Hidup Keluar dari Kegelapan ke Dalam terang YESUS (Yohanes 1: 1-14)
"Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya." (Yohanes 1: 12)
Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, pernah mengatakan bahwa keberanian merupakan keutamaan manusia karena bisa menjadikan hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Menurutnya, keberanian dapat dibangun dengan cara terus-menerus mempraktikkan tindakan-tindakan keberanian tersebut dalam kehidupan ini.
Rasul Paulus menunjukkan keberanian dalam berpegang teguh pada iman yang dihayatinya di dalam Kristus. Pada waktu itu, posisi Rasul Paulus sedang digugat oleh kelompok orang Yahudi-Kristen tertentu di Galatia. Ia diragukan kerasulannya, karena ia bukanlah seseorang yang termasuk dalam dua belas murid Yesus. Para penggugatnya ini juga mempertanyakan pandangan Paulus yang dianggap menyingkirkan peran hukum Taurat di dalam keselamatan orang-orang percaya.
Memang, Rasul Paulus dengan tegas berpandangan bahwa manusia dibenarkan karena iman, bukan karena melakukan hukum Taurat. Ia menolak pandangan kelompok Yahudi-Kristen tertentu di Galatia tersebut yang mempertahankan pelaksanaan hukum Taurat sebagai syarat keselamatan. Bagi mereka, seseorang yang mau menjadi Kristen harus menjadi Yahudi dulu, disunat dan tunduk pada peraturan Yahudi dan hukum Taurat. Paulus menegaskan bahwa karya penebusan Kristus sudah cukup. Bahkan dengan kematian-Nya di kayu salib, Kristus telah menebus umat dari kutuk hukum Taurat (ayat 13). Umat sekarang diajak dengan berani untuk hidup oleh iman kepada-Nya, hidup dalam kasih karunia Allah melalui karya penebusan Kristus bukan karena melaksanakan hukum Taurat.
Saya yakin, umat yang berani menghayati hidup dalam kasih karunia Allah, akan lebih berani hidup oleh iman kepada-Nya. Kita akan semakin berani menjalani kehidupan ini, apapun yang terjadi, karena semakin yakin akan kasih dan penyertaan Allah dalam hidup kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, pernah mengatakan bahwa keberanian merupakan keutamaan manusia karena bisa menjadikan hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Menurutnya, keberanian dapat dibangun dengan cara terus-menerus mempraktikkan tindakan-tindakan keberanian tersebut dalam kehidupan ini.
Rasul Paulus menunjukkan keberanian dalam berpegang teguh pada iman yang dihayatinya di dalam Kristus. Pada waktu itu, posisi Rasul Paulus sedang digugat oleh kelompok orang Yahudi-Kristen tertentu di Galatia. Ia diragukan kerasulannya, karena ia bukanlah seseorang yang termasuk dalam dua belas murid Yesus. Para penggugatnya ini juga mempertanyakan pandangan Paulus yang dianggap menyingkirkan peran hukum Taurat di dalam keselamatan orang-orang percaya.
Memang, Rasul Paulus dengan tegas berpandangan bahwa manusia dibenarkan karena iman, bukan karena melakukan hukum Taurat. Ia menolak pandangan kelompok Yahudi-Kristen tertentu di Galatia tersebut yang mempertahankan pelaksanaan hukum Taurat sebagai syarat keselamatan. Bagi mereka, seseorang yang mau menjadi Kristen harus menjadi Yahudi dulu, disunat dan tunduk pada peraturan Yahudi dan hukum Taurat. Paulus menegaskan bahwa karya penebusan Kristus sudah cukup. Bahkan dengan kematian-Nya di kayu salib, Kristus telah menebus umat dari kutuk hukum Taurat (ayat 13). Umat sekarang diajak dengan berani untuk hidup oleh iman kepada-Nya, hidup dalam kasih karunia Allah melalui karya penebusan Kristus bukan karena melaksanakan hukum Taurat.
Saya yakin, umat yang berani menghayati hidup dalam kasih karunia Allah, akan lebih berani hidup oleh iman kepada-Nya. Kita akan semakin berani menjalani kehidupan ini, apapun yang terjadi, karena semakin yakin akan kasih dan penyertaan Allah dalam hidup kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Berani Hidup oleh Iman Kepada-NYA (Galatia 3: 1-14)
"Orang yang benar akan hidup oleh iman" (Galatia 3: 11).
Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, pernah mengatakan bahwa keberanian merupakan keutamaan manusia karena bisa menjadikan hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Menurutnya, keberanian dapat dibangun dengan cara terus-menerus mempraktikkan tindakan-tindakan keberanian tersebut dalam kehidupan ini.
Rasul Paulus menunjukkan keberanian dalam berpegang teguh pada iman yang dihayatinya di dalam Kristus. Pada waktu itu, posisi Rasul Paulus sedang digugat oleh kelompok orang Yahudi-Kristen tertentu di Galatia. Ia diragukan kerasulannya, karena ia bukanlah seseorang yang termasuk dalam dua belas murid Yesus. Para penggugatnya ini juga mempertanyakan pandangan Paulus yang dianggap menyingkirkan peran hukum Taurat di dalam keselamatan orang-orang percaya.
Memang, Rasul Paulus dengan tegas berpandangan bahwa manusia dibenarkan karena iman, bukan karena melakukan hukum Taurat. Ia menolak pandangan kelompok Yahudi-Kristen tertentu di Galatia tersebut yang mempertahankan pelaksanaan hukum Taurat sebagai syarat keselamatan. Bagi mereka, seseorang yang mau menjadi Kristen harus menjadi Yahudi dulu, disunat dan tunduk pada peraturan Yahudi dan hukum Taurat. Paulus menegaskan bahwa karya penebusan Kristus sudah cukup. Bahkan dengan kematian-Nya di kayu salib, Kristus telah menebus umat dari kutuk hukum Taurat (ayat 13). Umat sekarang diajak dengan berani untuk hidup oleh iman kepada-Nya, hidup dalam kasih karunia Allah melalui karya penebusan Kristus bukan karena melaksanakan hukum Taurat.
Saya yakin, umat yang berani menghayati hidup dalam kasih karunia Allah, akan lebih berani hidup oleh iman kepada-Nya. Kita akan semakin berani menjalani kehidupan ini, apapun yang terjadi, karena semakin yakin akan kasih dan penyertaan Allah dalam hidup kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, pernah mengatakan bahwa keberanian merupakan keutamaan manusia karena bisa menjadikan hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Menurutnya, keberanian dapat dibangun dengan cara terus-menerus mempraktikkan tindakan-tindakan keberanian tersebut dalam kehidupan ini.
Rasul Paulus menunjukkan keberanian dalam berpegang teguh pada iman yang dihayatinya di dalam Kristus. Pada waktu itu, posisi Rasul Paulus sedang digugat oleh kelompok orang Yahudi-Kristen tertentu di Galatia. Ia diragukan kerasulannya, karena ia bukanlah seseorang yang termasuk dalam dua belas murid Yesus. Para penggugatnya ini juga mempertanyakan pandangan Paulus yang dianggap menyingkirkan peran hukum Taurat di dalam keselamatan orang-orang percaya.
Memang, Rasul Paulus dengan tegas berpandangan bahwa manusia dibenarkan karena iman, bukan karena melakukan hukum Taurat. Ia menolak pandangan kelompok Yahudi-Kristen tertentu di Galatia tersebut yang mempertahankan pelaksanaan hukum Taurat sebagai syarat keselamatan. Bagi mereka, seseorang yang mau menjadi Kristen harus menjadi Yahudi dulu, disunat dan tunduk pada peraturan Yahudi dan hukum Taurat. Paulus menegaskan bahwa karya penebusan Kristus sudah cukup. Bahkan dengan kematian-Nya di kayu salib, Kristus telah menebus umat dari kutuk hukum Taurat (ayat 13). Umat sekarang diajak dengan berani untuk hidup oleh iman kepada-Nya, hidup dalam kasih karunia Allah melalui karya penebusan Kristus bukan karena melaksanakan hukum Taurat.
Saya yakin, umat yang berani menghayati hidup dalam kasih karunia Allah, akan lebih berani hidup oleh iman kepada-Nya. Kita akan semakin berani menjalani kehidupan ini, apapun yang terjadi, karena semakin yakin akan kasih dan penyertaan Allah dalam hidup kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Jangan Kau Tolak Kehadiran-NYA! (Matius 11:2-11)
"Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku" (Matius 11: 6)
Dalam dunia bisnis, dikenal istilah customer loyalty atau kesetiaan pelanggan. Agar bisnis dapat berhasil dengan baik, dilakukanlah upaya-upaya untuk menumbuhkan dan mempertahankan kesetiaan pelanggan ini. Apakah dalam kehidupan gerejawi, orang Kristen juga bisa berbicara tentang kesetiaan jemaat? Tentu saja bisa. Jemaat yang setia melakukan aktivitas di gereja dalam kebersamaan dengan jemaat lain agar terpelihara dan bertumbuh imannya, menjadi salah satu tanggung jawab gereja. Namun untuk mewujudkan semua ini, gereja harus mampu memelihara dan mengembangkan daya tariknya. Tanpa daya tarik, jemaat akan lebih mudah pergi meninggalkan gerejanya untuk berpindah ke gereja lain. Daya sentripetal gereja (daya yang mendorong yang lain bergerak ke arahnya) harus lebih kuat dari daya sentrifugalnya (daya yang membuat yang lain bergerak menjauh darinya).
Dalam penglihatan yang dialami Nabi Yesaya, Rumah Tuhan di Gunung Sion akan mewujudkan daya sentripetal yang memesona bagi segala bangsa dan suku bangsa. Apa yang membuat mereka berduyun-duyun menuju Rumah Tuhan di Gunung Sion tersebut? Menurut Yesaya, salah satunya adalah nilai-nilai yang tumbuh dan terwujud dalam Rumah Tuhan di Gunung Sion tersebut. Nilai-nilai yang tumbuh dan terwujud antara lain: kedamaian, kebersamaan dan kerjasama dalam keragaman bangsa dan suku bangsa, bukan kebencian dan konflik. Itulah sebabnya dikatakan: bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang (ayat 3).
Dengan demikian, persekutuan yang berdaya tarik bukan pertama-tama masalah memperbaiki "penampilan luar" komunitas gerejawi, melainkan justru sebaliknya, memperbarui dan mempertajam apa yang ada "di dalam", yakni nilai-nilai yang ditumbuhkan dan dikembangkan komunitas gerejawi tersebut.
Dalam dunia bisnis, dikenal istilah customer loyalty atau kesetiaan pelanggan. Agar bisnis dapat berhasil dengan baik, dilakukanlah upaya-upaya untuk menumbuhkan dan mempertahankan kesetiaan pelanggan ini. Apakah dalam kehidupan gerejawi, orang Kristen juga bisa berbicara tentang kesetiaan jemaat? Tentu saja bisa. Jemaat yang setia melakukan aktivitas di gereja dalam kebersamaan dengan jemaat lain agar terpelihara dan bertumbuh imannya, menjadi salah satu tanggung jawab gereja. Namun untuk mewujudkan semua ini, gereja harus mampu memelihara dan mengembangkan daya tariknya. Tanpa daya tarik, jemaat akan lebih mudah pergi meninggalkan gerejanya untuk berpindah ke gereja lain. Daya sentripetal gereja (daya yang mendorong yang lain bergerak ke arahnya) harus lebih kuat dari daya sentrifugalnya (daya yang membuat yang lain bergerak menjauh darinya).
Dalam penglihatan yang dialami Nabi Yesaya, Rumah Tuhan di Gunung Sion akan mewujudkan daya sentripetal yang memesona bagi segala bangsa dan suku bangsa. Apa yang membuat mereka berduyun-duyun menuju Rumah Tuhan di Gunung Sion tersebut? Menurut Yesaya, salah satunya adalah nilai-nilai yang tumbuh dan terwujud dalam Rumah Tuhan di Gunung Sion tersebut. Nilai-nilai yang tumbuh dan terwujud antara lain: kedamaian, kebersamaan dan kerjasama dalam keragaman bangsa dan suku bangsa, bukan kebencian dan konflik. Itulah sebabnya dikatakan: bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang (ayat 3).
Dengan demikian, persekutuan yang berdaya tarik bukan pertama-tama masalah memperbaiki "penampilan luar" komunitas gerejawi, melainkan justru sebaliknya, memperbarui dan mempertajam apa yang ada "di dalam", yakni nilai-nilai yang ditumbuhkan dan dikembangkan komunitas gerejawi tersebut.
Kehadiran TUHAN Membawa Keadilan dan Damai Sejahtera (Mazmur 72: 1-13)
"Kiranya keadilan berkembang dalam zamannya dan damai sejahtera berlimpah, sampai tidak ada lagi bulan!" (Mazmur 72: 7)
Banyak orang yang pesimis, keadilan dan damai sejahtera sungguh dapat diwujudkan dalam kehidupan ini. Ungkapan yang sering terdengar “keadilan tajam ke bawah dan tumpul ke atas” menggambarkan keraguan terhadap pelaksanaan hukum dan keadilan di negara Indonesia ini. Bagi sebagian orang, suasana damai sejahtera juga terkesan jauh dari ideal. Intoleransi, radikalisme, dan ujaran kebencian masih terasakan begitu kuat dan berkembang di negara ini.
Keadilan dan damai sejahtera merupakan harapan dan cita-cita semua umat manusia di dunia ini. Tak kerkecuali umat Israel pada waktu itu. Mazmur 72 ini merupakan mazmur yang biasa digunakan pada hari peneguhan seorang raja maupun acara-acara/perayaan di sekitar tahta. Mazmur ini merupakan sebuah doa permohonan hadirnya atau terwujudnya kualitas yang baik dari seorang raja yang diharapkan bisa memimpin kerajaan Israel dengan baik pula. Kualitas yang diharapkan disebutkan dalam mazmur tersebut: Hukum, keadilan, damai sejahtera, kebenaran, penolong, peremuk bagi para pemeras (koruptor), pembebas, penyelamat, penyayang, penebus.
Melalui doa ini, terlihat dengan jelas keyakinan optimis umat bahwa seorang raja bisa mewujudkan beragam kualitas tersebut dengan baik. Tugas seorang raja, untuk selalu berusaha mewujudkan kualitas kepemimpinan seperti yang Tuhan kehendaki. Namun demikian, umat juga menyadari, seorang raja perlu pertolongan Tuhan dalam mewujudkan kualitas kepemimpinan tersebut. Seorang raja harus selalu berdoa dan memohon pertolongan Tuhan dalam kehadiran dan karya-Nya untuk mewujudkan keadilan dan damai sejahtera ini. Dengan demikian, kalau harus bersikap pesimis atau optimis, kita tetap harus bersikap optimis bagi terwujudnya keadilan dan damai sejahtera. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Banyak orang yang pesimis, keadilan dan damai sejahtera sungguh dapat diwujudkan dalam kehidupan ini. Ungkapan yang sering terdengar “keadilan tajam ke bawah dan tumpul ke atas” menggambarkan keraguan terhadap pelaksanaan hukum dan keadilan di negara Indonesia ini. Bagi sebagian orang, suasana damai sejahtera juga terkesan jauh dari ideal. Intoleransi, radikalisme, dan ujaran kebencian masih terasakan begitu kuat dan berkembang di negara ini.
Keadilan dan damai sejahtera merupakan harapan dan cita-cita semua umat manusia di dunia ini. Tak kerkecuali umat Israel pada waktu itu. Mazmur 72 ini merupakan mazmur yang biasa digunakan pada hari peneguhan seorang raja maupun acara-acara/perayaan di sekitar tahta. Mazmur ini merupakan sebuah doa permohonan hadirnya atau terwujudnya kualitas yang baik dari seorang raja yang diharapkan bisa memimpin kerajaan Israel dengan baik pula. Kualitas yang diharapkan disebutkan dalam mazmur tersebut: Hukum, keadilan, damai sejahtera, kebenaran, penolong, peremuk bagi para pemeras (koruptor), pembebas, penyelamat, penyayang, penebus.
Melalui doa ini, terlihat dengan jelas keyakinan optimis umat bahwa seorang raja bisa mewujudkan beragam kualitas tersebut dengan baik. Tugas seorang raja, untuk selalu berusaha mewujudkan kualitas kepemimpinan seperti yang Tuhan kehendaki. Namun demikian, umat juga menyadari, seorang raja perlu pertolongan Tuhan dalam mewujudkan kualitas kepemimpinan tersebut. Seorang raja harus selalu berdoa dan memohon pertolongan Tuhan dalam kehadiran dan karya-Nya untuk mewujudkan keadilan dan damai sejahtera ini. Dengan demikian, kalau harus bersikap pesimis atau optimis, kita tetap harus bersikap optimis bagi terwujudnya keadilan dan damai sejahtera. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Mewujudkan Persekutuan yang Berdaya Tarik (Yesaya 2: 1-5)
"...dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: "Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub..." (Kolose 1: 23)
Dalam dunia bisnis, dikenal istilah customer loyalty atau kesetiaan pelanggan. Agar bisnis dapat berhasil dengan baik, dilakukanlah upaya-upaya untuk menumbuhkan dan mempertahankan kesetiaan pelanggan ini. Apakah dalam kehidupan gerejawi, orang Kristen juga bisa berbicara tentang kesetiaan jemaat? Tentu saja bisa. Jemaat yang setia melakukan aktivitas di gereja dalam kebersamaan dengan jemaat lain agar terpelihara dan bertumbuh imannya, menjadi salah satu tanggung jawab gereja. Namun untuk mewujudkan semua ini, gereja harus mampu memelihara dan mengembangkan daya tariknya. Tanpa daya tarik, jemaat akan lebih mudah pergi meninggalkan gerejanya untuk berpindah ke gereja lain. Daya sentripetal gereja (daya yang mendorong yang lain bergerak ke arahnya) harus lebih kuat dari daya sentrifugalnya (daya yang membuat yang lain bergerak menjauh darinya).
Dalam penglihatan yang dialami Nabi Yesaya, Rumah Tuhan di Gunung Sion akan mewujudkan daya sentripetal yang memesona bagi segala bangsa dan suku bangsa. Apa yang membuat mereka berduyun-duyun menuju Rumah Tuhan di Gunung Sion tersebut? Menurut Yesaya, salah satunya adalah nilai-nilai yang tumbuh dan terwujud dalam Rumah Tuhan di Gunung Sion tersebut. Nilai-nilai yang tumbuh dan terwujud antara lain: kedamaian, kebersamaan dan kerjasama dalam keragaman bangsa dan suku bangsa, bukan kebencian dan konflik. Itulah sebabnya dikatakan: bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang (ayat 3).
Dengan demikian, persekutuan yang berdaya tarik bukan pertama-tama masalah memperbaiki "penampilan luar" komunitas gerejawi, melainkan justru sebaliknya, memperbarui dan mempertajam apa yang ada "di dalam", yakni nilai-nilai yang ditumbuhkan dan dikembangkan komunitas gerejawi tersebut.
Dalam dunia bisnis, dikenal istilah customer loyalty atau kesetiaan pelanggan. Agar bisnis dapat berhasil dengan baik, dilakukanlah upaya-upaya untuk menumbuhkan dan mempertahankan kesetiaan pelanggan ini. Apakah dalam kehidupan gerejawi, orang Kristen juga bisa berbicara tentang kesetiaan jemaat? Tentu saja bisa. Jemaat yang setia melakukan aktivitas di gereja dalam kebersamaan dengan jemaat lain agar terpelihara dan bertumbuh imannya, menjadi salah satu tanggung jawab gereja. Namun untuk mewujudkan semua ini, gereja harus mampu memelihara dan mengembangkan daya tariknya. Tanpa daya tarik, jemaat akan lebih mudah pergi meninggalkan gerejanya untuk berpindah ke gereja lain. Daya sentripetal gereja (daya yang mendorong yang lain bergerak ke arahnya) harus lebih kuat dari daya sentrifugalnya (daya yang membuat yang lain bergerak menjauh darinya).
Dalam penglihatan yang dialami Nabi Yesaya, Rumah Tuhan di Gunung Sion akan mewujudkan daya sentripetal yang memesona bagi segala bangsa dan suku bangsa. Apa yang membuat mereka berduyun-duyun menuju Rumah Tuhan di Gunung Sion tersebut? Menurut Yesaya, salah satunya adalah nilai-nilai yang tumbuh dan terwujud dalam Rumah Tuhan di Gunung Sion tersebut. Nilai-nilai yang tumbuh dan terwujud antara lain: kedamaian, kebersamaan dan kerjasama dalam keragaman bangsa dan suku bangsa, bukan kebencian dan konflik. Itulah sebabnya dikatakan: bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang (ayat 3).
Dengan demikian, persekutuan yang berdaya tarik bukan pertama-tama masalah memperbaiki "penampilan luar" komunitas gerejawi, melainkan justru sebaliknya, memperbarui dan mempertajam apa yang ada "di dalam", yakni nilai-nilai yang ditumbuhkan dan dikembangkan komunitas gerejawi tersebut.
Mewujudkan Persekutuan yang Tetap Teguh Dalam Yesus (Kolose 1: 15-23)
"Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil..." (Kolose 1: 23)
"Delapan puluh enam tahun lamanya aku telah melayani Kristus, namun belum pernah sekalipun Kristus berbuat jahat kepadaku. Bagaimana mungkin aku menghujat Rajaku dan Juruselamatku?" demikian kata Polikarpus, seorang Uskup dari Smirna, sekitar tahun 155 Masehi, ketika menghadapi ancaman hukuman mati karena keteguhan imannya di dalam Kristus.
Jemaat Kristen di kota Kolose, pada waktu itu sedang diguncang dengan menyebarnya paham kekristenan gnostik. Kekristenan gnostik mengajarkan bahwa dunia-materi-tubuh ini jahat. Badan ragawi mereka adalah penjara jiwa mereka. Dan cara terbaik untuk keluar dari permasalahan ini bukanlah dengan iman, melainkan pengetahuan rahasia (Bahasa Yunani: gnosis). Dengan pengetahuan ini, manusia bisa belajar membebaskan diri dari perangkap tubuh ragawi. Salah satu konsekuensi dari pandangan ini adalah pemahaman bahwa tubuh Yesus adalah perangkap bagi jiwa Yesus.
Pandangan ini berbeda dengan pandangan Rasul Paulus yang mengajarkan kepenuhan Allah hadir dalam Yesus "secara tubuh" (ayat 19). Allah mengasihi dunia ini, sehingga Allah mengambil rupa tubuh (inkarnasi) dalam diri Yesus Kristus untuk mewujudkan karya pendamaian-Nya (ayat 22). Dalam Yesus, Allah masuk dan terlibat dalam dunia ini. Oleh sebab itulah, iman kristiani dihayati dengan hidup dalam dunia ini dalam segala dinamikanya, dan menemukan serta berpartisipasi dalam karya Allah di dunia ini.
Ketika orang-orang percaya berpartisipasi dalam karya Allah di dunia ini, bisa jadi orang-orang percaya akan berhadapan dengan tantangan dan hambatan. Tetap teguh dalam Kristus akan memampukan orang-orang percaya menghadapi tantangan dan hambatan tersebut.Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
"Delapan puluh enam tahun lamanya aku telah melayani Kristus, namun belum pernah sekalipun Kristus berbuat jahat kepadaku. Bagaimana mungkin aku menghujat Rajaku dan Juruselamatku?" demikian kata Polikarpus, seorang Uskup dari Smirna, sekitar tahun 155 Masehi, ketika menghadapi ancaman hukuman mati karena keteguhan imannya di dalam Kristus.
Jemaat Kristen di kota Kolose, pada waktu itu sedang diguncang dengan menyebarnya paham kekristenan gnostik. Kekristenan gnostik mengajarkan bahwa dunia-materi-tubuh ini jahat. Badan ragawi mereka adalah penjara jiwa mereka. Dan cara terbaik untuk keluar dari permasalahan ini bukanlah dengan iman, melainkan pengetahuan rahasia (Bahasa Yunani: gnosis). Dengan pengetahuan ini, manusia bisa belajar membebaskan diri dari perangkap tubuh ragawi. Salah satu konsekuensi dari pandangan ini adalah pemahaman bahwa tubuh Yesus adalah perangkap bagi jiwa Yesus.
Pandangan ini berbeda dengan pandangan Rasul Paulus yang mengajarkan kepenuhan Allah hadir dalam Yesus "secara tubuh" (ayat 19). Allah mengasihi dunia ini, sehingga Allah mengambil rupa tubuh (inkarnasi) dalam diri Yesus Kristus untuk mewujudkan karya pendamaian-Nya (ayat 22). Dalam Yesus, Allah masuk dan terlibat dalam dunia ini. Oleh sebab itulah, iman kristiani dihayati dengan hidup dalam dunia ini dalam segala dinamikanya, dan menemukan serta berpartisipasi dalam karya Allah di dunia ini.
Ketika orang-orang percaya berpartisipasi dalam karya Allah di dunia ini, bisa jadi orang-orang percaya akan berhadapan dengan tantangan dan hambatan. Tetap teguh dalam Kristus akan memampukan orang-orang percaya menghadapi tantangan dan hambatan tersebut.Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Mewujudkan Persekutuan yang Menerima Keselamatan dari TUHAN (Mazmur 98: 1-9)
"...segala ujung bumi telah melihat keselamatan yang dari pada Allah kita." (Mazmur 98: 3)
Ada salah paham mengenai keselamatan dalam pemikiran banyak orang Kristen. Salah paham ini terjadi ketika seorang Kristen mulai berpikir keselamatan hanya berurusan dengan kehidupan setelah kematian. Keselamatan hanya berhubungan dengan surga dan neraka, tidak dengan kehidupan dunia ini.
Salah paham ini bisa membuat banyak orang Kristen kurang menghargai kehidupan ini dan kurang mewujudkan tanggung jawab moral bagi kehidupan dunia yang lebih baik. "Apa gunanya memelihara dunia kalau akhirnya dunia ini kita tinggalkan, karena kita hidup dalam kehidupan lain sesudah kematian kita?" Dunia ini dipelihara oleh Allah. Bumi ini menerima limpahan kasih Allah. Umat manusia di bumi ini menerima karya
penyelamatan Allah. Inilah ungkapan syukur sang pemazmur melalui mazmurnya ini. Kata "keselamatan" di perikop ini memakai kata Ibrani yasha. Nama Yosua berpadanan dengan kata ini, juga nama Yesus, Sang Penyelamat.
Penyelamatan Allah sungguh nyata dialami umat di bumi ini, bukan pertama-tama dialami di surga. Kelirulah umat kalau berpikir keselamatan hanya dikerjakan dan diberikan Allah pada saat seseorang berada di surga. Keselamatan Allah adalah anugerah dalam kehidupan kita di dunia ini, namun keselamatan Allah tersebut juga selalu menampilkan wajah partisipatif. Kita yang menerima keselamatan itu serentak dipanggil untuk berpartisipasi mewujudkan karya dan buah keselamatan tersebut.
Oleh sebab itulah, persekutuan orang-orang Kristen yang menerima keselamatan dari Kristus, serentak dipanggil untuk aktif dalam karya penyelamatan Allah di bumi ini. Bumi ini adalah milik orang-orang percaya yang harus dipelihara dan menjadi ladang buah-buah keselamatan selalu dihasilkan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Ada salah paham mengenai keselamatan dalam pemikiran banyak orang Kristen. Salah paham ini terjadi ketika seorang Kristen mulai berpikir keselamatan hanya berurusan dengan kehidupan setelah kematian. Keselamatan hanya berhubungan dengan surga dan neraka, tidak dengan kehidupan dunia ini.
Salah paham ini bisa membuat banyak orang Kristen kurang menghargai kehidupan ini dan kurang mewujudkan tanggung jawab moral bagi kehidupan dunia yang lebih baik. "Apa gunanya memelihara dunia kalau akhirnya dunia ini kita tinggalkan, karena kita hidup dalam kehidupan lain sesudah kematian kita?" Dunia ini dipelihara oleh Allah. Bumi ini menerima limpahan kasih Allah. Umat manusia di bumi ini menerima karya
penyelamatan Allah. Inilah ungkapan syukur sang pemazmur melalui mazmurnya ini. Kata "keselamatan" di perikop ini memakai kata Ibrani yasha. Nama Yosua berpadanan dengan kata ini, juga nama Yesus, Sang Penyelamat.
Penyelamatan Allah sungguh nyata dialami umat di bumi ini, bukan pertama-tama dialami di surga. Kelirulah umat kalau berpikir keselamatan hanya dikerjakan dan diberikan Allah pada saat seseorang berada di surga. Keselamatan Allah adalah anugerah dalam kehidupan kita di dunia ini, namun keselamatan Allah tersebut juga selalu menampilkan wajah partisipatif. Kita yang menerima keselamatan itu serentak dipanggil untuk berpartisipasi mewujudkan karya dan buah keselamatan tersebut.
Oleh sebab itulah, persekutuan orang-orang Kristen yang menerima keselamatan dari Kristus, serentak dipanggil untuk aktif dalam karya penyelamatan Allah di bumi ini. Bumi ini adalah milik orang-orang percaya yang harus dipelihara dan menjadi ladang buah-buah keselamatan selalu dihasilkan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Keluarga Peduli dan Berbagi Kebaikan (Yesaya 1:10-18)
"...belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam." (Yesaya 1: 17)
Ada ungkapan populer yang kadang kita dengar: Sering orang baik malah mati muda atau orang baik lebih cepat berpulang kepada Sang Penciptanya. Saya sendiri tidak tahu darimana asal ungkapan ini, namun demikian ungkapan ini tidak dengan sendirinya benar. Benar, ada orang-orang baik yang mati muda. Namun kalau kemudian disimpulkan orang baik sering mati muda, tentu sebuah kesimpulan yang keliru.
Jikalau umat beriman harus memilih antara ritual keagamaan yang dilakukan untuk Tuhan dengan kebaikan yang dilakukan untuk sesama, nabi Yesaya dengan tegas mengajak umat untuk mengabaikan ritual keagamaan dan lebih memilih mewujudkan kebaikan. Ritual keagamaan yang dilakukan dengan mengabaikan tindakan kebaikan/kasih justru tidak berkenan bagi Tuhan. Respons Tuhan dengan ritual keagamaan yang mengabaikan kebaikan/kasih adalah jemu, tidak suka (ayat 11), jijik, tidak tahan (ayat 13), benci (ayat 14), memalingkan muka, dan tidak akan mendengar doa-doa umat (ayat 15).
Ada ironisme di sini. Umat yang mengabaikan kasih/kebaikan bagi sesama dan rajin melakukan ritualisme agama, merasa masih/sedang melakukan kehendak Tuhan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, mereka sebenarnya menjauh dari kehendak Tuhan. Setiap keluarga Kristen mendapat tugas panggilan untuk melatih dan mempraktikkan kehidupan keluarga yang peduli dan berbagi kebaikan bagi sesamanya. Stephen Post, seorang Profesor Bioetika, dalam buku yang berjudul Why Good Things Happen to Good People, menunjukkan ratusan penelitian ilmiah serius yang menyatakan bahwa berbuat kebaikan/kasih bagi orang lain sungguh bermanfaat tidak hanya bagi orang lain tersebut, tetapi bahkan juga bermanfaat bagi diri sendiri: kedamaian, kesejahteraan hidup, juga kesehatan fisik dan psikis. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Ada ungkapan populer yang kadang kita dengar: Sering orang baik malah mati muda atau orang baik lebih cepat berpulang kepada Sang Penciptanya. Saya sendiri tidak tahu darimana asal ungkapan ini, namun demikian ungkapan ini tidak dengan sendirinya benar. Benar, ada orang-orang baik yang mati muda. Namun kalau kemudian disimpulkan orang baik sering mati muda, tentu sebuah kesimpulan yang keliru.
Jikalau umat beriman harus memilih antara ritual keagamaan yang dilakukan untuk Tuhan dengan kebaikan yang dilakukan untuk sesama, nabi Yesaya dengan tegas mengajak umat untuk mengabaikan ritual keagamaan dan lebih memilih mewujudkan kebaikan. Ritual keagamaan yang dilakukan dengan mengabaikan tindakan kebaikan/kasih justru tidak berkenan bagi Tuhan. Respons Tuhan dengan ritual keagamaan yang mengabaikan kebaikan/kasih adalah jemu, tidak suka (ayat 11), jijik, tidak tahan (ayat 13), benci (ayat 14), memalingkan muka, dan tidak akan mendengar doa-doa umat (ayat 15).
Ada ironisme di sini. Umat yang mengabaikan kasih/kebaikan bagi sesama dan rajin melakukan ritualisme agama, merasa masih/sedang melakukan kehendak Tuhan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, mereka sebenarnya menjauh dari kehendak Tuhan. Setiap keluarga Kristen mendapat tugas panggilan untuk melatih dan mempraktikkan kehidupan keluarga yang peduli dan berbagi kebaikan bagi sesamanya. Stephen Post, seorang Profesor Bioetika, dalam buku yang berjudul Why Good Things Happen to Good People, menunjukkan ratusan penelitian ilmiah serius yang menyatakan bahwa berbuat kebaikan/kasih bagi orang lain sungguh bermanfaat tidak hanya bagi orang lain tersebut, tetapi bahkan juga bermanfaat bagi diri sendiri: kedamaian, kesejahteraan hidup, juga kesehatan fisik dan psikis. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kekuatan Bersumber dalam TUHAN (Mazmur 84: 1-13)
"Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah! "(Mazmur 84: 6)
Banyak orang tidak kuat menjalani hidup ini. Di Indonesia, angka bunuh diri kurang lebih 10.000 orang pertahun. Organisasi kesehatan Dunia (WHO) mencatat bunuh diri menjadi penyebab utama kematian secara global nomor lima di antara mereka yang berusia 30-49 tahun. Laki-laki bunuh diri tiga kali lebih banyak daripada perempuan. Ada banyak sebab seseorang melakukan bunuh diri, di antaranya karena masalah kesehatan, beban ekonomi, masalah psikologis.
Hidup kadang memang bisa terasa berat bagi sebagian orang atau keluarga. Membayangkan kehidupan keluarga terbebas sama sekali dari persoalan hidup tampaknya juga bukan tindakan yang bijaksana. Sang pemazmur justru mengajak kita menyadari kehidupan yang bisa diwarnai dengan persoalan hidup. Dalam kehidupan ini, bisa saja kita harus melintasi "Lembah Baka" (ayat 7). Lembah Baka sebuah lembah yang ada di Israel, namun di sini dipakai sebagai gambaran perjalanan manusia yang diliputi beban dan penderitaan hidup. Meski demikian, lembah ini akan dilintasi dengan suasana yang berbeda karena lembah itu akan menjadi lembah yang bermata air.
Mengapa demikian? Karena kekuatan orang percaya dalam melintasi lembah Baka itu bersumber dalam Tuhan. Mereka memercayakan sepenuhnya hidup mereka dalam pimpinan Tuhan. Dalam perjalanan hidup yang berat itulah, mereka akan merasakan kehadiran Tuhan sebagai "matahari" dan "perisai", yang memberikan umat kemuliaan dan kasih-Nya. Mereka tetap bisa bergerak maju dalam kehidupan ini, karena dalam persoalan hidup mereka itu, mereka menemukan diri mereka justru "semakin lama semakin kuat" (ayat 8).
Keluarga Kristen semakin lama juga harus semakin kuat di dalam Tuhan. Beban dan persoalan hidup seharusnya tidak akan melemahkan mereka, justru menjadikan semakin kuat dalam Tuhan. Amin. Oleh. Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Banyak orang tidak kuat menjalani hidup ini. Di Indonesia, angka bunuh diri kurang lebih 10.000 orang pertahun. Organisasi kesehatan Dunia (WHO) mencatat bunuh diri menjadi penyebab utama kematian secara global nomor lima di antara mereka yang berusia 30-49 tahun. Laki-laki bunuh diri tiga kali lebih banyak daripada perempuan. Ada banyak sebab seseorang melakukan bunuh diri, di antaranya karena masalah kesehatan, beban ekonomi, masalah psikologis.
Hidup kadang memang bisa terasa berat bagi sebagian orang atau keluarga. Membayangkan kehidupan keluarga terbebas sama sekali dari persoalan hidup tampaknya juga bukan tindakan yang bijaksana. Sang pemazmur justru mengajak kita menyadari kehidupan yang bisa diwarnai dengan persoalan hidup. Dalam kehidupan ini, bisa saja kita harus melintasi "Lembah Baka" (ayat 7). Lembah Baka sebuah lembah yang ada di Israel, namun di sini dipakai sebagai gambaran perjalanan manusia yang diliputi beban dan penderitaan hidup. Meski demikian, lembah ini akan dilintasi dengan suasana yang berbeda karena lembah itu akan menjadi lembah yang bermata air.
Mengapa demikian? Karena kekuatan orang percaya dalam melintasi lembah Baka itu bersumber dalam Tuhan. Mereka memercayakan sepenuhnya hidup mereka dalam pimpinan Tuhan. Dalam perjalanan hidup yang berat itulah, mereka akan merasakan kehadiran Tuhan sebagai "matahari" dan "perisai", yang memberikan umat kemuliaan dan kasih-Nya. Mereka tetap bisa bergerak maju dalam kehidupan ini, karena dalam persoalan hidup mereka itu, mereka menemukan diri mereka justru "semakin lama semakin kuat" (ayat 8).
Keluarga Kristen semakin lama juga harus semakin kuat di dalam Tuhan. Beban dan persoalan hidup seharusnya tidak akan melemahkan mereka, justru menjadikan semakin kuat dalam Tuhan. Amin. Oleh. Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Keluarga yang Berdoa dan Berkarya (Lukas 18: 1-8)
"Dan di kota itu ada seorang janda yang selalu datang kepada hakim itu dan berkata: Belalah hakku terhadap lawanku."(Lukas 18: 1-8)
Kalau anak Anda sakit keras, apakah selama dua hari terus-menerus Anda hanya akan berdoa bagi kesembuhan anak tersebut, atau Anda akan secepatnya membawa ke rumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan medis secepatnya? Ada kelompok kekristenan yang menolak perawatan medis atas nama iman mereka. Perawatan medis mereka anggap sebagai ketidakpercayaan atas kuasa mukjizat penyembuhan Tuhan. Mereka hanya mengandalkan doa, bukan pada perawatan medis
Yesus menegaskan pentingnya selalu berdoa tanpa jemu-jemu dalam relasi umat bersama Tuhan. Ia memakai perumpamaan untuk mewartakan pesan teologis ini. Di suatu kota ada seorang janda yang selalu datang kepada seorang hakim agar sang hakim membela haknya terhadap lawannya. Sang hakim pada mulanya enggan membela janda ini, tetapi karena ia terus saja datang kepadanya, maka sang hakim membela dia. Perhatikan kata "selalu" (ayat 3) dan "terus" (ayat 5), dalam bahasa Yunani memakai kata yang sama arkhomai, yang memang berarti "sangat sering". Namun demikian, Yesus juga menekankan pentingnya berusaha, tidak sekadar memanjatkan permohonan kepada Tuhan. Janda itu tidak hanya tanpa jemu-jemu memohon kepada hakim agar membela haknya, namun ia juga berusaha tanpa jemu-jemu menemui dan memohon pada sang hakim tersebut. Ia berusaha dan memohon pada sang hakim.
Oleh sebab itu, kurang lengkap jika keluarga-keluarga Kristen ketika menghadapi persoalan dan krisis hanya membawa dalam doa permohonan pada Tuhan agar Tuhan berkenan menolong mengatasi persoalan hidupnya tersebut. Keluarga itu sendiri juga harus tanpa jemu-jemu bekerja mengatasi persoalan atau krisis tersebut dengan talenta, akal budi, atau berkat yang telah diberikan Tuhan kepada mereka. Ora et Labora, bekerja dan berdoa. Bahkan masih bisa diperluas menjadi Ora, Labora et Lectio, Berdoa, Bekerja dan Pemahaman Alkitab. Amin. Oleh. Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kalau anak Anda sakit keras, apakah selama dua hari terus-menerus Anda hanya akan berdoa bagi kesembuhan anak tersebut, atau Anda akan secepatnya membawa ke rumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan medis secepatnya? Ada kelompok kekristenan yang menolak perawatan medis atas nama iman mereka. Perawatan medis mereka anggap sebagai ketidakpercayaan atas kuasa mukjizat penyembuhan Tuhan. Mereka hanya mengandalkan doa, bukan pada perawatan medis
Yesus menegaskan pentingnya selalu berdoa tanpa jemu-jemu dalam relasi umat bersama Tuhan. Ia memakai perumpamaan untuk mewartakan pesan teologis ini. Di suatu kota ada seorang janda yang selalu datang kepada seorang hakim agar sang hakim membela haknya terhadap lawannya. Sang hakim pada mulanya enggan membela janda ini, tetapi karena ia terus saja datang kepadanya, maka sang hakim membela dia. Perhatikan kata "selalu" (ayat 3) dan "terus" (ayat 5), dalam bahasa Yunani memakai kata yang sama arkhomai, yang memang berarti "sangat sering". Namun demikian, Yesus juga menekankan pentingnya berusaha, tidak sekadar memanjatkan permohonan kepada Tuhan. Janda itu tidak hanya tanpa jemu-jemu memohon kepada hakim agar membela haknya, namun ia juga berusaha tanpa jemu-jemu menemui dan memohon pada sang hakim tersebut. Ia berusaha dan memohon pada sang hakim.
Oleh sebab itu, kurang lengkap jika keluarga-keluarga Kristen ketika menghadapi persoalan dan krisis hanya membawa dalam doa permohonan pada Tuhan agar Tuhan berkenan menolong mengatasi persoalan hidupnya tersebut. Keluarga itu sendiri juga harus tanpa jemu-jemu bekerja mengatasi persoalan atau krisis tersebut dengan talenta, akal budi, atau berkat yang telah diberikan Tuhan kepada mereka. Ora et Labora, bekerja dan berdoa. Bahkan masih bisa diperluas menjadi Ora, Labora et Lectio, Berdoa, Bekerja dan Pemahaman Alkitab. Amin. Oleh. Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Keluarga yang Mengucap Syukur (Lukas 17: 11-19)
"...lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria." (Lukas 17: 16)
Rasa syukur itu membawa banyak manfaat bagi kehidupan kita. Berdasarkan riset Journal Religion and Health pada tahun 2015, seseorang yang biasa mengucap syukur terbukti lebih baik dalam hal kesehatan fisik dan kesehatan psikis. Di samping itu, rasa syukur juga dapat meningkatkan penghargaan diri, empati bagi sesama yang menderita, dan bahkan kualitas tidur.
Namun demikian, tidak semua orang terbiasa hidup dengan ucap syukur. Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta yang menemui Dia. Mereka dikucilkan dan diasingkan oleh masyarakat, tidak hanya secara sosial, namun juga religius. Pada waktu itu, mereka yang terkena penyakit kusta dianggap sebagai orang-orang yang sedang menerima hukuman dari Tuhan karena dosa-dosa mereka. Mereka semua disembuhkan oleh Yesus, bukan sekadar kesembuhan fisik melainkan juga sosial dan religius. Ketika Yesus menyuruh mereka pergi dan memperlihatkan diri mereka kepada imam-imam, proses penyembuhan holistik itu telah dimulai: fisik, sosial, dan religius. Semua sembuh, namun hanya satu yang kembali untuk mengucap syukur. Yang datang untuk mengucap syukur pada Yesus atas karya penyembuhan-Nya adalah seorang Samaria. Ini agak ironis, mengingat orang-orang Samaria pada umumnya dianggap menyimpang dari iman yang murni yang dipegang oleh umat Israel kepada Allah. Yang "menyimpang" itulah yang justru datang mengucap syukur kepada Yesus.
Rasa syukur pada dasarnya dapat diajarkan sejak dini. Paus Fransiskus mengatakan cara mudah dan sederhana untuk mengungkapkan syukur adalah dengan belajar mengucapkan TERIMA KASIH pada siapa saja dan apa saja yang kita temui dalam hidup kita. Keluarga yang terbiasa bersyukur pada Tuhan, terbukti menjadi keluarga yang "tahan banting" ketika harus berhadapan dengan persoalan kehidupan karena yakin akan pemeliharaan Tuhan dalam hidup mereka. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Rasa syukur itu membawa banyak manfaat bagi kehidupan kita. Berdasarkan riset Journal Religion and Health pada tahun 2015, seseorang yang biasa mengucap syukur terbukti lebih baik dalam hal kesehatan fisik dan kesehatan psikis. Di samping itu, rasa syukur juga dapat meningkatkan penghargaan diri, empati bagi sesama yang menderita, dan bahkan kualitas tidur.
Namun demikian, tidak semua orang terbiasa hidup dengan ucap syukur. Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta yang menemui Dia. Mereka dikucilkan dan diasingkan oleh masyarakat, tidak hanya secara sosial, namun juga religius. Pada waktu itu, mereka yang terkena penyakit kusta dianggap sebagai orang-orang yang sedang menerima hukuman dari Tuhan karena dosa-dosa mereka. Mereka semua disembuhkan oleh Yesus, bukan sekadar kesembuhan fisik melainkan juga sosial dan religius. Ketika Yesus menyuruh mereka pergi dan memperlihatkan diri mereka kepada imam-imam, proses penyembuhan holistik itu telah dimulai: fisik, sosial, dan religius. Semua sembuh, namun hanya satu yang kembali untuk mengucap syukur. Yang datang untuk mengucap syukur pada Yesus atas karya penyembuhan-Nya adalah seorang Samaria. Ini agak ironis, mengingat orang-orang Samaria pada umumnya dianggap menyimpang dari iman yang murni yang dipegang oleh umat Israel kepada Allah. Yang "menyimpang" itulah yang justru datang mengucap syukur kepada Yesus.
Rasa syukur pada dasarnya dapat diajarkan sejak dini. Paus Fransiskus mengatakan cara mudah dan sederhana untuk mengungkapkan syukur adalah dengan belajar mengucapkan TERIMA KASIH pada siapa saja dan apa saja yang kita temui dalam hidup kita. Keluarga yang terbiasa bersyukur pada Tuhan, terbukti menjadi keluarga yang "tahan banting" ketika harus berhadapan dengan persoalan kehidupan karena yakin akan pemeliharaan Tuhan dalam hidup mereka. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Memelihara dan Mewariskan Iman (2 Timotius 1:1-14)
"Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu." (2 Timotius 1: 5)
Siapa yang membuat saya suka dengan cerita-cerita Alkitab sejak usia Sekolah Dasar? Eyang saya dan juga Tante saya dari garis ayah. Mengapa? Seringkali ketika mereka berkunjung ke rumah kami, mereka membawakan saya seri komik alkitab. Hingga akhirnya terkumpul dari seri Kitab Kejadian sampai Wahyu. Mereka tahu betul media komik akan membuat saya tertarik untuk membaca dan dengan sendirinya akan mengenal kisah dan tokoh dalam Alkitab.
Tentu ada banyak orang yang berperan dalam proses pertumbuhan iman saya sejak saya masih kanak-kanak. Namun demikian, pengenalan saya terhadap peristiwa dan tokoh alkitab dengan baik terjadi melalui komik-komik yang diberikan Eyang dan Tante saya tersebut. Mereka telah berupaya untuk memelihara dan mewariskan iman mereka kepada saya.
Itulah yang dilakukan Louis dan Eunike bagi Timotius. Sebagai Eyang Putri dan Ibunda Timotius, mereka telah melakukan beragam cara untuk memelihara dan mewariskan iman bagi Timotius. Bahkan Rasul Paulus meyakini bahwa iman yang sama, yang kuat dipegang oleh Louis dan Eunike, ditemukan juga dalam kehidupan dan pelayanan Timotius.
Pasti ada banyak orang yang membentuk kehidupan iman Timotius, termasuk rasul Paulus yang menjadikan Timotius rekan sekerja dalam Kristus. Namun demikian, rupanya ada orang-orang tertentu yang punya peran penting dalam pertumbuhan iman Timotius. Keluarga Kristen memiliki panggilan untuk memelihara dan mewariskan iman bagi anak-anak dan cucu-cucunya. Bahkan dalam era kebebasan beragama, tanggung jawab itu tetap. Kita diberi kebebasan untuk memelihara, menjaga dan mewariskan iman yang baik kepada keluarga dan komunitas gerejawi kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Siapa yang membuat saya suka dengan cerita-cerita Alkitab sejak usia Sekolah Dasar? Eyang saya dan juga Tante saya dari garis ayah. Mengapa? Seringkali ketika mereka berkunjung ke rumah kami, mereka membawakan saya seri komik alkitab. Hingga akhirnya terkumpul dari seri Kitab Kejadian sampai Wahyu. Mereka tahu betul media komik akan membuat saya tertarik untuk membaca dan dengan sendirinya akan mengenal kisah dan tokoh dalam Alkitab.
Tentu ada banyak orang yang berperan dalam proses pertumbuhan iman saya sejak saya masih kanak-kanak. Namun demikian, pengenalan saya terhadap peristiwa dan tokoh alkitab dengan baik terjadi melalui komik-komik yang diberikan Eyang dan Tante saya tersebut. Mereka telah berupaya untuk memelihara dan mewariskan iman mereka kepada saya.
Itulah yang dilakukan Louis dan Eunike bagi Timotius. Sebagai Eyang Putri dan Ibunda Timotius, mereka telah melakukan beragam cara untuk memelihara dan mewariskan iman bagi Timotius. Bahkan Rasul Paulus meyakini bahwa iman yang sama, yang kuat dipegang oleh Louis dan Eunike, ditemukan juga dalam kehidupan dan pelayanan Timotius.
Pasti ada banyak orang yang membentuk kehidupan iman Timotius, termasuk rasul Paulus yang menjadikan Timotius rekan sekerja dalam Kristus. Namun demikian, rupanya ada orang-orang tertentu yang punya peran penting dalam pertumbuhan iman Timotius. Keluarga Kristen memiliki panggilan untuk memelihara dan mewariskan iman bagi anak-anak dan cucu-cucunya. Bahkan dalam era kebebasan beragama, tanggung jawab itu tetap. Kita diberi kebebasan untuk memelihara, menjaga dan mewariskan iman yang baik kepada keluarga dan komunitas gerejawi kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Sungguh-sungguh Dalam Ibadah
“…Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati." (Lukas 16: 31)
Sewaktu kecil, saya sangat senang menunggu film yang disiarkan TVRI setiap hari Minggu, yang berjudul Highway to Heaven. Film ini dibintangi oleh Michael Landon. Ia berperan sebagai seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk memperlihatkan orang-orang akan nasibnya di hari depan. Seseorang akan diperlihatkan nasibnya di hari depan (yang biasanya buruk), agar ia bisa mengubahnya di masa sekarang dan menjadi bernasib baik di masa yang akan datang.
Yesus berkisah mengenai seorang kaya dan seorang miskin yang bernama Lazarus. Nasib mereka berbeda total. Sewaktu mereka masih hidup di dunia ini, orang kaya itu hidup dalam segala kemewahannya, sedangkan Lazarus hidup dalam segala kemiskinan dan penderitaannya. Namun ketika dua-duanya mati, situasi berubah. Lazarus berada dalam pangkuan Abraham, orang kaya itu menderita sengsara di alam maut.
Apakah kisah Yesus ini mengobarkan sentimen kelas sosial, antara yang kaya dan miskin? Orang kaya masuk neraka, sebaliknya orang miskin masuk surga. Tentu bukan itu pesan yang mau disampaikan oleh Yesus. Perhatikan baik-baik: alasan mengapa Lazarus berada di pangkuan Abraham, sedangkan orang kaya itu tidak, karena orang kaya itu selagi hidup di dunia ini tidak pernah hidup sesuai kesaksian Musa dan para nabi (29). Intinya, orang kaya itu tidak mau hidup dalam kesungguhan ibadah, iman dan kesetiaan pada Allah. Jadi bukan pada kaya atau miskin orang tersebut, melainkan kesungguhan mau hidup sesuai dengan kebenaran dan kehendak Tuhan. Bahkan bagi mereka yang tidak sungguh-sungguh, seseorang yang dibangkitkan Allah dari kematian untuk mengingatkan mereka, juga akan mereka tolak.Oleh sebab itu, selagi kita masih hidup, mari kita bersungguh-sungguh dalam beribadah pada Tuhan, dalam memahami dan mewujudkan kehendak-Nya. Amin.
Sewaktu kecil, saya sangat senang menunggu film yang disiarkan TVRI setiap hari Minggu, yang berjudul Highway to Heaven. Film ini dibintangi oleh Michael Landon. Ia berperan sebagai seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk memperlihatkan orang-orang akan nasibnya di hari depan. Seseorang akan diperlihatkan nasibnya di hari depan (yang biasanya buruk), agar ia bisa mengubahnya di masa sekarang dan menjadi bernasib baik di masa yang akan datang.
Yesus berkisah mengenai seorang kaya dan seorang miskin yang bernama Lazarus. Nasib mereka berbeda total. Sewaktu mereka masih hidup di dunia ini, orang kaya itu hidup dalam segala kemewahannya, sedangkan Lazarus hidup dalam segala kemiskinan dan penderitaannya. Namun ketika dua-duanya mati, situasi berubah. Lazarus berada dalam pangkuan Abraham, orang kaya itu menderita sengsara di alam maut.
Apakah kisah Yesus ini mengobarkan sentimen kelas sosial, antara yang kaya dan miskin? Orang kaya masuk neraka, sebaliknya orang miskin masuk surga. Tentu bukan itu pesan yang mau disampaikan oleh Yesus. Perhatikan baik-baik: alasan mengapa Lazarus berada di pangkuan Abraham, sedangkan orang kaya itu tidak, karena orang kaya itu selagi hidup di dunia ini tidak pernah hidup sesuai kesaksian Musa dan para nabi (29). Intinya, orang kaya itu tidak mau hidup dalam kesungguhan ibadah, iman dan kesetiaan pada Allah. Jadi bukan pada kaya atau miskin orang tersebut, melainkan kesungguhan mau hidup sesuai dengan kebenaran dan kehendak Tuhan. Bahkan bagi mereka yang tidak sungguh-sungguh, seseorang yang dibangkitkan Allah dari kematian untuk mengingatkan mereka, juga akan mereka tolak.Oleh sebab itu, selagi kita masih hidup, mari kita bersungguh-sungguh dalam beribadah pada Tuhan, dalam memahami dan mewujudkan kehendak-Nya. Amin.
Aksi Nyata Kehidupan(1 Timotius 1: 12-17)
"Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur..." (1 Timotius 1: 16)
Banyak orang berpikir ibadah hanya sebatas di gereja. Di luar gereja, mereka tidak sedang beribadah. Hari Minggu adalah harinya Tuhan, sedangkan hari Senin sampai Sabtu adalah hari-hari biasa. Pikiran semacam ini rupanya mendorong banyak orang untuk bersikap saleh hanya pada hari Minggu saat mereka beribadah. Di hari-hari lain mereka akan mengikuti kerasnya gaya hidup dunia, bahkan tidak segan-segan menerobos batas-batas iman mereka.
Kata ibadah dalam bahasa Indonesia serapan dari bahasa Arab, namun kata ini dekat dengan bahasa Ibrani, Abodah. Kata Abodah ini mengandung arti kerja, karya. Kerja atau karya ini tidak sebatas pada hari Sabat dalam ritual keagamaan melainkan kerja atau karya nyata dalam kehidupan sehari-hari umat. Ibadah tidak hanya perkara berdoa, bernyanyi dan mendengarkan firman di hari Sabat, melainkan melakukan kerja/karya/aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Mazmur 113 ini, sang pemazmur menyatakan puji-pujiannya kepada Tuhan, karena (1) keagungan atau kemuliaan Tuhan mengatasi segala sesuatu. Namun demikian, keagungan atau kemuliaan Tuhan ini tidak terus membuat Tuhan terpisah dengan manusia, (2) Yang Agung atau Mulia ini justru merendahkan diri untuk hadir dalam kehidupan manusia di bumi ini, untuk menolong mereka yang rendah, hina, miskin, dan menderita. Sang pemazmur bersyukur atas keagungan Tuhan yang meliputi langit dan bumi, segenap ciptaan-Nya ini.
Tidak mengherankan, seorang bapak gerejawi yang bernama Chrysostomus, menyatakan ada dua altar dalam kehidupan orang percaya. Altar pertama di gereja, altar kedua di kehidupan dunia ini. Di altar gereja, kita bersikap saleh di hadapan Tuhan karena mendengarkan firman-Nya, sedangkan di altar dunia ini kita bersikap saleh karena melakukan firman-Nya dalam aksi nyata kehidupan sehari-hari. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Banyak orang berpikir ibadah hanya sebatas di gereja. Di luar gereja, mereka tidak sedang beribadah. Hari Minggu adalah harinya Tuhan, sedangkan hari Senin sampai Sabtu adalah hari-hari biasa. Pikiran semacam ini rupanya mendorong banyak orang untuk bersikap saleh hanya pada hari Minggu saat mereka beribadah. Di hari-hari lain mereka akan mengikuti kerasnya gaya hidup dunia, bahkan tidak segan-segan menerobos batas-batas iman mereka.
Kata ibadah dalam bahasa Indonesia serapan dari bahasa Arab, namun kata ini dekat dengan bahasa Ibrani, Abodah. Kata Abodah ini mengandung arti kerja, karya. Kerja atau karya ini tidak sebatas pada hari Sabat dalam ritual keagamaan melainkan kerja atau karya nyata dalam kehidupan sehari-hari umat. Ibadah tidak hanya perkara berdoa, bernyanyi dan mendengarkan firman di hari Sabat, melainkan melakukan kerja/karya/aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Mazmur 113 ini, sang pemazmur menyatakan puji-pujiannya kepada Tuhan, karena (1) keagungan atau kemuliaan Tuhan mengatasi segala sesuatu. Namun demikian, keagungan atau kemuliaan Tuhan ini tidak terus membuat Tuhan terpisah dengan manusia, (2) Yang Agung atau Mulia ini justru merendahkan diri untuk hadir dalam kehidupan manusia di bumi ini, untuk menolong mereka yang rendah, hina, miskin, dan menderita. Sang pemazmur bersyukur atas keagungan Tuhan yang meliputi langit dan bumi, segenap ciptaan-Nya ini.
Tidak mengherankan, seorang bapak gerejawi yang bernama Chrysostomus, menyatakan ada dua altar dalam kehidupan orang percaya. Altar pertama di gereja, altar kedua di kehidupan dunia ini. Di altar gereja, kita bersikap saleh di hadapan Tuhan karena mendengarkan firman-Nya, sedangkan di altar dunia ini kita bersikap saleh karena melakukan firman-Nya dalam aksi nyata kehidupan sehari-hari. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Menjadi Contoh/Teladan (1 Timotius 1: 12-17)
"...dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal." (1 Timotius 1: 16)
Siapa contoh atau teladan utama bagi anak-anak kita dalam hal beribadah? Tentu saja kita, sebagai orang tua mereka. Kalau kita jarang berdoa, anak kita juga ikut-ikutan jarang berdoa. Kalau sewaktu ibadah kita buka-buka WhatsApp, anak-anak kita juga akan buka WhatsApp. Kalau kita aktif dalam kegiatan gerejawi, anak kita juga akan terdorong aktif dalam kegiatan gerejawi.
Rasul Paulus mengajarkan nilai kehidupan iman kristiani yang penting bagi Timotius. Nilai itu adalah keteladanan atau contoh. Keteladanan/contoh hidup Timotius sangat diperlukan bagi jemaat Efesus yang saat itu dilayani oleh Timotius. Rasul Paulus memperlihatkan hidupnya sendiri juga telah menjadi contoh. Dulu ia seorang penghujat, penganiaya, dan ganas terutama bagi para pengikut Yesus, sekarangia telah menjadi pengikut Kristus. Perubahan dan contoh hidup Paulus ini telah membuat banyak orang percaya kepada Yesus.
Kata "contoh" dalam bahasa Yunani memakai kata hupotuposis. Kata ini mengandung makna pola, ukuran, atau standar tertentu yang tetap dipegang atau dipertahankan. Menjadi contoh/teladan dengan demikian berarti tetap mempertahankan standar keimanan dalam Kristus. Pola/ukuran/standar inilah yang justru akan memampukan jemaat Kristen Efesus menghayati iman dan ibadahnya di dalam Kristus dengan teguh, di tengah-tengah perbedaan ajaran yang ada di kota tersebut. Jikalau standar ini diabaikan, kehidupan orang-orang Kristen di Efesus tidak ada bedanya dengan para pemuja berhala di kota tersebut.
Dalam bahasa Jawa, terdapat juga ungkapan Tepa Tuladha. Tepa artinya ukuran, tuladha artinya contoh; berarti adanya ukuran/standar contoh hidup yang diharapkan pihak lain dari kita. Oleh karena kita adalah pengikut Kristen, kita harus menunjukkan standar hidup kita sebagai pengikut Kristus dalam hidup maupun ibadah kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Siapa contoh atau teladan utama bagi anak-anak kita dalam hal beribadah? Tentu saja kita, sebagai orang tua mereka. Kalau kita jarang berdoa, anak kita juga ikut-ikutan jarang berdoa. Kalau sewaktu ibadah kita buka-buka WhatsApp, anak-anak kita juga akan buka WhatsApp. Kalau kita aktif dalam kegiatan gerejawi, anak kita juga akan terdorong aktif dalam kegiatan gerejawi.
Rasul Paulus mengajarkan nilai kehidupan iman kristiani yang penting bagi Timotius. Nilai itu adalah keteladanan atau contoh. Keteladanan/contoh hidup Timotius sangat diperlukan bagi jemaat Efesus yang saat itu dilayani oleh Timotius. Rasul Paulus memperlihatkan hidupnya sendiri juga telah menjadi contoh. Dulu ia seorang penghujat, penganiaya, dan ganas terutama bagi para pengikut Yesus, sekarangia telah menjadi pengikut Kristus. Perubahan dan contoh hidup Paulus ini telah membuat banyak orang percaya kepada Yesus.
Kata "contoh" dalam bahasa Yunani memakai kata hupotuposis. Kata ini mengandung makna pola, ukuran, atau standar tertentu yang tetap dipegang atau dipertahankan. Menjadi contoh/teladan dengan demikian berarti tetap mempertahankan standar keimanan dalam Kristus. Pola/ukuran/standar inilah yang justru akan memampukan jemaat Kristen Efesus menghayati iman dan ibadahnya di dalam Kristus dengan teguh, di tengah-tengah perbedaan ajaran yang ada di kota tersebut. Jikalau standar ini diabaikan, kehidupan orang-orang Kristen di Efesus tidak ada bedanya dengan para pemuja berhala di kota tersebut.
Dalam bahasa Jawa, terdapat juga ungkapan Tepa Tuladha. Tepa artinya ukuran, tuladha artinya contoh; berarti adanya ukuran/standar contoh hidup yang diharapkan pihak lain dari kita. Oleh karena kita adalah pengikut Kristen, kita harus menunjukkan standar hidup kita sebagai pengikut Kristus dalam hidup maupun ibadah kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Jangan Berpaling dari ALLAH (Ulangan 30: 15-20)
"Tetapi jika hatimu berpaling dan engkau tidak mau mendengar, bahkan engkau mau disesatkan..." (Ulangan 30: 17)
Apa yang pada umumnya bisa membuat seseorang berpaling dari Allah? John W. Loftus, dalam bukunya Why I Became an Atheist, menyebutkan beberapa sebab (1) Allah dipahami sekadar keyakinan keliru yang dipegang manusia, (2) Problem kejahatan dan penderitaan yang besar, (3) Kemunafikan dan kekerasan agama
Musa memberikan nasihat yang sangat penting bagi orang-orang Israel yang akan memasuki tanah perjanjian. Mereka akan berjumpa dengan orang-orang yang berbeda dengan diri mereka dalam hal budaya dan agama. Orang-orang tersebut menyembah ilah yang berbeda dengan Allah mereka. Orang-orang Kanaan menyembah Dewa El, yang diyakini sebagai pencipta langit dan bumi. Ada juga dewa Baal, yang diyakini sebagai dewa hujan dan kesuburan pertanian. Dalam konteks keberagaman ilah, Musa mengingatkan umat Israel untuk tidak berpaling dari Allah yang Esa, yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Mereka hendaknya berpaut dan berpegang teguh pada Allah yang Esa ini, mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati dan menuruti jalan yang ditunjukkan-Nya.
Musa memahami tantangan terbesar yang akan dihadapi oleh umat Israel adalah daya tarik ilah-ilah Kanaan bagi umat-Nya. Mereka akan mudah untuk berpikir praktis, ketika mereka menetap di Kanaan dan bercocok tanam, yang mereka butuhkan adalah dewa Baal sebagai dewa hujan dan kesuburan. Yang ilahi hanya akan disembah sejauh yang ilahi itu dirasakan memberikan manfaat langsung pada mereka.
Dalam konteks hidup kita, apapun memang bisa menjadi sebab seseorang berpaling dari Allah. Baik sebab yang disampaikan oleh Loftus tadi maupun sebab-sebab praktis lainnya. Hidup memang tidak selamanya mudah, namun demikian tidak perlu menjadi sebab seseorang berpaling dari Allah, karena ia bisa datang mencari pertolongan dari-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Apa yang pada umumnya bisa membuat seseorang berpaling dari Allah? John W. Loftus, dalam bukunya Why I Became an Atheist, menyebutkan beberapa sebab (1) Allah dipahami sekadar keyakinan keliru yang dipegang manusia, (2) Problem kejahatan dan penderitaan yang besar, (3) Kemunafikan dan kekerasan agama
Musa memberikan nasihat yang sangat penting bagi orang-orang Israel yang akan memasuki tanah perjanjian. Mereka akan berjumpa dengan orang-orang yang berbeda dengan diri mereka dalam hal budaya dan agama. Orang-orang tersebut menyembah ilah yang berbeda dengan Allah mereka. Orang-orang Kanaan menyembah Dewa El, yang diyakini sebagai pencipta langit dan bumi. Ada juga dewa Baal, yang diyakini sebagai dewa hujan dan kesuburan pertanian. Dalam konteks keberagaman ilah, Musa mengingatkan umat Israel untuk tidak berpaling dari Allah yang Esa, yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Mereka hendaknya berpaut dan berpegang teguh pada Allah yang Esa ini, mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati dan menuruti jalan yang ditunjukkan-Nya.
Musa memahami tantangan terbesar yang akan dihadapi oleh umat Israel adalah daya tarik ilah-ilah Kanaan bagi umat-Nya. Mereka akan mudah untuk berpikir praktis, ketika mereka menetap di Kanaan dan bercocok tanam, yang mereka butuhkan adalah dewa Baal sebagai dewa hujan dan kesuburan. Yang ilahi hanya akan disembah sejauh yang ilahi itu dirasakan memberikan manfaat langsung pada mereka.
Dalam konteks hidup kita, apapun memang bisa menjadi sebab seseorang berpaling dari Allah. Baik sebab yang disampaikan oleh Loftus tadi maupun sebab-sebab praktis lainnya. Hidup memang tidak selamanya mudah, namun demikian tidak perlu menjadi sebab seseorang berpaling dari Allah, karena ia bisa datang mencari pertolongan dari-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Menghayati Budaya Dalam kerendahan Hati (Amsal 25:6-7)
"Karena lebih baik orang berkata kepadamu: "Naiklah ke mari," dari pada engkau direndahkan di hadapan orang mulia" (Amsal 25: 7)
Pada umumnya, kita lebih menyukai orang yang rendah hati daripada orang yang tinggi hati atau sombong. Memang, orang yang rendah hati lebih mudah diterima oleh orang lain. Kita merasa tidak nyaman jika orang yang kita kenal senantiasa menyombongkan dirinya, walau mungkin saja apa yang dikatakannya sesuatu yang benar. Dalam hikmat Jawa, ada ungkapan andhap asor dhuwur wekasane. Yang rendah hati, pada akhirnya akan ditinggikan.
Amsal ini memberikan nasihat mengenai kerendahan hati. Kerendahan hati tampak dalam sikap yang menempatkan diri setara dengan yang lain, bukan lebih tinggi dari yang lain. Sikap berlagak di depan sesama, tidak memancarkan karakter rendah hati namun kesombongan. Kata berlagak, diterjemahkan dari kata Ibrani hadar, juga berarti menuntut klaim dari pihak lain. Menuntut klaim dirinya sebagai orang penting atau berharga. Dalam konteks dunia amsal ini, yang tinggi hati malah justru akan direndahkan. Yang menuntut klaim/pengakuan sebagai orang penting/terhormat, justru tidak mendapatkannya.
Budaya yang kita hayati bisa memberikan identitas diri yang baik dan terbuka dalam perjumpaan dengan budaya lain, namun juga bisa mendorong kita untuk bersikap negatif terhadap yang lain. Stereotip antar budaya, prasangka budaya, dan etnosentrisme budaya merupakan sisi negatif budaya yang harus diatasi.
Kita yang hidup dalam masyarakat majemuk secara kultural ini memang perlu meningkatkan kecerdasan antarbudaya kita (intercultural intelligence). Hanya dengan pergaulan yang empatis dengan orang-orang dari beragam budaya inilah, kita akan dimampukan menghayati budaya dalam kerendahan hati. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Pada umumnya, kita lebih menyukai orang yang rendah hati daripada orang yang tinggi hati atau sombong. Memang, orang yang rendah hati lebih mudah diterima oleh orang lain. Kita merasa tidak nyaman jika orang yang kita kenal senantiasa menyombongkan dirinya, walau mungkin saja apa yang dikatakannya sesuatu yang benar. Dalam hikmat Jawa, ada ungkapan andhap asor dhuwur wekasane. Yang rendah hati, pada akhirnya akan ditinggikan.
Amsal ini memberikan nasihat mengenai kerendahan hati. Kerendahan hati tampak dalam sikap yang menempatkan diri setara dengan yang lain, bukan lebih tinggi dari yang lain. Sikap berlagak di depan sesama, tidak memancarkan karakter rendah hati namun kesombongan. Kata berlagak, diterjemahkan dari kata Ibrani hadar, juga berarti menuntut klaim dari pihak lain. Menuntut klaim dirinya sebagai orang penting atau berharga. Dalam konteks dunia amsal ini, yang tinggi hati malah justru akan direndahkan. Yang menuntut klaim/pengakuan sebagai orang penting/terhormat, justru tidak mendapatkannya.
Budaya yang kita hayati bisa memberikan identitas diri yang baik dan terbuka dalam perjumpaan dengan budaya lain, namun juga bisa mendorong kita untuk bersikap negatif terhadap yang lain. Stereotip antar budaya, prasangka budaya, dan etnosentrisme budaya merupakan sisi negatif budaya yang harus diatasi.
Kita yang hidup dalam masyarakat majemuk secara kultural ini memang perlu meningkatkan kecerdasan antarbudaya kita (intercultural intelligence). Hanya dengan pergaulan yang empatis dengan orang-orang dari beragam budaya inilah, kita akan dimampukan menghayati budaya dalam kerendahan hati. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Bersikap Kritis Terhadap Budaya (Lukas 13: 10-17)
"Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu..." (Lukas 13: 16)
Budaya, baik tradisional maupun popular, tidak pernah bersifat netral dan bebas nilai. Budaya sebagai "bingkai hidup", "jalan hidup", "makna hidup", atau apa saja definisi yang diberikan terhadap budaya tersebut, selalu mengandung suatu ideologi/paham tertentu yang dianut. Itulah sebabnya, di samping manusia diajak untuk bersikap apresiatif terhadap budaya, manusia juga diajak untuk bersikap kritis terhadap budaya beserta ornamennya yang merendahkan martabat kemanusiaan dan menjauhkan relasi manusia dengan Tuhan.
Yesus bersikap kritis terhadap ideologi/paham yang merendahkan martabat kemanusiaan. Yesus bukanlah seorang yang anti terhadap budaya/hukum agama Yahudi, karena Yesus sendiri adalah seorang yang dididik dan diasuh oleh orang tuanya, Yusuf dan Maria dalam budaya dan agama Yahudi. Ia sangat menghargai hukum Sabat, terlihat bahwa Ia mau memimpin ibadah Sabat pada waktu itu.
Namun ketika budaya/hukum agama menghalangi seseorang untuk mewujudkan cinta kasih Allah bagi sesama, Yesus bersikap konfrontatif terhadap budaya/hukum agama tersebut.Yesus mau menyembuhkan seorang perempuan yang telah sakit selama delapan belas tahun meskipun saat itu hari Sabat.
Yesus terlihat melanggar aturan budaya/agama, itu memang benar. Namun demikian tindakan Yesus ini justru dilakukan untuk mengembalikan budaya dengan segala ornamennya dan hukum-hukum agama dalam fungsi yang sebenarnya, memulihkan martabat kemanusiaan dalam relasinya dengan Tuhan. Coba kita mulai memperhatikan aspek-aspek negatif dari budaya tradisional-popular di sekitar kita. Misalnya, adakah nilai-nilai budaya yang merendahkan perempuan, merendahkan orang-orang yang berbeda budaya dengan kita, merendahkan orang-orang yang cacat? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Budaya, baik tradisional maupun popular, tidak pernah bersifat netral dan bebas nilai. Budaya sebagai "bingkai hidup", "jalan hidup", "makna hidup", atau apa saja definisi yang diberikan terhadap budaya tersebut, selalu mengandung suatu ideologi/paham tertentu yang dianut. Itulah sebabnya, di samping manusia diajak untuk bersikap apresiatif terhadap budaya, manusia juga diajak untuk bersikap kritis terhadap budaya beserta ornamennya yang merendahkan martabat kemanusiaan dan menjauhkan relasi manusia dengan Tuhan.
Yesus bersikap kritis terhadap ideologi/paham yang merendahkan martabat kemanusiaan. Yesus bukanlah seorang yang anti terhadap budaya/hukum agama Yahudi, karena Yesus sendiri adalah seorang yang dididik dan diasuh oleh orang tuanya, Yusuf dan Maria dalam budaya dan agama Yahudi. Ia sangat menghargai hukum Sabat, terlihat bahwa Ia mau memimpin ibadah Sabat pada waktu itu.
Namun ketika budaya/hukum agama menghalangi seseorang untuk mewujudkan cinta kasih Allah bagi sesama, Yesus bersikap konfrontatif terhadap budaya/hukum agama tersebut.Yesus mau menyembuhkan seorang perempuan yang telah sakit selama delapan belas tahun meskipun saat itu hari Sabat.
Yesus terlihat melanggar aturan budaya/agama, itu memang benar. Namun demikian tindakan Yesus ini justru dilakukan untuk mengembalikan budaya dengan segala ornamennya dan hukum-hukum agama dalam fungsi yang sebenarnya, memulihkan martabat kemanusiaan dalam relasinya dengan Tuhan. Coba kita mulai memperhatikan aspek-aspek negatif dari budaya tradisional-popular di sekitar kita. Misalnya, adakah nilai-nilai budaya yang merendahkan perempuan, merendahkan orang-orang yang berbeda budaya dengan kita, merendahkan orang-orang yang cacat? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
ALLAH yang Memiliki Segala Bangsa (Mazmur 82: 1-8)
"Bangunlah ya Allah, hakimilah bumi, sebab Engkaulah yang memiliki segala bangsa." (Mazmur 82: 8)
Ada berapa banyak negara di dunia ini? Paling tidak ada 196 yang pada umumnya diakui sebagai negara yang resmi. Jumlah bisa bertambah lagi, jikalau dilihat keberagaman suku bangsa yang ada di dalam negara tersebut. Negara Indonesia sendiri berdasarkan data tahun 2010 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik memiliki 1340 suku bangsa yang beragam. Negara atau suku bangsa yang berbeda ini tentu saja tumbuh dalam keragaman budaya masing-masing.
Sang pemazmur menyuarakan bahwa sesungguhnya Allah yang memiliki segala bangsa. Dengan kata lain, tidak ada bangsa-bangsa di dunia ini yang terpisahkan keberadaannya dengan Allah. Memang, bangsa-bangsa ini bisa saja menyangkal Allah yang Esa ini dan memercayai allah-allah lain. Dalam zaman sang pemazmur, terlihat setiap bangsa memiliki allahnya masing-masing. Namun demikian, menurut sang pemazmur allah-alah lain yang diharapkan menjadi pelindung dan juruselamat ini malah berpihak pada orang-orang fasik dan mengabaikan hidup orang-orang yang lemah, sengsara, dan kekurangan.
Dalam keyakinan iman sang pemazmur, Allah memiliki segala bangsa, Allah yang Esa inilah yang akan memelihara keberlangsungan bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa ini berada dalam segala keragaman suku dan budayanya masing-masing. Dari sudut pandang kita, kita diajak menempatkan diri kita dalam kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain, karena kita sama-sama milik-Nya.
Itulah sebabnya perlu dicegah tumbuhnya paham khauvinisme dalam kehidupan berbangsa. Khauvinisme adalah paham kebangsaan yang berlebih-lebihan karena menolak menghargai bangsa lain yang berbeda dengan dirinya. Paham ini bahkan menganggap bangsa lain lebih rendah dan pantas diperlakukan sewenang-wenang. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Ada berapa banyak negara di dunia ini? Paling tidak ada 196 yang pada umumnya diakui sebagai negara yang resmi. Jumlah bisa bertambah lagi, jikalau dilihat keberagaman suku bangsa yang ada di dalam negara tersebut. Negara Indonesia sendiri berdasarkan data tahun 2010 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik memiliki 1340 suku bangsa yang beragam. Negara atau suku bangsa yang berbeda ini tentu saja tumbuh dalam keragaman budaya masing-masing.
Sang pemazmur menyuarakan bahwa sesungguhnya Allah yang memiliki segala bangsa. Dengan kata lain, tidak ada bangsa-bangsa di dunia ini yang terpisahkan keberadaannya dengan Allah. Memang, bangsa-bangsa ini bisa saja menyangkal Allah yang Esa ini dan memercayai allah-allah lain. Dalam zaman sang pemazmur, terlihat setiap bangsa memiliki allahnya masing-masing. Namun demikian, menurut sang pemazmur allah-alah lain yang diharapkan menjadi pelindung dan juruselamat ini malah berpihak pada orang-orang fasik dan mengabaikan hidup orang-orang yang lemah, sengsara, dan kekurangan.
Dalam keyakinan iman sang pemazmur, Allah memiliki segala bangsa, Allah yang Esa inilah yang akan memelihara keberlangsungan bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa ini berada dalam segala keragaman suku dan budayanya masing-masing. Dari sudut pandang kita, kita diajak menempatkan diri kita dalam kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain, karena kita sama-sama milik-Nya.
Itulah sebabnya perlu dicegah tumbuhnya paham khauvinisme dalam kehidupan berbangsa. Khauvinisme adalah paham kebangsaan yang berlebih-lebihan karena menolak menghargai bangsa lain yang berbeda dengan dirinya. Paham ini bahkan menganggap bangsa lain lebih rendah dan pantas diperlakukan sewenang-wenang. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Budaya Menjadi Sarana Kesaksian Iman (Ibrani 11:1-3, 8-16)
"Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita." (Ibrani 11: 2)
Kiai Sadrach, walau bergelar kiai, adalah seorang Kristen. Ia meyakini menjadi orang Kristen tidak harus meninggalkan budaya Jawa. Bahkan budaya Jawa bisa menjadi sarana kesaksian iman bagi masyarakat Jawa waktu itu. Maka tak mengherankan, pada waktu itu ia memanfaatkan budaya sebagai sarana pemberitaan injil. Misalnya, di atap gedung gereja yang dibangunnya di Karangjasa, diletakkan sebuah senjata cakra (berbentuk cakram bulat dengan beberapa anak panah menjulur. Cakra dalam cerita wayang adalah senjata Kresna), bukan salib seperti biasanya gedung gereja waktu itu.
Melalui iman yang bertumbuh, seseorang akan menghayati relasinya dengan Tuhan menjadi semakin baik. Iman akan memampukan seseorang tetap berpegang teguh pada Tuhan di dalam ketidakpastian hidup yang dihadapinya. Penulis Ibrani menggambarkan hal ini melalui iman Abraham yang tetap teguh mesti ia harus menuju tanah terjanji yang belum dikenalnya.Iman juga dihayati dalam budaya setempat. Tidak ada manusia yang hidup tanpa budaya. Budaya pada dasarnya telah membentuk dan mendefinisikan kehidupan manusia, baik budaya tradisional maupun budaya popular-modern. Kekristenan awal berkembang dalam budaya Yahudi dan Helenistis (Yunani dan Romawi), kemudian tersebar dan berkembang dalam budaya-budaya beragam, termasuk budaya Asia.
Dengan bersandar pada hikmat Allah, orang-orang Kristen bisa mengolah budaya menjadi sarana kesaksian iman. Baik melalui ornamen-ornamen budaya, misalnya musik dan ritual, maupun cara pandang (world-view) yang ditanamkan oleh budaya tersebut.Sadrach bisa melakukannya dengan baik. Ketika ia meninggal, jemaatnya mencapai 7552 orang, tersebar di banyak kota di Jawa Tengah. Jemaat- nya tetap menghayati iman Kristen dalam budaya setempat. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kiai Sadrach, walau bergelar kiai, adalah seorang Kristen. Ia meyakini menjadi orang Kristen tidak harus meninggalkan budaya Jawa. Bahkan budaya Jawa bisa menjadi sarana kesaksian iman bagi masyarakat Jawa waktu itu. Maka tak mengherankan, pada waktu itu ia memanfaatkan budaya sebagai sarana pemberitaan injil. Misalnya, di atap gedung gereja yang dibangunnya di Karangjasa, diletakkan sebuah senjata cakra (berbentuk cakram bulat dengan beberapa anak panah menjulur. Cakra dalam cerita wayang adalah senjata Kresna), bukan salib seperti biasanya gedung gereja waktu itu.
Melalui iman yang bertumbuh, seseorang akan menghayati relasinya dengan Tuhan menjadi semakin baik. Iman akan memampukan seseorang tetap berpegang teguh pada Tuhan di dalam ketidakpastian hidup yang dihadapinya. Penulis Ibrani menggambarkan hal ini melalui iman Abraham yang tetap teguh mesti ia harus menuju tanah terjanji yang belum dikenalnya.Iman juga dihayati dalam budaya setempat. Tidak ada manusia yang hidup tanpa budaya. Budaya pada dasarnya telah membentuk dan mendefinisikan kehidupan manusia, baik budaya tradisional maupun budaya popular-modern. Kekristenan awal berkembang dalam budaya Yahudi dan Helenistis (Yunani dan Romawi), kemudian tersebar dan berkembang dalam budaya-budaya beragam, termasuk budaya Asia.
Dengan bersandar pada hikmat Allah, orang-orang Kristen bisa mengolah budaya menjadi sarana kesaksian iman. Baik melalui ornamen-ornamen budaya, misalnya musik dan ritual, maupun cara pandang (world-view) yang ditanamkan oleh budaya tersebut.Sadrach bisa melakukannya dengan baik. Ketika ia meninggal, jemaatnya mencapai 7552 orang, tersebar di banyak kota di Jawa Tengah. Jemaat- nya tetap menghayati iman Kristen dalam budaya setempat. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Mengakui Kefanaan Manusia (Mazmur 49: 1-13)
"Tetapi dengan segala kegemilangannya manusia tidak dapat bertahan, ia boleh disamakan dengan hewan yang dibinasakan." (Mazmur 49: 13)
Apakah kekayaan bisa membuat seseorang bertambah umurnya? Tidak! Sampai sekarang ini, kekayaan tidak bisa mengatasi kefanaan manusia. Kekayaan bisa dipakai untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, namun tidak bisa dipakai untuk mengalahkan kefanaan manusia. Kefanaan ini sering tidak mau diakui oleh manusia. Sains modern berupaya untuk mencari cara-cara mengalahkan kefanaannya ini. Mereka berusaha keras untuk tidak sekadar menyembuhkan orang yang sakit, melainkan menyembuhkan orang yang mati. Death Can Be Cured, telah menjadi visi mereka.
Sang Pemazmur mengajak umat untuk dengan rendah hati mengakui kefanaannya. Ada batas dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia tidak bisa menebus kefanaannya ini dengan memakai kekayaannya yang berlimpah. Pada zaman sang pemazmur ada aturan, orang yang divonis hukuman mati oleh masyarakat dapat dibebaskan dari hukuman jikalau yang bersangkutan membayar uang tebusan. Namun terhadap kefanaan manusia, tidak seorang pun dapat memberikan tebusan kepada Allah (ayat 8). Dalam kefanaannya, manusia tidak lebih dari binatang atau makhluk hidup lainnya, yakni sama-sama mengalami kematian (13).
Ada kesan, ini ungkapan fatalistik sang pemazmur, seakan-akan nilai manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Sebenarnya tidak, justru karena hidup itu terbatas, pemazmur pada dasarnya mengingatkan hidup harus berkualitas. Hanya manusia yang bisa membuat hidupnya berkualitas, binatang tidak! Pengakuan akan kefanaan, seringkali juga menjadi dorongan yang kuat bagi seseorang untuk mewujudkan karakter welas asih bagi sesamanya. Ada banyak orang yang sebelum meninggal, berbagi kekayaannya bagi sesama yang membutuhkan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Apakah kekayaan bisa membuat seseorang bertambah umurnya? Tidak! Sampai sekarang ini, kekayaan tidak bisa mengatasi kefanaan manusia. Kekayaan bisa dipakai untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, namun tidak bisa dipakai untuk mengalahkan kefanaan manusia. Kefanaan ini sering tidak mau diakui oleh manusia. Sains modern berupaya untuk mencari cara-cara mengalahkan kefanaannya ini. Mereka berusaha keras untuk tidak sekadar menyembuhkan orang yang sakit, melainkan menyembuhkan orang yang mati. Death Can Be Cured, telah menjadi visi mereka.
Sang Pemazmur mengajak umat untuk dengan rendah hati mengakui kefanaannya. Ada batas dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia tidak bisa menebus kefanaannya ini dengan memakai kekayaannya yang berlimpah. Pada zaman sang pemazmur ada aturan, orang yang divonis hukuman mati oleh masyarakat dapat dibebaskan dari hukuman jikalau yang bersangkutan membayar uang tebusan. Namun terhadap kefanaan manusia, tidak seorang pun dapat memberikan tebusan kepada Allah (ayat 8). Dalam kefanaannya, manusia tidak lebih dari binatang atau makhluk hidup lainnya, yakni sama-sama mengalami kematian (13).
Ada kesan, ini ungkapan fatalistik sang pemazmur, seakan-akan nilai manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Sebenarnya tidak, justru karena hidup itu terbatas, pemazmur pada dasarnya mengingatkan hidup harus berkualitas. Hanya manusia yang bisa membuat hidupnya berkualitas, binatang tidak! Pengakuan akan kefanaan, seringkali juga menjadi dorongan yang kuat bagi seseorang untuk mewujudkan karakter welas asih bagi sesamanya. Ada banyak orang yang sebelum meninggal, berbagi kekayaannya bagi sesama yang membutuhkan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Doa yang Diajarkan YESUS (Lukas 11: 1-4)
"...berkatalah seorang dari murid-murid-Nya kepada-Nya: "Tuhan, ajarlah kami berdoa," (Lukas 11: 1)
Apakah kebiasaan berdoa bisa membangun karakter welas asih seseorang? Bisa ya, bisa juga tidak. Doa tidak akan membangun karakter welas asih, kalau seseorang berdoa sekadar agar Tuhan mengabulkan permohonan pribadinya (doa eksklusif). Doa bisa membangun karakter welas asih ketika seseorang mendoakan orang lain dalam segala penderitaan dan pergumulan orang lain tersebut (doa inklusif).
Doa yang diajarkan Yesus ini (yang biasa kita sebut sebagai Doa Bapa Kami) lebih kuat watak inklusifnya daripada watak eksklusifnya. Eksklusif artinya hanya untuk diri sendiri, sedangkan inklusif artinya turut memasukkan (melibatkan) yang lain. Perhatikan di dua ayat, ayat 3 dan 4, terdapat tujuh kata kami. Kami, dalam bahasa Yunani hemin, menekankan kolektivitas, bukan personal. Tidak digunakan kata aku, yang menonjolkan ego, yang dalam bahasa Yunani tertulis eme. Berikanlah kami, bukan berikanlah aku, ampunilah kami, bukan ampunilah aku.
Watak inklusif doa ini juga terlihat jelas pada ayat 4: sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami. Doa yang baik tidak hanya berhenti pada permohonan dan ucap syukur, doa yang baik harus berlanjut pada aksi atau perbuatan. Ketika melalui doa kita menyadari Tuhan telah mengampuni dosa-dosa kita, doa itu juga yang akan menjadi dorongan bagi kita mengampuni kesalahan orang lain kepada kita. Melalui Doa Bapa Kami ini, Yesus mengajarkan doa yang inklusif sekaligus doa yang memberdayakan, doa yang tidak hanya berhenti di ucapan, tetapi juga terwujud dalam perbuatan bagi sesama. Menurut riset neurosains, rutinitas berdoa inklusif yang kita lakukan akan memperkuat jaringan saraf yang bernama singulat anterior. Jika singulat anterior ini semakin kuat/aktif, watak welas asih kita pun akan semakin diperkuat. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Apakah kebiasaan berdoa bisa membangun karakter welas asih seseorang? Bisa ya, bisa juga tidak. Doa tidak akan membangun karakter welas asih, kalau seseorang berdoa sekadar agar Tuhan mengabulkan permohonan pribadinya (doa eksklusif). Doa bisa membangun karakter welas asih ketika seseorang mendoakan orang lain dalam segala penderitaan dan pergumulan orang lain tersebut (doa inklusif).
Doa yang diajarkan Yesus ini (yang biasa kita sebut sebagai Doa Bapa Kami) lebih kuat watak inklusifnya daripada watak eksklusifnya. Eksklusif artinya hanya untuk diri sendiri, sedangkan inklusif artinya turut memasukkan (melibatkan) yang lain. Perhatikan di dua ayat, ayat 3 dan 4, terdapat tujuh kata kami. Kami, dalam bahasa Yunani hemin, menekankan kolektivitas, bukan personal. Tidak digunakan kata aku, yang menonjolkan ego, yang dalam bahasa Yunani tertulis eme. Berikanlah kami, bukan berikanlah aku, ampunilah kami, bukan ampunilah aku.
Watak inklusif doa ini juga terlihat jelas pada ayat 4: sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami. Doa yang baik tidak hanya berhenti pada permohonan dan ucap syukur, doa yang baik harus berlanjut pada aksi atau perbuatan. Ketika melalui doa kita menyadari Tuhan telah mengampuni dosa-dosa kita, doa itu juga yang akan menjadi dorongan bagi kita mengampuni kesalahan orang lain kepada kita. Melalui Doa Bapa Kami ini, Yesus mengajarkan doa yang inklusif sekaligus doa yang memberdayakan, doa yang tidak hanya berhenti di ucapan, tetapi juga terwujud dalam perbuatan bagi sesama. Menurut riset neurosains, rutinitas berdoa inklusif yang kita lakukan akan memperkuat jaringan saraf yang bernama singulat anterior. Jika singulat anterior ini semakin kuat/aktif, watak welas asih kita pun akan semakin diperkuat. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Bersikap Empatis (Kejadian 18: 1-15)
" Lalu Sara menyangkal, katanya: "Aku tidak tertawa," sebab ia takut; tetapi TUHAN berfirman: "Tidak, memang engkau tertawa!" (Kejadian 18: 15)
Sikap empatis, secara sederhana berarti sikap yang mampu untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati adalah kemampuan untuk membayangkan diri kita sendiri berada pada posisi orang lain sehingga bisa merasakan dan memahami situasi, perasaan, dan keinginan orang lain.
Tampaknya Sara kurang bersikap empatis ketika salah seorang tamu yang mengunjungi Abraham, suaminya, mengatakan bahwa tahun depan Ia akan mengunjungi Abraham lagi dan keluarga ini telah memiliki seorang anak laki-laki. Begitu mendengar kata-kata tamunya ini, Sara tertawa (meskipun dalam hati). Dalam benak Sara, ia tidak mungkin akan hamil karena telah mati haid. Ia tidak mau mencoba mencari tahu dulu, mengapa tamu itu tiba-tiba mengatakan hal ini. Siapa sebenarnya para tamu itu? Apa tujuan kedatangan mereka?Sara akhirnya merasakan bahwa ia sudah keliru karena tertawa mendengar perkataan tamunya itu. Ia menjadi tahu ketika tamunya mengatakan, "Adakah sesuatu apa pun yang mustahil untuk Tuhan?" Para tamu ini pastilah bukan tamu sembarangan.
Sikap empatis kita perlukan dalam mengembangkan relasi kita dengan Tuhan dan sesama kita. Tanpa kemampuan empatis yang baik, kita tidak akan bisa ikut merasakan penderitaan orang lain. Tanpa kemampuan empatis, kita juga tidak akan bisa memahami kehadiran dan karya Tuhan yang beragam. Ketika empati melemah, melemah pula kemampuan kita untuk mewujudkan watak welas asih. Gejala semacam ini disebut sebagai compassion fatigue, kita menjadi tidak peka atau kebal sehingga kita tidak bisa lagi merasa terharu atau berbelas kasih ketika melihat penderitaan orang lain. Jadi, kalau Anda berlinang air mata ketika melihat film yang sedih, tidak apa-apa, itu artinya Anda masih punya kemampuan untuk berempati. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Sikap empatis, secara sederhana berarti sikap yang mampu untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati adalah kemampuan untuk membayangkan diri kita sendiri berada pada posisi orang lain sehingga bisa merasakan dan memahami situasi, perasaan, dan keinginan orang lain.
Tampaknya Sara kurang bersikap empatis ketika salah seorang tamu yang mengunjungi Abraham, suaminya, mengatakan bahwa tahun depan Ia akan mengunjungi Abraham lagi dan keluarga ini telah memiliki seorang anak laki-laki. Begitu mendengar kata-kata tamunya ini, Sara tertawa (meskipun dalam hati). Dalam benak Sara, ia tidak mungkin akan hamil karena telah mati haid. Ia tidak mau mencoba mencari tahu dulu, mengapa tamu itu tiba-tiba mengatakan hal ini. Siapa sebenarnya para tamu itu? Apa tujuan kedatangan mereka?Sara akhirnya merasakan bahwa ia sudah keliru karena tertawa mendengar perkataan tamunya itu. Ia menjadi tahu ketika tamunya mengatakan, "Adakah sesuatu apa pun yang mustahil untuk Tuhan?" Para tamu ini pastilah bukan tamu sembarangan.
Sikap empatis kita perlukan dalam mengembangkan relasi kita dengan Tuhan dan sesama kita. Tanpa kemampuan empatis yang baik, kita tidak akan bisa ikut merasakan penderitaan orang lain. Tanpa kemampuan empatis, kita juga tidak akan bisa memahami kehadiran dan karya Tuhan yang beragam. Ketika empati melemah, melemah pula kemampuan kita untuk mewujudkan watak welas asih. Gejala semacam ini disebut sebagai compassion fatigue, kita menjadi tidak peka atau kebal sehingga kita tidak bisa lagi merasa terharu atau berbelas kasih ketika melihat penderitaan orang lain. Jadi, kalau Anda berlinang air mata ketika melihat film yang sedih, tidak apa-apa, itu artinya Anda masih punya kemampuan untuk berempati. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Pengetahuan yang Benar (Kolose 1: 3-14)
"...dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah,..." (Kolose 1: 10)
Mother Teresa pernah berkata demikian: If you judge people, you have no time to love them. Jikalau kamu menghakimi orang lain, kamu tidak akan punya waktu untuk mengasihi orang lain tersebut. Banyak orang dengan mudah menghakimi orang lain karena mereka merasa lebih tahu daripada orang lain tersebut, padahal bisa saja mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai orang lain tersebut. Rasul Paulus mengingatkan pentingnya pengikut-pengikut Kristus memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah. Pengetahuan yang keliru akan mendorong tindakan etis/moral yang keliru, sedangkan pengetahuan yang benar akan mendorong seseorang melakukan tindakan etis/moral yang benar di dalam Tuhan. Namun demikian, pengetahuan yang benar tentang Allah ini tidak sekadar didapat melalui pengetahuan kognitif/nalar budi. Kata pengetahuan yang dipakai oleh Rasul Paulus dalam bahasa Yunani ini berasal dari kata kerja ginosko, kata ini menunjuk jenis pengetahuan yang diperoleh bukan karena misalnya membaca tulisan atau mendengarkan pidato/kotbah, melainkan pengetahuan yang diperoleh karena berjumpa langsung, karena memiliki relasi personal. Dengan demikian, bagi Paulus pengetahuan yang benar berarti relasi personal atau perjumpaanmendalam dengan Tuhan. Jenis pengetahuan semacam inilah yang akan memampukan para pengikut Kristus untuk mewujudkan tindakan welas asih yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang gemar menghakimi sesamanya pada umumnya seseorang yang merasa paling tahu. Untuk membangun karakter welas asih diperlukan kerendahan hati untuk mengakui bahwa sebenarnya hanya sedikit yang kita ketahui. Ketika kita memiliki kerendahan hati ini, kita pun akan lebih mudah mengembangkan pengetahuan kita yang benar dalam Tuhan dan dalam relasi kita dengan sesama. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Mother Teresa pernah berkata demikian: If you judge people, you have no time to love them. Jikalau kamu menghakimi orang lain, kamu tidak akan punya waktu untuk mengasihi orang lain tersebut. Banyak orang dengan mudah menghakimi orang lain karena mereka merasa lebih tahu daripada orang lain tersebut, padahal bisa saja mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai orang lain tersebut. Rasul Paulus mengingatkan pentingnya pengikut-pengikut Kristus memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah. Pengetahuan yang keliru akan mendorong tindakan etis/moral yang keliru, sedangkan pengetahuan yang benar akan mendorong seseorang melakukan tindakan etis/moral yang benar di dalam Tuhan. Namun demikian, pengetahuan yang benar tentang Allah ini tidak sekadar didapat melalui pengetahuan kognitif/nalar budi. Kata pengetahuan yang dipakai oleh Rasul Paulus dalam bahasa Yunani ini berasal dari kata kerja ginosko, kata ini menunjuk jenis pengetahuan yang diperoleh bukan karena misalnya membaca tulisan atau mendengarkan pidato/kotbah, melainkan pengetahuan yang diperoleh karena berjumpa langsung, karena memiliki relasi personal. Dengan demikian, bagi Paulus pengetahuan yang benar berarti relasi personal atau perjumpaanmendalam dengan Tuhan. Jenis pengetahuan semacam inilah yang akan memampukan para pengikut Kristus untuk mewujudkan tindakan welas asih yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang gemar menghakimi sesamanya pada umumnya seseorang yang merasa paling tahu. Untuk membangun karakter welas asih diperlukan kerendahan hati untuk mengakui bahwa sebenarnya hanya sedikit yang kita ketahui. Ketika kita memiliki kerendahan hati ini, kita pun akan lebih mudah mengembangkan pengetahuan kita yang benar dalam Tuhan dan dalam relasi kita dengan sesama. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kepedulian untuk Semua (Lukas 10: 1-12)
"Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala." (Lukas 10: 3)
Filsuf terkenal dari Cina, Mencius (Meng Zi), yang lahir pada tahun 372 SM, meyakini bahwa tidak ada seorang pun yang sepenuhnya kosong dari rasa peduli terhadap orang lain. Jika Anda melihat seorang bayi merangkak mau jatuh dari tangga lantai atas, Anda akan segera menyelamatkannya. Tindakan Anda tidak didorong untuk kepentingan Anda sendiri. Anda akan menolong bayi itu walau Anda tidak mengenal bayi itu. Anda akan peduli pada bayi itu, Anda merasakan dorongan yang kuat dari diri Anda untuk menolong bayi itu. Yesus mengutus 70 murid yang lain untuk mewartakan Kerajaan Allah (lih.ayat 9,11). Kerajaan Allah adalah pemerintahan Allah atas dunia ini yang ditandai dengan suasana damai sejahtera, cinta kasih, kesetaraan dan persaudaraan universal bagi semua umat manusia. Tidak mudah untuk mewartakan Kerajaan Allah ini, karena banyak manusia yang tidak mau hidup dalam kerajaan Allah. Mereka adalah manusia-manusia yang ingin menjadi penguasa atas orang lain. Mereka manusia-manusia yang ingin menindas orang lain. Mereka, oleh Yesus, bahkan diibaratkan sebagai serigala-serigala buas yang mengelilingi anak-anak domba (murid-murid Yesus) tersebut. Kepedulian yang bertumbuh di dalam murid-murid Yesus itulah yang akan memampukan mereka bertahan dalam mewujudkan tugas pengutusan meskipun harus berhadapan dengan tantangan-tantangan yang ada. Ketika mereka kehilangan kepedulian, mereka akan mudah menyerah menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Pada dasarnya, Anda bisa memadamkan "dorongan" kepedulian tersebut atau Anda akan memelihara tunas kepeduliaan itu. Namun, sebaiknya Anda tetap merawat dorongan kepedulian itu, karena itulah langkah yang tepat untuk membangun karakter welas asih dalam kehidupan kita. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Filsuf terkenal dari Cina, Mencius (Meng Zi), yang lahir pada tahun 372 SM, meyakini bahwa tidak ada seorang pun yang sepenuhnya kosong dari rasa peduli terhadap orang lain. Jika Anda melihat seorang bayi merangkak mau jatuh dari tangga lantai atas, Anda akan segera menyelamatkannya. Tindakan Anda tidak didorong untuk kepentingan Anda sendiri. Anda akan menolong bayi itu walau Anda tidak mengenal bayi itu. Anda akan peduli pada bayi itu, Anda merasakan dorongan yang kuat dari diri Anda untuk menolong bayi itu. Yesus mengutus 70 murid yang lain untuk mewartakan Kerajaan Allah (lih.ayat 9,11). Kerajaan Allah adalah pemerintahan Allah atas dunia ini yang ditandai dengan suasana damai sejahtera, cinta kasih, kesetaraan dan persaudaraan universal bagi semua umat manusia. Tidak mudah untuk mewartakan Kerajaan Allah ini, karena banyak manusia yang tidak mau hidup dalam kerajaan Allah. Mereka adalah manusia-manusia yang ingin menjadi penguasa atas orang lain. Mereka manusia-manusia yang ingin menindas orang lain. Mereka, oleh Yesus, bahkan diibaratkan sebagai serigala-serigala buas yang mengelilingi anak-anak domba (murid-murid Yesus) tersebut. Kepedulian yang bertumbuh di dalam murid-murid Yesus itulah yang akan memampukan mereka bertahan dalam mewujudkan tugas pengutusan meskipun harus berhadapan dengan tantangan-tantangan yang ada. Ketika mereka kehilangan kepedulian, mereka akan mudah menyerah menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Pada dasarnya, Anda bisa memadamkan "dorongan" kepedulian tersebut atau Anda akan memelihara tunas kepeduliaan itu. Namun, sebaiknya Anda tetap merawat dorongan kepedulian itu, karena itulah langkah yang tepat untuk membangun karakter welas asih dalam kehidupan kita. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Tetap Mengasihi Meskipun Ditolak (Lukas 9: 51-55)
"Akan tetapi Ia berpaling dan menegur mereka." (Lukas 9: 55)
Menurut riset, otak kita memperlakukan sakitnya penolakan yang kita alami secara psikis seperti memperlakukan sakit yang kita alami secara fisik. Tidak mengherankan sebuah penolakan begitu menyakiti kita baik secara psikis maupun fisik. Kesakitan semacam inilah yang juga bisa memunculkan amarah dan agresi terhadap pihak lain. Kemarahan dan sikap agresif semacam inilah yang muncul dalam diri Yakobus dan Yohanes. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya mau mampir di kota Samaria dalam perjalanan menuju Yerusalem, orang-orang Samaria menolak kedatangan Yesus dan murid-murid-Nya. Mereka ditolak karena mereka hendak menuju Yerusalem. Sudah bertahun-tahun lamanya sebelum peristiwa ini terjadi, hubungan antara orang-orang Samaria dengan orang-orang Yahudi memang tidak baik. Mereka saling mengklaim dirinyalah umat Allah yang murni dan yang benar. Yakobus dan Yohanes meminta izin Yesus untuk mengucapkan kutukan terhadap orang-orang Samaria agar mereka binasa. Kata: api turun dari langit, menunjuk pada sebuah ungkapan kutukan, bukan secara harfiah ada api yang diharapkan betul-betul turun dari langit. Dalam pandangan Yakobus dan Yohanes, orang-orang Samaria ini pantas dikutuk karena mereka telah menolak kedatangan Yesus ke kota itu. Namun demikian, respons Yesus terhadap penolakan ini bukan respons kemarahan apalagi kebencian. Yesus menghendaki murid-murid-Nya memiliki respons yang sama dengan diri-Nya ketika menghadapi penolakan. Tetap mengasihi, meskipun ditolak! Itulah sebabnya Yesus kemudian menegur sikap Yakobus dan Yohanes. Ketika Anda menghadapi penolakan dalam hidup ini, ingatlah jangan membiarkan respons amarah dan kebencian yang mengendalikan Anda. Belajarlah memberikan respons penuh kasih seperti Yesus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Menurut riset, otak kita memperlakukan sakitnya penolakan yang kita alami secara psikis seperti memperlakukan sakit yang kita alami secara fisik. Tidak mengherankan sebuah penolakan begitu menyakiti kita baik secara psikis maupun fisik. Kesakitan semacam inilah yang juga bisa memunculkan amarah dan agresi terhadap pihak lain. Kemarahan dan sikap agresif semacam inilah yang muncul dalam diri Yakobus dan Yohanes. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya mau mampir di kota Samaria dalam perjalanan menuju Yerusalem, orang-orang Samaria menolak kedatangan Yesus dan murid-murid-Nya. Mereka ditolak karena mereka hendak menuju Yerusalem. Sudah bertahun-tahun lamanya sebelum peristiwa ini terjadi, hubungan antara orang-orang Samaria dengan orang-orang Yahudi memang tidak baik. Mereka saling mengklaim dirinyalah umat Allah yang murni dan yang benar. Yakobus dan Yohanes meminta izin Yesus untuk mengucapkan kutukan terhadap orang-orang Samaria agar mereka binasa. Kata: api turun dari langit, menunjuk pada sebuah ungkapan kutukan, bukan secara harfiah ada api yang diharapkan betul-betul turun dari langit. Dalam pandangan Yakobus dan Yohanes, orang-orang Samaria ini pantas dikutuk karena mereka telah menolak kedatangan Yesus ke kota itu. Namun demikian, respons Yesus terhadap penolakan ini bukan respons kemarahan apalagi kebencian. Yesus menghendaki murid-murid-Nya memiliki respons yang sama dengan diri-Nya ketika menghadapi penolakan. Tetap mengasihi, meskipun ditolak! Itulah sebabnya Yesus kemudian menegur sikap Yakobus dan Yohanes. Ketika Anda menghadapi penolakan dalam hidup ini, ingatlah jangan membiarkan respons amarah dan kebencian yang mengendalikan Anda. Belajarlah memberikan respons penuh kasih seperti Yesus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kesetaraan (Galatia 3: 23-29)
"Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, ...karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus." (Galatia 3: 28)
Pada zaman diskriminasi rasial di Amerika, sebuah wastafel bisa menjadi petunjuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Di atas wastafel terbaca petunjuk: No colored allowed. Bahkan ada juga yang tertulis dengan lebih kasar: No:dogs, negros, mexicans, allowed. Anjing-anjing, orang-orang Negro, dan orang-orang Meksiko, dilarang. Rasul Paulus melihat hukum Taurat telah menjadi simbol ketidakadilan dan ketidaksetaraan bagi manusia. Hukum Taurat diberikan oleh Tuhan sebagai penuntun bagi umat untuk hidup dalam Tuhan sebelum kedatangan Yesus. Namun demikian, umat Israel telah memperlakukan hukum Taurat sebagai ukuran satu-satunya seseorang dibenarkan oleh Allah. Bagi Paulus, dasar teologis pembenaran manusia adalah iman dalam Kristus, bukan karena melakukan hukum Taurat. Kebenaran karena hukum Taurat tidak sama dengan kebenaran karena iman. Kebenaran karena Taurat adalah kebenaran karena jasa dan usaha manusia, kebenaran karena iman adalah kebenaran karena anugerah Kristus. Kebenaran karena Taurat telah mendiskriminasikan orang-orang bukan Yahudi, karena mereka baru bisa dibenarkan kalau mereka hidup dalam aturan dan hukum agama Yahudi. Kebenaran karena iman dalam Kristus melampaui suku, bangsa, dan stratifikasi sosial, karena yang beragam dan berbeda-beda ini disatukan dalam Kristus. Itulah sebabnya Paulus berkata, "Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus". (ayat 26). Meneladani kesetaraan di dalam Kristus berarti menganggap yang lain sama nilainya dengankita di hadapan Tuhan. Bisa saja mereka tidak sama suku, status sosial, jenis kelamin, namun demikian mereka adalah Anak-anak Allah sama seperti kita di dalam Yesus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Pada zaman diskriminasi rasial di Amerika, sebuah wastafel bisa menjadi petunjuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Di atas wastafel terbaca petunjuk: No colored allowed. Bahkan ada juga yang tertulis dengan lebih kasar: No:dogs, negros, mexicans, allowed. Anjing-anjing, orang-orang Negro, dan orang-orang Meksiko, dilarang. Rasul Paulus melihat hukum Taurat telah menjadi simbol ketidakadilan dan ketidaksetaraan bagi manusia. Hukum Taurat diberikan oleh Tuhan sebagai penuntun bagi umat untuk hidup dalam Tuhan sebelum kedatangan Yesus. Namun demikian, umat Israel telah memperlakukan hukum Taurat sebagai ukuran satu-satunya seseorang dibenarkan oleh Allah. Bagi Paulus, dasar teologis pembenaran manusia adalah iman dalam Kristus, bukan karena melakukan hukum Taurat. Kebenaran karena hukum Taurat tidak sama dengan kebenaran karena iman. Kebenaran karena Taurat adalah kebenaran karena jasa dan usaha manusia, kebenaran karena iman adalah kebenaran karena anugerah Kristus. Kebenaran karena Taurat telah mendiskriminasikan orang-orang bukan Yahudi, karena mereka baru bisa dibenarkan kalau mereka hidup dalam aturan dan hukum agama Yahudi. Kebenaran karena iman dalam Kristus melampaui suku, bangsa, dan stratifikasi sosial, karena yang beragam dan berbeda-beda ini disatukan dalam Kristus. Itulah sebabnya Paulus berkata, "Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus". (ayat 26). Meneladani kesetaraan di dalam Kristus berarti menganggap yang lain sama nilainya dengankita di hadapan Tuhan. Bisa saja mereka tidak sama suku, status sosial, jenis kelamin, namun demikian mereka adalah Anak-anak Allah sama seperti kita di dalam Yesus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Suara Kenabian (2 Samuel 12: 1-12)
"Kemudian berkatalah Natan kepada Daud: "Engkaulah orang itu!" (2 Samuel 12: 7)
Diam tidak selamanya emas. Ketika kita diam saja, padahal kita mengetahui mana yang benar dan tidak suatu peristiwa yang terjadi di hadapan kita, kita pada dasarnya telah berpihak pada yang salah, bukan pada yang benar. Sebagai seorang nabi, Natan tidak bisa tinggal diam mengetahui dosa-dosa Daud. Ia diutus Tuhan untuk menegur Daud, Raja dan sahabatnya yang baru saja melakukan dosa besar di hadapan Tuhan. Raja Daud telah menunjukkan kesewenang-wenangannya terhadap yang lemah, Uria, prajuritnya sendiri. Sekilas hal ini tampak sebagai penyalahgunaan kekuasaan semata dari atasan kepada bawahan, tetapi bagi Tuhan apa yang telah dilakukan Daud sebagai tindakan yang menghina (ayat 9) dan menista (ayat 14) Tuhan, karena Daud adalah raja yang telah diurapi Tuhan.
Natan membingkai suara kenabiannya dengan sangat cerdas. Begitu bertemu dengan Daud, ia tidak langsung menegur dan menyalahkan Daud. Saya bayangkan kalau ini yang langsung dilakukan oleh Natan, Daud pasti akan bereaksi menyangkal dan melawannya. Natan mengambil kiasan dari dunia penggembalaan, dunia sehari-hari Daud sebelum ia menjadi raja Israel. Kepedihan seorang gembala ketika domba atau kambingnya hilang, dirampok, atau mati karena diterkam serigala, menjadi penggugah emosi Daud yang tepat karena dia dulu juga seorang gembala. Daud begitu marah mendengar kisah seorang kaya-berlimpah yang merebut domba satu-satunya milik keluarga miskin. Ia menghendaki orang kaya itu harus dihukum mati. Daud baru sadar bahwa orang kaya itu adalah kiasan bagi dirinya, ketika Natan mengatakan padanya,"Engkaulah orang itu!" Seperti Natan, nyatakan dengan keberanian suara kenabian Anda! Pakailah cara-cara yang cerdas dan bijak yang bisa mendorong perubahan dan pertobatan bagi yang mendengarnya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Diam tidak selamanya emas. Ketika kita diam saja, padahal kita mengetahui mana yang benar dan tidak suatu peristiwa yang terjadi di hadapan kita, kita pada dasarnya telah berpihak pada yang salah, bukan pada yang benar. Sebagai seorang nabi, Natan tidak bisa tinggal diam mengetahui dosa-dosa Daud. Ia diutus Tuhan untuk menegur Daud, Raja dan sahabatnya yang baru saja melakukan dosa besar di hadapan Tuhan. Raja Daud telah menunjukkan kesewenang-wenangannya terhadap yang lemah, Uria, prajuritnya sendiri. Sekilas hal ini tampak sebagai penyalahgunaan kekuasaan semata dari atasan kepada bawahan, tetapi bagi Tuhan apa yang telah dilakukan Daud sebagai tindakan yang menghina (ayat 9) dan menista (ayat 14) Tuhan, karena Daud adalah raja yang telah diurapi Tuhan.
Natan membingkai suara kenabiannya dengan sangat cerdas. Begitu bertemu dengan Daud, ia tidak langsung menegur dan menyalahkan Daud. Saya bayangkan kalau ini yang langsung dilakukan oleh Natan, Daud pasti akan bereaksi menyangkal dan melawannya. Natan mengambil kiasan dari dunia penggembalaan, dunia sehari-hari Daud sebelum ia menjadi raja Israel. Kepedihan seorang gembala ketika domba atau kambingnya hilang, dirampok, atau mati karena diterkam serigala, menjadi penggugah emosi Daud yang tepat karena dia dulu juga seorang gembala. Daud begitu marah mendengar kisah seorang kaya-berlimpah yang merebut domba satu-satunya milik keluarga miskin. Ia menghendaki orang kaya itu harus dihukum mati. Daud baru sadar bahwa orang kaya itu adalah kiasan bagi dirinya, ketika Natan mengatakan padanya,"Engkaulah orang itu!" Seperti Natan, nyatakan dengan keberanian suara kenabian Anda! Pakailah cara-cara yang cerdas dan bijak yang bisa mendorong perubahan dan pertobatan bagi yang mendengarnya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Meneladani Belas Kasih YESUS (Lukas 7: 11-17)
"...dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: "Jangan menangis!" (Lukas 7: 13)
Apakah Anda tahu perbedaan utama seorang bayi dengan seorang psikopat? Menurut riset, walau seorang bayi bernalarnya masih sangat sederhana, tapi emosi moralnya sudah berkembang baik bahkan sebelum munculnya kemampuan berbahasa. Sebaliknya, seorang psikopat, kemampuan nalarnya bisa begitu baik/cerdas, namun emosi moralnya sangat rendah walau sudah dewasa. Seorang psikopat tidak memiliki belas kasih, rasa bersalah, rasa malu sehingga membuatnya lebih mudah untuk berbohong dan menyakiti orang lain. Yesus seseorang yang berbelas kasih. Yesus tergerak hati-Nya oleh belas kasihan ketika berpapasan dengan seorang janda yang sedang mengantar jenazah anaknya ke tempat pemakaman. Di zaman Yesus, menjadi janda merupakan sebuah penderitaan. Janda Nain ini berlipat-lipat penderitaannya. Mengapa? (1) ia janda, janda tidak dihargai masyarakat, (2) anak tunggalnya telah mati, menjadikan hidupnya tanpa jaminan dan perlindungan, (3) hidupnya akan bergantung sepenuhnya pada sedekah yang diberikan oleh sinagoge.
Yesus tergerak hati-Nya oleh belas kasihan. Terjemahan kata ini berasal dari bahasa Yunani splagkhnistheis, yang pada dasarnya menunjukkan guncangan emosi yang begitu dalam yang dirasakan Yesus ketika melihat kondisi janda Nain tersebut. Belas kasihan Yesus inilah yang menentukan respons Yesus selanjutnya. Ia lalu berkata kepada janda itu, "Jangan menangis!" Kata-kata Yesus ini jelas bukan pencitraan atau pemanis belaka. Yesus tidak layak mencegah janda itu menangis, kalau kata-kata-Nya hanya pemanis di bibir. Ia berbela rasa, Ia membangkitkan anak yang mati tersebut! Jangan biarkan rasa belas kasihan kita terhadap penderitaan orang lain menjadi tumpul. Anda bukan psikopat, Anda dipanggil untuk meneladani belas kasih Yesus! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Apakah Anda tahu perbedaan utama seorang bayi dengan seorang psikopat? Menurut riset, walau seorang bayi bernalarnya masih sangat sederhana, tapi emosi moralnya sudah berkembang baik bahkan sebelum munculnya kemampuan berbahasa. Sebaliknya, seorang psikopat, kemampuan nalarnya bisa begitu baik/cerdas, namun emosi moralnya sangat rendah walau sudah dewasa. Seorang psikopat tidak memiliki belas kasih, rasa bersalah, rasa malu sehingga membuatnya lebih mudah untuk berbohong dan menyakiti orang lain. Yesus seseorang yang berbelas kasih. Yesus tergerak hati-Nya oleh belas kasihan ketika berpapasan dengan seorang janda yang sedang mengantar jenazah anaknya ke tempat pemakaman. Di zaman Yesus, menjadi janda merupakan sebuah penderitaan. Janda Nain ini berlipat-lipat penderitaannya. Mengapa? (1) ia janda, janda tidak dihargai masyarakat, (2) anak tunggalnya telah mati, menjadikan hidupnya tanpa jaminan dan perlindungan, (3) hidupnya akan bergantung sepenuhnya pada sedekah yang diberikan oleh sinagoge.
Yesus tergerak hati-Nya oleh belas kasihan. Terjemahan kata ini berasal dari bahasa Yunani splagkhnistheis, yang pada dasarnya menunjukkan guncangan emosi yang begitu dalam yang dirasakan Yesus ketika melihat kondisi janda Nain tersebut. Belas kasihan Yesus inilah yang menentukan respons Yesus selanjutnya. Ia lalu berkata kepada janda itu, "Jangan menangis!" Kata-kata Yesus ini jelas bukan pencitraan atau pemanis belaka. Yesus tidak layak mencegah janda itu menangis, kalau kata-kata-Nya hanya pemanis di bibir. Ia berbela rasa, Ia membangkitkan anak yang mati tersebut! Jangan biarkan rasa belas kasihan kita terhadap penderitaan orang lain menjadi tumpul. Anda bukan psikopat, Anda dipanggil untuk meneladani belas kasih Yesus! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Roh Kudus Membawa Bangsa-bangsa Mengenal TUHAN ALLAH (I Raja-raja 8: 41-43)
"...dan Engkau kiranya bertindak sesuai dengan segala yang diserukan kepada-Mu oleh orang asing itu, supaya segala bangsa di bumi mengenal nama-Mu..." (I Raja-raja 8: 43)
Dalam warta jemaat di salah satu gereja Presbiterian di Amerika tertulis: Ini adalah gereja yang menyambut siapa saja. Merangkul Saudara semua tanpa membedakan umur, ras, latar belakang etnis, orientasi seksual, status keluarga, kondisi ekonomi atau pandangan teologis. Kami ingin para pengunjung gereja kami merasakan sebagai bagian dari keluarga. Pada hari pentahbisan Bait Allah, Salomo berdoa agar Bait Allah menjadi tempat yang bisa menyambut siapa saja, termasuk mereka yang bukan umat Israel. Selama ini umat Israel memang belum memiliki Bait Allah. Mereka beribadah kepada Tuhan dan mempersembahkan korban syukur di atas bukit-bukit tertentu dengan membangun kemah Tabernakel. Kini, umat Israel telah memiliki Bait Allah yang permanen. Secara fisik, Bait Allah ini dibangun secara luar biasa. Misalnya, papan-papan dari kayu aras Lebanon yang dihiasi dengan ukiran pohon kurma, labu, bunga mawar, dan kerubim, semuanya dilapisi dengan emas, menutupi dinding-dinding ruang utama Bait Allah. Pintu-pintu masuk menuju Ruang Mahakudus terbuat dari kayu pinus dengan ukiran kerubim, kurma, kembang mawar yang dilapisi dengan emas.
Namun demikian Salomo menyadari, keindahan fisik Bait Allah bukanlah daya tarik utama bagi orang-orang untuk mau datang ke Bait Allah. Tanpa penyertaan Tuhan Allah, orang-orang lain tetap tidak akan tertarik. Pertama, bagi Salomo Bait Allah memang harus menjadi tempat terbuka yang siap menyambut siapa saja, termasuk bangsa-bangsa lain. Kedua, Tuhan Allah sendiri yang akan berkarya membawa bangsa-bangsa lain datang ke Bait Allah untuk menyembah-Nya. Oleh sebab itu, tetaplah menjadikan gereja kita gereja yang siap menyambut siapa saja dan biarlah selanjutnya Roh Kudus yang berkarya! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Dalam warta jemaat di salah satu gereja Presbiterian di Amerika tertulis: Ini adalah gereja yang menyambut siapa saja. Merangkul Saudara semua tanpa membedakan umur, ras, latar belakang etnis, orientasi seksual, status keluarga, kondisi ekonomi atau pandangan teologis. Kami ingin para pengunjung gereja kami merasakan sebagai bagian dari keluarga. Pada hari pentahbisan Bait Allah, Salomo berdoa agar Bait Allah menjadi tempat yang bisa menyambut siapa saja, termasuk mereka yang bukan umat Israel. Selama ini umat Israel memang belum memiliki Bait Allah. Mereka beribadah kepada Tuhan dan mempersembahkan korban syukur di atas bukit-bukit tertentu dengan membangun kemah Tabernakel. Kini, umat Israel telah memiliki Bait Allah yang permanen. Secara fisik, Bait Allah ini dibangun secara luar biasa. Misalnya, papan-papan dari kayu aras Lebanon yang dihiasi dengan ukiran pohon kurma, labu, bunga mawar, dan kerubim, semuanya dilapisi dengan emas, menutupi dinding-dinding ruang utama Bait Allah. Pintu-pintu masuk menuju Ruang Mahakudus terbuat dari kayu pinus dengan ukiran kerubim, kurma, kembang mawar yang dilapisi dengan emas.
Namun demikian Salomo menyadari, keindahan fisik Bait Allah bukanlah daya tarik utama bagi orang-orang untuk mau datang ke Bait Allah. Tanpa penyertaan Tuhan Allah, orang-orang lain tetap tidak akan tertarik. Pertama, bagi Salomo Bait Allah memang harus menjadi tempat terbuka yang siap menyambut siapa saja, termasuk bangsa-bangsa lain. Kedua, Tuhan Allah sendiri yang akan berkarya membawa bangsa-bangsa lain datang ke Bait Allah untuk menyembah-Nya. Oleh sebab itu, tetaplah menjadikan gereja kita gereja yang siap menyambut siapa saja dan biarlah selanjutnya Roh Kudus yang berkarya! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Hidup Dipimpin Roh Kebenaran (Roma 5: 1-5)
"Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus " (Roma 5: 1)
Banyak orang tidak hidup dalam damai sejahtera. Penderitaan dan krisis hidup tampaknya menjadi penyebab utama kondisi semacam ini. Beberapa waktu lalu, diberitakan di surat kabar ada seorang ibu muda yang tega melemparkan bayinya dari atap sebuah mall hingga tewas. Motif berdasarkan pengakuan pelaku adalah beban hidup yang berat karena ekonomi keluarga yang memburuk. Tentu saja, orang-orang Kristen juga tidak bebas dari penderitaan dan krisis hidup. Namun orang-orang percaya diingatkan untuk tidak menyerah kalah berhadapan dengan penderitaan dan krisis hidup. Roh Kudus, Roh Kebenaran itu sendiri, yang akan memimpin orang-orang percaya menghadapi penderitaan dan krisis hidup yang ada.
Dalam keyakinan akan pimpinan Roh Kudus inilah, penderitaan dan krisis hidup bahkan bisa diolah menjadi sarana bertumbuh dan belajar dalam iman. Rasul Paulus menunjukkan dalam kesengsaraan yang dihadapi justru bisa ditumbuhkan ketabahan. Ketabahan yang tumbuh akan menjadikan daya tahan orang-orang percaya semakin kuat ketika berhadapan dengan penderitaan dan krisis hidup yang ada. Pada akhirnya, daya tahan yang kuat akan menjadikan orang-orang percaya tetap bisa menumbuhkan dan memelihara pengharapan di tengah-tengah penderitaan dan krisis hidup tersebut. Rasul Paulus, memakai terminologi sekarang, mengajak kita untuk memiliki kecerdasan dalam menghadapi krisis kehidupan (adversity quotient). Krisis dan penderitaan memang harus dihadapi dengan cerdas. Jika tidak, kita hanya akan menjadi korban dari krisis dan penderitaan hidup yang ada. Ketika kita bisa menghadapi dan mengolah penderitaan dan krisis hidup kita dengan cerdas, damai sejahtera Tuhan tidak akan pudar dalam diri kita, bahkan bisa menjadi sumber kekuatan kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Banyak orang tidak hidup dalam damai sejahtera. Penderitaan dan krisis hidup tampaknya menjadi penyebab utama kondisi semacam ini. Beberapa waktu lalu, diberitakan di surat kabar ada seorang ibu muda yang tega melemparkan bayinya dari atap sebuah mall hingga tewas. Motif berdasarkan pengakuan pelaku adalah beban hidup yang berat karena ekonomi keluarga yang memburuk. Tentu saja, orang-orang Kristen juga tidak bebas dari penderitaan dan krisis hidup. Namun orang-orang percaya diingatkan untuk tidak menyerah kalah berhadapan dengan penderitaan dan krisis hidup. Roh Kudus, Roh Kebenaran itu sendiri, yang akan memimpin orang-orang percaya menghadapi penderitaan dan krisis hidup yang ada.
Dalam keyakinan akan pimpinan Roh Kudus inilah, penderitaan dan krisis hidup bahkan bisa diolah menjadi sarana bertumbuh dan belajar dalam iman. Rasul Paulus menunjukkan dalam kesengsaraan yang dihadapi justru bisa ditumbuhkan ketabahan. Ketabahan yang tumbuh akan menjadikan daya tahan orang-orang percaya semakin kuat ketika berhadapan dengan penderitaan dan krisis hidup yang ada. Pada akhirnya, daya tahan yang kuat akan menjadikan orang-orang percaya tetap bisa menumbuhkan dan memelihara pengharapan di tengah-tengah penderitaan dan krisis hidup tersebut. Rasul Paulus, memakai terminologi sekarang, mengajak kita untuk memiliki kecerdasan dalam menghadapi krisis kehidupan (adversity quotient). Krisis dan penderitaan memang harus dihadapi dengan cerdas. Jika tidak, kita hanya akan menjadi korban dari krisis dan penderitaan hidup yang ada. Ketika kita bisa menghadapi dan mengolah penderitaan dan krisis hidup kita dengan cerdas, damai sejahtera Tuhan tidak akan pudar dalam diri kita, bahkan bisa menjadi sumber kekuatan kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Menerima ROH KUDUS: Roh kebenaran yang Membebaskan (Yohanes 14: 15-20)
"...yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia..." (Yohanes 14: 17)
Kehidupan tidak mungkin dibangun dengan kebohongan. Kebohongan satu akan melahirkan kebohongan lainnya. Ketika kebohongan menjadi kebiasaan, yang muncul adalah ketidakpercayaan satu dengan yang lainnya. Bayangkan, jika seorang istri menyadari suaminya telah beberapa kali berbohong padanya, sang istri tidak akan bisa lagi membedakan apakah perkataan sang suami berikutnya berisi kebenaran atau kebohongan. Menerima Roh Kudus berarti menerima Roh Kebenaran itu sendiri. Sebelumnya, Yesus sudah bersabda, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup".(ayat 6). Kata kebenaran yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah aletheia. Secara harfiah berarti penyingkapan apa yang tersembunyi. Jadi, apa yang disingkapkan? Kebenaran mengenai Allah. Kebenaran Allah disingkapkan di dalam dan melalui Yesus. Siapa yang ingin mengenal Allah, kenalilah Yesus. Siapa yang mau menyembah Allah, sembahlah Yesus. Karena di dalam dan melalui Yesus, Allah yang tersembunyi disingkapkan.
Roh Kudus adalah Roh Kebenaran itu sendiri. Ialah Roh Penolong yang mewartakan kebenaran ini. Kata penolong yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah parakletos. Secara harfiah berarti pendamping atau pembela. Dengan demikian, Roh Kudus adalah Roh yang berkarya untuk menolong, mendampingi dan membela umat-Nya agar bisa menerima dan hidup dalam kebenaran Allah yang disingkapkan di dalam dan melalui Yesus. Ketika kita membuka hati dan pikiran kita untuk menerima Roh Kudus, Roh Kebenaran itu, dalam hidup kita, Ia akan membebaskan kita dari kebohongan kehidupan yang kita jalani dan membawa kita kepada kebenaran yang tersingkap di dalam Yesus Kristus. Amin. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kehidupan tidak mungkin dibangun dengan kebohongan. Kebohongan satu akan melahirkan kebohongan lainnya. Ketika kebohongan menjadi kebiasaan, yang muncul adalah ketidakpercayaan satu dengan yang lainnya. Bayangkan, jika seorang istri menyadari suaminya telah beberapa kali berbohong padanya, sang istri tidak akan bisa lagi membedakan apakah perkataan sang suami berikutnya berisi kebenaran atau kebohongan. Menerima Roh Kudus berarti menerima Roh Kebenaran itu sendiri. Sebelumnya, Yesus sudah bersabda, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup".(ayat 6). Kata kebenaran yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah aletheia. Secara harfiah berarti penyingkapan apa yang tersembunyi. Jadi, apa yang disingkapkan? Kebenaran mengenai Allah. Kebenaran Allah disingkapkan di dalam dan melalui Yesus. Siapa yang ingin mengenal Allah, kenalilah Yesus. Siapa yang mau menyembah Allah, sembahlah Yesus. Karena di dalam dan melalui Yesus, Allah yang tersembunyi disingkapkan.
Roh Kudus adalah Roh Kebenaran itu sendiri. Ialah Roh Penolong yang mewartakan kebenaran ini. Kata penolong yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah parakletos. Secara harfiah berarti pendamping atau pembela. Dengan demikian, Roh Kudus adalah Roh yang berkarya untuk menolong, mendampingi dan membela umat-Nya agar bisa menerima dan hidup dalam kebenaran Allah yang disingkapkan di dalam dan melalui Yesus. Ketika kita membuka hati dan pikiran kita untuk menerima Roh Kudus, Roh Kebenaran itu, dalam hidup kita, Ia akan membebaskan kita dari kebohongan kehidupan yang kita jalani dan membawa kita kepada kebenaran yang tersingkap di dalam Yesus Kristus. Amin. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Mereka yang Mengasihi TUHAN, Membenci Kejahatan (Mazmur 97: 1-12)
Hai orang-orang yang mengasihi TUHAN, bencilah kejahatan! (Mazmur 97: 10)
Kejahatan bisa dilakukan oleh siapa saja. Orang baik bisa berubah menjadi jahat karena situasi-situasi tertentu, sebaliknya juga orang jahat bisa bertobat menjadi orang baik. tulah sebabnya, Tuhan tidak pernah membenci orang jahat. Umat-Nya pun tidak diminta untuk membenci orang jahat. Umat diminta oleh Tuhan untuk membenci kejahatan, bukan orangnya. Sebaliknya, orang jahat diingatkan untuk meninggalkan perbuatan jahatnya dan kembali pada jalan yang benar sesuai dengan kehendak-Nya.
Mengapa dalam ayat 10 ini disebutkan orang-orang yang sudah mengasihi Tuhan masih diperintahkan oleh Tuhan untuk membenci kejahatan? Hai orang-orang yang mengasihi TUHAN, bencilah kejahatan! Bukankah orang yang mengasihi Tuhan otomatis akan membenci kejahatan? Sebenarnya terjemahan Alkitab LAI ini mengikuti teks Masoret Ibrani, teks ini dalam versi terjemahan lain bisa dibaca: Tuhan mengasihi orang-orang yang membenci kejahatan. Akan tetapi dua-duanya memiliki makna yang sama: Tuhan yang mengasihi kita tidak menghendaki kita melakukan kejahatan, sebaliknya kita yang mengasihi Tuhan tidak akan melakukan kejahatan.
Para penganut agama yang militan dan fanatik sering melakukan kejahatan atas nama Tuhan. Seakan-akan, demi membela nama Tuhan, seseorang boleh melakukan kejahatan terhadap sesamanya. Tidak ada kejahatan atas nama Tuhan. Apa yang mereka lakukan sesungguhnya murni kejahatan kemanusiaan. Nama Tuhan hanya dipakai untuk melegalisasi kejahatan mereka. Siapapun yang menyebut dirinya sebagai orang-orang yang dikasihi Tuhan, akan terdorong untuk membenci kejahatan. Ia bisa memohon Roh Kudus agar mengingatkan dan menjaganya untuk tidak melakukan kejahatan terhadap sesamanya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kejahatan bisa dilakukan oleh siapa saja. Orang baik bisa berubah menjadi jahat karena situasi-situasi tertentu, sebaliknya juga orang jahat bisa bertobat menjadi orang baik. tulah sebabnya, Tuhan tidak pernah membenci orang jahat. Umat-Nya pun tidak diminta untuk membenci orang jahat. Umat diminta oleh Tuhan untuk membenci kejahatan, bukan orangnya. Sebaliknya, orang jahat diingatkan untuk meninggalkan perbuatan jahatnya dan kembali pada jalan yang benar sesuai dengan kehendak-Nya.
Mengapa dalam ayat 10 ini disebutkan orang-orang yang sudah mengasihi Tuhan masih diperintahkan oleh Tuhan untuk membenci kejahatan? Hai orang-orang yang mengasihi TUHAN, bencilah kejahatan! Bukankah orang yang mengasihi Tuhan otomatis akan membenci kejahatan? Sebenarnya terjemahan Alkitab LAI ini mengikuti teks Masoret Ibrani, teks ini dalam versi terjemahan lain bisa dibaca: Tuhan mengasihi orang-orang yang membenci kejahatan. Akan tetapi dua-duanya memiliki makna yang sama: Tuhan yang mengasihi kita tidak menghendaki kita melakukan kejahatan, sebaliknya kita yang mengasihi Tuhan tidak akan melakukan kejahatan.
Para penganut agama yang militan dan fanatik sering melakukan kejahatan atas nama Tuhan. Seakan-akan, demi membela nama Tuhan, seseorang boleh melakukan kejahatan terhadap sesamanya. Tidak ada kejahatan atas nama Tuhan. Apa yang mereka lakukan sesungguhnya murni kejahatan kemanusiaan. Nama Tuhan hanya dipakai untuk melegalisasi kejahatan mereka. Siapapun yang menyebut dirinya sebagai orang-orang yang dikasihi Tuhan, akan terdorong untuk membenci kejahatan. Ia bisa memohon Roh Kudus agar mengingatkan dan menjaganya untuk tidak melakukan kejahatan terhadap sesamanya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
"Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus." (Kisah Para Rasul 16: 14)
Membuka hati itu tidak mudah. Membuka hati itu penuh risiko. Kalau kita membuka hati kita pada orang lain, risiko kita adalah orang lain menyebarkan isi hati kita kepada orang-orang yang tidak berkepentingan. Rasa tidak aman menjadi hambatan yang besar di dalam membuka hati kepada orang lain. Ada seorang perempuan yang berani menghadapi risiko tersebut. Namanya Lidia. Ia bukan sembarang orang. Ia seorang perempuan yang berdaya dan kaya. Ia seorang pemimpin bisnis besar di kota Tiatira. Bisnisnya adalah berjualan kain ungu. Di Yunani-Romawi waktu itu, kain ungu merupakan barang mewah yang mahal harganya. Cat celup kain ungu dibuat dari kerang kecil yang harus dikumpulkan setetes demi setetes. Para bangsawan dan orang-orang kaya Romawi-Yunani senang memakai kain ungu.
Lidia berani mengambil risiko mendengarkan pengajaran Rasul Paulus. Ia menyediakan diri untuk mendengarkan ajaran Paulus dan pada akhirnya Tuhan sendiri yang membuka hatinya untuk beriman kepada Kristus. Dalam bahasa Yunani, kata membuka hati memakai istilah dianoigo, istilah yang biasa dipakai untuk bayi yang baru lahir/keluar melalui rahim ibunya yang terbuka. Istilah ini menunjukkan proses perubahan besar yang terjadi pada Lidia ketika mendengarkan pengajaran Paulus. Tidak mengherankan dampak membuka hati ini sangat terasa. Lidia menerima baptisan dalam nama Kristus. Lidia juga mempersembahkan rumahnya bagi karya Paulus. Bahkan rumahnya kelak menjadi semacam jemaat rumah bagi orang-orang Tiatira pada waktu itu. Ketika kita menyediakan diri kita dibuka hati kita oleh Kristus, perubahan dan dampak iman kita kepada Kristus sungguh akan terasakan bagi orang-orang di sekitar kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Membuka hati itu tidak mudah. Membuka hati itu penuh risiko. Kalau kita membuka hati kita pada orang lain, risiko kita adalah orang lain menyebarkan isi hati kita kepada orang-orang yang tidak berkepentingan. Rasa tidak aman menjadi hambatan yang besar di dalam membuka hati kepada orang lain. Ada seorang perempuan yang berani menghadapi risiko tersebut. Namanya Lidia. Ia bukan sembarang orang. Ia seorang perempuan yang berdaya dan kaya. Ia seorang pemimpin bisnis besar di kota Tiatira. Bisnisnya adalah berjualan kain ungu. Di Yunani-Romawi waktu itu, kain ungu merupakan barang mewah yang mahal harganya. Cat celup kain ungu dibuat dari kerang kecil yang harus dikumpulkan setetes demi setetes. Para bangsawan dan orang-orang kaya Romawi-Yunani senang memakai kain ungu.
Lidia berani mengambil risiko mendengarkan pengajaran Rasul Paulus. Ia menyediakan diri untuk mendengarkan ajaran Paulus dan pada akhirnya Tuhan sendiri yang membuka hatinya untuk beriman kepada Kristus. Dalam bahasa Yunani, kata membuka hati memakai istilah dianoigo, istilah yang biasa dipakai untuk bayi yang baru lahir/keluar melalui rahim ibunya yang terbuka. Istilah ini menunjukkan proses perubahan besar yang terjadi pada Lidia ketika mendengarkan pengajaran Paulus. Tidak mengherankan dampak membuka hati ini sangat terasa. Lidia menerima baptisan dalam nama Kristus. Lidia juga mempersembahkan rumahnya bagi karya Paulus. Bahkan rumahnya kelak menjadi semacam jemaat rumah bagi orang-orang Tiatira pada waktu itu. Ketika kita menyediakan diri kita dibuka hati kita oleh Kristus, perubahan dan dampak iman kita kepada Kristus sungguh akan terasakan bagi orang-orang di sekitar kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
IA akan Menghapus Air Mata (Wahyu 21: 1-6)
"Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi..." (Wahyu 21: 4)
Tidak ada orang yang tidak pernah menangis mengeluarkan air mata. Sejak terlahirkan di dunia ini, bayi sudah menangis keras-keras. Mulai saat itu, ia akan lebih sering menangis. Pada saat kencing, lapar, haus, dst. Menurut penelitian, perempuan menangis lima kali lebih sering dibandingkan pria. Seseorang bisa menangis karena sedih, tapi juga karena bahagia. Namun kematian dari orang yang dicintai pada umumnya membuat seseorang menangis. Dalam penglihatan yang diterima Yohanes di pulau Patmos, ada janji dari Tuhan, dalam langit dan bumi yang baru, Tuhan sendiri yang akan menghapus air mata umat-Nya. Tidak akan ada lagi dukacita dan perkabungan, karena maut tidak akan ada lagi. Dalam langit dan bumi yang baru, umat akan hidup dalam keabadian.
Oleh sebagian orang, tampaknya permasalahan besar yang dihadapi manusia memang kematian/kefanaan. Banyak hal telah dilakukan manusia hingga kini untuk menemukan cara membuat manusia abadi, paling tidak bisa mempertahankan rentang hidup yang lebih panjang. Ikan koi, yang bernama Hanako, bahkan bisa hidup hingga berumur 226 tahun. Rentang hidup ikan koi, asal tidak berakhir di meja makan, rata-rata 100-250 tahun. Manusia tidak akan abadi di dunia fana ini, akan tetapi di langit dan bumi yang baru, keabadian akan menjadi berkat yang diterima umat-Nya. Keabadian tidak semata-mata kondisi ketika manusia punya rentang hidup yang lebih panjang, melainkan rentang hidup bersama Tuhan yang tidak akan terputuskan oleh waktu. Ketika Ia menghapus segala air mata, pada dasarnya itu adalah pernyataan cinta kasih Allah yang tak berkesudahan bagi umat-Nya. Cinta kasih Allahlah yang menang, bukan maut dan kematian. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Tidak ada orang yang tidak pernah menangis mengeluarkan air mata. Sejak terlahirkan di dunia ini, bayi sudah menangis keras-keras. Mulai saat itu, ia akan lebih sering menangis. Pada saat kencing, lapar, haus, dst. Menurut penelitian, perempuan menangis lima kali lebih sering dibandingkan pria. Seseorang bisa menangis karena sedih, tapi juga karena bahagia. Namun kematian dari orang yang dicintai pada umumnya membuat seseorang menangis. Dalam penglihatan yang diterima Yohanes di pulau Patmos, ada janji dari Tuhan, dalam langit dan bumi yang baru, Tuhan sendiri yang akan menghapus air mata umat-Nya. Tidak akan ada lagi dukacita dan perkabungan, karena maut tidak akan ada lagi. Dalam langit dan bumi yang baru, umat akan hidup dalam keabadian.
Oleh sebagian orang, tampaknya permasalahan besar yang dihadapi manusia memang kematian/kefanaan. Banyak hal telah dilakukan manusia hingga kini untuk menemukan cara membuat manusia abadi, paling tidak bisa mempertahankan rentang hidup yang lebih panjang. Ikan koi, yang bernama Hanako, bahkan bisa hidup hingga berumur 226 tahun. Rentang hidup ikan koi, asal tidak berakhir di meja makan, rata-rata 100-250 tahun. Manusia tidak akan abadi di dunia fana ini, akan tetapi di langit dan bumi yang baru, keabadian akan menjadi berkat yang diterima umat-Nya. Keabadian tidak semata-mata kondisi ketika manusia punya rentang hidup yang lebih panjang, melainkan rentang hidup bersama Tuhan yang tidak akan terputuskan oleh waktu. Ketika Ia menghapus segala air mata, pada dasarnya itu adalah pernyataan cinta kasih Allah yang tak berkesudahan bagi umat-Nya. Cinta kasih Allahlah yang menang, bukan maut dan kematian. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
TUHAN Gembalaku yang Baik (Mazmur 23: 1-6)
"Tuhan adalah gembalaku, tak kan kekurangan aku." (Mazmur 23: 1)
Bayangkan, Anda menjadi seekor domba. Apa yang Anda inginkan? Makanan yang selalu tersedia. Kesempatan dan kebebasan untuk bisa melakukan eksplorasi menyusuri padang, gurun, dan lembah. Keamanan Anda yang tetap terjamin walau Anda harus melewati padang, gurun dan lembah yang terkadang penuh dengan rintangan.
Sang Pemazmur yang menggambarkan hidupnya sebagai seekor domba, melihat semua keinginan tersebut terpenuhi karena ia mempunyai gembala yang baik. Makanan, kebebasan, dan keamanan semua terjamin oleh gembala yang baik tersebut.Namun apakah jaminan makanan, kebebasan, dan keamanan semacam ini akan selalu membuat hidup kita menjadi mudah untuk dijalani? Belum tentu! Salah satu sebabnya kita sendiri yang membuat perjalanan hidup kita menjadi sulit. Sebagai domba, dengan berbagai alasan, kita kadang enggan berjalan mengikuti ke mana kaki gembala melangkah. Di Israel waktu itu, gembala berjalan di depan, domba-domba mengikuti dari belakang.
Itulah sebabnya seorang gembala akan membawa gada dan tongkat. Tongkat digunakan oleh gembala jika ia melihat ada domba yang mau keluar dari barisan dan mencari jalan sendiri. Tongkat itu akan dijulurkan sehingga domba mau bergabung kembali dengan rombongan.Sedangkan gada digunakan oleh gembala jika mau memisahkan domba-domba yang berkelahi, entah apa alasan perkelahian tersebut. Gada juga akan digunakan oleh gembala untuk menghalau ancaman-ancaman yang membahayakan hidup domba-dombanya, misalnya serangan anjing hutan atau serigala. Dengan demikian, jangan kita mempersulit hidup kita sendiri dengan keengganan kita untuk hidup dalam pimpinan-Nya. Kalau Ia, Sang Gembala yang baik itu, meminta kita belok ke kanan, kita juga belok ke kanan, kalau Ia meminta kita belok ke kiri, kita juga belok ke kiri.Kalau Ia minta terus, maka kita juga berjalan terus bersama-Nya. Kita melakukannya karena kita yakin: Tuhan Gembala yang baik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Bayangkan, Anda menjadi seekor domba. Apa yang Anda inginkan? Makanan yang selalu tersedia. Kesempatan dan kebebasan untuk bisa melakukan eksplorasi menyusuri padang, gurun, dan lembah. Keamanan Anda yang tetap terjamin walau Anda harus melewati padang, gurun dan lembah yang terkadang penuh dengan rintangan.
Sang Pemazmur yang menggambarkan hidupnya sebagai seekor domba, melihat semua keinginan tersebut terpenuhi karena ia mempunyai gembala yang baik. Makanan, kebebasan, dan keamanan semua terjamin oleh gembala yang baik tersebut.Namun apakah jaminan makanan, kebebasan, dan keamanan semacam ini akan selalu membuat hidup kita menjadi mudah untuk dijalani? Belum tentu! Salah satu sebabnya kita sendiri yang membuat perjalanan hidup kita menjadi sulit. Sebagai domba, dengan berbagai alasan, kita kadang enggan berjalan mengikuti ke mana kaki gembala melangkah. Di Israel waktu itu, gembala berjalan di depan, domba-domba mengikuti dari belakang.
Itulah sebabnya seorang gembala akan membawa gada dan tongkat. Tongkat digunakan oleh gembala jika ia melihat ada domba yang mau keluar dari barisan dan mencari jalan sendiri. Tongkat itu akan dijulurkan sehingga domba mau bergabung kembali dengan rombongan.Sedangkan gada digunakan oleh gembala jika mau memisahkan domba-domba yang berkelahi, entah apa alasan perkelahian tersebut. Gada juga akan digunakan oleh gembala untuk menghalau ancaman-ancaman yang membahayakan hidup domba-dombanya, misalnya serangan anjing hutan atau serigala. Dengan demikian, jangan kita mempersulit hidup kita sendiri dengan keengganan kita untuk hidup dalam pimpinan-Nya. Kalau Ia, Sang Gembala yang baik itu, meminta kita belok ke kanan, kita juga belok ke kanan, kalau Ia meminta kita belok ke kiri, kita juga belok ke kiri.Kalau Ia minta terus, maka kita juga berjalan terus bersama-Nya. Kita melakukannya karena kita yakin: Tuhan Gembala yang baik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kasih-NYA Agape Bukan Filia (Yohanes 21: 15-19)
"Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" (Yohanes 21: 15a)
Richard Dawkins, dalam bukunya The Selfish Gene, berpandangan bahwa gen-gen makhluk hidup itu bertindak secara egois, mencari keuntungan sendiri agar supaya bertahan hidup. Banyak pakar yang membantah teori ini. Benar bahwa gen-gen makhluk hidup bisa bertindak egois, namun gen-gen itu juga bisa saling bekerja sama bahkan mengorbankan diri demi yang lain untuk keberlangsungan hidup. Yang terjadi dalam kehidupan ini, ternyata bukan sekadar evolusi yang kompetitif, melainkan juga ko-evolusi, yakni jenis evolusi yang saling membantu dan bekerja sama antara satu dengan yang lainnya.
Pada saat Petrus menyangkal Yesus sampai tiga kali, Petrus telah bertindak secara egois demi menyelamatkan diri sendiri. Kini, di pantai danau Tiberias, Yesus menanyakan juga sampai tiga kali kepada Petrus apakah Petrus mengasihi-Nya lebih dari orang lain. Sampai tiga kali pula, Petrus harus menjawab bahwa dirinya mengasihi Yesus. Namun, jawaban Petrus ini bukanlah jawaban kebanggaan apalagi kesombongan. Jawaban Petrus ini sesungguhnya merupakan ungkapan penyesalan dan pengakuan dosanya karena ia telah menyangkal Yesus. Mengapa? Yesus telah mengasihi Petrus dengan kasih agape, namun Petrus baru bisa menanggapi kasih agape Yesus dengan kasih filia. Kata kasih yang disebutkan Yesus dalam ayat 15 dan 16 adalah agape (agapao), jenis kasih tanpa syarat, kasih yang memberikan diri, kasih yang tidak menghitung untung-ruginya. Sedangkan kata kasih yang disebutkan Petrus dalam ayat 15,16,17 adalah filia (fileo), jenis kasih yang masih menghitung untung dan ruginya. Kalau mendatangkan untung akan dikasihi, kalau merugikan tidak dikasihi. Yang menarik adalah meskipun Petrus baru bisa mewujudkan kasih filia, Yesus tetap mengasihi Petrus dengan kasih agape-Nya. Itulah sebabnya Yesus tetap menugasi Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Richard Dawkins, dalam bukunya The Selfish Gene, berpandangan bahwa gen-gen makhluk hidup itu bertindak secara egois, mencari keuntungan sendiri agar supaya bertahan hidup. Banyak pakar yang membantah teori ini. Benar bahwa gen-gen makhluk hidup bisa bertindak egois, namun gen-gen itu juga bisa saling bekerja sama bahkan mengorbankan diri demi yang lain untuk keberlangsungan hidup. Yang terjadi dalam kehidupan ini, ternyata bukan sekadar evolusi yang kompetitif, melainkan juga ko-evolusi, yakni jenis evolusi yang saling membantu dan bekerja sama antara satu dengan yang lainnya.
Pada saat Petrus menyangkal Yesus sampai tiga kali, Petrus telah bertindak secara egois demi menyelamatkan diri sendiri. Kini, di pantai danau Tiberias, Yesus menanyakan juga sampai tiga kali kepada Petrus apakah Petrus mengasihi-Nya lebih dari orang lain. Sampai tiga kali pula, Petrus harus menjawab bahwa dirinya mengasihi Yesus. Namun, jawaban Petrus ini bukanlah jawaban kebanggaan apalagi kesombongan. Jawaban Petrus ini sesungguhnya merupakan ungkapan penyesalan dan pengakuan dosanya karena ia telah menyangkal Yesus. Mengapa? Yesus telah mengasihi Petrus dengan kasih agape, namun Petrus baru bisa menanggapi kasih agape Yesus dengan kasih filia. Kata kasih yang disebutkan Yesus dalam ayat 15 dan 16 adalah agape (agapao), jenis kasih tanpa syarat, kasih yang memberikan diri, kasih yang tidak menghitung untung-ruginya. Sedangkan kata kasih yang disebutkan Petrus dalam ayat 15,16,17 adalah filia (fileo), jenis kasih yang masih menghitung untung dan ruginya. Kalau mendatangkan untung akan dikasihi, kalau merugikan tidak dikasihi. Yang menarik adalah meskipun Petrus baru bisa mewujudkan kasih filia, Yesus tetap mengasihi Petrus dengan kasih agape-Nya. Itulah sebabnya Yesus tetap menugasi Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kasih Setia-NYA untuk Selama-lamanya (Mazmur 118: 14-29)
"Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya." (Mazmur 118: 29)
Ketika pengantin menikah, mereka mengucapkan komitmen nikah mereka. Mereka sepakat dalam perjanjian bersama untuk memelihara pernikahan mereka dalam susah dan senang. Komitmen itu tidak hanya mereka nyatakan secara publik, namun juga secara hukum dan di hadapan Tuhan. Akan tetapi, komitmen itu selalu bisa dipegang teguh atau tidak oleh para pengantin dalam tahun-tahun pernikahan mereka, waktulah yang akan memberikan jawabannya. Tuhan memegang teguh komitmen-Nya bagi umat-Nya. Komitmen Tuhan ini sungguh dirasakan dan dihayati oleh sang pemazmur dalam hidupnya. Mazmur 118 ini menggemakan syukur sang pemazmur karena Tuhan hadir sebagai sang Penyelamat. Ia telah membebaskan umat dari maut, dalam situasi perang dan kebrutalan para musuhnya. Ia bahkan memulihkan situasi ketidakberdayaan menjadi berdaya, kesesakan menjadi kelepasan, tidak berguna menjadi berguna, dari batu-batu yang dibuang tukang bangunan menjadi batu penjuru (ayat 22).
Komitmen Tuhan bagi umat-Nya itu untuk selama-lamanya, demikianlah pengakuan sang pemazmur. Komitmen memegang teguh perjanjian ini dalam bahasa Ibrani disebut khesed. Mereka yang menjalankan perjanjian disebut khasid. Di dalam Alkitab, kata khesed ini diterjemahkan dengan kasih setia. Tidak hanya kasih, namun juga setia. Barangkali karena seseorang bisa mengaku mengasihi orang lain, tanpa harus direpotkan dengan membuat komitmen. Allah mengasihi manusia sekaligus Allah juga memiliki komitmen memelihara kasih-Nya tersebut dalam kesetiaan-Nya kepada manusia. Tuhan sudah menyatakan khesed-Nya pada kita. Apakah kita semua juga mau memelihara khesed kita kepada Tuhan dan sesama atas segala janji atau komitmen yang telah kita buat dalam hidup ini? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Ketika pengantin menikah, mereka mengucapkan komitmen nikah mereka. Mereka sepakat dalam perjanjian bersama untuk memelihara pernikahan mereka dalam susah dan senang. Komitmen itu tidak hanya mereka nyatakan secara publik, namun juga secara hukum dan di hadapan Tuhan. Akan tetapi, komitmen itu selalu bisa dipegang teguh atau tidak oleh para pengantin dalam tahun-tahun pernikahan mereka, waktulah yang akan memberikan jawabannya. Tuhan memegang teguh komitmen-Nya bagi umat-Nya. Komitmen Tuhan ini sungguh dirasakan dan dihayati oleh sang pemazmur dalam hidupnya. Mazmur 118 ini menggemakan syukur sang pemazmur karena Tuhan hadir sebagai sang Penyelamat. Ia telah membebaskan umat dari maut, dalam situasi perang dan kebrutalan para musuhnya. Ia bahkan memulihkan situasi ketidakberdayaan menjadi berdaya, kesesakan menjadi kelepasan, tidak berguna menjadi berguna, dari batu-batu yang dibuang tukang bangunan menjadi batu penjuru (ayat 22).
Komitmen Tuhan bagi umat-Nya itu untuk selama-lamanya, demikianlah pengakuan sang pemazmur. Komitmen memegang teguh perjanjian ini dalam bahasa Ibrani disebut khesed. Mereka yang menjalankan perjanjian disebut khasid. Di dalam Alkitab, kata khesed ini diterjemahkan dengan kasih setia. Tidak hanya kasih, namun juga setia. Barangkali karena seseorang bisa mengaku mengasihi orang lain, tanpa harus direpotkan dengan membuat komitmen. Allah mengasihi manusia sekaligus Allah juga memiliki komitmen memelihara kasih-Nya tersebut dalam kesetiaan-Nya kepada manusia. Tuhan sudah menyatakan khesed-Nya pada kita. Apakah kita semua juga mau memelihara khesed kita kepada Tuhan dan sesama atas segala janji atau komitmen yang telah kita buat dalam hidup ini? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kebangkitan YESUS - Langit dan Bumi Baru (Lukas 24:1-12)
"Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit... Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga." (Lukas 24: 6-7)
Bagaimana wujud bumi dan langit kita pada 2000 tahun mendatang? Tidak ada seorangpun yang tahu. Akan tetapi kita bisa menduga, pasti akan terjadi perubahan besar. Yang berpikir pesimis: bumi berubah menjadi semakin rusak dan hancur tidak lagi mampu menopang makhluk hidup termasuk manusia di dalamnya. Yang berpikir optimis: bumi semakin dapat dikuasai oleh manusia dengan segala teknologi canggih yang ada, dan bumi tidak lagi menjadi tempat yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Yesus bangkit! Apa yang membuat Maria dari Magdala, Yohana, dan Maria ibu Yakobus meyakini bahwa Yesus telah bangkit dari kematian? Bukankah mereka tidak menyaksikan sendiri proses kebangkitan Yesus tersebut?
(1) mereka melihat makam yang kosong. Batu penutup makam terguling, mayat Yesus tidak ada di kuburan itu, (2) perjumpaan mereka dengan dua orang berpakaian berkilau-kilauan yang mengatakan kepada mereka bahwa Yesus telah bangkit, (3) memori para perempuan itu yang memberikan konfirmasi pernyataan dua orang tadi bahwa Ia akan bangkit pada hari yang ketiga. Di ayat 8 tertulis: Lalu teringatlah mereka akan perkataan Yesus itu. Yesus yang bangkit pada dasarnya meneguhkan iman dan kesetiaan para perempuan dan para murid pada Yesus. Walau tidak terjadi secara instan, mereka akhirnya melihat bahwa dalam Yesus mereka bisa melihat masa depan kehidupan dan keselamatan untuk umat manusia di dunia ini. Dalam Yesus, kematian ditaklukkan. Dalam Yesus, ada kehidupan, karena Ia tidak berada di dunia orang mati melainkan di dunia kehidupan. Itulah sebabnya, kita bisa menatap masa depan dengan optimis, dalam pengharapan akan langit dan bumi yang baru, bukan karena kemajuan teknologi kita, melainkan karena cinta kasih Yesus, yang bangkit dan hidup, dan memberi kehidupan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Bagaimana wujud bumi dan langit kita pada 2000 tahun mendatang? Tidak ada seorangpun yang tahu. Akan tetapi kita bisa menduga, pasti akan terjadi perubahan besar. Yang berpikir pesimis: bumi berubah menjadi semakin rusak dan hancur tidak lagi mampu menopang makhluk hidup termasuk manusia di dalamnya. Yang berpikir optimis: bumi semakin dapat dikuasai oleh manusia dengan segala teknologi canggih yang ada, dan bumi tidak lagi menjadi tempat yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Yesus bangkit! Apa yang membuat Maria dari Magdala, Yohana, dan Maria ibu Yakobus meyakini bahwa Yesus telah bangkit dari kematian? Bukankah mereka tidak menyaksikan sendiri proses kebangkitan Yesus tersebut?
(1) mereka melihat makam yang kosong. Batu penutup makam terguling, mayat Yesus tidak ada di kuburan itu, (2) perjumpaan mereka dengan dua orang berpakaian berkilau-kilauan yang mengatakan kepada mereka bahwa Yesus telah bangkit, (3) memori para perempuan itu yang memberikan konfirmasi pernyataan dua orang tadi bahwa Ia akan bangkit pada hari yang ketiga. Di ayat 8 tertulis: Lalu teringatlah mereka akan perkataan Yesus itu. Yesus yang bangkit pada dasarnya meneguhkan iman dan kesetiaan para perempuan dan para murid pada Yesus. Walau tidak terjadi secara instan, mereka akhirnya melihat bahwa dalam Yesus mereka bisa melihat masa depan kehidupan dan keselamatan untuk umat manusia di dunia ini. Dalam Yesus, kematian ditaklukkan. Dalam Yesus, ada kehidupan, karena Ia tidak berada di dunia orang mati melainkan di dunia kehidupan. Itulah sebabnya, kita bisa menatap masa depan dengan optimis, dalam pengharapan akan langit dan bumi yang baru, bukan karena kemajuan teknologi kita, melainkan karena cinta kasih Yesus, yang bangkit dan hidup, dan memberi kehidupan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Menyambut IA yang Datang dalam Damai (Lukas 19: 28-40)
"Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi." (Lukas 19: 38)
Mengapa Yesus memasuki kota Yerusalem dengan menaiki keledai? Yesus dan rombongan bisa memasuki Yerusalem dengan beberapa cara, misal: jalan kaki, naik kuda. Akan tetapi, Yesus memilih naik keledai. Perhatikan dengan baik perikop tersebut, hanya Yesus yang menaiki keledai, murid-murid-Nya tidak. Cara masuk Yesus dengan menaiki keledai merupakan cara masuk yang sudah direncanakan oleh Yesus. Yesus memang dengan sengaja ingin memasuki kota Yerusalem dengan menaiki keledai.Itulah sebabnya Ia mengutus dua orang murid-Nya untuk mengambil seekor keledai di desa terdekat, yaitu Betfage. Dari desa Betfage ini, Yesus menaiki keledai menuju kota Yerusalem. Cara masuk semacam ini disengaja Yesus untuk mewartakan pesan teologis-Nya kepada umat Israel, bukan untuk mendapatkan transportasi yang lebih nyaman. Yesus sedang mewujudkan nubuat tentang kedatangan Mesias yang diwartakan oleh nabi Zakharia. Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda (Zakharia 9:9).
Mereka yang melihat Yesus menaiki keledai ini dengan cepat akan menangkap pesan simbolis-teologis dari Yesus. Terlebih ketika para murid berseru-seru: Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi. Yesus yang datang sebagai Mesias ini adalah Mesias Perdamaian. Ia bukan Mesias Kekerasan, yang memerintah dengan kekerasan dan kekejaman. Kemesiasan-Nya akan ditandai dengan kekuatan kasih dan pengurbanan bagi orang lain, dan bukan kekerasan dan penindasan orang lain. Maukah kita juga ikut menyambut-Nya dalam damai sejahtera-Nya? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Mengapa Yesus memasuki kota Yerusalem dengan menaiki keledai? Yesus dan rombongan bisa memasuki Yerusalem dengan beberapa cara, misal: jalan kaki, naik kuda. Akan tetapi, Yesus memilih naik keledai. Perhatikan dengan baik perikop tersebut, hanya Yesus yang menaiki keledai, murid-murid-Nya tidak. Cara masuk Yesus dengan menaiki keledai merupakan cara masuk yang sudah direncanakan oleh Yesus. Yesus memang dengan sengaja ingin memasuki kota Yerusalem dengan menaiki keledai.Itulah sebabnya Ia mengutus dua orang murid-Nya untuk mengambil seekor keledai di desa terdekat, yaitu Betfage. Dari desa Betfage ini, Yesus menaiki keledai menuju kota Yerusalem. Cara masuk semacam ini disengaja Yesus untuk mewartakan pesan teologis-Nya kepada umat Israel, bukan untuk mendapatkan transportasi yang lebih nyaman. Yesus sedang mewujudkan nubuat tentang kedatangan Mesias yang diwartakan oleh nabi Zakharia. Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda (Zakharia 9:9).
Mereka yang melihat Yesus menaiki keledai ini dengan cepat akan menangkap pesan simbolis-teologis dari Yesus. Terlebih ketika para murid berseru-seru: Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi. Yesus yang datang sebagai Mesias ini adalah Mesias Perdamaian. Ia bukan Mesias Kekerasan, yang memerintah dengan kekerasan dan kekejaman. Kemesiasan-Nya akan ditandai dengan kekuatan kasih dan pengurbanan bagi orang lain, dan bukan kekerasan dan penindasan orang lain. Maukah kita juga ikut menyambut-Nya dalam damai sejahtera-Nya? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Berikanlah yang Terbaik (Yohanes 12: 1-8)
"Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya..." (Yohanes 12: 3)
Berapa harga setengah kati minyak narwastu murni yang dipakai Maria untuk meminyaki kaki Yesus? Tiga ratus dinar. Pada waktu itu satu dinar senilai upah sehari buruh. Tiga ratus dinar berarti sama dengan upah seorang buruh selama 10 bulan. Kira-kira berapa rupiah sekarang? Anggaplah upah buruh sehari sekarang Rp.80.000,- maka harga minyak narwastu itu sekarang sepadan dengan Rp 24 juta. Sungguh nilai yang sangat besar! Maria jelas telah memberikan yang terbaik bagi Yesus. Bukan semata-mata karena nilai yang besar dari minyak yang dipakai untuk meminyaki kaki Yesus itu, melainkan maksud dari pemberian itu. Kepekaan Maria terhadap karya kasih dan maksud pelayanan Yesus yang lebih baik dari murid-murid Yesus, telah memampukan Maria meminyaki kaki Yesus. Itulah sebabnya Yesus menanggapi tindakan Maria ini dengan mengatakan, "Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku".
Berbeda dengan Maria, Yudas berlagak baik padahal punya maksud buruk. Ia tampil seolah-olah sebagai pembela kaum miskin, padahal sebenarnya ia seorang pencuri yang sering mengambil uang kas yang dipegangnya. Bukan Yudas yang memberikan yang terbaik bagi Yesus, Marialah yang telah memberikan yang terbaik bagi Yesus. Mana yang menjadi motif kita memberikan yang terbaik bagi Tuhan? Ada orang yang mau memberikan yang terbaik kepada Tuhan asalkan Tuhan juga mau memberikan yang terbaik padanya. Ini motif dagang, motif untung dan rugi. Kalau Tuhan tidak mau melipatgandakan keuntunganku, aku juga tidak mau melipatgandakan persembahanku kepada Tuhan. Ada orang yang mau memberikan yang terbaik kepada Tuhan sebagai ungkapan syukur dan kasih atas berkat, pemeliharaan dan kasih Tuhan dalam kehidupannya. Ini motif syukur dan kasih.Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Berapa harga setengah kati minyak narwastu murni yang dipakai Maria untuk meminyaki kaki Yesus? Tiga ratus dinar. Pada waktu itu satu dinar senilai upah sehari buruh. Tiga ratus dinar berarti sama dengan upah seorang buruh selama 10 bulan. Kira-kira berapa rupiah sekarang? Anggaplah upah buruh sehari sekarang Rp.80.000,- maka harga minyak narwastu itu sekarang sepadan dengan Rp 24 juta. Sungguh nilai yang sangat besar! Maria jelas telah memberikan yang terbaik bagi Yesus. Bukan semata-mata karena nilai yang besar dari minyak yang dipakai untuk meminyaki kaki Yesus itu, melainkan maksud dari pemberian itu. Kepekaan Maria terhadap karya kasih dan maksud pelayanan Yesus yang lebih baik dari murid-murid Yesus, telah memampukan Maria meminyaki kaki Yesus. Itulah sebabnya Yesus menanggapi tindakan Maria ini dengan mengatakan, "Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku".
Berbeda dengan Maria, Yudas berlagak baik padahal punya maksud buruk. Ia tampil seolah-olah sebagai pembela kaum miskin, padahal sebenarnya ia seorang pencuri yang sering mengambil uang kas yang dipegangnya. Bukan Yudas yang memberikan yang terbaik bagi Yesus, Marialah yang telah memberikan yang terbaik bagi Yesus. Mana yang menjadi motif kita memberikan yang terbaik bagi Tuhan? Ada orang yang mau memberikan yang terbaik kepada Tuhan asalkan Tuhan juga mau memberikan yang terbaik padanya. Ini motif dagang, motif untung dan rugi. Kalau Tuhan tidak mau melipatgandakan keuntunganku, aku juga tidak mau melipatgandakan persembahanku kepada Tuhan. Ada orang yang mau memberikan yang terbaik kepada Tuhan sebagai ungkapan syukur dan kasih atas berkat, pemeliharaan dan kasih Tuhan dalam kehidupannya. Ini motif syukur dan kasih.Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Menjadi Ciptaan yang Baru (2 Korintus 5: 16-21)
"Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5: 17)
Tahukah Anda, banyak bagian tubuh kita yang secara otomatis memperbarui diri sendiri? Kulit tubuh kita secara otomatis memperbarui diri setiap 27 hari. Rambut dan kumis selalu tumbuh yang baru, walau dicukur. Kuku jari tangan kita tumbuh 1 cm setiap 100 hari. Bahkan tulang tubuh kita yang keras memperbarui diri 0,1% setiap tahunnya. Pembaruan menjadi hakikat yang bahkan tak terpisahkan dari tubuh fisik manusia. Secara psikis, manusia pada dasarnya juga menyukai hal-hal yang baru. Hanya mereka yang mengidap neophobia yang tidak suka dan takut pada hal-hal yang baru. Di dalam Kristus, kita adalah ciptaan yang baru. Apa bedanya dengan yang lama? Yang lama adalah manusia yang hidup untuk dirinya sendiri. Yang lama adalah manusia yang terkungkung dalam dosa. Sedangkan sebagai ciptaan yang baru, manusia kini hidup tidak untuk dirinya sendiri tetapi untuk Kristus. Yang baru adalah manusia yang telah menerima pendamaian dosa dan dibenarkan dalam Kristus.
Menjadi ciptaan yang baru dalam Kristus memiliki dua aspek: Otomatis dan Sengaja. Ketika kita menerima Kristus, otomattis kita adalah ciptaan yang baru dalam Kristus. Namun menjadi manusia yang baru juga berarti dengan sengaja kita menjalani pembaruan dalam hidup kita. Itulah sebabnya Rasul Paulus juga mengatakan: Berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Kita sengaja menerima pendamaian dari Allah, kita secara sengaja juga mewujudkan pendamaian dari Allah sebagai ciptaan yang baru. Jadi, jangan pernah takut untuk menjadi ciptaan yang baru. Jangan jatuh pada neophobia!Dengan menjadi ciptaan yang baru berarti kita dipanggil untuk mendesain ulang secara baru kehidupan kita di dalam Kristus, misalnya dalam perkataan, sikap, kebiasaan hidup dan moralitas. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Tahukah Anda, banyak bagian tubuh kita yang secara otomatis memperbarui diri sendiri? Kulit tubuh kita secara otomatis memperbarui diri setiap 27 hari. Rambut dan kumis selalu tumbuh yang baru, walau dicukur. Kuku jari tangan kita tumbuh 1 cm setiap 100 hari. Bahkan tulang tubuh kita yang keras memperbarui diri 0,1% setiap tahunnya. Pembaruan menjadi hakikat yang bahkan tak terpisahkan dari tubuh fisik manusia. Secara psikis, manusia pada dasarnya juga menyukai hal-hal yang baru. Hanya mereka yang mengidap neophobia yang tidak suka dan takut pada hal-hal yang baru. Di dalam Kristus, kita adalah ciptaan yang baru. Apa bedanya dengan yang lama? Yang lama adalah manusia yang hidup untuk dirinya sendiri. Yang lama adalah manusia yang terkungkung dalam dosa. Sedangkan sebagai ciptaan yang baru, manusia kini hidup tidak untuk dirinya sendiri tetapi untuk Kristus. Yang baru adalah manusia yang telah menerima pendamaian dosa dan dibenarkan dalam Kristus.
Menjadi ciptaan yang baru dalam Kristus memiliki dua aspek: Otomatis dan Sengaja. Ketika kita menerima Kristus, otomattis kita adalah ciptaan yang baru dalam Kristus. Namun menjadi manusia yang baru juga berarti dengan sengaja kita menjalani pembaruan dalam hidup kita. Itulah sebabnya Rasul Paulus juga mengatakan: Berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Kita sengaja menerima pendamaian dari Allah, kita secara sengaja juga mewujudkan pendamaian dari Allah sebagai ciptaan yang baru. Jadi, jangan pernah takut untuk menjadi ciptaan yang baru. Jangan jatuh pada neophobia!Dengan menjadi ciptaan yang baru berarti kita dipanggil untuk mendesain ulang secara baru kehidupan kita di dalam Kristus, misalnya dalam perkataan, sikap, kebiasaan hidup dan moralitas. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Tidak menjadi Duniawi (I Korintus 10: 6-13)
"...supaya jangan kita menginginkan hal-hal yang jahat seperti yang telah mereka perbuat." (I Korintus 10: 6)
Apakah dunia yang kita tempati ini jahat? Kalau yang sering kita baca, dengar dan lihat adalah peristiwa pembunuhan, perampokan, kekerasan, persaingan yang brutal, dll. kita akan menyimpulkan dunia ini adalah tempat yang jahat untuk dihuni. Namun apabila kita hidup dalam lingkungan yang aman, damai, toleransi, dan aktif tolong-menolong satu dengan yang lain, dunia tampil menjadi dunia yang baik bagi kita. Peringatan-peringatan Rasul Paulus bagi jemaat di Korintus ini begitu tegas dan langsung, (1) jangan menginginkan hal-hal yang jahat, (2) jangan jadi penyembah-penyembah berhala, (3) jangan melakukan percabulan, (4) jangan mencobai Kristus, (5) jangan bersungut-sungut, dan (6) jangan jatuh dalam pencobaan. Peringatan-peringatan Paulus yang tegas dan langsung ini tidak mengherankan, mengingat reputasi kota Korintus yang buruk pada zamannya.
Ada rasa kekhawatiran Paulus terhadap jemaat Kristen yang baru berkembang di kota Korintus tersebut. Umat Kristen Korintus pada waktu itu hidup di kota kosmopolitan yang gaya hidupnya sangat duniawi. Kota yang mempunyai pelabuhan ini memenuhi kebutuhan-kebutuhan duniawi para pendatang dan penduduknya. Kota ini memiliki banyak klub malam. Kota ini juga memiliki kuil pemujaan terhadap Dewi Aphrodit, yang dilayani imam-imam perempuan yang sekaligus juga melayani kebutuhan seksual para pemuja dewi Aphrodit tersebut. Orang-orang Kristen adalah orang-orang yang hidup di dunia. Dunia ini bisa jahat, bisa juga baik. Dunia ini bisa menyediakan lingkungan atau konteks yang membangun atau sebaliknya merusak iman kita. Itulah sebabnya, walaupun kita berada di dunia ini, kita tidak harus menjadi duniawi. Jikalau gaya hidup dunia membuat kita jauh dari Allah, kita tidak mengikuti gaya hidup duniawi tersebut karena kita selalu ingin hidup melekat pada Allah. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Apakah dunia yang kita tempati ini jahat? Kalau yang sering kita baca, dengar dan lihat adalah peristiwa pembunuhan, perampokan, kekerasan, persaingan yang brutal, dll. kita akan menyimpulkan dunia ini adalah tempat yang jahat untuk dihuni. Namun apabila kita hidup dalam lingkungan yang aman, damai, toleransi, dan aktif tolong-menolong satu dengan yang lain, dunia tampil menjadi dunia yang baik bagi kita. Peringatan-peringatan Rasul Paulus bagi jemaat di Korintus ini begitu tegas dan langsung, (1) jangan menginginkan hal-hal yang jahat, (2) jangan jadi penyembah-penyembah berhala, (3) jangan melakukan percabulan, (4) jangan mencobai Kristus, (5) jangan bersungut-sungut, dan (6) jangan jatuh dalam pencobaan. Peringatan-peringatan Paulus yang tegas dan langsung ini tidak mengherankan, mengingat reputasi kota Korintus yang buruk pada zamannya.
Ada rasa kekhawatiran Paulus terhadap jemaat Kristen yang baru berkembang di kota Korintus tersebut. Umat Kristen Korintus pada waktu itu hidup di kota kosmopolitan yang gaya hidupnya sangat duniawi. Kota yang mempunyai pelabuhan ini memenuhi kebutuhan-kebutuhan duniawi para pendatang dan penduduknya. Kota ini memiliki banyak klub malam. Kota ini juga memiliki kuil pemujaan terhadap Dewi Aphrodit, yang dilayani imam-imam perempuan yang sekaligus juga melayani kebutuhan seksual para pemuja dewi Aphrodit tersebut. Orang-orang Kristen adalah orang-orang yang hidup di dunia. Dunia ini bisa jahat, bisa juga baik. Dunia ini bisa menyediakan lingkungan atau konteks yang membangun atau sebaliknya merusak iman kita. Itulah sebabnya, walaupun kita berada di dunia ini, kita tidak harus menjadi duniawi. Jikalau gaya hidup dunia membuat kita jauh dari Allah, kita tidak mengikuti gaya hidup duniawi tersebut karena kita selalu ingin hidup melekat pada Allah. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Jalan-MU adalah Jalanku (Mazmur 27: 4-14)
"Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, dan tuntunlah aku di jalan yang rata oleh sebab seteruku." (Mazmur 27: 11)
Apa yang biasanya membuat kita mengambil jalan lain? Kemacetan. Dengan mengambil jalan lain,misalnya mengambil "jalan tikus", kita berharap lebih cepat sampai. Akan tetapi, apakah jalan alternatif itu selalu membuat kita lebih cepat sampai? Tidak selalu! Ketika semua juga lewat "jalan tikus" yang sama, kondisi kemacetan justru lebih parah di jalan alternatif ini dibandingkan jalan utama tadi. Mazmur 27 ini menunjukkan dengan baik kepada kita refleksi Sang Pemazmur bahwa siapa pun bisa tergoda mengambil jalan lain, yakni jalan yang tidak dikendaki Tuhan, ketika seseorang berada dalam kesulitan atau krisis kehidupan. Ketika kehidupan berjalan dengan baik, sesuai dengan harapan kita, kita merasakan perlindungan dan kedekatan dengan Tuhan. Akan tetapi, ketika masalah muncul bertubi-tubi dalam hidup kita, kita mulai menanyakan perlindungan Tuhan dan kedekatan kita kepada Tuhan.
Mazmur 27 ini pada dasarnya juga berisi sapaan pastoral bagi mereka yang mulai tergoda untuk menempuh jalan yang tidak dikehendaki Tuhan. Tunjukkanlah jalan-Mu ya Tuhan, dan tuntunlah aku di jalan-Mu ya Tuhan, menjadi sapaan Mazmur ini agar umat tidak menempuh jalan lain yang tidak dikehendaki Tuhan tetapi tetap setia di dalam jalan Tuhan.Jalan lain itu barangkali kelihatan menjanjikan, jalan lain itu mungkin kelihatannya lebih bisa memberikan kemudahan, kesuksesan, dan keselamatan. Sebaliknya, jalan Tuhan terasa lebih berat, panjang, dan lama untuk dijalani. Namun ketika jalan lain itu yang diikuti, jalan itu akan membuat kita semakin jauh dari Tuhan. Dalam kehidupan ini, yang utama memang bukanlah jalan hidup yang kita lalui itu bebas dari kesulitan atau krisis. Andaikata jalan hidup kita tidak bebas dari kesulitan atau krisis, yang utama adalah kita tetap setia berada dalam jalan hidup itu ketika kita menyadari itulah jalan yang membuat kita selalu melekat pada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Apa yang biasanya membuat kita mengambil jalan lain? Kemacetan. Dengan mengambil jalan lain,misalnya mengambil "jalan tikus", kita berharap lebih cepat sampai. Akan tetapi, apakah jalan alternatif itu selalu membuat kita lebih cepat sampai? Tidak selalu! Ketika semua juga lewat "jalan tikus" yang sama, kondisi kemacetan justru lebih parah di jalan alternatif ini dibandingkan jalan utama tadi. Mazmur 27 ini menunjukkan dengan baik kepada kita refleksi Sang Pemazmur bahwa siapa pun bisa tergoda mengambil jalan lain, yakni jalan yang tidak dikendaki Tuhan, ketika seseorang berada dalam kesulitan atau krisis kehidupan. Ketika kehidupan berjalan dengan baik, sesuai dengan harapan kita, kita merasakan perlindungan dan kedekatan dengan Tuhan. Akan tetapi, ketika masalah muncul bertubi-tubi dalam hidup kita, kita mulai menanyakan perlindungan Tuhan dan kedekatan kita kepada Tuhan.
Mazmur 27 ini pada dasarnya juga berisi sapaan pastoral bagi mereka yang mulai tergoda untuk menempuh jalan yang tidak dikehendaki Tuhan. Tunjukkanlah jalan-Mu ya Tuhan, dan tuntunlah aku di jalan-Mu ya Tuhan, menjadi sapaan Mazmur ini agar umat tidak menempuh jalan lain yang tidak dikehendaki Tuhan tetapi tetap setia di dalam jalan Tuhan.Jalan lain itu barangkali kelihatan menjanjikan, jalan lain itu mungkin kelihatannya lebih bisa memberikan kemudahan, kesuksesan, dan keselamatan. Sebaliknya, jalan Tuhan terasa lebih berat, panjang, dan lama untuk dijalani. Namun ketika jalan lain itu yang diikuti, jalan itu akan membuat kita semakin jauh dari Tuhan. Dalam kehidupan ini, yang utama memang bukanlah jalan hidup yang kita lalui itu bebas dari kesulitan atau krisis. Andaikata jalan hidup kita tidak bebas dari kesulitan atau krisis, yang utama adalah kita tetap setia berada dalam jalan hidup itu ketika kita menyadari itulah jalan yang membuat kita selalu melekat pada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Mulut dan Hati untuk KRISTUS (Roma 10: 8-13)
"Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan." (Roma 10: 9)
Johann Wolfgang von Goethe, sastrawan besar itu, pernah mengatakan demikian: Kita dibentuk dan dibuat indah oleh apa yang kita cintai. Saya bisa menyetujui kata-kata Goethe ini. Ketika kita mencintai Tuhan, kita pun akan dibentuk dan dibuat indah oleh Tuhan yang kita cintai itu.
Rasul Paulus menegaskan Yesuslah pusat cinta kita. Mulut dan hati kita untuk Yesus. Dengan mulut, kita mengaku Yesus adalah Tuhan. Dengan hati, kita percaya Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati.Hati oleh Paulus pada waktu itu dipahami sebagai tempat segala perasaan batin dan pengertian/hikmat manusia. Mulut dan hati (hati di sini maksudnya jantung, bukan lever), sebagai kiasan yang dipakai Paulus untuk menggambarkan totalitas kehidupan kita bagi Yesus. Ketika mulut dan hati kita untuk Kristus, apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita? Paulus menegaskan kita akan dibenarkan dan diselamatkan. Pada saat kita mencintai Yesus, pada saat itu juga Yesus yang kita cintai itu membentuk dan membuat hidup kita indah: Kita dibenarkan dan kita diselamatkan. Jadi selalu ada gerak dialogis cinta kasih: kita mencintai Tuhan, kita menerima cinta dari Tuhan.
Totalitas hidup kita untuk Kristus, pada dasarnya tidak akan pernah berjalan satu arah. Yang kita cintai itu juga mengubah hidup kita. Kita mencintai Yesus, kita akan juga berubah karena Yesus. Jadi, jangan pernah kita salah mencintai. Ada orang yang lebih mencintai kekayaan daripada Tuhan, sehingga tidak segan-segan memburu kekayaan walaupun dengan cara-cara yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Ada orang yang lebih mencintai kekuasaan daripada Tuhan, sehingga tidak segan-segan mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak berkenan kepada-Nya. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Johann Wolfgang von Goethe, sastrawan besar itu, pernah mengatakan demikian: Kita dibentuk dan dibuat indah oleh apa yang kita cintai. Saya bisa menyetujui kata-kata Goethe ini. Ketika kita mencintai Tuhan, kita pun akan dibentuk dan dibuat indah oleh Tuhan yang kita cintai itu.
Rasul Paulus menegaskan Yesuslah pusat cinta kita. Mulut dan hati kita untuk Yesus. Dengan mulut, kita mengaku Yesus adalah Tuhan. Dengan hati, kita percaya Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati.Hati oleh Paulus pada waktu itu dipahami sebagai tempat segala perasaan batin dan pengertian/hikmat manusia. Mulut dan hati (hati di sini maksudnya jantung, bukan lever), sebagai kiasan yang dipakai Paulus untuk menggambarkan totalitas kehidupan kita bagi Yesus. Ketika mulut dan hati kita untuk Kristus, apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita? Paulus menegaskan kita akan dibenarkan dan diselamatkan. Pada saat kita mencintai Yesus, pada saat itu juga Yesus yang kita cintai itu membentuk dan membuat hidup kita indah: Kita dibenarkan dan kita diselamatkan. Jadi selalu ada gerak dialogis cinta kasih: kita mencintai Tuhan, kita menerima cinta dari Tuhan.
Totalitas hidup kita untuk Kristus, pada dasarnya tidak akan pernah berjalan satu arah. Yang kita cintai itu juga mengubah hidup kita. Kita mencintai Yesus, kita akan juga berubah karena Yesus. Jadi, jangan pernah kita salah mencintai. Ada orang yang lebih mencintai kekayaan daripada Tuhan, sehingga tidak segan-segan memburu kekayaan walaupun dengan cara-cara yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Ada orang yang lebih mencintai kekuasaan daripada Tuhan, sehingga tidak segan-segan mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak berkenan kepada-Nya. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Dengarkanlah Sabda Yesus! (Lukas 9: 28-36)
"Lalu terdengarlah suara dari dalam awan itu, yang berkata,"Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia." (Lukas 9: 35)
Apa halangan utama bagi kita untuk mendengar firman Tuhan pada saat beribadah di gereja? Barangkali dengan cepat kita akan menyebut faktor-faktor eksternal. Sound systems yang kurang bagus, kotbah yang kurang menarik, jemaat yang bicara sendiri selama ibadah, dsb. Namun demikian, yang sering menjadi halangan utama justru faktor internal, faktor psikis kita sendiri yang tidak siap mendengar firman Tuhan. Misalnya: Pada saat datang beribadah kita masih membawa emosi kemarahan, kebencian, dan kekhawatiran, sehingga membuat kita tidak bisa menerima sabda-Nya dengan penuh perhatian. Kita juga menutup hati dan pikiran kita saat kita mendengar firman Tuhan yang menegur perilaku hidup kita.
Di gunung itu, Yesus mengalami transfigurasi. Pada saat Yesus berdoa, rupa wajah-Nya berubah dan jubah-Nya menjadi putih berkilau-kilauan. Di atas gunung itu pula, Yesus berbincang-bincang dengan Musa dan Elia, dua tokoh besar dalam kehidupan agama orang-orang Yahudi. Petrus, Yohanes dan Yakobus yang menyaksikan keberadaan Yesus, Musa, dan Elia ingin mendirikan tiga kemah untuk mereka. Namun sebelum sempat mendirikan kemah, datanglah awan menaungi mereka dan terdengar suara: Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia. Jauh bertahun-tahun sebelumnya, Umat Israel telah mendengar Sabda Allah melalui Musa dan Nabi Elia. Kini saatnya mereka mendengarkan sabda Yesus, Anak Allah yang terpilih. Yesus tidak hanya sejajar dengan Musa dan Elia, Yesus bahkan melampaui mereka di dalam menggenapi karya penyelamatan Allah bagi umat manusia.
Tema besar ibadah di bulan Februari ini adalah Hidup Melekat pada Allah. Agar melekat pada-Nya, kita perlu senantiasa bersedia mendengar sabda Yesus dalam kehidupan kita. Supaya sabda Yesus bisa kita dengar dengan baik, marilah kita juga belajar untuk mengatasi faktor-faktor psikis, kondisi psikis kita sendiri, yang sering menghambat kita dalam mendengar sabda-Nya.Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Apa halangan utama bagi kita untuk mendengar firman Tuhan pada saat beribadah di gereja? Barangkali dengan cepat kita akan menyebut faktor-faktor eksternal. Sound systems yang kurang bagus, kotbah yang kurang menarik, jemaat yang bicara sendiri selama ibadah, dsb. Namun demikian, yang sering menjadi halangan utama justru faktor internal, faktor psikis kita sendiri yang tidak siap mendengar firman Tuhan. Misalnya: Pada saat datang beribadah kita masih membawa emosi kemarahan, kebencian, dan kekhawatiran, sehingga membuat kita tidak bisa menerima sabda-Nya dengan penuh perhatian. Kita juga menutup hati dan pikiran kita saat kita mendengar firman Tuhan yang menegur perilaku hidup kita.
Di gunung itu, Yesus mengalami transfigurasi. Pada saat Yesus berdoa, rupa wajah-Nya berubah dan jubah-Nya menjadi putih berkilau-kilauan. Di atas gunung itu pula, Yesus berbincang-bincang dengan Musa dan Elia, dua tokoh besar dalam kehidupan agama orang-orang Yahudi. Petrus, Yohanes dan Yakobus yang menyaksikan keberadaan Yesus, Musa, dan Elia ingin mendirikan tiga kemah untuk mereka. Namun sebelum sempat mendirikan kemah, datanglah awan menaungi mereka dan terdengar suara: Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia. Jauh bertahun-tahun sebelumnya, Umat Israel telah mendengar Sabda Allah melalui Musa dan Nabi Elia. Kini saatnya mereka mendengarkan sabda Yesus, Anak Allah yang terpilih. Yesus tidak hanya sejajar dengan Musa dan Elia, Yesus bahkan melampaui mereka di dalam menggenapi karya penyelamatan Allah bagi umat manusia.
Tema besar ibadah di bulan Februari ini adalah Hidup Melekat pada Allah. Agar melekat pada-Nya, kita perlu senantiasa bersedia mendengar sabda Yesus dalam kehidupan kita. Supaya sabda Yesus bisa kita dengar dengan baik, marilah kita juga belajar untuk mengatasi faktor-faktor psikis, kondisi psikis kita sendiri, yang sering menghambat kita dalam mendengar sabda-Nya.Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Dalam Penyertaan ALLAH (Yeremia 1: 4-10)
"Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau, demikianlah firman TUHAN." (Yeremia 1: 8)
"Jangan biarkan batu-batu penghalang menghambatmu. Bebaskan dirimu dari hambatan ini. Lawanlah ketakutanmu dan ubahlah batu-batu penghalang ini menjadi batu-batu pembangun hidupmu" tulis Dr. Roopleen, seorang motivator dalam bukunya Words to inspire the Winner in You. Memakai kutipan Roopleen ini, kita melihat Yeremia pada awalnya masih terkungkung oleh batu-batu penghalang hidupnya. Yeremia pada waktu itu berumur kira-kira 18-20 tahun. Ayahnya Hilkia, adalah seorang imam. Sebagai anak seorang imam, kita bisa menduga Yeremia terdidik dengan baik dalam hal imannya kepada Tuhan. Namun, kita melihat ada banyak batu-batu penghalang dalam hidup Yeremia ketika Tuhan hendak memanggil dan mengutusnya.
Batu penghalang pertama yang dimiliki Yeremia menyangkut kemampuannya. Yeremia merasa tidak memiliki kemampuan yang memadai. "Tuhan, aku tidak pandai berbicara", demikian alasan yang dikemukakan Yeremia. Tentu saja, ketidakmampuan berkomunikasi bisa menghalangi karya Yeremia. Namun Yeremia agaknya lupa, bila Tuhan yang memanggil Tuhan juga yang akan memberikan kemampuan pada Yeremia untuk mengkomunikasikan firman-Nya.
Itulah sebabnya, Tuhan kemudian menjamah mulut Yeremia dan berfirman,"Sesungguhnya, Aku menaruh perkataan-perkataan-Ku ke dalam mulutmu".(ayat 9) Batu penghalang kedua yang dimiliki Yeremia menyangkut umurnya."Tuhan, aku ini masih muda", demikian alasan kedua yang dikemukakan Yeremia. Tentu saja, itu alasan Yeremia belaka. Seakan-akan kalau muda, ia bisa bebas dari tanggung jawabnya menjalani hidup ini bagi Tuhan. Ketika Tuhan berkenan memanggil seseorang dalam karya-Nya, entah muda atau tua, orang itu akan mendapat penyertaan Tuhan. Itulah sebabnya, Tuhan kemudian bersabda,"Janganlah takut... sebab Aku menyertai engkau..." Jadi, jangan pernah kita sendiri menyebabkan batu-batu penghalang mental kita itu menghambat kesediaan kita untuk dipanggil dan diutus oleh Tuhan.Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
"Jangan biarkan batu-batu penghalang menghambatmu. Bebaskan dirimu dari hambatan ini. Lawanlah ketakutanmu dan ubahlah batu-batu penghalang ini menjadi batu-batu pembangun hidupmu" tulis Dr. Roopleen, seorang motivator dalam bukunya Words to inspire the Winner in You. Memakai kutipan Roopleen ini, kita melihat Yeremia pada awalnya masih terkungkung oleh batu-batu penghalang hidupnya. Yeremia pada waktu itu berumur kira-kira 18-20 tahun. Ayahnya Hilkia, adalah seorang imam. Sebagai anak seorang imam, kita bisa menduga Yeremia terdidik dengan baik dalam hal imannya kepada Tuhan. Namun, kita melihat ada banyak batu-batu penghalang dalam hidup Yeremia ketika Tuhan hendak memanggil dan mengutusnya.
Batu penghalang pertama yang dimiliki Yeremia menyangkut kemampuannya. Yeremia merasa tidak memiliki kemampuan yang memadai. "Tuhan, aku tidak pandai berbicara", demikian alasan yang dikemukakan Yeremia. Tentu saja, ketidakmampuan berkomunikasi bisa menghalangi karya Yeremia. Namun Yeremia agaknya lupa, bila Tuhan yang memanggil Tuhan juga yang akan memberikan kemampuan pada Yeremia untuk mengkomunikasikan firman-Nya.
Itulah sebabnya, Tuhan kemudian menjamah mulut Yeremia dan berfirman,"Sesungguhnya, Aku menaruh perkataan-perkataan-Ku ke dalam mulutmu".(ayat 9) Batu penghalang kedua yang dimiliki Yeremia menyangkut umurnya."Tuhan, aku ini masih muda", demikian alasan kedua yang dikemukakan Yeremia. Tentu saja, itu alasan Yeremia belaka. Seakan-akan kalau muda, ia bisa bebas dari tanggung jawabnya menjalani hidup ini bagi Tuhan. Ketika Tuhan berkenan memanggil seseorang dalam karya-Nya, entah muda atau tua, orang itu akan mendapat penyertaan Tuhan. Itulah sebabnya, Tuhan kemudian bersabda,"Janganlah takut... sebab Aku menyertai engkau..." Jadi, jangan pernah kita sendiri menyebabkan batu-batu penghalang mental kita itu menghambat kesediaan kita untuk dipanggil dan diutus oleh Tuhan.Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kuasa Firman-NYA (Mazmur 19: 1-15)
"Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman." (Mazmur 19: 8)
Di dunia Barat, banyak orang meragukan bahwa agama bisa berperan sebagai penggerak kemajuan moral dalam kehidupan ini. Tindakan terorisme dari para penganut militan agama semakin membuat orang-orang sinis terhadap kaum agamawan. Kitab suci yang semestinya menjadi inspirasi berbuat kebajikan, malah dipakai untuk legitimasi melakukan kekerasan atas nama agama. Ayat-ayat dalam kitab suci memang bisa disalahgunakan oleh orang-orang tertentu untuk mendukung kepentingan-kepentingan pribadi mereka. Namun ketika seseorang mau menghayati dengan benar kitab sucinya, moralitas dan spiritualitasnya akan semakin diteguhkan, relasi dengan Tuhan dan sesama akan semakin dikuatkan.
Itulah yang dihayati sang pemazmur ketika menyatakan Taurat TUHAN menyegarkan jiwa. Kata menyegarkan ini juga bisa berarti memperbaiki (Ibrani: meshivat, diperbaiki dari kondisi buruk/rusak menjadi lebih baik). Peraturan TUHAN menjadikan orang yang terbuka pikirannya (Ibrani: pathah, bukan sekadar tidak berpengalaman atau lugu, melainkan memiliki pikiran terbuka) menjadi berhikmat. Titah TUHAN memberikan kesukacitaan pada hidup. Perintah TUHAN menjadikan mata seseorang melihat cahaya kebenaran dari Tuhan. Taurat, Peraturan, titah, perintah dari Tuhan ini menggambarkan kuasa firman-Nya dalam kehidupan orang percaya. Dengan memahami kuasa firman-Nya tersebut, orang-orang percaya tetap bisa mengandalkan firman-Nya sebagai sumber utama moralitas dan spiritualitas dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Asal tidak disalahgunakan, firman-Nya akan memandu kehidupan orang percaya untuk tetap berada di dalam jalan dan kehendak-Nya. Jadi jangan pernah Anda ragu terhadap kuasa firman-Nya. Namun, kalau firman yang kita baca mengarahkan kita kepada kebencian dan bukan cinta kasih, berarti kita belum mengalami kuasa firman-Nya. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Di dunia Barat, banyak orang meragukan bahwa agama bisa berperan sebagai penggerak kemajuan moral dalam kehidupan ini. Tindakan terorisme dari para penganut militan agama semakin membuat orang-orang sinis terhadap kaum agamawan. Kitab suci yang semestinya menjadi inspirasi berbuat kebajikan, malah dipakai untuk legitimasi melakukan kekerasan atas nama agama. Ayat-ayat dalam kitab suci memang bisa disalahgunakan oleh orang-orang tertentu untuk mendukung kepentingan-kepentingan pribadi mereka. Namun ketika seseorang mau menghayati dengan benar kitab sucinya, moralitas dan spiritualitasnya akan semakin diteguhkan, relasi dengan Tuhan dan sesama akan semakin dikuatkan.
Itulah yang dihayati sang pemazmur ketika menyatakan Taurat TUHAN menyegarkan jiwa. Kata menyegarkan ini juga bisa berarti memperbaiki (Ibrani: meshivat, diperbaiki dari kondisi buruk/rusak menjadi lebih baik). Peraturan TUHAN menjadikan orang yang terbuka pikirannya (Ibrani: pathah, bukan sekadar tidak berpengalaman atau lugu, melainkan memiliki pikiran terbuka) menjadi berhikmat. Titah TUHAN memberikan kesukacitaan pada hidup. Perintah TUHAN menjadikan mata seseorang melihat cahaya kebenaran dari Tuhan. Taurat, Peraturan, titah, perintah dari Tuhan ini menggambarkan kuasa firman-Nya dalam kehidupan orang percaya. Dengan memahami kuasa firman-Nya tersebut, orang-orang percaya tetap bisa mengandalkan firman-Nya sebagai sumber utama moralitas dan spiritualitas dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Asal tidak disalahgunakan, firman-Nya akan memandu kehidupan orang percaya untuk tetap berada di dalam jalan dan kehendak-Nya. Jadi jangan pernah Anda ragu terhadap kuasa firman-Nya. Namun, kalau firman yang kita baca mengarahkan kita kepada kebencian dan bukan cinta kasih, berarti kita belum mengalami kuasa firman-Nya. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Rupa-rupa Karunia ALLAH (I Korintus 12: 1-11)
"Tetapi semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya." (I Korintus 12: 11)
Orang-orang Kristen sering keliru menyamakan karunia Allah dengan hal-hal yang spektakuler dan supranatural semata. Seseorang yang telah belajar bertahun-tahun untuk menjadi dokter dan bisa menyembuhkan penyakit dianggap hal yang biasa saja, yang luar biasa adalah seseorang yang tidak pernah sekolah kedokteran tiba-tiba bisa menyembuhkan penyakit orang lain. Karena dianggap biasa, akibatnya juga tidak dianggap sebagai karunia Allah melainkan hasil kerja otak/akal budi manusia semata.
Pemahaman keliru semacam ini juga dipegang oleh sekelompok orang-orang Kristen tertentu di kota Korintus. Bagi mereka karunia Allah hanya berwujud hal-hal yang spektakuler dan supranatural tersebut. Mereka juga mengklaim bahwa merekalah yang diberi karunia-karunia tersebut. Karunia-karunia itu misalnya karunia berbahasa roh, karunia menyembuhkan, karunia bernubuat, dan karunia melakukan mukjizat. Menurut mereka, kemampuan berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan yang natural bukanlah karunia Allah.
Rasul Paulus dengan tegas menyatakan tidak ada hierarki karunia. Karunia-karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang Kristen memang beragam, ada yang supranatural dan ada yang natural. Karunia yang beragam ini memang mewujudkan fungsi yang beragam, namun tetap dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yaitu Roh Kudus sendiri (ayat 11). Walaupun karunia berbeda, namun tetap setara.
Itulah sebabnya, orang Kristen atau gerejatidak bisa menyatakan kesombongannya karena menerima karunia supranatural dari Tuhan. Terus-terusan mengklaim gerejanya sendiri yang disertai Roh Kudus, sedangkan gereja lain tidak. Sebaliknya, orang-orang Kristen atau gereja yang diberi karunia yang natural, tidak juga boleh rendah diri, seakan-akan tidak ada pekerjaannya yang berkenan kepada Tuhan hanya karena melakukan karya yang natural. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Orang-orang Kristen sering keliru menyamakan karunia Allah dengan hal-hal yang spektakuler dan supranatural semata. Seseorang yang telah belajar bertahun-tahun untuk menjadi dokter dan bisa menyembuhkan penyakit dianggap hal yang biasa saja, yang luar biasa adalah seseorang yang tidak pernah sekolah kedokteran tiba-tiba bisa menyembuhkan penyakit orang lain. Karena dianggap biasa, akibatnya juga tidak dianggap sebagai karunia Allah melainkan hasil kerja otak/akal budi manusia semata.
Pemahaman keliru semacam ini juga dipegang oleh sekelompok orang-orang Kristen tertentu di kota Korintus. Bagi mereka karunia Allah hanya berwujud hal-hal yang spektakuler dan supranatural tersebut. Mereka juga mengklaim bahwa merekalah yang diberi karunia-karunia tersebut. Karunia-karunia itu misalnya karunia berbahasa roh, karunia menyembuhkan, karunia bernubuat, dan karunia melakukan mukjizat. Menurut mereka, kemampuan berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan yang natural bukanlah karunia Allah.
Rasul Paulus dengan tegas menyatakan tidak ada hierarki karunia. Karunia-karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang Kristen memang beragam, ada yang supranatural dan ada yang natural. Karunia yang beragam ini memang mewujudkan fungsi yang beragam, namun tetap dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yaitu Roh Kudus sendiri (ayat 11). Walaupun karunia berbeda, namun tetap setara.
Itulah sebabnya, orang Kristen atau gerejatidak bisa menyatakan kesombongannya karena menerima karunia supranatural dari Tuhan. Terus-terusan mengklaim gerejanya sendiri yang disertai Roh Kudus, sedangkan gereja lain tidak. Sebaliknya, orang-orang Kristen atau gereja yang diberi karunia yang natural, tidak juga boleh rendah diri, seakan-akan tidak ada pekerjaannya yang berkenan kepada Tuhan hanya karena melakukan karya yang natural. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Engkau yang KU-kasihi (Lukas 3: 21-22)
Tahukah Anda, kasih bisa menjadi faktor pembeda yang penting dalam pengasuhan, tidak hanya untuk manusia tetapi juga untuk binatang? Anak tikus yang dijilati dan dibersihkan dengan penuh perhatian oleh ibu tikus, pada waktu besar juga akan menjilati dan membersihkan anak mereka dengan perhatian. Sedangkan tikus yang lahir dari ibu yang tidak atau jarang menjilati, kalau tikus ini besar juga akan mengabaikan anaknya. Ketika Yesus dibaptis terdengar suara dari langit yang menyatakan bahwa Yesus anak Allah yang terkasih, yang kepada-Nya Allah berkenan. Anak-Ku yang terkasih (ayat 22), kasih yang bagaimanakah? Kata kasih yang dipakai dalam ayat ini adalah Agape, yang berarti kasih tanpa syarat. Suara ini menunjukkan bahwa Sang Bapa menyatakan kasih tanpa syarat-Nya kepada Sang Anak.
Saya yakin, pengalaman Yesus menerima cinta kasih Sang Bapa yang tanpa syarat inilah yang juga memampukan Yesus memberikan cinta kasih tanpa syaratnya kepada dunia ini hingga kematian-Nya di kayu salib. Melalui Sang Anak, dunia yang berdosa ini juga bisa turut merasakan kasih agape Sang Bapa. Saya akan mengutip beberapa kata dari puisi termasyhur Dorothy Law Nolte, seorang penulis sekaligus konselor keluarga, yang berjudul Children Learn What They Live. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan. Kita semua juga adalah anak-anak yang lebih dulu menerima kasih agape Tuhan. Oleh sebab itu, kita bisa berimaginasi bahwa kita sendiri juga mendengar suara dari langit yang menyatakan: "Engkau yang Kukasihi". Aku, engkau, dan kita semua adalah anak-anak yang dikasihi Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Saya yakin, pengalaman Yesus menerima cinta kasih Sang Bapa yang tanpa syarat inilah yang juga memampukan Yesus memberikan cinta kasih tanpa syaratnya kepada dunia ini hingga kematian-Nya di kayu salib. Melalui Sang Anak, dunia yang berdosa ini juga bisa turut merasakan kasih agape Sang Bapa. Saya akan mengutip beberapa kata dari puisi termasyhur Dorothy Law Nolte, seorang penulis sekaligus konselor keluarga, yang berjudul Children Learn What They Live. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan. Kita semua juga adalah anak-anak yang lebih dulu menerima kasih agape Tuhan. Oleh sebab itu, kita bisa berimaginasi bahwa kita sendiri juga mendengar suara dari langit yang menyatakan: "Engkau yang Kukasihi". Aku, engkau, dan kita semua adalah anak-anak yang dikasihi Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Penyertaan ALLAH bagi Segala Bangsa (Yesaya 60: 1-6)
"Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu." (Yesaya 60: 3)
Penyertaan Allah tidak terbatas pada umat pilihan-Nya. Penyertaan Allah diterima juga oleh bangsa-bangsa lain. Kelirulah umat Israel jika mereka berpikir, menjadi umat pilihan berarti terasingkan dan terputus relasinya dengan bangsa-bangsa lain. Bahkan umat semestinya bisa menghasilkan semacam gaya sentripetal, gaya kehidupan yang bisa menarik umat-umat lain untuk datang kepadanya dan melalui mereka, umat-umat lain tersebut semakin menerima penyertaan Allah. Saat itu umat Israel sedang mempersiapkan diri untuk pulang ke Yerusalem, setelah sekian lama berada di pembuangan di Babel. Apa yang bisa diharapkan dari Yerusalem/Sion yang sudah luluh lantak? Yang tersisa hanya kehancuran, keputusasaan, dan ketidakberdayaan. Meski demikian, firman Tuhan yang mereka terima mengajak mereka untuk tetap konsisten dalam mewujudkan jati diri dan tugas panggilan sebagai umat terpilih: Bangkitlah, menjadi teranglah! Pengalaman krisis dan penderitaan barangkali tidak bisa sepenuhnya kita hindarkan di tahun 2015 yang sudah berlalu ini. Wafatnya suami, istri, orang tua atau anak kita, pemutusan hubungan kerja, kebangkrutan atau sirnanya usaha/jerih payah kita, relasi tidak baik dalam keluarga, dsb. pada dasarnya tidak bisa menghalangi kita untuk tetap berdaya dan berpengharapan di dalam Tuhan. Ketika orang-orang lain hancur tak berdaya karena pengalaman krisis dan penderitaan yang mereka alami, umat pilihan Allah tidak boleh hancur karena penderitaan hidup yang mereka alami. Mereka adalah umat yang berdaya karena Allah sendiri yang memberdayakan mereka. Ketika mereka tetap bisa berdaya, mereka juga akan bisa memberdayakan orang-orang lain yang berada dalam ketiadaan harapan hidup akibat penderitaan hidup yang mereka alami. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Penyertaan Allah tidak terbatas pada umat pilihan-Nya. Penyertaan Allah diterima juga oleh bangsa-bangsa lain. Kelirulah umat Israel jika mereka berpikir, menjadi umat pilihan berarti terasingkan dan terputus relasinya dengan bangsa-bangsa lain. Bahkan umat semestinya bisa menghasilkan semacam gaya sentripetal, gaya kehidupan yang bisa menarik umat-umat lain untuk datang kepadanya dan melalui mereka, umat-umat lain tersebut semakin menerima penyertaan Allah. Saat itu umat Israel sedang mempersiapkan diri untuk pulang ke Yerusalem, setelah sekian lama berada di pembuangan di Babel. Apa yang bisa diharapkan dari Yerusalem/Sion yang sudah luluh lantak? Yang tersisa hanya kehancuran, keputusasaan, dan ketidakberdayaan. Meski demikian, firman Tuhan yang mereka terima mengajak mereka untuk tetap konsisten dalam mewujudkan jati diri dan tugas panggilan sebagai umat terpilih: Bangkitlah, menjadi teranglah! Pengalaman krisis dan penderitaan barangkali tidak bisa sepenuhnya kita hindarkan di tahun 2015 yang sudah berlalu ini. Wafatnya suami, istri, orang tua atau anak kita, pemutusan hubungan kerja, kebangkrutan atau sirnanya usaha/jerih payah kita, relasi tidak baik dalam keluarga, dsb. pada dasarnya tidak bisa menghalangi kita untuk tetap berdaya dan berpengharapan di dalam Tuhan. Ketika orang-orang lain hancur tak berdaya karena pengalaman krisis dan penderitaan yang mereka alami, umat pilihan Allah tidak boleh hancur karena penderitaan hidup yang mereka alami. Mereka adalah umat yang berdaya karena Allah sendiri yang memberdayakan mereka. Ketika mereka tetap bisa berdaya, mereka juga akan bisa memberdayakan orang-orang lain yang berada dalam ketiadaan harapan hidup akibat penderitaan hidup yang mereka alami. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.