia. Sakramen Perjamuan Kudus senantiasa menyimpan kenangan spiritualitas kehambaan Yesus bagi keselamatan manusia. Yesus telah melakukan apa yang harus Ia lakukan untuk menyelamatkan umat manusia. Mari kita bertanya pada diri kita sendiri: Apa yang harus aku lakukan supaya kehidupanku, keluargaku, gerejaku, masyarakatku, bangsaku dan bumiku ini menjadi semakin lebih baik? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Apakah ada sesuatu yang menurut Anda harus Anda lakukan di dalam kehidupan ini? Ada orang yang merasa harus menyelamatkan lingkungan hidup. Orang lain lagi merasa harus bekerja keras supaya sukses. Ada juga orang yang merasa harus menghalang-halangi orang lain membangun tempat ibadah mereka. Tentu saja, pertanyaan selanjutnya: Mengapa harus? Siapa yang mengharuskan? Yesus mengajarkan spiritualitas kehambaan kepada orang banyak agar mereka bisa memahami relasi mereka dengan Tuhan dan sesama. Mengapa spiritualitas seorang hamba dan bukan seorang tuan? Karena di hadapan Tuhan, umat manusia adalah hamba yang harus melaksanakan kehendak tuannya. Harus berarti wajib, tidak bisa tidak, tidak ada tawar menawar! Tuhan memberikan tugas kepada manusia, manusia harus melakukan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya tersebut. Dalam spiritualitas kehambaan, seorang hamba harus senantiasa siap sedia melakukan tugas yang diberikan tuannya tanpa kenal lelah. Seorang hamba juga tidak perlu mengharapkan pujian, ucapan terima kasih dan imbalan jasa dari tuannya. Seorang hamba bahkan juga perlu menegaskan di hadapan tuannya apa yang telah diperbuatnya untuk tuannya sebenarnya tidaklah berarti apa-apa. Spiritualitas kehambaan seperti inilah yang dilakukan Yesus melalui kematian-Nya di kayu salib. Yesus, Sang Putra telah menempatkan diri sebagai Hamba yang harus melakukan tugas yang diberikan Bapa-Nya untuk mewujudkan keselamatan bagi manusia. Sakramen Perjamuan Kudus senantiasa menyimpan kenangan spiritualitas kehambaan Yesus bagi keselamatan manusia. Yesus telah melakukan apa yang harus Ia lakukan untuk menyelamatkan umat manusia. Mari kita bertanya pada diri kita sendiri: Apa yang harus aku lakukan supaya kehidupanku, keluargaku, gerejaku, masyarakatku, bangsaku dan bumiku ini menjadi semakin lebih baik? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
PEMIMPIN YANG MENDENGAR (Lukas 16: 19-31)
Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati (Lukas 16: 31)
Mendengar itu ada ragamnya. Mendengar sekadar didengarkan kemudian dilupakan. Mendengar untuk memerhatikan dengan serius atau kesungguhan, atau mendengar untuk sopan-santun. Mendengar bunyi ban motor meletus tentu saja berbeda dengan mendengar kotbah pendeta. Mendengar bunyi ban motor meletus tidak perlu secara serius dan sungguh-sungguh. Sebaliknya, mendengarkan kotbah pendeta jangan sekadar untuk sopan-santun. Yesus menceritakan kisah tentang seorang kaya dan Lazarus yang miskin. Semasa hidupnya, orang kaya itu hidup dalam segala kemewahannya sedangkan Lazarus dalam segala kemiskinan dan penderitaannya. Akan tetapi setelah mereka mati, situasi menjadi terbalik. Dalam kehidupan sesudah kematian tersebut, Lazarus berada dalam pangkuan Abraham, sedangkan orang kaya itu menderita sengsara di alam maut. Orang kaya yang sengsara ini tidak ingin saudara-saudaranya juga mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Ia meminta Abraham supaya ada orang mati yang bangkit kembali dari alam maut memperingatkan saudara-saudaranya agar tidak mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Akan tetapi Abraham menolak permintaan orang kaya ini karena ketika mereka tidak mau mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka juga tidak akan mendengarkan kata-kata dari seorang yang bangkit dari antara orang mati. Agar bisa mendengarkan dengan baik, seseorang harus punya sikap terbuka lebih dulu, jika tidak, siapa pun yang berbicara juga tidak akan didengarkan. Seorang pemimpin tentu diharapkan menjadi pendengar yang baik sehingga bisa mengetahui pergumulan dan kebutuhan orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin atau siapapun harus punya keberanian untuk mendengar hal yang baik atau bahkan kritik tentang dirinya sendiri. Bukankah dengan mendengar kritik itu kita bisa mengembangkan hidup kita semakin lebih baik? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Mendengar itu ada ragamnya. Mendengar sekadar didengarkan kemudian dilupakan. Mendengar untuk memerhatikan dengan serius atau kesungguhan, atau mendengar untuk sopan-santun. Mendengar bunyi ban motor meletus tentu saja berbeda dengan mendengar kotbah pendeta. Mendengar bunyi ban motor meletus tidak perlu secara serius dan sungguh-sungguh. Sebaliknya, mendengarkan kotbah pendeta jangan sekadar untuk sopan-santun. Yesus menceritakan kisah tentang seorang kaya dan Lazarus yang miskin. Semasa hidupnya, orang kaya itu hidup dalam segala kemewahannya sedangkan Lazarus dalam segala kemiskinan dan penderitaannya. Akan tetapi setelah mereka mati, situasi menjadi terbalik. Dalam kehidupan sesudah kematian tersebut, Lazarus berada dalam pangkuan Abraham, sedangkan orang kaya itu menderita sengsara di alam maut. Orang kaya yang sengsara ini tidak ingin saudara-saudaranya juga mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Ia meminta Abraham supaya ada orang mati yang bangkit kembali dari alam maut memperingatkan saudara-saudaranya agar tidak mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Akan tetapi Abraham menolak permintaan orang kaya ini karena ketika mereka tidak mau mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka juga tidak akan mendengarkan kata-kata dari seorang yang bangkit dari antara orang mati. Agar bisa mendengarkan dengan baik, seseorang harus punya sikap terbuka lebih dulu, jika tidak, siapa pun yang berbicara juga tidak akan didengarkan. Seorang pemimpin tentu diharapkan menjadi pendengar yang baik sehingga bisa mengetahui pergumulan dan kebutuhan orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin atau siapapun harus punya keberanian untuk mendengar hal yang baik atau bahkan kritik tentang dirinya sendiri. Bukankah dengan mendengar kritik itu kita bisa mengembangkan hidup kita semakin lebih baik? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
PEMIMPIN SETIA DALAM PERKARA KECIL (Lukas 16: 1-13)
Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.... (Lukas 16:10)
Apa yang membuat seseorang bisa menjadi pemimpin besar? Ia mau mengerjakan hal-hal kecil yang bahkan seringkali dianggap tidak berarti oleh orang lain. Meskipun demikian, ia melakukan hal-hal yang kecil, sepele, atau remeh itu dengan impian masa depan yang besar. Ada kata-kata bijak dalam bahasa Inggris: Leadership is action, not position. Kata-kata bijak ini bermakna bahwa pemimpin sejati tidak dinilai dari posisinya, tetapi dinilai dari karya yang ia wujudkan. Yesus menceritakan perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur dan tidak setia dalam melaksanakan tugasnya. Ia seorang bendahara, kata yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah: oikonomos, sebenarnya berarti seorang manajer kepemilikan. Sebagai manajer kepemilikan, ia diberi kekuasaan dan kepercayaan dari tuannya untuk mengatur dan mengelola segala milik tuannya. Namun demikian, ia gagal mempertanggungjawabkan posisinya tersebut. Ia telah menghamburkan harta milik tuannya. Ia diminta mempertanggungjawabkan pekerjaannya tersebut dan dipecat oleh tuannya. Perumpamaan ini sengaja diceritakan Yesus untuk mengajarkan pentingnya berlaku setia dan bertanggungjawab dalam setiap pekerjaan dan berkat yang diberikan Tuhan betapa pun pekerjaaan atau berkat tersebut tampaknya kecil, sepele atau remeh dibandingkan dengan lainnya. Sesungguhnya, tidak ada sesuatu bisa menjadi besar tanpa diawali dari yang kecil. Yang besar itu awalnya dari yang kecil juga. Oleh sebab itu, posisi apa pun yang sekarang kita punyai dalam hidup ini, tidak perlu menjadi halangan untuk bertumbuh dalam iman dan kesetiaan kepada Tuhan. Seorang pejabat tinggi yang tindakannya amoral justru tidak berharga di tengah kehidupan masyarakat, sebaliknya seorang yang dianggap tidak punya jabatan justru berharga bagi masyarakat jika karyanya bermanfaat bagi masyarakat. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Apa yang membuat seseorang bisa menjadi pemimpin besar? Ia mau mengerjakan hal-hal kecil yang bahkan seringkali dianggap tidak berarti oleh orang lain. Meskipun demikian, ia melakukan hal-hal yang kecil, sepele, atau remeh itu dengan impian masa depan yang besar. Ada kata-kata bijak dalam bahasa Inggris: Leadership is action, not position. Kata-kata bijak ini bermakna bahwa pemimpin sejati tidak dinilai dari posisinya, tetapi dinilai dari karya yang ia wujudkan. Yesus menceritakan perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur dan tidak setia dalam melaksanakan tugasnya. Ia seorang bendahara, kata yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah: oikonomos, sebenarnya berarti seorang manajer kepemilikan. Sebagai manajer kepemilikan, ia diberi kekuasaan dan kepercayaan dari tuannya untuk mengatur dan mengelola segala milik tuannya. Namun demikian, ia gagal mempertanggungjawabkan posisinya tersebut. Ia telah menghamburkan harta milik tuannya. Ia diminta mempertanggungjawabkan pekerjaannya tersebut dan dipecat oleh tuannya. Perumpamaan ini sengaja diceritakan Yesus untuk mengajarkan pentingnya berlaku setia dan bertanggungjawab dalam setiap pekerjaan dan berkat yang diberikan Tuhan betapa pun pekerjaaan atau berkat tersebut tampaknya kecil, sepele atau remeh dibandingkan dengan lainnya. Sesungguhnya, tidak ada sesuatu bisa menjadi besar tanpa diawali dari yang kecil. Yang besar itu awalnya dari yang kecil juga. Oleh sebab itu, posisi apa pun yang sekarang kita punyai dalam hidup ini, tidak perlu menjadi halangan untuk bertumbuh dalam iman dan kesetiaan kepada Tuhan. Seorang pejabat tinggi yang tindakannya amoral justru tidak berharga di tengah kehidupan masyarakat, sebaliknya seorang yang dianggap tidak punya jabatan justru berharga bagi masyarakat jika karyanya bermanfaat bagi masyarakat. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
PEMIMPIN MENCARI YANG HILANG (Lukas 15 : 1-10)
Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu
orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh
sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan (Lukas 15: 7)
Apa yang Anda rasakan jikalau mobil Anda yang dicuri dapat ditemukan kembali? Saya yakin, Anda sungguh bersukacita. Apa yang Anda rasakan jikalau mobil tetangga Anda yang dicuri telah ditemukan kembali? Bisa saja Anda juga ikut merasa senang, tetapi kadar perasaan senang ini pasti berbeda dengan tetangga kita yang kehilangan itu. Menurut orang Jawa, perbedaan kadar rasa senang/sukacita ini disebabkan karena perbedaan rasa handarbeni, kadar rasa kepemilikan atau keterhubungannya. Seorang yang memiliki kadar keterhubungan yang dalam akan sangat kehilangan atau sangat sukacita dibandingkan mereka yang memiliki kadar keterhubungan yang dangkal.Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat pada zaman Yesus, tampaknya tidak punya hubungan yang mendalam dengan para pemungut cukai dan orang-orang yang dianggap berdosa pada waktu itu. “Mereka” sudah tidak lagi dianggap kelompok “kita”. Oleh sebab itulah apa yang terjadi pada “mereka” tidak ada lagi hubungannya dengan “kita”. Berbeda dengan Yesus, hubungannya begitu mendalam. Terlihat dari kesediaan-Nya untuk memperbolehkan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa mendengarkan sabda-Nya (pada masa itu, mereka dianggap tidak layak dan bahkan sering dilarang untuk menerima ajaran Taurat). Melalui perumpamaan domba dan dirham yang hilang, Yesus mengajarkan: Mereka “yang terhilang”, justru bukan untuk dibiarkan “hilang”, seakan-akan mereka sudah sepantasnya menjadi “yang terhilang”. “Yang hilang” justru perlu dicari dan dirangkul kembali. Warga Jemaat sebagai Tubuh Kristus, semestinya memiliki rasa handarbeni yang mendalam satu dengan yang lainnya. Ketika ada “yang terhilang”, semua akan merasakan kehilangan. Rasa handarbeni yang mendalam akan menciptakan pemimpin-pemimpin dan warga jemaat yang mencari mereka “yang hilang”. Jika satu “yang hilang” ditemukan, semua akan bersukacita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Apa yang Anda rasakan jikalau mobil Anda yang dicuri dapat ditemukan kembali? Saya yakin, Anda sungguh bersukacita. Apa yang Anda rasakan jikalau mobil tetangga Anda yang dicuri telah ditemukan kembali? Bisa saja Anda juga ikut merasa senang, tetapi kadar perasaan senang ini pasti berbeda dengan tetangga kita yang kehilangan itu. Menurut orang Jawa, perbedaan kadar rasa senang/sukacita ini disebabkan karena perbedaan rasa handarbeni, kadar rasa kepemilikan atau keterhubungannya. Seorang yang memiliki kadar keterhubungan yang dalam akan sangat kehilangan atau sangat sukacita dibandingkan mereka yang memiliki kadar keterhubungan yang dangkal.Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat pada zaman Yesus, tampaknya tidak punya hubungan yang mendalam dengan para pemungut cukai dan orang-orang yang dianggap berdosa pada waktu itu. “Mereka” sudah tidak lagi dianggap kelompok “kita”. Oleh sebab itulah apa yang terjadi pada “mereka” tidak ada lagi hubungannya dengan “kita”. Berbeda dengan Yesus, hubungannya begitu mendalam. Terlihat dari kesediaan-Nya untuk memperbolehkan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa mendengarkan sabda-Nya (pada masa itu, mereka dianggap tidak layak dan bahkan sering dilarang untuk menerima ajaran Taurat). Melalui perumpamaan domba dan dirham yang hilang, Yesus mengajarkan: Mereka “yang terhilang”, justru bukan untuk dibiarkan “hilang”, seakan-akan mereka sudah sepantasnya menjadi “yang terhilang”. “Yang hilang” justru perlu dicari dan dirangkul kembali. Warga Jemaat sebagai Tubuh Kristus, semestinya memiliki rasa handarbeni yang mendalam satu dengan yang lainnya. Ketika ada “yang terhilang”, semua akan merasakan kehilangan. Rasa handarbeni yang mendalam akan menciptakan pemimpin-pemimpin dan warga jemaat yang mencari mereka “yang hilang”. Jika satu “yang hilang” ditemukan, semua akan bersukacita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
PEMIMPIN YANG RELA BERKORBAN (Lukas 14 : 25-33)
Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya, tidak dapat menjadi murid-Ku (Lukas 14: 33)
Dunia, dalam sejarahnya, penuh dengan pemimpin diktator. Hitler, Stalin, Idi Amin, Pol Plot merupakan sebagian kecil para diktator yang pernah hidup di dunia ini. Tanda yang tampak jelas dari para pemimpin diktator: mereka tidak segan-segan mengorbankan orang lain demi menggapai tujuan dan melanggengkan kekuasaan mereka. Kepemilikan dan keterikatan sering menjadi godaan besar dalam mengikuti Yesus. Seorang tidak bisa menjadi murid Yesus yang sejati, kalau ia terikat mutlak dengan segala identitas dirinya, misalnya: keluarga, suku, agama. Identitas diri ini kemudian menciptakan “titik buta” pada pandangannya: keluarga, suku, dan agamanyalah yang berhak hidup dengan baik di dunia ini dan bukan keluarga, suku dan agama lain. Pada saat identitas diri sudah membelenggu semacam inilah, Yesus berkata:”Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Perhatikan kata: nyawanya sendiri, kata-kata ini menolak pemutlakan identitas diri. Demikian juga, seorang tidak bisa menjadi murid Yesus yang sejati, kalau ia terikat mutlak dengan kepemilikan dan harta, sehingga kepemilikan dan harta menjadi tujuan utama hidupnya. Pada saat kepemilikan dan harta sudah membelenggu semacam inilah, Yesus berkata: Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.” Pemimpin yang beriman pada Yesus adalah pemimpin yang menolak belenggu kemutlakan identitas diri dan kepemilikan. Ia seorang pemimpin yang rela berkorban, karena ia menyadari kepemimpinannya bukan hanya untuk kelompoknya sendirinya melainkan untuk semua orang. Pemimpin sejati bukan seorang diktator, yang mengorbankan orang lain melainkan seorang yang bahkan rela mengorbankan dirinya demi orang lain. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Dunia, dalam sejarahnya, penuh dengan pemimpin diktator. Hitler, Stalin, Idi Amin, Pol Plot merupakan sebagian kecil para diktator yang pernah hidup di dunia ini. Tanda yang tampak jelas dari para pemimpin diktator: mereka tidak segan-segan mengorbankan orang lain demi menggapai tujuan dan melanggengkan kekuasaan mereka. Kepemilikan dan keterikatan sering menjadi godaan besar dalam mengikuti Yesus. Seorang tidak bisa menjadi murid Yesus yang sejati, kalau ia terikat mutlak dengan segala identitas dirinya, misalnya: keluarga, suku, agama. Identitas diri ini kemudian menciptakan “titik buta” pada pandangannya: keluarga, suku, dan agamanyalah yang berhak hidup dengan baik di dunia ini dan bukan keluarga, suku dan agama lain. Pada saat identitas diri sudah membelenggu semacam inilah, Yesus berkata:”Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Perhatikan kata: nyawanya sendiri, kata-kata ini menolak pemutlakan identitas diri. Demikian juga, seorang tidak bisa menjadi murid Yesus yang sejati, kalau ia terikat mutlak dengan kepemilikan dan harta, sehingga kepemilikan dan harta menjadi tujuan utama hidupnya. Pada saat kepemilikan dan harta sudah membelenggu semacam inilah, Yesus berkata: Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.” Pemimpin yang beriman pada Yesus adalah pemimpin yang menolak belenggu kemutlakan identitas diri dan kepemilikan. Ia seorang pemimpin yang rela berkorban, karena ia menyadari kepemimpinannya bukan hanya untuk kelompoknya sendirinya melainkan untuk semua orang. Pemimpin sejati bukan seorang diktator, yang mengorbankan orang lain melainkan seorang yang bahkan rela mengorbankan dirinya demi orang lain. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
BEBAS DARI KESOMBONGAN (Lukas 14: 7-11)
Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (Lukas 14: 11)
Kesombongan adalah permulaan dari dosa, demikian ujar Bapak Gerejawi yang bernama Agustinus. Oleh karena kesombonganlah Adam dan Hawa melanggar perintah Allah dan ingin menjadi sama seperti Allah. Manusia, ciptaan Allah ingin menempatkan dirinya setara dengan Sang Pencipta. Yesus menerima undangan makan bersama dari seorang Farisi. Peristiwa perjamuan makan ini sendiri sangatlah monumental. Banyak orang Farisi yang tidak menyukai Yesus, tetapi orang Farisi yang satu ini malah mengundang Yesus makan bersama (pasal 14 ayat 1). Ia pastilah orang Farisi yang tidak sombong rohani, kalau ia sombong ia tidak akan mengundang Yesus makan bersama. Sebaliknya, Yesus dengan senang hati memenuhi undangan makan bersama tersebut. Ketika Yesus melihat banyak orang berusaha menduduki tempat-tempat kehormatan, Yesus memakai kesempatan ini untuk mengajarkan sikap iman yang rendah hati dan tidak sombong melalui perumpamaan seseorang yang diundang ke pesta perkawinan. Apa yang diajarkan Yesus ini tentu bukan etiket (tata cara) menerima undangan makan. Melalui perumpamaan ini, Yesus mengajarkan suatu sikap iman yang rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama. Sikap iman yang rendah hati mengakui posisinya yang rendah di hadapan Tuhan yang Maha Tinggi dan kesetaraannya dengan sesama manusia. Seorang beriman juga bisa jatuh dalam kesombongan. Kesombongan seringkali bisa muncul dalam berbagai bentuk, misalnya: harta, kekuasaan, status, jabatan, suku dan bahkan agama. Dalam hidup ini, orang beriman perlu membedakan kesombongan dengan self-esteem, penghargaan terhadap diri sendiri. Seorang yang menghargai diri sendiri, pastilah akan menghargai orang lain dan Tuhan. Seorang yang sombong menghargai dirinya sendiri tetapi tidak menghargai orang lain dan Tuhan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Kesombongan adalah permulaan dari dosa, demikian ujar Bapak Gerejawi yang bernama Agustinus. Oleh karena kesombonganlah Adam dan Hawa melanggar perintah Allah dan ingin menjadi sama seperti Allah. Manusia, ciptaan Allah ingin menempatkan dirinya setara dengan Sang Pencipta. Yesus menerima undangan makan bersama dari seorang Farisi. Peristiwa perjamuan makan ini sendiri sangatlah monumental. Banyak orang Farisi yang tidak menyukai Yesus, tetapi orang Farisi yang satu ini malah mengundang Yesus makan bersama (pasal 14 ayat 1). Ia pastilah orang Farisi yang tidak sombong rohani, kalau ia sombong ia tidak akan mengundang Yesus makan bersama. Sebaliknya, Yesus dengan senang hati memenuhi undangan makan bersama tersebut. Ketika Yesus melihat banyak orang berusaha menduduki tempat-tempat kehormatan, Yesus memakai kesempatan ini untuk mengajarkan sikap iman yang rendah hati dan tidak sombong melalui perumpamaan seseorang yang diundang ke pesta perkawinan. Apa yang diajarkan Yesus ini tentu bukan etiket (tata cara) menerima undangan makan. Melalui perumpamaan ini, Yesus mengajarkan suatu sikap iman yang rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama. Sikap iman yang rendah hati mengakui posisinya yang rendah di hadapan Tuhan yang Maha Tinggi dan kesetaraannya dengan sesama manusia. Seorang beriman juga bisa jatuh dalam kesombongan. Kesombongan seringkali bisa muncul dalam berbagai bentuk, misalnya: harta, kekuasaan, status, jabatan, suku dan bahkan agama. Dalam hidup ini, orang beriman perlu membedakan kesombongan dengan self-esteem, penghargaan terhadap diri sendiri. Seorang yang menghargai diri sendiri, pastilah akan menghargai orang lain dan Tuhan. Seorang yang sombong menghargai dirinya sendiri tetapi tidak menghargai orang lain dan Tuhan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
BEBAS DARI LEGALISME (Lukas 13 : 10-17)
”Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang diantaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman?” (Lukas 13: 15)
Siapa pun tidak ingin melanggar hukum. Hukum disusun untuk memberikan jaminan martabat kemanusiaan agar tidak dilanggar sewenang-wenang. Akan tetapi bagaimana jika hukum itu sendiri yang menginjak-injak martabat kemanusiaan dengan sewenang-wenang? Yesus bukan seorang anti hukum. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam lingkungan agama Yahudi yang kuat, Yesus menyadari pentingnya hukum Taurat dalam kehidupan moral dan spiritual masyarakat Yahudi. Akan tetapi Yesus menyadari batas-batas hukum agama. Ketika hukum agama berbenturan dengan martabat kemanusiaan, Yesus ternyata memilih menempatkan martabat kemanusiaan melampaui hukum agama. Itulah sebabnya Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang telah sakit selama delapan belas tahun meskipun saat itu hari Sabat. Yesus tidak sedang meremehkan hukum sabat. Di hari Sabat itu Ia sendiri melakukan tugas yang diberikan pada-Nya untuk memimpin ibadat Sabat. Jikalau Yesus meremehkan hari Sabat, Ia tidak akan mau mengajar di rumah ibadat tersebut. Yesus taat pada hari Sabat, meskipun demikian Yesus tidak mau terjebak pada legalisme hari Sabat, yakni sikap me-Tuhan-kan hari Sabat. Hukum agama untuk meningkatkan martabat kemanusiaan dalam relasinya dengan Tuhan, bukan sebaliknya martabat kemanusiaan di-degradasi-kan demi hukum agama. Kita prihatin, jikalau akhir-akhir ini ada sekelompok orang tertentu atas nama hukum agama atau hukum negara justru melanggar martabat manusia yang lain dengan sewenang-wenang. Manusia ketika menjalani hukum dan peraturan agama atau negaranya perlu senantiasa bertanya: apakah hukum ini meremehkan martabat kemanusiaan atau justru meningkatkan martabat kemanusiaan dalam relasinya dengan Tuhan? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Siapa pun tidak ingin melanggar hukum. Hukum disusun untuk memberikan jaminan martabat kemanusiaan agar tidak dilanggar sewenang-wenang. Akan tetapi bagaimana jika hukum itu sendiri yang menginjak-injak martabat kemanusiaan dengan sewenang-wenang? Yesus bukan seorang anti hukum. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam lingkungan agama Yahudi yang kuat, Yesus menyadari pentingnya hukum Taurat dalam kehidupan moral dan spiritual masyarakat Yahudi. Akan tetapi Yesus menyadari batas-batas hukum agama. Ketika hukum agama berbenturan dengan martabat kemanusiaan, Yesus ternyata memilih menempatkan martabat kemanusiaan melampaui hukum agama. Itulah sebabnya Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang telah sakit selama delapan belas tahun meskipun saat itu hari Sabat. Yesus tidak sedang meremehkan hukum sabat. Di hari Sabat itu Ia sendiri melakukan tugas yang diberikan pada-Nya untuk memimpin ibadat Sabat. Jikalau Yesus meremehkan hari Sabat, Ia tidak akan mau mengajar di rumah ibadat tersebut. Yesus taat pada hari Sabat, meskipun demikian Yesus tidak mau terjebak pada legalisme hari Sabat, yakni sikap me-Tuhan-kan hari Sabat. Hukum agama untuk meningkatkan martabat kemanusiaan dalam relasinya dengan Tuhan, bukan sebaliknya martabat kemanusiaan di-degradasi-kan demi hukum agama. Kita prihatin, jikalau akhir-akhir ini ada sekelompok orang tertentu atas nama hukum agama atau hukum negara justru melanggar martabat manusia yang lain dengan sewenang-wenang. Manusia ketika menjalani hukum dan peraturan agama atau negaranya perlu senantiasa bertanya: apakah hukum ini meremehkan martabat kemanusiaan atau justru meningkatkan martabat kemanusiaan dalam relasinya dengan Tuhan? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
BEBAS DARI KETERIKATAN (Lukas 12 : 49-56)
Karena mulai dari sekarang akan ada pertentangan antara lima orang di dalam satu rumah, tiga melawan dua dan dua melawan tiga (Lukas 12: 52)
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Itulah sebabnya manusia menyukai kebersamaan dan membina hubungan. Baik hubungan tatap muka maupun tatap maya (virtual relationship). Fenomena facebook, twitter, friendster,dsb. menunjukkan kegemaran manusia membina relasi. Meski demikian, tentu saja ada hubungan yang bersifat membangun maupun merusak kehidupan. Kata-kata Yesus ini sangat keras dan mengagetkan. Apakah maksud Yesus mengatakan bahwa kedatangan-Nya tidak membawa damai melainkan justru pertentangan? Sabda Yesus ini sering disalahgunakan oleh pemimpin keagamaan kristen fanatik untuk membuat para pengikutnya terikat pada mereka dan melakukan apa yang mereka kehendaki, misalnya bunuh diri massal untuk menyongsong kedatangan Yesus kedua kali. Padahal, kata-kata Yesus ini sebenarnya malah ditujukan bagi manusia yang hidup dalam relasi-relasi keluarga, kelompok, masyarakat yang begitu kuat mengikat mereka dan menumbuhkan ketaatan buta terhadap kelompok atau pemimpin kelompok sehingga mengalahkan ketaaatan dan iman kepada Tuhan. John Shelby Spong, seorang ahli kitab Perjanjian Baru memercayai bahwa dalam masyarakat yang mendewakan relasi ( tribal people), Yesus hadir sebagai The Breaker of Tribal Boundaries, sosok yang memutuskan ikatan-katan yang merusak, kemudian menghubungkan dalam relasi yang baru, benar dan sehat melalui iman dan kesetiaan pada Tuhan. Tindakan Yesus yang memutus ikatan yang rusak inilah yang dirasakan sebagai kehadiran Yesus yang membawa pertentangan. Kolusi dan nepotisme sekarang ini dipahami sebagai bentuk relasi yang tidak baik. Setiap orang kristen sekarang ini diajak untuk melepaskan diri dari keterikatan dalam relasi-relasi yang tidak berkenan pada Tuhan dan mengarahkan hidupnya untuk membina relasi yang baru, baik, sehat, dan bermartabat di dalam Tuhan dan sesama. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Itulah sebabnya manusia menyukai kebersamaan dan membina hubungan. Baik hubungan tatap muka maupun tatap maya (virtual relationship). Fenomena facebook, twitter, friendster,dsb. menunjukkan kegemaran manusia membina relasi. Meski demikian, tentu saja ada hubungan yang bersifat membangun maupun merusak kehidupan. Kata-kata Yesus ini sangat keras dan mengagetkan. Apakah maksud Yesus mengatakan bahwa kedatangan-Nya tidak membawa damai melainkan justru pertentangan? Sabda Yesus ini sering disalahgunakan oleh pemimpin keagamaan kristen fanatik untuk membuat para pengikutnya terikat pada mereka dan melakukan apa yang mereka kehendaki, misalnya bunuh diri massal untuk menyongsong kedatangan Yesus kedua kali. Padahal, kata-kata Yesus ini sebenarnya malah ditujukan bagi manusia yang hidup dalam relasi-relasi keluarga, kelompok, masyarakat yang begitu kuat mengikat mereka dan menumbuhkan ketaatan buta terhadap kelompok atau pemimpin kelompok sehingga mengalahkan ketaaatan dan iman kepada Tuhan. John Shelby Spong, seorang ahli kitab Perjanjian Baru memercayai bahwa dalam masyarakat yang mendewakan relasi ( tribal people), Yesus hadir sebagai The Breaker of Tribal Boundaries, sosok yang memutuskan ikatan-katan yang merusak, kemudian menghubungkan dalam relasi yang baru, benar dan sehat melalui iman dan kesetiaan pada Tuhan. Tindakan Yesus yang memutus ikatan yang rusak inilah yang dirasakan sebagai kehadiran Yesus yang membawa pertentangan. Kolusi dan nepotisme sekarang ini dipahami sebagai bentuk relasi yang tidak baik. Setiap orang kristen sekarang ini diajak untuk melepaskan diri dari keterikatan dalam relasi-relasi yang tidak berkenan pada Tuhan dan mengarahkan hidupnya untuk membina relasi yang baru, baik, sehat, dan bermartabat di dalam Tuhan dan sesama. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
BEBAS DARI KEKHAWATIRAN (Lukas 12 : 22-31)
....Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan, dan jangan kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. (Lukas 12: 22)
Apa yang Anda khawatirkan saat ini? Sekolah, pekerjaan, kesehatan, keluarga atau masa depan Anda? Tidak ada orang yang tidak pernah merasakan khawatir. Meski demikian tidak selamanya khawatir itu membawa dampak buruk. Dampak positif dari rasa khawatir adalah membuat seseorang melakukan tindakan antisipatif. Kalau kita khawatir dengan biaya sekolah anak yang semakin mahal, kita melakukan tindakan antisipatif dengan menabung penghasilan kita. Di hadapan para pendengar-Nya, Yesus bersabda: janganlah kuatir! Penting untuk diperhatikan kata kuatir (khawatir), dalam bahasa Yunaninya merimna, berarti kekhawatiran yang berlebih-lebihan, bukan rasa khawatir biasa. Barangkali dalam ilmu kedokteran bisa disamakan dengan toxic worry yang berbahaya bagi kesehatan mental dan fisik. Kekhawatiran yang berlebihan berbahaya bagi kesehatan manusia dan juga pertumbuhan iman. Kekhawatiran semacam ini akan menyebabkan seseorang merasakan tidak ada lagi harapan untuk mengatasi rasa khawatir tersebut. Kekhawatiran semacam ini juga akan menyebabkan seseorang meragukan karya pertolongan Tuhan dalam perjalanan hidupnya. Kekhawatiran semacam ini menyebabkan seseorang mudah tergoda melakukan tindakan yang tidak diperkenan Tuhan sekadar untuk menghilangkan rasa khawatir itu. Yesus menegaskan pemeliharaan Allah dalam hidup umat-Nya. Pemeliharaan Allah ini tidak perlu diragukan lagi! Ketika kita percaya pada Allah, sebenarnya kita tidak sekadar percaya, tetapi memercayakan diri pada Allah. Seseorang yang memercayakan diri berarti seseorang yang tetap bisa merasakan aman, tenteram, damai sejahtera betapapun ada hal-hal dalam hidup ini yang membuatnya khawatir, karena Allah peduli terhadap kekhawatirannya itu dan menolongnya untuk bebas dari kekhawatiran yang berlebihan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Apa yang Anda khawatirkan saat ini? Sekolah, pekerjaan, kesehatan, keluarga atau masa depan Anda? Tidak ada orang yang tidak pernah merasakan khawatir. Meski demikian tidak selamanya khawatir itu membawa dampak buruk. Dampak positif dari rasa khawatir adalah membuat seseorang melakukan tindakan antisipatif. Kalau kita khawatir dengan biaya sekolah anak yang semakin mahal, kita melakukan tindakan antisipatif dengan menabung penghasilan kita. Di hadapan para pendengar-Nya, Yesus bersabda: janganlah kuatir! Penting untuk diperhatikan kata kuatir (khawatir), dalam bahasa Yunaninya merimna, berarti kekhawatiran yang berlebih-lebihan, bukan rasa khawatir biasa. Barangkali dalam ilmu kedokteran bisa disamakan dengan toxic worry yang berbahaya bagi kesehatan mental dan fisik. Kekhawatiran yang berlebihan berbahaya bagi kesehatan manusia dan juga pertumbuhan iman. Kekhawatiran semacam ini akan menyebabkan seseorang merasakan tidak ada lagi harapan untuk mengatasi rasa khawatir tersebut. Kekhawatiran semacam ini juga akan menyebabkan seseorang meragukan karya pertolongan Tuhan dalam perjalanan hidupnya. Kekhawatiran semacam ini menyebabkan seseorang mudah tergoda melakukan tindakan yang tidak diperkenan Tuhan sekadar untuk menghilangkan rasa khawatir itu. Yesus menegaskan pemeliharaan Allah dalam hidup umat-Nya. Pemeliharaan Allah ini tidak perlu diragukan lagi! Ketika kita percaya pada Allah, sebenarnya kita tidak sekadar percaya, tetapi memercayakan diri pada Allah. Seseorang yang memercayakan diri berarti seseorang yang tetap bisa merasakan aman, tenteram, damai sejahtera betapapun ada hal-hal dalam hidup ini yang membuatnya khawatir, karena Allah peduli terhadap kekhawatirannya itu dan menolongnya untuk bebas dari kekhawatiran yang berlebihan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
BEBAS DARI KETAMAKAN (Lukas 12 : 13-21)
Kata-Nya lagi kepada mereka: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” (Lukas 12: 15)
Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tidak cukup untuk memenuhi satu orang yang tamak, demikian kata Mahatma Gandhi. Seberapa jauh orang bisa menjadi tamak? Seseorang bisa menjadi tamak seperti seekor ular yang ingin menelan gajah, demikian kata pepatah kuno. Bapa-bapa gerejawi menyebut ketamakan merupakan satu dari tujuh dosa yang mematikan (membuat manusia semakin jauh dari Tuhan dan sesamanya). Seseorang datang kepada Yesus minta tolong agar membujuk saudaranya mau berbagi warisan dengan dirinya. Yesus menolak permintaan orang itu. Akan tetapi kesempatan semacam ini kemudian dipakai Yesus untuk mengajarkan bahaya ketamakan. Ketamakan akan mendorong seseorang untuk sekadar memiliki lebih banyak untuk diri sendiri dan menyimpannya (ayat 18). Ketamakan menimbulkan ketentraman dan rasa damai palsu, seakan-akan hidupnya tentram dan damai sejahtera karena kekayaan hasil ketamakannya itu ( ayat 19). Padahal ketika ia menemui ajal, segala buah ketamakannyan tidak akan menemaninya di akhirat (ayat 20). Apa yang diajarkan Yesus sesungguhnya adalah keinginan seseorang untuk memiliki lebih banyak harus diimbangi dengan keinginan mau berbagi lebih banyak juga bagi orang lain. Memang, kebalikan dari ketamakan adalah kemurahan hati (charity). Inilah batas antara orang tamak dan tidak. Orang yang murah hati, tidak tamak. Orang yang tamak, tidak murah hati. Keinginan manusia untuk memiliki lebih (to have) harus diseimbangkan dengan niat untuk menjadi lebih baik dan berguna bagi orang lain melalui miliknya tersebut (to be). Bisakah kita menghayati hidup ini tidak sekadar menjadi manusia to have, tetapi juga manusia to be? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tidak cukup untuk memenuhi satu orang yang tamak, demikian kata Mahatma Gandhi. Seberapa jauh orang bisa menjadi tamak? Seseorang bisa menjadi tamak seperti seekor ular yang ingin menelan gajah, demikian kata pepatah kuno. Bapa-bapa gerejawi menyebut ketamakan merupakan satu dari tujuh dosa yang mematikan (membuat manusia semakin jauh dari Tuhan dan sesamanya). Seseorang datang kepada Yesus minta tolong agar membujuk saudaranya mau berbagi warisan dengan dirinya. Yesus menolak permintaan orang itu. Akan tetapi kesempatan semacam ini kemudian dipakai Yesus untuk mengajarkan bahaya ketamakan. Ketamakan akan mendorong seseorang untuk sekadar memiliki lebih banyak untuk diri sendiri dan menyimpannya (ayat 18). Ketamakan menimbulkan ketentraman dan rasa damai palsu, seakan-akan hidupnya tentram dan damai sejahtera karena kekayaan hasil ketamakannya itu ( ayat 19). Padahal ketika ia menemui ajal, segala buah ketamakannyan tidak akan menemaninya di akhirat (ayat 20). Apa yang diajarkan Yesus sesungguhnya adalah keinginan seseorang untuk memiliki lebih banyak harus diimbangi dengan keinginan mau berbagi lebih banyak juga bagi orang lain. Memang, kebalikan dari ketamakan adalah kemurahan hati (charity). Inilah batas antara orang tamak dan tidak. Orang yang murah hati, tidak tamak. Orang yang tamak, tidak murah hati. Keinginan manusia untuk memiliki lebih (to have) harus diseimbangkan dengan niat untuk menjadi lebih baik dan berguna bagi orang lain melalui miliknya tersebut (to be). Bisakah kita menghayati hidup ini tidak sekadar menjadi manusia to have, tetapi juga manusia to be? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
BERDOA SEPERTI YESUS (Lukas 11 : 1-13)
Ketika Ia berhenti berdoa, berkatalah seorang dari murid-murid-Nya kepada-Nya:”Tuhan, ajarlah kami berdoa,.... (Lukas 11: 1)
Dear God, sebuah film yang menceritakan tentang banyaknya surat-surat yang ditulis oleh manusia dan ditujukan untuk Tuhan yang menumpuk di kantor pos. Surat-surat semacam ini disebut sebagai surat-surat mati (died letters), karena biasanya tanpa alamat pengirim dan tentu juga penerima. Banyaknya surat yang ditulis sebenarnya menunjukkan kerinduan manusia untuk mengungkapkan permohonan mereka kepada Tuhan dan balasan permohonan itu dari Tuhan. “Tuhan, ajarlah kami berdoa” demikian permohonan murid Yesus kepada-Nya. Berdoa tentu bukan ritus baru bagi murid-murid Yesus. Apa yang sebenarnya mereka minta pada Yesus mereka ingin berdoa seperti Yesus, seperti murid-murid Yohanes Pembaptis berdoa seperti Yohanes. Yesus memberikan contoh bagaimana mereka semestinya berdoa kepada Bapa (ayat 2-4, biasa kita sebut sebagai Doa Bapa Kami). Doa ini mengajak murid-murid tidak hanya untuk kepentingan pribadi mereka sendiri (ayat 3), tetapi juga pengakuan kekudusan Allah dalam hidup mereka (ayat 2) dan tindakan belas kasih pada sesama (ayat 4). Di samping mengajarkan berdoa, Yesus juga meyakinkan murid-murid-Nya atas pemeliharaan (Providentia) Allah dalam hidup mereka. Doa senantiasa memerlukan jawaban. Seorang yang berdoa ingin Tuhan mengabulkan doa-doa mereka. Bisa jadi tidak setiap doa dikabulkan persis seperti yang diminta, tetapi bukan berarti tiada pemeliharaan Allah dalam hidup umat-Nya. Bisa saja, ketika kita minta ikan, Tuhan tidak memberikan ikan kepada kita, tetapi yang jelas Tuhan tidak akan memberi ular sebagai ganti ikan pada kita (ayat 11). Dengan demikian, anak perlu diajari berdoa sejak ia sudah bisa merangkai kata-kata atau melipat tangan dan menundukkan kepala. Anak perlu diajari bahwa ia bisa menyebut banyak nama di dalam doanya. Anak perlu diajari bahwa berdoa tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Dear God, sebuah film yang menceritakan tentang banyaknya surat-surat yang ditulis oleh manusia dan ditujukan untuk Tuhan yang menumpuk di kantor pos. Surat-surat semacam ini disebut sebagai surat-surat mati (died letters), karena biasanya tanpa alamat pengirim dan tentu juga penerima. Banyaknya surat yang ditulis sebenarnya menunjukkan kerinduan manusia untuk mengungkapkan permohonan mereka kepada Tuhan dan balasan permohonan itu dari Tuhan. “Tuhan, ajarlah kami berdoa” demikian permohonan murid Yesus kepada-Nya. Berdoa tentu bukan ritus baru bagi murid-murid Yesus. Apa yang sebenarnya mereka minta pada Yesus mereka ingin berdoa seperti Yesus, seperti murid-murid Yohanes Pembaptis berdoa seperti Yohanes. Yesus memberikan contoh bagaimana mereka semestinya berdoa kepada Bapa (ayat 2-4, biasa kita sebut sebagai Doa Bapa Kami). Doa ini mengajak murid-murid tidak hanya untuk kepentingan pribadi mereka sendiri (ayat 3), tetapi juga pengakuan kekudusan Allah dalam hidup mereka (ayat 2) dan tindakan belas kasih pada sesama (ayat 4). Di samping mengajarkan berdoa, Yesus juga meyakinkan murid-murid-Nya atas pemeliharaan (Providentia) Allah dalam hidup mereka. Doa senantiasa memerlukan jawaban. Seorang yang berdoa ingin Tuhan mengabulkan doa-doa mereka. Bisa jadi tidak setiap doa dikabulkan persis seperti yang diminta, tetapi bukan berarti tiada pemeliharaan Allah dalam hidup umat-Nya. Bisa saja, ketika kita minta ikan, Tuhan tidak memberikan ikan kepada kita, tetapi yang jelas Tuhan tidak akan memberi ular sebagai ganti ikan pada kita (ayat 11). Dengan demikian, anak perlu diajari berdoa sejak ia sudah bisa merangkai kata-kata atau melipat tangan dan menundukkan kepala. Anak perlu diajari bahwa ia bisa menyebut banyak nama di dalam doanya. Anak perlu diajari bahwa berdoa tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
MEMILIH SEPERTI MARIA (Lukas 10 : 38-42)
...Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya. (Lukas 10: 42)
Ada ungkapan terkenal dari seorang tokoh gereja mula-mula bernama Anselmus, yakni: fides quaerens intellectum, yang berarti iman mencari pengertian. Maksudnya adalah iman bukan sesuatu yang statis, iman senantiasa dalam pergerakan di antara yang kuat, lemah, atau sedang-sedang saja. Oleh sebab itu, iman seseorang mesti senantiasa diarahkan dalam gerakan yang aktif untuk lebih semakin mengerti apa yang menjadi kebenaran dan kehendak Tuhan di dalam hidup ini. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Betania, Marta mengundang Yesus dan murid-murid-Nya untuk berkunjung ke rumahnya. Maria, saudari Marta menyadari sumber pertumbuhan imannya adalah dalam diri Yesus. Oleh sebab itulah, Maria tidak ingin kesempatan ini berlalu begitu saja. Ia ingin imannya bertumbuh, oleh sebab itulah seperti diceritakan oleh penulis Injil ini, Maria duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengar perkataan-Nya. Marta bertindak berbeda dengan Maria. Marta adalah sosok penuh dengan keramahtamahan, terlihat ia sibuk menyiapkan jamuan buat Yesus dan murid-murid-Nya. Akan tetapi, Marta telah kehilangan kesempatan untuk bertumbuh dalam imannya karena dia tidak punya waktu untuk menyimak apa yang diajarkan Yesus. Dalam pandangan Yesus, Maria telah memilih bagian yang terbaik dibandingkan Marta. Bagaimana upaya kita agar iman kita senantiasa dalam gerakan pertumbuhan yang lebih baik? Apakah kita mengenal sumber-sumber yang baik bagi proses pertumbuhan iman kita tersebut? Apakah kita sudah memanfaatkan sumber-sumber tersebut bagi proses pertumbuhan iman kita? Jangan biarkan iman Anda dalam tingkat yang rendah atau biasa-biasa saja. Tumbuhkan iman Anda agar semakin kuat! Semakin kuat iman kita, semakin tak berdaya godaan-godaan yang akan menjauhkan kita dari kebenaran dan kehendak Tuhan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Ada ungkapan terkenal dari seorang tokoh gereja mula-mula bernama Anselmus, yakni: fides quaerens intellectum, yang berarti iman mencari pengertian. Maksudnya adalah iman bukan sesuatu yang statis, iman senantiasa dalam pergerakan di antara yang kuat, lemah, atau sedang-sedang saja. Oleh sebab itu, iman seseorang mesti senantiasa diarahkan dalam gerakan yang aktif untuk lebih semakin mengerti apa yang menjadi kebenaran dan kehendak Tuhan di dalam hidup ini. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Betania, Marta mengundang Yesus dan murid-murid-Nya untuk berkunjung ke rumahnya. Maria, saudari Marta menyadari sumber pertumbuhan imannya adalah dalam diri Yesus. Oleh sebab itulah, Maria tidak ingin kesempatan ini berlalu begitu saja. Ia ingin imannya bertumbuh, oleh sebab itulah seperti diceritakan oleh penulis Injil ini, Maria duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengar perkataan-Nya. Marta bertindak berbeda dengan Maria. Marta adalah sosok penuh dengan keramahtamahan, terlihat ia sibuk menyiapkan jamuan buat Yesus dan murid-murid-Nya. Akan tetapi, Marta telah kehilangan kesempatan untuk bertumbuh dalam imannya karena dia tidak punya waktu untuk menyimak apa yang diajarkan Yesus. Dalam pandangan Yesus, Maria telah memilih bagian yang terbaik dibandingkan Marta. Bagaimana upaya kita agar iman kita senantiasa dalam gerakan pertumbuhan yang lebih baik? Apakah kita mengenal sumber-sumber yang baik bagi proses pertumbuhan iman kita tersebut? Apakah kita sudah memanfaatkan sumber-sumber tersebut bagi proses pertumbuhan iman kita? Jangan biarkan iman Anda dalam tingkat yang rendah atau biasa-biasa saja. Tumbuhkan iman Anda agar semakin kuat! Semakin kuat iman kita, semakin tak berdaya godaan-godaan yang akan menjauhkan kita dari kebenaran dan kehendak Tuhan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
KASIH SEPERTI ORANG SAMARIA (Lukas 10 : 25-37)
Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” (Lukas 10: 28)
Love is a Verb. Kasih adalah kata kerja. Tentu saja, kasih juga adalah kata benda. Akan tetapi, ungkapan ini bermaksud untuk menyatakan bahwa kasih tidak akan pernah sungguh menjadi kasih, kalau tidak pernah dikerjakan atau dilakukan. Ketika ada seorang ahli Taurat yang bertanya pada Yesus apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup kekal, Yesus menyebut hukum kasih sebagai yang harus ia lakukan. Dengan amat gamblang Yesus memakai gambaran seorang Samaria yang menolong seorang Yahudi yang dirampok. Ini gambaran yang sangat menyentuh, mengingat orang-orang Samaria adalah orang-orang yang dijauhi, dihina dan dikucilkan oleh orang Yahudi. Kita bayangkan saja seorang kulit hitam yang tertindas dalam rezim apartheid tetapi tetap mau menolong orang kulit putih yang menindasnya. Orang Samaria itu menolong dengan tidak tanggung-tanggung. Perhatikan perbuatan kasih orang Samaria itu: membalut, menyirami, menaikkan, membawa, merawat, menyerahkan dua dinar. Bagi orang Samaria itu, kasih sungguh-sungguh menjadi kata kerja, kasih yang diwujudkan dalam perbuatan. Berbeda dengan seorang imam Yahudi dan seorang Lewi yang enggan untuk memberikan pertolongan pada orang sebangsanya yang dirampok itu. Bagaimana kasih bisa kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari? Gary Chapman seorang pendeta dan penulis buku, dalam bukunya The Five Love Languages, menyebutkan lima bahasa kasih yang bisa kita wujudkan: perkataan yang mendorong/menguatkan/memberikan pengharapan, waktu yang berkualitas bagi orang-orang yang kita kasihi, pemberian-pemberian, pelayanan kasih pada sesama, sentuhan-sentuhan fisik yang menguatkan, misalnya memeluk orang yang kita kasihi yang sedang bersedih. Bisakah kita jadikan kasih bukan sekadar kata benda tetapi juga kata kerja? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Love is a Verb. Kasih adalah kata kerja. Tentu saja, kasih juga adalah kata benda. Akan tetapi, ungkapan ini bermaksud untuk menyatakan bahwa kasih tidak akan pernah sungguh menjadi kasih, kalau tidak pernah dikerjakan atau dilakukan. Ketika ada seorang ahli Taurat yang bertanya pada Yesus apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup kekal, Yesus menyebut hukum kasih sebagai yang harus ia lakukan. Dengan amat gamblang Yesus memakai gambaran seorang Samaria yang menolong seorang Yahudi yang dirampok. Ini gambaran yang sangat menyentuh, mengingat orang-orang Samaria adalah orang-orang yang dijauhi, dihina dan dikucilkan oleh orang Yahudi. Kita bayangkan saja seorang kulit hitam yang tertindas dalam rezim apartheid tetapi tetap mau menolong orang kulit putih yang menindasnya. Orang Samaria itu menolong dengan tidak tanggung-tanggung. Perhatikan perbuatan kasih orang Samaria itu: membalut, menyirami, menaikkan, membawa, merawat, menyerahkan dua dinar. Bagi orang Samaria itu, kasih sungguh-sungguh menjadi kata kerja, kasih yang diwujudkan dalam perbuatan. Berbeda dengan seorang imam Yahudi dan seorang Lewi yang enggan untuk memberikan pertolongan pada orang sebangsanya yang dirampok itu. Bagaimana kasih bisa kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari? Gary Chapman seorang pendeta dan penulis buku, dalam bukunya The Five Love Languages, menyebutkan lima bahasa kasih yang bisa kita wujudkan: perkataan yang mendorong/menguatkan/memberikan pengharapan, waktu yang berkualitas bagi orang-orang yang kita kasihi, pemberian-pemberian, pelayanan kasih pada sesama, sentuhan-sentuhan fisik yang menguatkan, misalnya memeluk orang yang kita kasihi yang sedang bersedih. Bisakah kita jadikan kasih bukan sekadar kata benda tetapi juga kata kerja? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
IKUT YESUS (Lukas 9: 57-62)
Lalu Ia berkata kepada seorang lain:”Ikutlah Aku!” (Lukas 9: 59a)
Sudah berapa lama Anda beriman pada Yesus? Sudah berapa lama Anda ikut Yesus? Jawaban bisa berbeda-beda. Jika mengikuti Yesus identik dengan beragama Kristen, ada yang mengikuti Yesus sejak balita, ada juga yang mengikuti Yesus pada waktu dewasa. Akan tetapi mengikuti Yesus, tentu lebih dari sekadar beragama Kristen. Pada waktu itu, ada banyak orang yang ingin menjadi pengikut Yesus. Ada juga yang secara khusus dipanggil Yesus untuk menjadi pengikut-Nya. Akan tetapi, tanggapan ternyata juga beragam. Ada orang yang menyatakan keinginannya mengikuti Yesus, Yesus tidak langsung menerimanya, justru memberitahukan resiko mengikuti-Nya (ayat 57-58). Ada orang yang secara spesial dipanggil untuk menjadi pengikut-Nya, tetapi justru mencari alasan menolak panggilan Yesus (ayat 59, “izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku”, artinya ia baru mau ikut Yesus kalau bapaknya sudah mati, ini bentuk penolakan halus). Ada juga orang yang mau ikut Yesus, asal Yesus terlebih dulu mau mengabulkan permintaannya (ayat 61-62). Mengikut Yesus tentu ada resikonya sendiri. Ada orang yang dikucilkan karena mengikuti Yesus, ada orang yang tidak pernah naik jabatan karena beriman pada Yesus, ada orang yang dibenci karena mewujudkan cinta kasih Yesus. Cara kita menanggapi resiko ini mesti mewujudkan kesetiaan iman pada Yesus. Mengikut Yesus dengan setia tidak sama mengikut Yesus dengan fanatik. Yesus tidak pernah mengajarkan fanatisme, tetapi kesetiaan. Kesetiaan berarti apa pun yang terjadi dalam hidup kita, kita tetap mempertahankan iman kita kepada Yesus, tanpa menyakiti dan melukai orang lain. Fanatisme berarti untuk mempertahankan iman tanpa segan-segan orang beriman melukai dan menyakiti orang lain. Kita prihatin banyak orang beragama sering menghayati agamanya dengan fanatik, bukan kesetiaan. Marilah kita ikut Yesus dengan kesetiaan bukan dengan fanatisme! Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Sudah berapa lama Anda beriman pada Yesus? Sudah berapa lama Anda ikut Yesus? Jawaban bisa berbeda-beda. Jika mengikuti Yesus identik dengan beragama Kristen, ada yang mengikuti Yesus sejak balita, ada juga yang mengikuti Yesus pada waktu dewasa. Akan tetapi mengikuti Yesus, tentu lebih dari sekadar beragama Kristen. Pada waktu itu, ada banyak orang yang ingin menjadi pengikut Yesus. Ada juga yang secara khusus dipanggil Yesus untuk menjadi pengikut-Nya. Akan tetapi, tanggapan ternyata juga beragam. Ada orang yang menyatakan keinginannya mengikuti Yesus, Yesus tidak langsung menerimanya, justru memberitahukan resiko mengikuti-Nya (ayat 57-58). Ada orang yang secara spesial dipanggil untuk menjadi pengikut-Nya, tetapi justru mencari alasan menolak panggilan Yesus (ayat 59, “izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku”, artinya ia baru mau ikut Yesus kalau bapaknya sudah mati, ini bentuk penolakan halus). Ada juga orang yang mau ikut Yesus, asal Yesus terlebih dulu mau mengabulkan permintaannya (ayat 61-62). Mengikut Yesus tentu ada resikonya sendiri. Ada orang yang dikucilkan karena mengikuti Yesus, ada orang yang tidak pernah naik jabatan karena beriman pada Yesus, ada orang yang dibenci karena mewujudkan cinta kasih Yesus. Cara kita menanggapi resiko ini mesti mewujudkan kesetiaan iman pada Yesus. Mengikut Yesus dengan setia tidak sama mengikut Yesus dengan fanatik. Yesus tidak pernah mengajarkan fanatisme, tetapi kesetiaan. Kesetiaan berarti apa pun yang terjadi dalam hidup kita, kita tetap mempertahankan iman kita kepada Yesus, tanpa menyakiti dan melukai orang lain. Fanatisme berarti untuk mempertahankan iman tanpa segan-segan orang beriman melukai dan menyakiti orang lain. Kita prihatin banyak orang beragama sering menghayati agamanya dengan fanatik, bukan kesetiaan. Marilah kita ikut Yesus dengan kesetiaan bukan dengan fanatisme! Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
CERITERAKANLAH! (Lukas 8 : 26-39)
“Pulanglah ke rumahmu dan ceriterakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu.” (Lukas 8: 39)
Banyak orang senang membaca biografi atau autobiografi, terutama berhubungan dengan orang–orang terkenal. Pada dasarnya, banyak orang menyukai succes story, dan ada dambaan ingin berhasil seperti tokoh yang mereka baca dalam buku tersebut. Cerita-cerita keberhasilan semacam ini sering bisa menjadi dorongan penting dalam pertumbuhan hidup orang lain. Laki-laki Gerasa itu kerasukan roh jahat. Nama roh jahat itu Legion. Itu berarti banyak roh jahat yang merasuki laki-laki itu. Legion itu menyebut Yesus sebagai Anak Allah Yang Maha Tinggi. Yesus memerintahkan legion itu keluar dari tubuh laki-laki Gerasa tersebut. Legion itu sudah lama merasuki laki-laki tersebut. Penduduk Gerasa sudah berusaha untuk membelenggu dan merantai laki-laki itu. Legion diusir keluar dari laki-laki itu dan merasuki babi-babi yang berada di sekitar tempat itu. Babi-babi yang kerasukan itu terjun dari tepi jurang dan mati lemas, sedangkan laki-laki Gerasa itu kembali sehat. Penduduk Gerasa yang melihat dan mendengar kejadian ini menjadi sangat ketakutan. Mereka minta Yesus tidak memasuki daerah mereka. Yesus tidak jadi memasuki daerah Gerasa, meski demikian Yesus memberi tugas bagi laki-laki Gerasa yang sembuh tadi untuk menceriterakan segala sesuatu yang telah dialaminya yang telah diperbuat Allah terhadap dirinya. Laki-laki itu diminta menceriterakan succes story hidupnya karena perbuatan Allah atas hidupnya.Kisah keberhasilan hidup bisa menjadi bagian penting untuk diceritakan ketika kita memahaminya sebagai pertolongan Tuhan dan bukan sekadar upaya manusia sendiri. Godaannya tentu adalah kesombongan dalam bercerita. Oleh karena itu, penting utuk membangun hidup orang lain dengan cerita keberhasilan, tanpa jatuh pada kesombongan dan cuma pamer keberhasilan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Banyak orang senang membaca biografi atau autobiografi, terutama berhubungan dengan orang–orang terkenal. Pada dasarnya, banyak orang menyukai succes story, dan ada dambaan ingin berhasil seperti tokoh yang mereka baca dalam buku tersebut. Cerita-cerita keberhasilan semacam ini sering bisa menjadi dorongan penting dalam pertumbuhan hidup orang lain. Laki-laki Gerasa itu kerasukan roh jahat. Nama roh jahat itu Legion. Itu berarti banyak roh jahat yang merasuki laki-laki itu. Legion itu menyebut Yesus sebagai Anak Allah Yang Maha Tinggi. Yesus memerintahkan legion itu keluar dari tubuh laki-laki Gerasa tersebut. Legion itu sudah lama merasuki laki-laki tersebut. Penduduk Gerasa sudah berusaha untuk membelenggu dan merantai laki-laki itu. Legion diusir keluar dari laki-laki itu dan merasuki babi-babi yang berada di sekitar tempat itu. Babi-babi yang kerasukan itu terjun dari tepi jurang dan mati lemas, sedangkan laki-laki Gerasa itu kembali sehat. Penduduk Gerasa yang melihat dan mendengar kejadian ini menjadi sangat ketakutan. Mereka minta Yesus tidak memasuki daerah mereka. Yesus tidak jadi memasuki daerah Gerasa, meski demikian Yesus memberi tugas bagi laki-laki Gerasa yang sembuh tadi untuk menceriterakan segala sesuatu yang telah dialaminya yang telah diperbuat Allah terhadap dirinya. Laki-laki itu diminta menceriterakan succes story hidupnya karena perbuatan Allah atas hidupnya.Kisah keberhasilan hidup bisa menjadi bagian penting untuk diceritakan ketika kita memahaminya sebagai pertolongan Tuhan dan bukan sekadar upaya manusia sendiri. Godaannya tentu adalah kesombongan dalam bercerita. Oleh karena itu, penting utuk membangun hidup orang lain dengan cerita keberhasilan, tanpa jatuh pada kesombongan dan cuma pamer keberhasilan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
JANGAN MENANGIS! (Lukas 7 : 11-17)
Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: ”Jangan menangis!” (Lukas 7: 13)
Ada banyak alasan yang membuat seseorang menangis. Seseorang bisa menangis karena bahagia, tetapi lebih sering seseorang menangis karena penderitaan dan dukacita. Ada seorang pendeta berkotbah menyatakan: jemaat tidak boleh menangis walau sedang berdukacita. Akan tetapi, tidakkah aneh jika orang tidak menangis pada waktu dukacita? Di Nain, janda itu menangis! Anak laki-laki satu-satunya meninggal dunia. Di Israel pada zaman Yesus, menjadi janda adalah suatu penderitaan. Tidak ada orang yang akan menanggung keperluan hidup para janda ini. Mereka tidak bekerja. Hidup mereka bergantung sepenuhnya pada sedekah yang diberikan oleh sinagoge (tempat ibadah) Yahudi yang ada di sekitar mereka. Beruntung, jika mereka masih memiliki anak. Anak-anak inilah yang akan memenuhi keperluah hidup ibunya. Janda itu menangis, karena anak satu-satunya telah meninggal. Kepada siapa lagi, ia akan menaruh segala keperluan hidupnya? Yesus berkata kepada janda itu,” Jangan menangis!” Perkataan Yesus ini bukan penghiburan semu bagi janda itu. Yesus tidak layak mencegah janda itu menangis, kalau perkataan Yesus sekadar pemanis di bibir. Yesus tahu problem yang sedang dihadapi janda itu, oleh sebab itulah Ia tergerak hatinya dengan belas kasihan dan Ia membangkitkan anak yang mati tersebut. Seberapa banyak air mata kita telah tertumpah menghadapi suka-duka dan manis-pahit kehidupan kita ini? Menangis akan menjadi kekuatan iman jika kita bisa merasakan bahwa tangisan kita berarti kepercayaan penuh kita akan kasih dan pemeliharaan Tuhan dalam hidup kita dan kekuatan Tuhan agar tidak berlarut-larut dalam kepedihan dan duka yang kita alami. Menangis akan menjadi kelemahan iman bagi kita jika menangis menjadi ungkapan ketidakyakinan kita atas karya dan pemeliharaan Tuhan dalam hidup kita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Ada banyak alasan yang membuat seseorang menangis. Seseorang bisa menangis karena bahagia, tetapi lebih sering seseorang menangis karena penderitaan dan dukacita. Ada seorang pendeta berkotbah menyatakan: jemaat tidak boleh menangis walau sedang berdukacita. Akan tetapi, tidakkah aneh jika orang tidak menangis pada waktu dukacita? Di Nain, janda itu menangis! Anak laki-laki satu-satunya meninggal dunia. Di Israel pada zaman Yesus, menjadi janda adalah suatu penderitaan. Tidak ada orang yang akan menanggung keperluan hidup para janda ini. Mereka tidak bekerja. Hidup mereka bergantung sepenuhnya pada sedekah yang diberikan oleh sinagoge (tempat ibadah) Yahudi yang ada di sekitar mereka. Beruntung, jika mereka masih memiliki anak. Anak-anak inilah yang akan memenuhi keperluah hidup ibunya. Janda itu menangis, karena anak satu-satunya telah meninggal. Kepada siapa lagi, ia akan menaruh segala keperluan hidupnya? Yesus berkata kepada janda itu,” Jangan menangis!” Perkataan Yesus ini bukan penghiburan semu bagi janda itu. Yesus tidak layak mencegah janda itu menangis, kalau perkataan Yesus sekadar pemanis di bibir. Yesus tahu problem yang sedang dihadapi janda itu, oleh sebab itulah Ia tergerak hatinya dengan belas kasihan dan Ia membangkitkan anak yang mati tersebut. Seberapa banyak air mata kita telah tertumpah menghadapi suka-duka dan manis-pahit kehidupan kita ini? Menangis akan menjadi kekuatan iman jika kita bisa merasakan bahwa tangisan kita berarti kepercayaan penuh kita akan kasih dan pemeliharaan Tuhan dalam hidup kita dan kekuatan Tuhan agar tidak berlarut-larut dalam kepedihan dan duka yang kita alami. Menangis akan menjadi kelemahan iman bagi kita jika menangis menjadi ungkapan ketidakyakinan kita atas karya dan pemeliharaan Tuhan dalam hidup kita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
ROH KEBENARAN (Yohanes 16 : 12-15)
Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran.... (Yohanes 16: 13)
Berapa kali ada orang yang membohongi Anda dalam minggu ini? Berapa kali kita berbohong dalam minggu ini? Menurut penelitian, rata-rata seseorang melakukan enam kali kebohongan dalam satu hari. 90% lebih remaja beberapa kali membohongi orang tua mereka. Saya pernah beli telepon nirkabel yang saya pikir bergaransi resmi, ternyata cuma garansi toko. Saya baru sadar bahwa saya sudah dibohongi.Roh Kebenaran, yaitu Roh Kudus, akan memimpin orang percaya hidup dalam kebenaran Allah. Kebenaran Allah adalah kebenaran di dalam Yesus. Kebenaran Allah bisa juga sama dengan kebenaran-keberanan dunia, tetapi kebenaran Allah juga bisa berbeda dengan kebenaran-kebenaran dunia. Kebenaran Allah akan selalu mendekatkan orang percaya kepada Kristus, sedangkan kebenaran-kebenaran dunia akan mendekatkan kepada dunia dan juga bisa menjauhkan dari Yesus. Orang percaya yang hidup dalam Roh Kebenaran, akan selalu menunjukkan cinta akan kebenaran dan menjauh dari kebohongan dan ketidakjujuran. Iman yang sejati bahkan iman yang dibangun dari segala kejujuran manusia di hadapan Tuhan, karena tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan. Ada seorang ilmuwan yang dengan nada sinis menyebut manusia tidak lebih dari The Lying Ape, kera besar pembohong. Kebohongan menjadi hakikat manusia. Tidak pernah ada manusia yang tidak berbohong. Betulkah begitu? Mungkin betul dalam hidup ini kita pernah berbohong, tetapi betulkah kita selalu hidup sebagai “kera besar pembohong” ? Kebohongan selalu melahirkan kebohongan. Manusia pada dasarnya tidak suka kebohongan. Manusia pada umumnya cemas kalau kebohongannya tersingkap, karena pada dasarnya manusia mencintai kebenaran. Mohonlah kekuatan dari Roh Kebenaran itu, sehingga hidup kita selalu bisa menampakan kebenaran Allah dalam segala aspek kehidupan yang ada! Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Berapa kali ada orang yang membohongi Anda dalam minggu ini? Berapa kali kita berbohong dalam minggu ini? Menurut penelitian, rata-rata seseorang melakukan enam kali kebohongan dalam satu hari. 90% lebih remaja beberapa kali membohongi orang tua mereka. Saya pernah beli telepon nirkabel yang saya pikir bergaransi resmi, ternyata cuma garansi toko. Saya baru sadar bahwa saya sudah dibohongi.Roh Kebenaran, yaitu Roh Kudus, akan memimpin orang percaya hidup dalam kebenaran Allah. Kebenaran Allah adalah kebenaran di dalam Yesus. Kebenaran Allah bisa juga sama dengan kebenaran-keberanan dunia, tetapi kebenaran Allah juga bisa berbeda dengan kebenaran-kebenaran dunia. Kebenaran Allah akan selalu mendekatkan orang percaya kepada Kristus, sedangkan kebenaran-kebenaran dunia akan mendekatkan kepada dunia dan juga bisa menjauhkan dari Yesus. Orang percaya yang hidup dalam Roh Kebenaran, akan selalu menunjukkan cinta akan kebenaran dan menjauh dari kebohongan dan ketidakjujuran. Iman yang sejati bahkan iman yang dibangun dari segala kejujuran manusia di hadapan Tuhan, karena tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan. Ada seorang ilmuwan yang dengan nada sinis menyebut manusia tidak lebih dari The Lying Ape, kera besar pembohong. Kebohongan menjadi hakikat manusia. Tidak pernah ada manusia yang tidak berbohong. Betulkah begitu? Mungkin betul dalam hidup ini kita pernah berbohong, tetapi betulkah kita selalu hidup sebagai “kera besar pembohong” ? Kebohongan selalu melahirkan kebohongan. Manusia pada dasarnya tidak suka kebohongan. Manusia pada umumnya cemas kalau kebohongannya tersingkap, karena pada dasarnya manusia mencintai kebenaran. Mohonlah kekuatan dari Roh Kebenaran itu, sehingga hidup kita selalu bisa menampakan kebenaran Allah dalam segala aspek kehidupan yang ada! Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
PENUH DENGAN ROH KUDUS (Kisah Para Rasul 2 : 1-21)
Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata –kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya (Kis 2: 4)
Selesai memimpin ibadah persiapan ujian bagi anak-anak SMP di salah satu sekolah di Jakarta, pada waktu salaman, ada seorang anak yang bertanya kepada saya, “Apakah Bapak dipenuhi Roh Kudus?” Pertanyaan anak ini bernada minta konfirmasi. Pertanyaan yang saya pahami harus saya jawab pada waktu itu dengan cepat dan singkat untuk kekuatan iman anak itu. Peristiwa luar biasa terjadi di Yerusalem. Murid-murid Yesus yang berkumpul di satu tempat tersebut penuh dengan Roh Kudus. Ada bunyi seperti tiupan angin keras dan kemudian disusul lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Kemudian mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain yang bisa dimengerti oleh banyak orang, sekalipun mereka berasal dari bangsa-bangsa yang berbeda. Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang menanggapi peristiwa ini dengan menuduh murid-murid Yesus itu sedang dalam kondisi mabuk. Murid-murid Yesus tidak mabuk, mereka penuh dengan Roh Kudus. Mewakili murid-murid yang lain, Petrus berkotbah di depan orang banyak tersebut yang memerlukan konfirmasi bahwa apa yang baru mereka alami adalah karya Roh Kudus. Segala karya Roh Kudus itu pada akhirnya mengundang banyak orang untuk berseru kepada Tuhan sehingga diselamatkan (ayat 22). Tanda yang jelas bahwa seorang dipenuhi dengan Roh Kudus adalah orang itu hidup dekat kepada Tuhan. Kita keliru memahami bahwa seorang baru dipenuhi Roh Kudus jikalau ia bisa melakukan perbuatan-perbuatan supra-natural, misalnya berbahasa roh. Roh Kudus berkarya melalui banyak hal, baik natural maupun supra-natural. Apa pun yang dikaruniakan Tuhan kepada kita biarlah semua itu membawa kita dekat kepada Tuhan. Jika Anda semakin dekat dan bertumbuh iman Anda dalam Tuhan, yakinlah bahwa Anda dipenuhi dengan Roh Kudus. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Selesai memimpin ibadah persiapan ujian bagi anak-anak SMP di salah satu sekolah di Jakarta, pada waktu salaman, ada seorang anak yang bertanya kepada saya, “Apakah Bapak dipenuhi Roh Kudus?” Pertanyaan anak ini bernada minta konfirmasi. Pertanyaan yang saya pahami harus saya jawab pada waktu itu dengan cepat dan singkat untuk kekuatan iman anak itu. Peristiwa luar biasa terjadi di Yerusalem. Murid-murid Yesus yang berkumpul di satu tempat tersebut penuh dengan Roh Kudus. Ada bunyi seperti tiupan angin keras dan kemudian disusul lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Kemudian mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain yang bisa dimengerti oleh banyak orang, sekalipun mereka berasal dari bangsa-bangsa yang berbeda. Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang menanggapi peristiwa ini dengan menuduh murid-murid Yesus itu sedang dalam kondisi mabuk. Murid-murid Yesus tidak mabuk, mereka penuh dengan Roh Kudus. Mewakili murid-murid yang lain, Petrus berkotbah di depan orang banyak tersebut yang memerlukan konfirmasi bahwa apa yang baru mereka alami adalah karya Roh Kudus. Segala karya Roh Kudus itu pada akhirnya mengundang banyak orang untuk berseru kepada Tuhan sehingga diselamatkan (ayat 22). Tanda yang jelas bahwa seorang dipenuhi dengan Roh Kudus adalah orang itu hidup dekat kepada Tuhan. Kita keliru memahami bahwa seorang baru dipenuhi Roh Kudus jikalau ia bisa melakukan perbuatan-perbuatan supra-natural, misalnya berbahasa roh. Roh Kudus berkarya melalui banyak hal, baik natural maupun supra-natural. Apa pun yang dikaruniakan Tuhan kepada kita biarlah semua itu membawa kita dekat kepada Tuhan. Jika Anda semakin dekat dan bertumbuh iman Anda dalam Tuhan, yakinlah bahwa Anda dipenuhi dengan Roh Kudus. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
KESELAMATAN (Kisah Para Rasul 16 : 16-34)
Jawab mereka: “Percayalah kepada TuhanYesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.” (Kisah 16: 31)
Hari Rabu, tanggal 12 Mei, ada pesawat Libya yang jatuh. Sebanyak 103 penumpang tewas, hanya seorang anak laki-laki, namanya Ruben dari Belanda berusia sembilan tahun yang selamat.”Kondisi kesehatannya sangat bagus, jika kita melihat situasinya,”demikian pernyataan Kementrian Luar Negeri Belanda. Tidak mudah untuk menjelaskan mengapa anak itu selamat, apakah posisi tempat duduknya atau alasan-alasan lain.Di Filipi, keselamatan dialami oleh hamba yang dihinggapi roh tenung. Paulus mengusir roh jahat yang menghinggapi hamba tersebut. Tindakan Paulus ini mengakibatkan para pembesar kota Filipi dan orang-orang yang kehilangan keuntungan marah dan menjebloskan Paulus dan Silas ke penjara. Sebelumnya, tubuh mereka didera kemudian kaki mereka dipasung. Gempa yang terjadi di kota Filipi, membuat mereka terbebas dari belenggu penjara. Mereka selamat! Tidak hanya mereka, kepala penjara juga selamat. Hampir saja ia bunuh diri menyangka para tahanan sudah kabur. Paulus dan Silas mencegah ia bunuh diri . Paulus dan Silas bahkan mau menyelamatkan kepala penjara itu dari kematian dengan memperlihatkan diri mereka kepada kepala penjara itu. Tindakan Paulus dan Silas ini menyentuh hati kepala penjara. Ia mau mendengar pemberitaan Paulus dan Silas tentang karya penyelamatan mulia yang telah dikerjakan oleh Yesus. Ia menerima Yesus dan dibaptis bersama keluarganya. Ia membasuh bilur-bilur Paulus dan Silas dan menghidangkan makanan untuk mereka.Kita mengakui bahwa keselamatan pertama-tama adalah karya Allah. Tuhan mewujudkan karya penyelamatan itu melalui berbagai cara dan peristiwa. Peristiwa buruk pun bahkan bisa diubah oleh Tuhan menjadi sarana penyelamatan. Oleh sebab itu, andai kita mengalami peristiwa buruk, mintalah pada Tuhan agar peristiwa buruk itu bahkan bisa berdampak bagi keselamatan kita atau orang lain. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Hari Rabu, tanggal 12 Mei, ada pesawat Libya yang jatuh. Sebanyak 103 penumpang tewas, hanya seorang anak laki-laki, namanya Ruben dari Belanda berusia sembilan tahun yang selamat.”Kondisi kesehatannya sangat bagus, jika kita melihat situasinya,”demikian pernyataan Kementrian Luar Negeri Belanda. Tidak mudah untuk menjelaskan mengapa anak itu selamat, apakah posisi tempat duduknya atau alasan-alasan lain.Di Filipi, keselamatan dialami oleh hamba yang dihinggapi roh tenung. Paulus mengusir roh jahat yang menghinggapi hamba tersebut. Tindakan Paulus ini mengakibatkan para pembesar kota Filipi dan orang-orang yang kehilangan keuntungan marah dan menjebloskan Paulus dan Silas ke penjara. Sebelumnya, tubuh mereka didera kemudian kaki mereka dipasung. Gempa yang terjadi di kota Filipi, membuat mereka terbebas dari belenggu penjara. Mereka selamat! Tidak hanya mereka, kepala penjara juga selamat. Hampir saja ia bunuh diri menyangka para tahanan sudah kabur. Paulus dan Silas mencegah ia bunuh diri . Paulus dan Silas bahkan mau menyelamatkan kepala penjara itu dari kematian dengan memperlihatkan diri mereka kepada kepala penjara itu. Tindakan Paulus dan Silas ini menyentuh hati kepala penjara. Ia mau mendengar pemberitaan Paulus dan Silas tentang karya penyelamatan mulia yang telah dikerjakan oleh Yesus. Ia menerima Yesus dan dibaptis bersama keluarganya. Ia membasuh bilur-bilur Paulus dan Silas dan menghidangkan makanan untuk mereka.Kita mengakui bahwa keselamatan pertama-tama adalah karya Allah. Tuhan mewujudkan karya penyelamatan itu melalui berbagai cara dan peristiwa. Peristiwa buruk pun bahkan bisa diubah oleh Tuhan menjadi sarana penyelamatan. Oleh sebab itu, andai kita mengalami peristiwa buruk, mintalah pada Tuhan agar peristiwa buruk itu bahkan bisa berdampak bagi keselamatan kita atau orang lain. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
ROH KUDUS JUGA BAGI BANGSA-BANGSA LAIN (Kisah Para Rasul 11 : 1-18)
...Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup. (Kisah Para Rasul 11: 18)
Di tempat-tempat yang sedang terjadi konflik, baik konflik politis maupun agama, kata-kata seperti kami, kita, mereka bisa menentukan mati dan hidupnya seseorang. “Kami yang benar, mereka yang salah. Kita semua adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dikasihi. Mereka bukan kelompok kami. Ada tembok-tembok pembatas yang dibangun melalui kata-kata kami dan mereka. Ada upaya untuk kesetaraan melalui kata kita. Orang-orang Yahudi Kristen meminta pertanggungjawaban Petrus karena membaptiskan Kornelius orang bukan Yahudi. Semula, Petrus sebenarnya juga enggan membaptiskan Kornelius. Mereka najis dan berbeda dengan kami. Itulah yang dipikirkan Petrus sebelumnya dan orang-orang Yahudi Kristen pada umumnya. Meski demikian, Petrus akhirnya belajar untuk mengerti bahwa keselamatan Allah juga tersedia bagi bangsa-bangsa lain. Petrus bahkan menyaksikan sendiri Roh Kudus turun ke atas mereka, orang-orang bukan Yahudi, orang-orang yang tinggal di Kaisarea (ayat 15). Pertanggungjawaban iman Petrus pada orang-orang Yahudi Kristen itu disambut dengan penuh sukacita. Mereka memuji Tuhan dan berkata ”Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup.” Orang-orang Kristen perdana itu, termasuk Petrus telah belajar hal yang penting: Mereka (orang-orang bukan Yahudi) tidak harus selalu dianggap sebagai mereka. Mereka adalah bagian dari kami, betapapun berbeda. Mereka juga adalah kita. Roh Kudus berkarya bagi kita. Sebagai orang yang beriman pada Yesus, kita diajak mengimani karya Roh Kudus yang universal, karya-Nya yang tidak dibatasi oleh identitas kebangsaan dan keagamaan seseorang. Justru karena Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri, Ia bebas berkarya menurut kehendak-Nya bukan berdasar sentimen kebangsaan dan keagamaan tertentu. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Di tempat-tempat yang sedang terjadi konflik, baik konflik politis maupun agama, kata-kata seperti kami, kita, mereka bisa menentukan mati dan hidupnya seseorang. “Kami yang benar, mereka yang salah. Kita semua adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dikasihi. Mereka bukan kelompok kami. Ada tembok-tembok pembatas yang dibangun melalui kata-kata kami dan mereka. Ada upaya untuk kesetaraan melalui kata kita. Orang-orang Yahudi Kristen meminta pertanggungjawaban Petrus karena membaptiskan Kornelius orang bukan Yahudi. Semula, Petrus sebenarnya juga enggan membaptiskan Kornelius. Mereka najis dan berbeda dengan kami. Itulah yang dipikirkan Petrus sebelumnya dan orang-orang Yahudi Kristen pada umumnya. Meski demikian, Petrus akhirnya belajar untuk mengerti bahwa keselamatan Allah juga tersedia bagi bangsa-bangsa lain. Petrus bahkan menyaksikan sendiri Roh Kudus turun ke atas mereka, orang-orang bukan Yahudi, orang-orang yang tinggal di Kaisarea (ayat 15). Pertanggungjawaban iman Petrus pada orang-orang Yahudi Kristen itu disambut dengan penuh sukacita. Mereka memuji Tuhan dan berkata ”Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup.” Orang-orang Kristen perdana itu, termasuk Petrus telah belajar hal yang penting: Mereka (orang-orang bukan Yahudi) tidak harus selalu dianggap sebagai mereka. Mereka adalah bagian dari kami, betapapun berbeda. Mereka juga adalah kita. Roh Kudus berkarya bagi kita. Sebagai orang yang beriman pada Yesus, kita diajak mengimani karya Roh Kudus yang universal, karya-Nya yang tidak dibatasi oleh identitas kebangsaan dan keagamaan seseorang. Justru karena Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri, Ia bebas berkarya menurut kehendak-Nya bukan berdasar sentimen kebangsaan dan keagamaan tertentu. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
DOMBA-DOMBA-KU (Yohanes 10: 22-30)
Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku. (Yohanes 10: 27)
Ada banyak suara yang kita dengar dalam perjalanan hidup kita ini. Suara-suara ini kadang bisa kita mengerti, kadang tidak. Kita sering mendengar suara yang baik, meneduhkan dan membimbing hidup kita. Akan tetapi, kita juga kadang mendengar suara yang buruk, bernada kebencian dan kejahatan. Orang-orang Yahudi di Bait Allah itu belum bisa mendengar suara Yesus dengan baik. Mereka ragu untuk memercayai Yesus sebagai Mesias bahkan ketika kemesiasan Yesus tidak hanya terungkap melalui suara tetapi juga pekerjaan-pekerjaan-Nya. Yesus memberikan penjelasan alasan mereka tidak bisa mendengar suara-Nya dengan baik: Mereka bukan domba-domba Yesus (ayat 26). Sejak awal orang-orang yang ada di bait Allah itu memang tidak bermaksud untuk mengikuti Yesus. Mereka bahkan mencoba hendak melempari Yesus dengan batu (ayat 31) dan menangkap-Nya (ayat 39). Domba-domba Yesus pasti mampu mendengar suara-Nya. Domba-domba Yesus pasti akan mengikuti Yesus dan tidak akan meninggalkan-Nya karena Yesus adalah gembala yang baik yang memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya (ayat 11). “Apakah kamu adalah domba-domba-Ku?” inilah pertanyaan yang kira-kira akan ditanyakan Yesus kepada kita yang hidup sekarang ini. Menjadi domba-domba Yesus berarti mampu mengenali dan mendengar suara-Nya di tengah-tengah derasnya suara yang lalu lalang dalam hidup kita ini. Setelah kita mengenali suara-Nya itu, kita wujudkan suara yang kita dengar itu dalam iman dan kesetiaan kita kepada Kristus. Ingatlah, ada banyak suara yang bisa menjauhkan hidup kita dari Tuhan! Seringkali suara-suara ini juga mudah menyesatkan kita karena menampilkan apa yang sebenarnya jahat menjadi terdengar baik sehingga kita terkecoh. Mintalah hikmat Tuhan untuk selalu bisa mengenali suara-Nya! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Ada banyak suara yang kita dengar dalam perjalanan hidup kita ini. Suara-suara ini kadang bisa kita mengerti, kadang tidak. Kita sering mendengar suara yang baik, meneduhkan dan membimbing hidup kita. Akan tetapi, kita juga kadang mendengar suara yang buruk, bernada kebencian dan kejahatan. Orang-orang Yahudi di Bait Allah itu belum bisa mendengar suara Yesus dengan baik. Mereka ragu untuk memercayai Yesus sebagai Mesias bahkan ketika kemesiasan Yesus tidak hanya terungkap melalui suara tetapi juga pekerjaan-pekerjaan-Nya. Yesus memberikan penjelasan alasan mereka tidak bisa mendengar suara-Nya dengan baik: Mereka bukan domba-domba Yesus (ayat 26). Sejak awal orang-orang yang ada di bait Allah itu memang tidak bermaksud untuk mengikuti Yesus. Mereka bahkan mencoba hendak melempari Yesus dengan batu (ayat 31) dan menangkap-Nya (ayat 39). Domba-domba Yesus pasti mampu mendengar suara-Nya. Domba-domba Yesus pasti akan mengikuti Yesus dan tidak akan meninggalkan-Nya karena Yesus adalah gembala yang baik yang memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya (ayat 11). “Apakah kamu adalah domba-domba-Ku?” inilah pertanyaan yang kira-kira akan ditanyakan Yesus kepada kita yang hidup sekarang ini. Menjadi domba-domba Yesus berarti mampu mengenali dan mendengar suara-Nya di tengah-tengah derasnya suara yang lalu lalang dalam hidup kita ini. Setelah kita mengenali suara-Nya itu, kita wujudkan suara yang kita dengar itu dalam iman dan kesetiaan kita kepada Kristus. Ingatlah, ada banyak suara yang bisa menjauhkan hidup kita dari Tuhan! Seringkali suara-suara ini juga mudah menyesatkan kita karena menampilkan apa yang sebenarnya jahat menjadi terdengar baik sehingga kita terkecoh. Mintalah hikmat Tuhan untuk selalu bisa mengenali suara-Nya! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
KASIH (Yohanes 21: 15-19)
“.....Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini ?”....(Yohanes 21: 15)
Ada banyak bentuk kasih. Ada kasih relasional, ada juga kasih transaksional. Kasih relasional adalah kasih yang mementingkan relasi satu sama lain. Kasih yang terwujud dalam upaya mempertahankan relasi agar tetap utuh dan harmonis, bahkan andaikata tidak memberikan keuntungan-keuntungan tertentu bagi masing-masing pihak. Kasih transaksional adalah kasih yang terwujud dalam pertimbangan transaksi, kasih yang diwujudkan jikalau mendatangkan keuntungan, dihindari jika menyebabkan kerugian. Yesus bertanya pada Petrus apakah kasih Petrus kepada Yesus adalah kasih relasional ataukah transaksional. Tiga kali Yesus bertanya pada Petrus tentang bentuk kasihnya pada Yesus, tiga kali pula Petrus menjawab bahwa bentuk kasihnya masih sebatas transaksional. Dalam bahasa Yunaninya, jawaban Petrus terhadap pertanyaan Yesus di ayat 15, 16 dan 17, untuk kata kasih menggunakan kata philia. Kata philia ini menunjukkan jenis kasih transaksional, bukan relasional. Petrus dengan penuh malu dan menyesal mengakui kasihnya pada Yesus hanya sebatas kasih transaksional. Itulah sebabnya, ia menyangkal Yesus sebanyak tiga kali pada waktu Yesus ditangkap dan diadili. Yesus menerima penyesalan Petrus, Petrus tetap diutus Yesus untuk menggembalakan pengikut-pengikut Yesus. Sejak saat itu hingga kematian Petrus disalib terbalik oleh orang–orang Romawi karena imannya kepada Yesus, Petrus menunjukkan kasihnya kepada Yesus tidak lagi sekadar transaksional melainkan relasional. Bagaimana kasih kita kepada Tuhan dan sesama, kasih transaksional atau relasional? Tampaknya, bahkan kepada Tuhan dan sesama, kasih kita tidak terlepas dari kasih relasional maupun transaksional. Meski demikian, penting bagi kita untuk membedakan kapan saatnya kita mewujudkan kasih relasional di atas kasih transaksional dalam kehidupan kita ini. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Ada banyak bentuk kasih. Ada kasih relasional, ada juga kasih transaksional. Kasih relasional adalah kasih yang mementingkan relasi satu sama lain. Kasih yang terwujud dalam upaya mempertahankan relasi agar tetap utuh dan harmonis, bahkan andaikata tidak memberikan keuntungan-keuntungan tertentu bagi masing-masing pihak. Kasih transaksional adalah kasih yang terwujud dalam pertimbangan transaksi, kasih yang diwujudkan jikalau mendatangkan keuntungan, dihindari jika menyebabkan kerugian. Yesus bertanya pada Petrus apakah kasih Petrus kepada Yesus adalah kasih relasional ataukah transaksional. Tiga kali Yesus bertanya pada Petrus tentang bentuk kasihnya pada Yesus, tiga kali pula Petrus menjawab bahwa bentuk kasihnya masih sebatas transaksional. Dalam bahasa Yunaninya, jawaban Petrus terhadap pertanyaan Yesus di ayat 15, 16 dan 17, untuk kata kasih menggunakan kata philia. Kata philia ini menunjukkan jenis kasih transaksional, bukan relasional. Petrus dengan penuh malu dan menyesal mengakui kasihnya pada Yesus hanya sebatas kasih transaksional. Itulah sebabnya, ia menyangkal Yesus sebanyak tiga kali pada waktu Yesus ditangkap dan diadili. Yesus menerima penyesalan Petrus, Petrus tetap diutus Yesus untuk menggembalakan pengikut-pengikut Yesus. Sejak saat itu hingga kematian Petrus disalib terbalik oleh orang–orang Romawi karena imannya kepada Yesus, Petrus menunjukkan kasihnya kepada Yesus tidak lagi sekadar transaksional melainkan relasional. Bagaimana kasih kita kepada Tuhan dan sesama, kasih transaksional atau relasional? Tampaknya, bahkan kepada Tuhan dan sesama, kasih kita tidak terlepas dari kasih relasional maupun transaksional. Meski demikian, penting bagi kita untuk membedakan kapan saatnya kita mewujudkan kasih relasional di atas kasih transaksional dalam kehidupan kita ini. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
DAMAI SEJAHTERA (Yohanes 20 : 19-23)
Maka kata Yesus sekali lagi: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” (Yohanes 20: 21)
Ketakutan tidak pandang usia dan orang. Siapa saja bisa merasakan takut. Tua atau muda, miskin atau kaya, berkuasa atau tak berdaya. Ada beberapa macam jenis ketakutan: ketakutan yang real, ketakutan yang berlebihan dan ketakutan yang khayali. Pada saat itu, murid-murid Yesus merasakan takut. Mereka berkumpul dalam satu tempat, dengan pintu-pintu yang terkunci. Mereka takut kepada orang-orang Yahudi yang telah menyebabkan Yesus mati disalib. Ketakutan mereka real: Yesus, anutan mereka mati disalib. Ketakutan mereka juga berlebihan: Mereka mengunci diri dalam rumah, tidak berani keluar dari rumah tersebut. Meski demikian, ketakutan mereka segera berubah menjadi kesukacitaan. Yesus yang bangkit menampakkan diri-Nya kepada murid-murid yang takut tersebut. Yesus muncul di tengah-tengah mereka dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu!”. Kebangkitan dan penampakkan Yesus pada murid-murid-Nya menghapus segala ketakutan yang mereka rasakan dan memberikan damai sejahtera pada mereka. Ketika ketakutan berubah menjadi kesukacitaan, mereka siap menjadi murid-murid yang diutus oleh Yesus. Hanya mereka yang bisa terbebas dari rasa takutlah yang mampu diutus Yesus untuk keluar dari tempat yang terkunci itu. Ketakutan menyebabkan mereka hanya berkumpul di tempat itu, kesukacitaan menjadikan mereka penuh dengan Roh Kudus dan siap mempertanggungjawabkan hidup mereka bagi Yesus yang bangkit. Apa yang sering membuat kita merasa takut? Sudahkah kita periksa, apakah ketakutan kita itu real, berlebihan atau khayali belaka? Singkirkan segala ketakutan berlebihan dan khayali, hadapi ketakutan real Anda dalam iman kepada Yesus yang bangkit! Jangan biarkan segala bentuk ketakutan membuat kita jauh dari Tuhan, karena damai sejahtera Allah menyertai kita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Ketakutan tidak pandang usia dan orang. Siapa saja bisa merasakan takut. Tua atau muda, miskin atau kaya, berkuasa atau tak berdaya. Ada beberapa macam jenis ketakutan: ketakutan yang real, ketakutan yang berlebihan dan ketakutan yang khayali. Pada saat itu, murid-murid Yesus merasakan takut. Mereka berkumpul dalam satu tempat, dengan pintu-pintu yang terkunci. Mereka takut kepada orang-orang Yahudi yang telah menyebabkan Yesus mati disalib. Ketakutan mereka real: Yesus, anutan mereka mati disalib. Ketakutan mereka juga berlebihan: Mereka mengunci diri dalam rumah, tidak berani keluar dari rumah tersebut. Meski demikian, ketakutan mereka segera berubah menjadi kesukacitaan. Yesus yang bangkit menampakkan diri-Nya kepada murid-murid yang takut tersebut. Yesus muncul di tengah-tengah mereka dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu!”. Kebangkitan dan penampakkan Yesus pada murid-murid-Nya menghapus segala ketakutan yang mereka rasakan dan memberikan damai sejahtera pada mereka. Ketika ketakutan berubah menjadi kesukacitaan, mereka siap menjadi murid-murid yang diutus oleh Yesus. Hanya mereka yang bisa terbebas dari rasa takutlah yang mampu diutus Yesus untuk keluar dari tempat yang terkunci itu. Ketakutan menyebabkan mereka hanya berkumpul di tempat itu, kesukacitaan menjadikan mereka penuh dengan Roh Kudus dan siap mempertanggungjawabkan hidup mereka bagi Yesus yang bangkit. Apa yang sering membuat kita merasa takut? Sudahkah kita periksa, apakah ketakutan kita itu real, berlebihan atau khayali belaka? Singkirkan segala ketakutan berlebihan dan khayali, hadapi ketakutan real Anda dalam iman kepada Yesus yang bangkit! Jangan biarkan segala bentuk ketakutan membuat kita jauh dari Tuhan, karena damai sejahtera Allah menyertai kita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
YESUS BANGKIT! (Yohanes 20 : 11-18)
Maria Magdalena pergi dan berkata kepada murid-murid:”Aku telah melihat Tuhan!”dan juga bahwa Dia yang mengatakan hal-hal itu kepadanya. (Yohanes 20:18)
Tidak banyak orang yang pernah mengalami mati suri. Tidak banyak juga orang yang punya pengalaman menyaksikan orang yang mati suri “bangkit” dari kematiannya. Pengalaman semacam itu pasti akan membuat orang yang menyaksikan terkaget-kaget atau bahkan ketakutan. Yesus mati di kayu salib. Kematian Yesus di kayu salib adalah kematian yang nyata, bukan semu dan pura-pura. Yesus sungguh-sungguh mati, Yesus tidak mati suri. Itulah sebabnya, di hari Minggu itu Maria terlihat menangis di dekat kubur Yesus. Ia datang ke kubur Yesus untuk menyatakan duka dan meminyaki Yesus. Ketika Maria tidak menemukan jenazah Yesus di tempat Yesus dibaringkan, ia mengira ada orang yang telah mencuri jenazah Yesus. Sama sekali tidak ada dalam pikiran Maria bahwa Yesus telah bangkit. Meski demikian, dukacitanya segera berubah menjadi sukacita. Ketika ada seorang yang ia kira penunggu taman, tenyata Yesus yang sudah bangkit. Kesukacitaan ini segera ia wartakan kepada murid-murid Yesus yang lain,”Aku telah melihat Tuhan!” Maria secara pribadi melihat dan merasakan kehadiran Yesus yang bangkit dari kematian dan pastilah pengalaman yang unik semacam ini akan mengubah pribadinya dalam memandang kehidupan dan menyatakan kesetiaan kepada Kristus. Bagi orang Kristen seperti kita yang hidup di abad ke-21 ini, peristiwa kebangkitan Yesus yang terjadi 2000 tahun yang lalu perlu menjadi peristiwa nyata yang menguatkan iman dan kesetiaan kita kepada Tuhan. Jangan peristiwa kebangkitan hanya menjadi kisah yang berulang kita dengar, tetapi tidak memiliki daya dorong untuk mewujudkan iman kita kepada Tuhan. Peristiwa itu biarlah menjadi kekuatan iman kita dalam berhadapan dengan peristiwa hidup kita. Biarlah peristiwa kebangkitan Yesus menjadikan hidup kita bangkit dalam kehidupan baru. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Tidak banyak orang yang pernah mengalami mati suri. Tidak banyak juga orang yang punya pengalaman menyaksikan orang yang mati suri “bangkit” dari kematiannya. Pengalaman semacam itu pasti akan membuat orang yang menyaksikan terkaget-kaget atau bahkan ketakutan. Yesus mati di kayu salib. Kematian Yesus di kayu salib adalah kematian yang nyata, bukan semu dan pura-pura. Yesus sungguh-sungguh mati, Yesus tidak mati suri. Itulah sebabnya, di hari Minggu itu Maria terlihat menangis di dekat kubur Yesus. Ia datang ke kubur Yesus untuk menyatakan duka dan meminyaki Yesus. Ketika Maria tidak menemukan jenazah Yesus di tempat Yesus dibaringkan, ia mengira ada orang yang telah mencuri jenazah Yesus. Sama sekali tidak ada dalam pikiran Maria bahwa Yesus telah bangkit. Meski demikian, dukacitanya segera berubah menjadi sukacita. Ketika ada seorang yang ia kira penunggu taman, tenyata Yesus yang sudah bangkit. Kesukacitaan ini segera ia wartakan kepada murid-murid Yesus yang lain,”Aku telah melihat Tuhan!” Maria secara pribadi melihat dan merasakan kehadiran Yesus yang bangkit dari kematian dan pastilah pengalaman yang unik semacam ini akan mengubah pribadinya dalam memandang kehidupan dan menyatakan kesetiaan kepada Kristus. Bagi orang Kristen seperti kita yang hidup di abad ke-21 ini, peristiwa kebangkitan Yesus yang terjadi 2000 tahun yang lalu perlu menjadi peristiwa nyata yang menguatkan iman dan kesetiaan kita kepada Tuhan. Jangan peristiwa kebangkitan hanya menjadi kisah yang berulang kita dengar, tetapi tidak memiliki daya dorong untuk mewujudkan iman kita kepada Tuhan. Peristiwa itu biarlah menjadi kekuatan iman kita dalam berhadapan dengan peristiwa hidup kita. Biarlah peristiwa kebangkitan Yesus menjadikan hidup kita bangkit dalam kehidupan baru. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
JALAN KERENDAHAN, JALAN KEMULIAAN (Lukas 19 : 28-40)
Dan sementara Yesus mengendarai keledai itu mereka menghamparkan pakaiannya di jalan. (Lukas 19: 36)
Menurut para pakar psikologi, manusia berhasrat pada kebesaran dan kejayaan. Peradaban manusia dibangun dalam impian akan kebesaran dan kejayaan. Manusia pada dirinya sendiri ingin selalu lebih besar dan lebih jaya. Baik dalam hal kepemilikan maupun kekuasaan. Banyak cara dilakukan manusia untuk mewujudkan kebesaran dan kejayaan, sering juga dengan cara-cara tidak mulia. Yesus adalah Raja yang datang dalam nama Tuhan (ayat 38). Meskipun demikian, cara masuk-Nya ke Yerusalem berbeda dengan raja atau pembesar Romawi. Raja Herodes dan para pembesar Romawi biasanya memasuki Yerusalem dengan kereta kuda dan serombongan tentara dengan segala kekuatan dan kemegahannya. Yesus mengendarai keledai yang lemah dibandingkan kuda yang kuat. Yesus tentu saja memiliki kekuasaan dan kebesaran jauh melebihi raja Herodes dan para pembesar Romawi. Akan tetapi, Yesus memasuki Yerusalem dengan segala kerendahan hati. Raja Herodes dan para pembesar Romawi memasuki Yerusalem menjelang hari Paskah tersebut untuk menunjukkan kekuasaan dan kemegahan, Yesus memasuki Yerusalem untuk mewujudkan cinta kasih dan karya penyelamatan-Nya. Betapapun hanya mengendarai keledai, sambutan untuk Yesus pun terlihat meriah ketika memasuki Yerusalem. Orang-orang menghamparkan pakaiannya di jalan (ayat 36), bergembira dan memuji Allah (ayat 37). Kemuliaan sejati tetap akan terpancar, walau tidak dibungkus dengan kebesaran dan kejayaan. Orang Kristen tentu saja boleh mewujudkan kebesaran dan kejayaan dalam setiap aspek hidupnya. Meski demikian, cara–cara mulia yang mesti dipakai untuk mewujudkan hasrat tersebut. Jalan kerendahan hati Yesus adalah jalan kemuliaan. Kemuliaan hidup sebagai pengikut Yesus harus tetap terpancar dalam setiap bentuk kehidupan yang kita jalani. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Menurut para pakar psikologi, manusia berhasrat pada kebesaran dan kejayaan. Peradaban manusia dibangun dalam impian akan kebesaran dan kejayaan. Manusia pada dirinya sendiri ingin selalu lebih besar dan lebih jaya. Baik dalam hal kepemilikan maupun kekuasaan. Banyak cara dilakukan manusia untuk mewujudkan kebesaran dan kejayaan, sering juga dengan cara-cara tidak mulia. Yesus adalah Raja yang datang dalam nama Tuhan (ayat 38). Meskipun demikian, cara masuk-Nya ke Yerusalem berbeda dengan raja atau pembesar Romawi. Raja Herodes dan para pembesar Romawi biasanya memasuki Yerusalem dengan kereta kuda dan serombongan tentara dengan segala kekuatan dan kemegahannya. Yesus mengendarai keledai yang lemah dibandingkan kuda yang kuat. Yesus tentu saja memiliki kekuasaan dan kebesaran jauh melebihi raja Herodes dan para pembesar Romawi. Akan tetapi, Yesus memasuki Yerusalem dengan segala kerendahan hati. Raja Herodes dan para pembesar Romawi memasuki Yerusalem menjelang hari Paskah tersebut untuk menunjukkan kekuasaan dan kemegahan, Yesus memasuki Yerusalem untuk mewujudkan cinta kasih dan karya penyelamatan-Nya. Betapapun hanya mengendarai keledai, sambutan untuk Yesus pun terlihat meriah ketika memasuki Yerusalem. Orang-orang menghamparkan pakaiannya di jalan (ayat 36), bergembira dan memuji Allah (ayat 37). Kemuliaan sejati tetap akan terpancar, walau tidak dibungkus dengan kebesaran dan kejayaan. Orang Kristen tentu saja boleh mewujudkan kebesaran dan kejayaan dalam setiap aspek hidupnya. Meski demikian, cara–cara mulia yang mesti dipakai untuk mewujudkan hasrat tersebut. Jalan kerendahan hati Yesus adalah jalan kemuliaan. Kemuliaan hidup sebagai pengikut Yesus harus tetap terpancar dalam setiap bentuk kehidupan yang kita jalani. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
PEMBERIAN BERHARGA (Yohanes 12 : 1-8)
Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu (Yohanes 12: 3)
Gift is a token of love. Saya teringat pernah membaca kata-kata ini. Pemberian adalah sebentuk tanda kasih. Seorang yang memberikan sesuatu pada orang lain (jikalau tidak ada udang di balik batu) pastilah merupakan tanda kasih. Kasih bahkan baru menjadi kasih ketika diberikan pada pihak lain dan bukan dikatakan atau dipikirkan saja. Maria, saudari Lazarus, pastilah sungguh mengasihi Yesus. Kita tidak diberitahu apakah Maria adalah seorang perempuan kaya atau tidak. Meski demikian, apa yang telah dilakukannya bagi Yesus menunjukkan kasih sayangnya pada Yesus melampaui hitungan finansial. Seorang tamu yang berkunjung di keluarga berada, biasanya cukup dibasuh kakinya oleh hamba dari tuan rumah keluarga tersebut. Maria, tuan rumah yang menjamu Yesus, membasuh sendiri kaki Yesus tidak dengan air melainkan minyak narwastu seharga 300 dinar ( pada waktu itu, satu dinar sama dengan upah pekerja sehari). Ia juga menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Ketika Yudas keberatan dengan tindakan Maria ini, Yesus justru mengatakan padanya: Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku. Yesus tahu bahwa Maria memberikan yang berharga pada-Nya karena cinta kasihnya pada Yesus, Oleh karena itu, Yesus mau menerima pemberian Maria. Nanti akan tiba saatnya bagi Maria dan umat manusia di dunia ini untuk menerima pemberian berharga dari Yesus. Yesus yang sangat mengasihi manusia, memberikan keselamatan bagi umat manusia melalui kematian-Nya di kayu salib untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Sudahkah kita mempertanggungjawabkan pemberian Yesus yang berharga itu dalam kehidupan kita? Pemberian adalah tanda cinta kasih. Tuhan mengasihi kita sehingga Tuhan memberi. Apa yang bisa kita berikan pada Tuhan sebagai tanda cinta kasih kita? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Gift is a token of love. Saya teringat pernah membaca kata-kata ini. Pemberian adalah sebentuk tanda kasih. Seorang yang memberikan sesuatu pada orang lain (jikalau tidak ada udang di balik batu) pastilah merupakan tanda kasih. Kasih bahkan baru menjadi kasih ketika diberikan pada pihak lain dan bukan dikatakan atau dipikirkan saja. Maria, saudari Lazarus, pastilah sungguh mengasihi Yesus. Kita tidak diberitahu apakah Maria adalah seorang perempuan kaya atau tidak. Meski demikian, apa yang telah dilakukannya bagi Yesus menunjukkan kasih sayangnya pada Yesus melampaui hitungan finansial. Seorang tamu yang berkunjung di keluarga berada, biasanya cukup dibasuh kakinya oleh hamba dari tuan rumah keluarga tersebut. Maria, tuan rumah yang menjamu Yesus, membasuh sendiri kaki Yesus tidak dengan air melainkan minyak narwastu seharga 300 dinar ( pada waktu itu, satu dinar sama dengan upah pekerja sehari). Ia juga menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Ketika Yudas keberatan dengan tindakan Maria ini, Yesus justru mengatakan padanya: Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku. Yesus tahu bahwa Maria memberikan yang berharga pada-Nya karena cinta kasihnya pada Yesus, Oleh karena itu, Yesus mau menerima pemberian Maria. Nanti akan tiba saatnya bagi Maria dan umat manusia di dunia ini untuk menerima pemberian berharga dari Yesus. Yesus yang sangat mengasihi manusia, memberikan keselamatan bagi umat manusia melalui kematian-Nya di kayu salib untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Sudahkah kita mempertanggungjawabkan pemberian Yesus yang berharga itu dalam kehidupan kita? Pemberian adalah tanda cinta kasih. Tuhan mengasihi kita sehingga Tuhan memberi. Apa yang bisa kita berikan pada Tuhan sebagai tanda cinta kasih kita? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
BAPA MENERIMA YANG HILANG DAN KEMBALI (Lukas 15 : 11-32)
....Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. (Lukas 15: 20)
Bagaimana tanggapan Anda ketika ada orang menyakiti hati Anda? Saya mendengar, ada orang tua yang mengusir anaknya dari rumah karena telah menyebabkan sakit hatinya. Ada juga anak yang tidak mau bertemu dengan orang tuanya karena sakit hatinya. Anak bungsu itu jelas telah menyakiti hati bapanya. Ia meminta warisan yang menjadi bagiannya, padahal bapanya masih hidup. Pada waktu itu, permintaan semacam ini tidak lazim. Dengan meminta warisannya, ia sebenarnya menganggap bapanya sudah tidak ada artinya lagi bagi hidupnya. Oleh sebab itulah, ia pergi meninggalkan bapanya setelah mendapatkan bagian harta warisannya dan menuju negeri asing. Di negeri asing, ia menghabiskan hartanya dengan berfoya-foya dan menjadi miskin. Dalam kondisi miskin dan lapar, ia teringat pada hamba-hamba ayahnya yang hidup dalam kelimpahan. Ia sadar, ia telah bersalah kepada bapanya. Ia ingin kembali ke tempat bapanya, tidak sebagai anak (karena ia paham, ia telah kehilangan hak sebagai anak) tetapi sebagai hambanya. Meski demikian, bapanya ternyata tetap menerima dia sebagai anaknya. Ketika bertemu anak bungsunya itu, ia merangkul dan mencium dia. Ia memberikan jubah, cincin, sepatu dan mengadakan pesta bagi anaknya yang kembali tersebut. Dengan penuh belas kasih, ia menerima anaknya yang hilang dan yang kembali. Ketika manusia berbuat dosa, manusia menyakiti hati Allah. Mestinya manusia mendapat hukuman karena sikapnya tersebut. Keadilan Allah perlu ditegakkan! Meski demikian, Allah (melalui perumpamaan ini) digambarkan bukan sebagai Allah yang menghukum, melainkan Allah yang menerima mereka yang berdosa yang mau kembali pada-Nya. Allah mau mengampuni manusia, betapapun manusia menyakiti hati-Nya. Bisakah kita juga menerima dan mengampuni mereka yang telah menyakiti hati kita? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Bagaimana tanggapan Anda ketika ada orang menyakiti hati Anda? Saya mendengar, ada orang tua yang mengusir anaknya dari rumah karena telah menyebabkan sakit hatinya. Ada juga anak yang tidak mau bertemu dengan orang tuanya karena sakit hatinya. Anak bungsu itu jelas telah menyakiti hati bapanya. Ia meminta warisan yang menjadi bagiannya, padahal bapanya masih hidup. Pada waktu itu, permintaan semacam ini tidak lazim. Dengan meminta warisannya, ia sebenarnya menganggap bapanya sudah tidak ada artinya lagi bagi hidupnya. Oleh sebab itulah, ia pergi meninggalkan bapanya setelah mendapatkan bagian harta warisannya dan menuju negeri asing. Di negeri asing, ia menghabiskan hartanya dengan berfoya-foya dan menjadi miskin. Dalam kondisi miskin dan lapar, ia teringat pada hamba-hamba ayahnya yang hidup dalam kelimpahan. Ia sadar, ia telah bersalah kepada bapanya. Ia ingin kembali ke tempat bapanya, tidak sebagai anak (karena ia paham, ia telah kehilangan hak sebagai anak) tetapi sebagai hambanya. Meski demikian, bapanya ternyata tetap menerima dia sebagai anaknya. Ketika bertemu anak bungsunya itu, ia merangkul dan mencium dia. Ia memberikan jubah, cincin, sepatu dan mengadakan pesta bagi anaknya yang kembali tersebut. Dengan penuh belas kasih, ia menerima anaknya yang hilang dan yang kembali. Ketika manusia berbuat dosa, manusia menyakiti hati Allah. Mestinya manusia mendapat hukuman karena sikapnya tersebut. Keadilan Allah perlu ditegakkan! Meski demikian, Allah (melalui perumpamaan ini) digambarkan bukan sebagai Allah yang menghukum, melainkan Allah yang menerima mereka yang berdosa yang mau kembali pada-Nya. Allah mau mengampuni manusia, betapapun manusia menyakiti hati-Nya. Bisakah kita juga menerima dan mengampuni mereka yang telah menyakiti hati kita? Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
PEMELIHARAAN ALLAH (Lukas 13 : 1-9)
Yesus menjawab mereka:”Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? (Lukas 13: 2)
Bencana alam tampaknya semakin akrab dengan kehidupan kita sekarang ini. Bencana yang terjadi di Haiti, Chile, Uganda dan tempat-tempat lain di Indonesia menjadi berita yang sering kita saksikan di televisi ataupun kita baca di surat kabar. Belum lagi berita-berita aksi kejahatan yang semakin mengerikan dan brutal. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa semua itu terjadi? Dua peristiwa terjadi di dua tempat berbeda, yakni di Galilea dan Yerusalem. Pada zaman Yesus, Galilea adalah pusat bisnis karena letaknya dekat dengan danau. Yerusalem adalah pusat religius, karena terdapat Bait Allah orang-orang Israel. Di Galilea para pejuang kemerdekaan Yahudi dibunuh secara kejam oleh Pontius Pilatus, sedangkan di Yerusalem, 18 orang mati tertimpa menara dekat Siloam. Mengapa semua itu terjadi? Anggapan banyak orang, peristiwa itu menimpa para korban dan bukan orang lain karena dosa-dosa mereka lebih besar dari orang lain. Yesus tidak mendukung anggapan banyak orang tersebut. Yesus dengan tegas berkata: Tidak! Kata-Ku kepadamu, tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian (ayat 5). Yesus memang tidak memberikan jawab mengapa semua itu terjadi, meski demikian Yesus dengan jelas menolak pemahaman bahwa bencana dan kejahatan terjadi karena dosa atau kesalahan para korban lebih besar dari mereka yang tidak menjadi korban. Harold S. Kushner, seorang rabi Yahudi berpandangan: Alam itu buta moral, manusia juga bisa buta moral, tetapi Allah tidak buta moral. Bencana alam terjadi tidak pilih-pilih, kejahatan bisa menimpa siapa saja, tetapi Allah pasti akan berpihak pada korban. Pemeliharaan Allah pasti nyata dalam setiap pertolongan dan penghiburan bagi mereka yang menjadi korban bencana alam dan kejahatan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Bencana alam tampaknya semakin akrab dengan kehidupan kita sekarang ini. Bencana yang terjadi di Haiti, Chile, Uganda dan tempat-tempat lain di Indonesia menjadi berita yang sering kita saksikan di televisi ataupun kita baca di surat kabar. Belum lagi berita-berita aksi kejahatan yang semakin mengerikan dan brutal. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa semua itu terjadi? Dua peristiwa terjadi di dua tempat berbeda, yakni di Galilea dan Yerusalem. Pada zaman Yesus, Galilea adalah pusat bisnis karena letaknya dekat dengan danau. Yerusalem adalah pusat religius, karena terdapat Bait Allah orang-orang Israel. Di Galilea para pejuang kemerdekaan Yahudi dibunuh secara kejam oleh Pontius Pilatus, sedangkan di Yerusalem, 18 orang mati tertimpa menara dekat Siloam. Mengapa semua itu terjadi? Anggapan banyak orang, peristiwa itu menimpa para korban dan bukan orang lain karena dosa-dosa mereka lebih besar dari orang lain. Yesus tidak mendukung anggapan banyak orang tersebut. Yesus dengan tegas berkata: Tidak! Kata-Ku kepadamu, tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian (ayat 5). Yesus memang tidak memberikan jawab mengapa semua itu terjadi, meski demikian Yesus dengan jelas menolak pemahaman bahwa bencana dan kejahatan terjadi karena dosa atau kesalahan para korban lebih besar dari mereka yang tidak menjadi korban. Harold S. Kushner, seorang rabi Yahudi berpandangan: Alam itu buta moral, manusia juga bisa buta moral, tetapi Allah tidak buta moral. Bencana alam terjadi tidak pilih-pilih, kejahatan bisa menimpa siapa saja, tetapi Allah pasti akan berpihak pada korban. Pemeliharaan Allah pasti nyata dalam setiap pertolongan dan penghiburan bagi mereka yang menjadi korban bencana alam dan kejahatan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
BERKAT (Lukas 13: 31-35)
Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan! (Lukas 13: 35)
Ya Tuhan, berkati keluarga kami! Ya Tuhan, berkati bangsa dan negara kami! Ya Tuhan, terima kasih atas segala berkat-Mu. Orang beriman senantiasa memohon berkat pada Tuhan. Orang beriman senantiasa bisa merasakan berkat Tuhan hadir di dalam kehidupannya. Orang beriman tidak pernah akan menolak berkat-berkat Tuhan dalam bentuk apa pun. Orang-orang yang tinggal di Yerusalem menolak kehadiran Yesus. Yesus ditolak sebagai seorang Mesias yang telah dijanjikan Tuhan kepada umat-Nya. Sebenarnya bukan hanya Yesus yang mereka tolak. Sebelum Yesus, mereka telah menolak nabi-nabi Allah yang diutus kepada umat-Nya (ayat 34). Yesus Sang Mesias tentu saja adalah berkat terindah yang sesungguhnya diberikan kepada umat-Nya. Meski demikian, mereka menolak berkat tersebut. Yesus berkata kepada mereka bahwa mereka tidak akan melihat-Nya lagi sampai mereka bisa mengaku: Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan. Siapa pun yang datang dalam nama Tuhan, dia adalah orang yang diberkati Tuhan. Siapa pun yang menyambut orang-orang yang datang dalam Tuhan, dia telah menerima berkat Tuhan. Bisakah Anda menghitung berkat-berkat Tuhan dalam hidup Anda? Saya yakin, Anda tidak bisa menghitung berkat Tuhan tersebut. Mengapa? Karena berkat-berkat Tuhan yang dikaruniakan dalam hidup kita, sesungguhnya tidak terhitung banyaknya. Ada orang-orang yang merasa tidak pernah menerima berkat Tuhan. Betulkah? Apakah sekarang kita tidak terbaring di rumah sakit itu bukan berkat Tuhan? Atau bahkan ketika kita sedang terbaring di rumah sakit dan mendapat perawatan medis yang baik itu bukan berkat Tuhan? Tidakkah kita berpikir bahwa berkat Tuhan itu sering kita terima melalui tangan-tangan yang dipakai dan diutus Tuhan bagi kita? Oleh sebab itu, dalam doa kita tidak hanya memohon berkat, tetapi juga mengucap syukur atas berkat yang telah kita terima. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Ya Tuhan, berkati keluarga kami! Ya Tuhan, berkati bangsa dan negara kami! Ya Tuhan, terima kasih atas segala berkat-Mu. Orang beriman senantiasa memohon berkat pada Tuhan. Orang beriman senantiasa bisa merasakan berkat Tuhan hadir di dalam kehidupannya. Orang beriman tidak pernah akan menolak berkat-berkat Tuhan dalam bentuk apa pun. Orang-orang yang tinggal di Yerusalem menolak kehadiran Yesus. Yesus ditolak sebagai seorang Mesias yang telah dijanjikan Tuhan kepada umat-Nya. Sebenarnya bukan hanya Yesus yang mereka tolak. Sebelum Yesus, mereka telah menolak nabi-nabi Allah yang diutus kepada umat-Nya (ayat 34). Yesus Sang Mesias tentu saja adalah berkat terindah yang sesungguhnya diberikan kepada umat-Nya. Meski demikian, mereka menolak berkat tersebut. Yesus berkata kepada mereka bahwa mereka tidak akan melihat-Nya lagi sampai mereka bisa mengaku: Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan. Siapa pun yang datang dalam nama Tuhan, dia adalah orang yang diberkati Tuhan. Siapa pun yang menyambut orang-orang yang datang dalam Tuhan, dia telah menerima berkat Tuhan. Bisakah Anda menghitung berkat-berkat Tuhan dalam hidup Anda? Saya yakin, Anda tidak bisa menghitung berkat Tuhan tersebut. Mengapa? Karena berkat-berkat Tuhan yang dikaruniakan dalam hidup kita, sesungguhnya tidak terhitung banyaknya. Ada orang-orang yang merasa tidak pernah menerima berkat Tuhan. Betulkah? Apakah sekarang kita tidak terbaring di rumah sakit itu bukan berkat Tuhan? Atau bahkan ketika kita sedang terbaring di rumah sakit dan mendapat perawatan medis yang baik itu bukan berkat Tuhan? Tidakkah kita berpikir bahwa berkat Tuhan itu sering kita terima melalui tangan-tangan yang dipakai dan diutus Tuhan bagi kita? Oleh sebab itu, dalam doa kita tidak hanya memohon berkat, tetapi juga mengucap syukur atas berkat yang telah kita terima. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
GODAAN (Lukas 4: 1-13)
Yesus menjawabnya, kata-Nya:”Ada firman: Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” (Lukas 4: 12)
Setiap orang pada umumnya dianggap memiliki “tumit Akhiles”. Ungkapan “tumit Akhiles” ini menunjuk pada seorang tokoh mitologi Yunani yang bernama Akhiles. Akhiles adalah seorang pahlawan perang Yunani yang tubuhnya tak mempan oleh sabetan pedang atau panah. Tubuhnya memang kebal terhadap segala senjata, kecuali tumitnya. Tumit itulah titik lemah Akhiles. Ketika tumit yang menjadi titik lemahnya terkena panah, Akhiles menemui ajal. Manusia punya titik lemah, baik secara fisik maupun psikis. Iblis mencoba memanfaatkan titik lemah, yang pada umumnya menjadi titik lemah manusia dalam menghadapi godaan hidup, untuk menundukkan Yesus dalam kekuasaannya. Pertama, pemenuhan kebutuhan materi (ayat 3). Kedua, keinginan untuk menjadi pihak yang paling berkuasa (ayat 6-7). Ketiga, kebanggaan dan kesombongan manusia yang tak terkendali (ayat 9-11). Iblis menggoda Yesus, langsung dengan menyerang titik lemah yang pada umumnya dimiliki manusia, sambil berharap Yesus juga punya titik lemah di situ. Meski demikian, iblis tidak berhasil menggoda Yesus. Semua yang ditawarkan iblis pada Yesus ternyata bukan titik lemah Yesus, yang bisa menyebabkan Yesus jatuh dalam belenggu dosa. Apakah Anda tahu apa yang menjadi “tumit Akhiles” Anda dalam hidup ini? Sebagai pengikut Yesus, marilah kita sadari titik lemah kita masing-masing. Marilah kita memohon kekuatan pada Tuhan, ketika datang godaan yang menyerang titik lemah kita agar kita diberi kekuatan untuk mengatasinya. Jangan biarkan titik lemah kita menjadi titik yang menghancurkan kita dan menjauhkan kita dari Tuhan. Ubahlah titik lemah itu menjadi titik kuat dalam hidup Anda, sehingga kita bisa tahan dalam berbagai godaan hidup yang ada. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Setiap orang pada umumnya dianggap memiliki “tumit Akhiles”. Ungkapan “tumit Akhiles” ini menunjuk pada seorang tokoh mitologi Yunani yang bernama Akhiles. Akhiles adalah seorang pahlawan perang Yunani yang tubuhnya tak mempan oleh sabetan pedang atau panah. Tubuhnya memang kebal terhadap segala senjata, kecuali tumitnya. Tumit itulah titik lemah Akhiles. Ketika tumit yang menjadi titik lemahnya terkena panah, Akhiles menemui ajal. Manusia punya titik lemah, baik secara fisik maupun psikis. Iblis mencoba memanfaatkan titik lemah, yang pada umumnya menjadi titik lemah manusia dalam menghadapi godaan hidup, untuk menundukkan Yesus dalam kekuasaannya. Pertama, pemenuhan kebutuhan materi (ayat 3). Kedua, keinginan untuk menjadi pihak yang paling berkuasa (ayat 6-7). Ketiga, kebanggaan dan kesombongan manusia yang tak terkendali (ayat 9-11). Iblis menggoda Yesus, langsung dengan menyerang titik lemah yang pada umumnya dimiliki manusia, sambil berharap Yesus juga punya titik lemah di situ. Meski demikian, iblis tidak berhasil menggoda Yesus. Semua yang ditawarkan iblis pada Yesus ternyata bukan titik lemah Yesus, yang bisa menyebabkan Yesus jatuh dalam belenggu dosa. Apakah Anda tahu apa yang menjadi “tumit Akhiles” Anda dalam hidup ini? Sebagai pengikut Yesus, marilah kita sadari titik lemah kita masing-masing. Marilah kita memohon kekuatan pada Tuhan, ketika datang godaan yang menyerang titik lemah kita agar kita diberi kekuatan untuk mengatasinya. Jangan biarkan titik lemah kita menjadi titik yang menghancurkan kita dan menjauhkan kita dari Tuhan. Ubahlah titik lemah itu menjadi titik kuat dalam hidup Anda, sehingga kita bisa tahan dalam berbagai godaan hidup yang ada. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
PERCAYA (Lukas 9: 37-43a)
Maka kata Yesus: “Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan yang sesat, berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu dan sabar terhadap kamu? Bawa anakmu itu kemari!” (Lukas 9: 41)
Beberapa bulan yang lalu, seorang Kristen (bukan jemaat GKJ Nehemia) mengirim sms kepada saya, “Apakah Pak Agus punya karunia mengusir setan, atau kalau tidak punya, barangkali pak Agus tahu siapa yang punya karunia itu. Saya merasa ada yang ‘menganggu’ rumah saya!” Orang ini berharap kuasa-kuasa yang mengganggu rumahnya bisa segera diusir, supaya ia bisa tinggal tenang bersama keluarganya. Ada seorang Bapak yang anak satu-satunya kerasukan setan. Ketika ia melihat Yesus, ia memohon supaya Yesus menolong anaknya yang kerasukan itu. Sebelumnya ia telah meminta tolong pada murid-murid Yesus agar mengusir roh jahat tersebut, tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Yesus menanggapi ketidakmampuan mereka dengan mengatakan,” Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan sesat, berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu dan sabar terhadap kamu?” Kata-kata Yesus ini tidak hanya ditujukan bagi murid-murid Yesus yang gagal mengusir roh jahat tersebut, melainkan bagi semua orang yang hadir di tempat itu. Yang gagal bukan hanya murid-murid Yesus, tetapi semua yang berada di tempat itu juga. Yesus menyebut mereka sebagai angkatan yang tidak percaya dan sesat. Kata percaya (pistos), berarti kesungguhan atau ketetapan hati pada Tuhan. Hanya mereka yang punya ketetapan dan kesungguhan hati pada Tuhan akan menyadari kekuatan yang diberikan Tuhan bagi mereka untuk melawan kuasa-kuasa jahat. Apakah Anda bisa mengusir roh jahat? Pasti bisa! Asal Anda punya kesungguhan dan ketetapan hati pada Kristus. Perlu kita sadari, roh-roh jahat yang mesti kita lawan malah bisa jadi tidak dalam bentuk kerasukan seperti itu. Roh-roh jahat bekerja melalui setiap bentuk godaan hidup yang kita hadapi di dunia ini yang hendak menjauhkan kita dari iman dan kesetiaan kita pada Tuhan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Beberapa bulan yang lalu, seorang Kristen (bukan jemaat GKJ Nehemia) mengirim sms kepada saya, “Apakah Pak Agus punya karunia mengusir setan, atau kalau tidak punya, barangkali pak Agus tahu siapa yang punya karunia itu. Saya merasa ada yang ‘menganggu’ rumah saya!” Orang ini berharap kuasa-kuasa yang mengganggu rumahnya bisa segera diusir, supaya ia bisa tinggal tenang bersama keluarganya. Ada seorang Bapak yang anak satu-satunya kerasukan setan. Ketika ia melihat Yesus, ia memohon supaya Yesus menolong anaknya yang kerasukan itu. Sebelumnya ia telah meminta tolong pada murid-murid Yesus agar mengusir roh jahat tersebut, tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Yesus menanggapi ketidakmampuan mereka dengan mengatakan,” Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan sesat, berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu dan sabar terhadap kamu?” Kata-kata Yesus ini tidak hanya ditujukan bagi murid-murid Yesus yang gagal mengusir roh jahat tersebut, melainkan bagi semua orang yang hadir di tempat itu. Yang gagal bukan hanya murid-murid Yesus, tetapi semua yang berada di tempat itu juga. Yesus menyebut mereka sebagai angkatan yang tidak percaya dan sesat. Kata percaya (pistos), berarti kesungguhan atau ketetapan hati pada Tuhan. Hanya mereka yang punya ketetapan dan kesungguhan hati pada Tuhan akan menyadari kekuatan yang diberikan Tuhan bagi mereka untuk melawan kuasa-kuasa jahat. Apakah Anda bisa mengusir roh jahat? Pasti bisa! Asal Anda punya kesungguhan dan ketetapan hati pada Kristus. Perlu kita sadari, roh-roh jahat yang mesti kita lawan malah bisa jadi tidak dalam bentuk kerasukan seperti itu. Roh-roh jahat bekerja melalui setiap bentuk godaan hidup yang kita hadapi di dunia ini yang hendak menjauhkan kita dari iman dan kesetiaan kita pada Tuhan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
PEMBERDAYAAN (Lukas 5 : 1-11)
Kata Yesus kepada Simon:”Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.” (Lukas 5: 10b)
Saya membaca suatu iklan di majalah yang berisi ajakan untuk mendukung program-program pelestarian lingkungan hidup, tertulis demikian: One person can change a life, one hundred million people can change the world. Satu orang bisa mengubah hidup, seratus juta orang dapat mengubah dunia. Inti pesan iklan itu adalah pemberdayaan banyak orang semakin diperlukan untuk kelestarian bumi ini. Yesus memberdayakan banyak orang untuk mewujudkan karya-Nya di dunia ini. Ia bahkan mulai dari orang-orang yang sedang mengalami krisis dan bukan mereka yang sedang dalam puncak keberhasilan karyanya. Para nelayan itu sedang menghadapi krisis. Sepanjang malam mereka melaut, tetapi mereka tidak mendapatkan ikan. Yesus menyuruh mereka untuk kembali ke tempat yang dalam dan menebarkan jala. Ajaib, mereka dapat menangkap banyak ikan! Perhatikan, mukjizat tampaknya tidak akan terjadi kalau mereka sendiri tidak mau kembali bertolak ke dalam dan menebar jala. Yesus juga memberdayakan Simon yang merasa tidak punya daya menjadi berdaya. Yesus mengatakan bahwa Simon tidak hanya akan menjadi penjala ikan, tetapi juga penjala manusia. Itulah mujizat yang terjadi: Dari satu menjadi banyak, dari tidak berdaya menjadi berdaya. Seorang yang ingin diberdayakan oleh Tuhan, harus mau memberdayakan dirinya sendiri. Hambatan untuk memberdayakan diri sendiri adalah rasa malas, tidak mampu, tidak pantas, belum siap. Jangan pernah berpikir: Saya hanya satu orang , tidak ada yang bisa aku lakukan. Tidak! Satu orang yang berdaya itu penting, daripada banyak orang yang tidak berdaya. Satu orang berdaya bisa mendorong orang-orang lain untuk menjadi berdaya. Oleh sebab itu, jadikan hidup anda berdaya dalam Kristus dan memberdayakan orang-orang lain yang tidak berdaya di mana pun Anda berada! Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Saya membaca suatu iklan di majalah yang berisi ajakan untuk mendukung program-program pelestarian lingkungan hidup, tertulis demikian: One person can change a life, one hundred million people can change the world. Satu orang bisa mengubah hidup, seratus juta orang dapat mengubah dunia. Inti pesan iklan itu adalah pemberdayaan banyak orang semakin diperlukan untuk kelestarian bumi ini. Yesus memberdayakan banyak orang untuk mewujudkan karya-Nya di dunia ini. Ia bahkan mulai dari orang-orang yang sedang mengalami krisis dan bukan mereka yang sedang dalam puncak keberhasilan karyanya. Para nelayan itu sedang menghadapi krisis. Sepanjang malam mereka melaut, tetapi mereka tidak mendapatkan ikan. Yesus menyuruh mereka untuk kembali ke tempat yang dalam dan menebarkan jala. Ajaib, mereka dapat menangkap banyak ikan! Perhatikan, mukjizat tampaknya tidak akan terjadi kalau mereka sendiri tidak mau kembali bertolak ke dalam dan menebar jala. Yesus juga memberdayakan Simon yang merasa tidak punya daya menjadi berdaya. Yesus mengatakan bahwa Simon tidak hanya akan menjadi penjala ikan, tetapi juga penjala manusia. Itulah mujizat yang terjadi: Dari satu menjadi banyak, dari tidak berdaya menjadi berdaya. Seorang yang ingin diberdayakan oleh Tuhan, harus mau memberdayakan dirinya sendiri. Hambatan untuk memberdayakan diri sendiri adalah rasa malas, tidak mampu, tidak pantas, belum siap. Jangan pernah berpikir: Saya hanya satu orang , tidak ada yang bisa aku lakukan. Tidak! Satu orang yang berdaya itu penting, daripada banyak orang yang tidak berdaya. Satu orang berdaya bisa mendorong orang-orang lain untuk menjadi berdaya. Oleh sebab itu, jadikan hidup anda berdaya dalam Kristus dan memberdayakan orang-orang lain yang tidak berdaya di mana pun Anda berada! Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
PENOLAKAN (Lukas 4 : 22- 30)
Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. (Lukas 4: 24)
Pada umumnya, tidak ada seorang pun yang mau ditolak! Seorang yang melamar kerja, ingin diterima bekerja. Seorang yang meminang kekasihnya, ingin mendengar jawaban ya dari kekasihnya tersebut. Ditolak, membuat rasa dan hati seorang terasa tidak nyaman. Seorang yang sering ditolak bahkan dapat memendam luka batin dan memberikan penghargaan yang rendah terhadap diri sendiri, kecuali jika ia bisa mengelola penolakan itu dengan baik.Di Sinagoge Nazaret tersebut, banyak orang terpukau dan heran mendengar perkataan Yesus. Mereka tampaknya berharap Yesus juga mau melakukan mukjizat bagi mereka yang tinggal di Nazaret, kampung tempat Yesus dibesarkan, karena mereka mendengar Ia melakukan mukjizat di Kapernaum (ayat 23). Yesus menolak melakukan mukjizat bagi orang-orang Nazaret itu. Yesus tahu mereka tetap akan menolak-Nya meskipun Ia melakukan mukjizat bagi mereka. “Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya,” kata Yesus pada mereka. Penolakan Yesus ini membangkitkan kemarahan mereka. Mereka menghalau Yesus ke luar kota dan membawa-Nya ke tebing gunung untuk dilemparkan dari tebing itu. Perhatikan, ada reaksi yang berbeda ketika seorang menerima penolakan. Orang-orang Nazaret itu bereaksi dengan penuh kemarahan dan bermaksud mencelakakan Yesus, sedangkan Yesus menghadapi penolakan dan perlakuan kasar mereka tidak dengan kemarahan dan kekasaran. Ia “berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.” (ayat 30). Apakah kita pernah menghadapi penolakan orang lain karena kita adalah orang Kristen? Bagaimana reaksi Anda? Kelolalah penolakan itu dengan bijak. Belajarlah seperti Yesus! Ia tidak menghadapi penolakan dengan kekerasan dan kebencian. Berdoalah pada Tuhan, supaya Ia memberi ketenteraman batin dan kekuatan hati ketika kita menghadapi penolakan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Pada umumnya, tidak ada seorang pun yang mau ditolak! Seorang yang melamar kerja, ingin diterima bekerja. Seorang yang meminang kekasihnya, ingin mendengar jawaban ya dari kekasihnya tersebut. Ditolak, membuat rasa dan hati seorang terasa tidak nyaman. Seorang yang sering ditolak bahkan dapat memendam luka batin dan memberikan penghargaan yang rendah terhadap diri sendiri, kecuali jika ia bisa mengelola penolakan itu dengan baik.Di Sinagoge Nazaret tersebut, banyak orang terpukau dan heran mendengar perkataan Yesus. Mereka tampaknya berharap Yesus juga mau melakukan mukjizat bagi mereka yang tinggal di Nazaret, kampung tempat Yesus dibesarkan, karena mereka mendengar Ia melakukan mukjizat di Kapernaum (ayat 23). Yesus menolak melakukan mukjizat bagi orang-orang Nazaret itu. Yesus tahu mereka tetap akan menolak-Nya meskipun Ia melakukan mukjizat bagi mereka. “Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya,” kata Yesus pada mereka. Penolakan Yesus ini membangkitkan kemarahan mereka. Mereka menghalau Yesus ke luar kota dan membawa-Nya ke tebing gunung untuk dilemparkan dari tebing itu. Perhatikan, ada reaksi yang berbeda ketika seorang menerima penolakan. Orang-orang Nazaret itu bereaksi dengan penuh kemarahan dan bermaksud mencelakakan Yesus, sedangkan Yesus menghadapi penolakan dan perlakuan kasar mereka tidak dengan kemarahan dan kekasaran. Ia “berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.” (ayat 30). Apakah kita pernah menghadapi penolakan orang lain karena kita adalah orang Kristen? Bagaimana reaksi Anda? Kelolalah penolakan itu dengan bijak. Belajarlah seperti Yesus! Ia tidak menghadapi penolakan dengan kekerasan dan kebencian. Berdoalah pada Tuhan, supaya Ia memberi ketenteraman batin dan kekuatan hati ketika kita menghadapi penolakan. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
VOCATIO (Lukas 24 : 14-21)
Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya:”Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Lukas 4: 21)
Mereka telah hidup seperti hewan, ketika mati selayaknya mereka mati sebagai manusia. Kata-kata ini menjadi inspirasi dan kekuatan bagi Mother Teresa, sehingga dengan suka rela ia meninggalkan pekerjaannya sebagai Kepala Sekolah di sebuah sekolah yang tergolong elit di Kalkuta. Ia mulai menyusuri jalan-jalan di Kalkuta untuk mengambil dan mengumpulkan bayi-bayi yang dibuang oleh orangtuanya, dan orang-orang miskin dan sakit yang telantar di pinggir-pinggir jalan. Mother Teresa telah menegaskan dan menemukan panggilan hidupnya untuk melayani orang-orang miskin, bayi-bayi tak berdaya yang menderita karena kemiskinannya. Pada suatu hari Sabat, Yesus masuk ke Sinagoge Nazaret. Dalam ibadah itu, dibacakan ayat-ayat dari kitab Taurat dan kitab para nabi. Yesus rupanya mendapat tugas untuk membaca beberapa ayat dari kitab nabi Yesaya (Yesaya 61:1-2). Ayat-ayat yang dibaca Yesus menceritakan kehadiran dan karya seorang Mesias yang membawa kabar baik bagi orang-orang miskin, orang-orang buta, tertindas, tawanan. Begitu selesai membaca ayat-ayat ini, Yesus berkata, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”. Perkataan Yesus ini jelas bermakna untuk menegasnya ke-Mesias-annya. Ialah Mesias yang dinanti itu! Melalui perkataan ini pula, Yesus menegaskan panggilan hidupNya berkarya bagi keselamatan umat manusia. Apakah kita sudah menemukan dan menegaskan apa yang menjadi panggilan hidup kita di dunia ini? Para Bapak Reformator gereja, Martin Luther dan Johanes Calvin meyakini bawa setiap orang Kristen mempunyai panggilan hidup (mereka menyebut dengan istilah: Vocatio) di dunia ini. Dan tugas setiap orang Kristen untuk melakukan dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi panggilan hidupnya di dunia ini. Kita hidup bukan sekadar hidup, tetapi kita hidup dengan tugas panggilan hidup yang diberikan Tuhan pada kita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Mereka telah hidup seperti hewan, ketika mati selayaknya mereka mati sebagai manusia. Kata-kata ini menjadi inspirasi dan kekuatan bagi Mother Teresa, sehingga dengan suka rela ia meninggalkan pekerjaannya sebagai Kepala Sekolah di sebuah sekolah yang tergolong elit di Kalkuta. Ia mulai menyusuri jalan-jalan di Kalkuta untuk mengambil dan mengumpulkan bayi-bayi yang dibuang oleh orangtuanya, dan orang-orang miskin dan sakit yang telantar di pinggir-pinggir jalan. Mother Teresa telah menegaskan dan menemukan panggilan hidupnya untuk melayani orang-orang miskin, bayi-bayi tak berdaya yang menderita karena kemiskinannya. Pada suatu hari Sabat, Yesus masuk ke Sinagoge Nazaret. Dalam ibadah itu, dibacakan ayat-ayat dari kitab Taurat dan kitab para nabi. Yesus rupanya mendapat tugas untuk membaca beberapa ayat dari kitab nabi Yesaya (Yesaya 61:1-2). Ayat-ayat yang dibaca Yesus menceritakan kehadiran dan karya seorang Mesias yang membawa kabar baik bagi orang-orang miskin, orang-orang buta, tertindas, tawanan. Begitu selesai membaca ayat-ayat ini, Yesus berkata, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”. Perkataan Yesus ini jelas bermakna untuk menegasnya ke-Mesias-annya. Ialah Mesias yang dinanti itu! Melalui perkataan ini pula, Yesus menegaskan panggilan hidupNya berkarya bagi keselamatan umat manusia. Apakah kita sudah menemukan dan menegaskan apa yang menjadi panggilan hidup kita di dunia ini? Para Bapak Reformator gereja, Martin Luther dan Johanes Calvin meyakini bawa setiap orang Kristen mempunyai panggilan hidup (mereka menyebut dengan istilah: Vocatio) di dunia ini. Dan tugas setiap orang Kristen untuk melakukan dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi panggilan hidupnya di dunia ini. Kita hidup bukan sekadar hidup, tetapi kita hidup dengan tugas panggilan hidup yang diberikan Tuhan pada kita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Spiritualitas (Yohanes 2: 1-11)
Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: ”Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” (Yohanes 2: 5)
Thomas à Kempis, seorang biarawan yang hidup pada abad ke-15, dalam bukunya Imitatio Kristi (Mengikuti Kristus), menuliskan kata-kata pendek yang indah: Setiap orang yang mengasihi, menyediakan tempat yang paling baik dan indah kepada kekasihnya. Inilah tanda nyata adanya kasih sejati. Inilah makna yang tepat dari spiritualitas: menyediakan tempat yang paling baik dan indah untuk sosok yang dikasihi (bisa Tuhan atau sesama manusia). Di pesta perkawinan Kana tersebut, Yesus mau melakukan mukjizat, walaupun sesungguhnya saatnya belum tiba. Ia melakukan mukjizat itu, karena Ia mengasihi mereka. Di hati Yesus selalu tersedia tempat yang paling baik dan indah bagi umatNya. Kisah ini menarik, bukan sekadar karena ada mukjizat berubahnya air menjadi anggur. Namun juga karena di pesta itu, ada banyak orang yang menghayati spiritualitas dengan tepat: menyediakan tempat yang paling baik dan indah bagi orang lain. Maria, ibu Yesus, memerhatikan kebutuhan tuan rumah yang kehabisan anggur. Para pelayan mau melakukan apa yang diperintahkan Yesus, mengisi tempayan-tempayan dengan air dan mencedok isinya untuk dicicipi oleh pemimpin pesta. Tentu mereka belum membayangkan, air itu akan berubah menjadi anggur. Murid-murid Yesus yang menyadari telah terjad mukjizat, juga mau menyediakan hatinya untuk percaya kepadaNya (ayat 11). Kehidupan spiritualitas kita, perlu senantisa kita tumbuhkan. Bagaimana memulainya? Dengan mau menyediakan tempat yang paling baik dan indah bagi yang kita kasihi. Dengan demikian, jangan tutup pintu hati kita, tetapi sediakanlah! Bukalah pintu hati kita dan sediakan untuk Tuhan. Berikan Tuhan tempat yang paling baik dan indah dalam hidup kita. Belajarlah untuk mendengar suaraNya dan mengenal kehendakNya. Jangan sambut Tuhan di “gudang” hidup kita, tetapi sambut Tuhan di tempat paling utama dalam hidup kita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si
Thomas à Kempis, seorang biarawan yang hidup pada abad ke-15, dalam bukunya Imitatio Kristi (Mengikuti Kristus), menuliskan kata-kata pendek yang indah: Setiap orang yang mengasihi, menyediakan tempat yang paling baik dan indah kepada kekasihnya. Inilah tanda nyata adanya kasih sejati. Inilah makna yang tepat dari spiritualitas: menyediakan tempat yang paling baik dan indah untuk sosok yang dikasihi (bisa Tuhan atau sesama manusia). Di pesta perkawinan Kana tersebut, Yesus mau melakukan mukjizat, walaupun sesungguhnya saatnya belum tiba. Ia melakukan mukjizat itu, karena Ia mengasihi mereka. Di hati Yesus selalu tersedia tempat yang paling baik dan indah bagi umatNya. Kisah ini menarik, bukan sekadar karena ada mukjizat berubahnya air menjadi anggur. Namun juga karena di pesta itu, ada banyak orang yang menghayati spiritualitas dengan tepat: menyediakan tempat yang paling baik dan indah bagi orang lain. Maria, ibu Yesus, memerhatikan kebutuhan tuan rumah yang kehabisan anggur. Para pelayan mau melakukan apa yang diperintahkan Yesus, mengisi tempayan-tempayan dengan air dan mencedok isinya untuk dicicipi oleh pemimpin pesta. Tentu mereka belum membayangkan, air itu akan berubah menjadi anggur. Murid-murid Yesus yang menyadari telah terjad mukjizat, juga mau menyediakan hatinya untuk percaya kepadaNya (ayat 11). Kehidupan spiritualitas kita, perlu senantisa kita tumbuhkan. Bagaimana memulainya? Dengan mau menyediakan tempat yang paling baik dan indah bagi yang kita kasihi. Dengan demikian, jangan tutup pintu hati kita, tetapi sediakanlah! Bukalah pintu hati kita dan sediakan untuk Tuhan. Berikan Tuhan tempat yang paling baik dan indah dalam hidup kita. Belajarlah untuk mendengar suaraNya dan mengenal kehendakNya. Jangan sambut Tuhan di “gudang” hidup kita, tetapi sambut Tuhan di tempat paling utama dalam hidup kita. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, S.Si