Hakim Adil (Mazmur 96: 1-13)
“…sebab Ia datang, sebab Ia datang untuk menghakimi bumi. Ia akan menghakimi dunia dengan keadilan, dan bangsa-bangsa dengan kesetiaan-Nya." (Mazmur 96:13)
Setiap orang sesungguhnya mendambakan keadilan, karena setiap orang pada dasarnya tidak mau diperlakukan secara tidak adil. Setiap orang ingin menikmati hidup dalam sebuah tataan masyarakat yang diwarnai keadilan dan kebenaran. Sepanjang tahun 2012 ini kita menyaksikan bagaimana masyarakat gampang sekali menggalang dukungan baik melalui media sosial internet maupun pengumpulan dana terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dipandang telah diperlakukan secara tidak adil. Harapan akan pemerintahan yang adil dan benar juga terungkap dalam mazmur ini. Ada nada sinis terhadap keadilan yang tidak diwujudkan dengan benar oleh pemerintahan dunia ini bahkan oleh dewa-dewi agama di sekitar Israel pada zaman itu. Ia lebih dahsyat daripada segala allah. Sebab segala allah bangsa-bangsa adalah hampa (ayat 4-5). Bagi bangsa-bangsa, mazmur ini menyerukan: “Katakanlah di antara bangsa-bangsa:Tuhan itu Raja...Ia akan mengadili bangsa-bangsa dalam kebenaran ” (ayat 10). Pada akhirnya, Tuhan akan menghakimi bangsa-bangsa yang bertindak sebagai pembawa keadilan dengan kebenaran-Nya, bukan dengan sebuah kebenaran, juga bukan dengan kebenaran kita masing-masing melainkan dengan kebenaran-Nya. Ini memang sebuah pengharapan eskatologis yang memiliki daya pastoral bagi umat yang sedang merasakan ketidakadilan dalam hidup yang dijalaninya. Pesan yang dimaksud sang Pemazmur begitu menguatkan dan memberikan penghiburan: Jikalau kamu sekarang mendapat perlakuan yang tidak adil, jangan pernah putus asa, Tuhan sendiri nanti yang akan menyingkapkan dan memberikan keadilan dan kebenaran bagimu. Tuhan adalah Hakim yang adil, sekalipun dunia tidak memberi keadilan padamu. Biarlah minggu terakhir di tahun 2012 ini kita akhiri dengan sebuah komitmen untuk tetap mewujudkan keadilan dalam setiap aspek hidup kita. Sikap adil harus selalu menjadi milik kita, walau dunia mungkin tidak selalu memberikannya kepada kita. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Setiap orang sesungguhnya mendambakan keadilan, karena setiap orang pada dasarnya tidak mau diperlakukan secara tidak adil. Setiap orang ingin menikmati hidup dalam sebuah tataan masyarakat yang diwarnai keadilan dan kebenaran. Sepanjang tahun 2012 ini kita menyaksikan bagaimana masyarakat gampang sekali menggalang dukungan baik melalui media sosial internet maupun pengumpulan dana terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dipandang telah diperlakukan secara tidak adil. Harapan akan pemerintahan yang adil dan benar juga terungkap dalam mazmur ini. Ada nada sinis terhadap keadilan yang tidak diwujudkan dengan benar oleh pemerintahan dunia ini bahkan oleh dewa-dewi agama di sekitar Israel pada zaman itu. Ia lebih dahsyat daripada segala allah. Sebab segala allah bangsa-bangsa adalah hampa (ayat 4-5). Bagi bangsa-bangsa, mazmur ini menyerukan: “Katakanlah di antara bangsa-bangsa:Tuhan itu Raja...Ia akan mengadili bangsa-bangsa dalam kebenaran ” (ayat 10). Pada akhirnya, Tuhan akan menghakimi bangsa-bangsa yang bertindak sebagai pembawa keadilan dengan kebenaran-Nya, bukan dengan sebuah kebenaran, juga bukan dengan kebenaran kita masing-masing melainkan dengan kebenaran-Nya. Ini memang sebuah pengharapan eskatologis yang memiliki daya pastoral bagi umat yang sedang merasakan ketidakadilan dalam hidup yang dijalaninya. Pesan yang dimaksud sang Pemazmur begitu menguatkan dan memberikan penghiburan: Jikalau kamu sekarang mendapat perlakuan yang tidak adil, jangan pernah putus asa, Tuhan sendiri nanti yang akan menyingkapkan dan memberikan keadilan dan kebenaran bagimu. Tuhan adalah Hakim yang adil, sekalipun dunia tidak memberi keadilan padamu. Biarlah minggu terakhir di tahun 2012 ini kita akhiri dengan sebuah komitmen untuk tetap mewujudkan keadilan dalam setiap aspek hidup kita. Sikap adil harus selalu menjadi milik kita, walau dunia mungkin tidak selalu memberikannya kepada kita. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Berkat (Lukas 1: 39-56)
"Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu” (Lukas 1: 42)
Pada umumnya, kelahiran si buah hati dirasakan sebagai berkat oleh orang tuanya. Memang, bagi beberapa orang tertentu, kelahiran anak sendiri malah dianggap sebagai malapetaka sehingga menyebabkan tindakan aborsi. Di Indonesia, berdasar data dari BKKBN, terjadi aborsi sengaja (beda dengan aborsi alamiah/keguguran) sebanyak 2,5 juta kasus per tahunnya. Jumlah ini bahkan lebih besar dari Amerika yang tingkat aborsi mencapai satu juta per tahunnya. Bayi yang dikandung Maria dirasakan Maria sebagai berkat bagi hidupnya. Memang, kehamilan Maria, semula bukanlah kehamilan yang direncanakan atau dikehendaki oleh Maria. Tiba-tiba saja Malaikat datang kepadanya dan membawa berita bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki. Sebenarnya, lebih mudah bagi Maria untuk menolak kelahiran anak ini. Ia baru bertunangan, kok sudah mengandung. Apa kata dunia nanti? Akan tetapi, Maria memang tidak mau terganggu dengan: apa kata dunia nanti. Oleh sebab itulah ia menerima kelahiran anaknya itu sebagai berkat Tuhan dengan berserah pada kehendak Tuhan (pasal 1: 38) dan rasa penuh bahagia (ayat 46-47). Berkat memang berlimpah dalam hidup Maria. Elisabet, sanaknya, paham sekali, sehingga ia berseru: Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Maria sendiri melalui nyanyian pujiannya kepada Tuhan juga berseru: mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia (ayat 48). Tentu saja bahagia, karena melalui rahimnya, Sang Juruselamat lahir di dunia ini. Saya juga yakin, setiap orang akan mendapat berkat ketika menyambut hari kelahiran Yesus sekarang ini dengan iman, tobat, sukacita dan damai. Tentu saja, berkat orang satu dengan orang satunya lagi bisa berbeda-beda. Sering, berkat yang kita terima itu sesuai dengan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Oleh sebab itu, cobalah lihat sejenak, berkat apa yang telah Anda terima ketika menyambut natal ini? Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Pada umumnya, kelahiran si buah hati dirasakan sebagai berkat oleh orang tuanya. Memang, bagi beberapa orang tertentu, kelahiran anak sendiri malah dianggap sebagai malapetaka sehingga menyebabkan tindakan aborsi. Di Indonesia, berdasar data dari BKKBN, terjadi aborsi sengaja (beda dengan aborsi alamiah/keguguran) sebanyak 2,5 juta kasus per tahunnya. Jumlah ini bahkan lebih besar dari Amerika yang tingkat aborsi mencapai satu juta per tahunnya. Bayi yang dikandung Maria dirasakan Maria sebagai berkat bagi hidupnya. Memang, kehamilan Maria, semula bukanlah kehamilan yang direncanakan atau dikehendaki oleh Maria. Tiba-tiba saja Malaikat datang kepadanya dan membawa berita bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki. Sebenarnya, lebih mudah bagi Maria untuk menolak kelahiran anak ini. Ia baru bertunangan, kok sudah mengandung. Apa kata dunia nanti? Akan tetapi, Maria memang tidak mau terganggu dengan: apa kata dunia nanti. Oleh sebab itulah ia menerima kelahiran anaknya itu sebagai berkat Tuhan dengan berserah pada kehendak Tuhan (pasal 1: 38) dan rasa penuh bahagia (ayat 46-47). Berkat memang berlimpah dalam hidup Maria. Elisabet, sanaknya, paham sekali, sehingga ia berseru: Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Maria sendiri melalui nyanyian pujiannya kepada Tuhan juga berseru: mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia (ayat 48). Tentu saja bahagia, karena melalui rahimnya, Sang Juruselamat lahir di dunia ini. Saya juga yakin, setiap orang akan mendapat berkat ketika menyambut hari kelahiran Yesus sekarang ini dengan iman, tobat, sukacita dan damai. Tentu saja, berkat orang satu dengan orang satunya lagi bisa berbeda-beda. Sering, berkat yang kita terima itu sesuai dengan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Oleh sebab itu, cobalah lihat sejenak, berkat apa yang telah Anda terima ketika menyambut natal ini? Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Menyambut dengan Sukacita (Filipi 4: 4-7)
"Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (Filipi 4:4)
Apakah Anda termasuk orang yang mudah merasakan sukacita atau sulit merasakan sukacita dalam hidup ini? Rupanya bagi banyak orang dewasa ini, sukacita pun telah menjadi barang yang mahal. Ada banyak orang bahkan merasa baru bisa bersukacita hanya kalau memakai stimulasi kimiawi otak, yang diperoleh melalui konsumsi misalnya: alkohol, kokain, amfetamin, heroin dan nikotin. Apakah sukacita semacam ini yang dipikirkan Paulus ketika menyerukan jemaat Filipi agar bersukacita senantiasa? Tentu saja tidak! Paulus menuliskan: Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Menarik untuk kita perhatikan, kata sukacita dalam bahasa Yunani yang dipakai khairo, erat hubungannya dengan kata Yunani kharis, yang berarti kasih karunia. Jadi, kita diajak untuk memahami bahwa sukacita itu merupakan kasih karunia yang kita terima dari Tuhan, bukan dari konsumsi obat-obatan. Rasa sukacita diperoleh Paulus dalam kedekatan terhadap Tuhan dan sesama. Oleh karena itulah, bagi Paulus sukacita tidak hanya berhenti dalam rasa (aku merasakan sukacita) melainkan berlanjut dalam karya (hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang). Earl Henslin, seorang doktor yang melakukan riset hubungan otak dengan rasa sukacita, dalam bukunya: This is your Brain on Joy mengemukakan bahwa ketika seseorang mau terlibat dalam aksi-aksi memberikan pertolongan pada orang lain, akan terjadi peningkatan rasa sukacita lebih besar pada diri orang tersebut. Di minggu Adven ke-3 ini, kita diingatkan agar sukacita kita ketika menyambut hari kelahiran Yesus, tidak berhenti hanya pada perasaan saja, tetapi juga terwujud pada tindakan nyata bagi sesama. Jadi sukacita natal ini, janganlah hanya kita sendiri yang merasakan, melainkan orang lain juga bisa bersukacita di natal ini ketika kasih dan kebaikan kita terpancarkan bagi mereka melalui hidup kita. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo
Apakah Anda termasuk orang yang mudah merasakan sukacita atau sulit merasakan sukacita dalam hidup ini? Rupanya bagi banyak orang dewasa ini, sukacita pun telah menjadi barang yang mahal. Ada banyak orang bahkan merasa baru bisa bersukacita hanya kalau memakai stimulasi kimiawi otak, yang diperoleh melalui konsumsi misalnya: alkohol, kokain, amfetamin, heroin dan nikotin. Apakah sukacita semacam ini yang dipikirkan Paulus ketika menyerukan jemaat Filipi agar bersukacita senantiasa? Tentu saja tidak! Paulus menuliskan: Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Menarik untuk kita perhatikan, kata sukacita dalam bahasa Yunani yang dipakai khairo, erat hubungannya dengan kata Yunani kharis, yang berarti kasih karunia. Jadi, kita diajak untuk memahami bahwa sukacita itu merupakan kasih karunia yang kita terima dari Tuhan, bukan dari konsumsi obat-obatan. Rasa sukacita diperoleh Paulus dalam kedekatan terhadap Tuhan dan sesama. Oleh karena itulah, bagi Paulus sukacita tidak hanya berhenti dalam rasa (aku merasakan sukacita) melainkan berlanjut dalam karya (hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang). Earl Henslin, seorang doktor yang melakukan riset hubungan otak dengan rasa sukacita, dalam bukunya: This is your Brain on Joy mengemukakan bahwa ketika seseorang mau terlibat dalam aksi-aksi memberikan pertolongan pada orang lain, akan terjadi peningkatan rasa sukacita lebih besar pada diri orang tersebut. Di minggu Adven ke-3 ini, kita diingatkan agar sukacita kita ketika menyambut hari kelahiran Yesus, tidak berhenti hanya pada perasaan saja, tetapi juga terwujud pada tindakan nyata bagi sesama. Jadi sukacita natal ini, janganlah hanya kita sendiri yang merasakan, melainkan orang lain juga bisa bersukacita di natal ini ketika kasih dan kebaikan kita terpancarkan bagi mereka melalui hidup kita. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo
Menyambut dengan Pertobatan (Maleakhi 3: 1-5)
"Siapakah yang dapat tahan akan hari kedatangan-Nya? Dan siapakah yang dapat tetap berdiri, apabila Ia menampakkan diri? Sebab Ia seperti api tukang pemurni logam dan seperti sabun tukang penatu." (Maleakhi 3: 2)
Tidak setiap orang mau belajar dari pengalaman hidupnya sendiri entah itu pengalaman penderitaan atau sukacita. Pengalaman hidupnya dibiarkan berlalu begitu saja tanpa ada hikmat yang bisa dipetik dan diarahkan untuk membangun kehidupan yang lebih baik di hari yang akan datang. Kecenderungan orang semacam ini diperingatkan dengan baik oleh sebuah peribahasa: Keledai tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kali. Peribahasa ini tentu saja bukan untuk para keledai, melainkan untuk kita. Umat Israel dan Yehuda rupanya tidak belajar dari pengalaman hidup mereka semasa berada di pembuangan. Betapapun kini mereka sudah kembali ke Yerusalem, cara hidup dan cara pikir mereka tetap saja tidak banyak berubah. Ibadah kepada Tuhan tetap diremehkan, tidak hanya oleh umat tetapi juga para imam. Perzinahan, diskriminasi dan penindasan terhadap kaum lemah merajalela. Bahkan mereka tidak segan-segan menceraikan istrinya yang Yahudi demi menikah dengan perempuan bangsa lain yang menyembah dewa-dewi asing tersebut. Oleh sebab itulah, Tuhan mengirim seorang utusan-Nya (dalam bahasa Ibrani memakai kata: mal’akhi, yang berarti utusan-Ku) untuk memperingatkan umat Israel dan Yehuda agar bertobat sebelum Tuhan datang menghukum dan mewujudkan penghakiman atas dosa-dosa mereka. Karya dan kedatangan Tuhan memang harus disambut dengan pertobatan. Inilah ajakan penting bagi kita di Minggu Adven ke-2 ini. Pertobatan, secara sederhana juga bisa berarti: kita tidak ingin lagi jatuh untuk ke dua kalinya di lubang yang sama dalam pikiran dan sikap kita yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kalau dulu kita pernah berbuat dosa, sekarang ya jangan lagi berbuat dosa. Itulah pertobatan! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Tidak setiap orang mau belajar dari pengalaman hidupnya sendiri entah itu pengalaman penderitaan atau sukacita. Pengalaman hidupnya dibiarkan berlalu begitu saja tanpa ada hikmat yang bisa dipetik dan diarahkan untuk membangun kehidupan yang lebih baik di hari yang akan datang. Kecenderungan orang semacam ini diperingatkan dengan baik oleh sebuah peribahasa: Keledai tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kali. Peribahasa ini tentu saja bukan untuk para keledai, melainkan untuk kita. Umat Israel dan Yehuda rupanya tidak belajar dari pengalaman hidup mereka semasa berada di pembuangan. Betapapun kini mereka sudah kembali ke Yerusalem, cara hidup dan cara pikir mereka tetap saja tidak banyak berubah. Ibadah kepada Tuhan tetap diremehkan, tidak hanya oleh umat tetapi juga para imam. Perzinahan, diskriminasi dan penindasan terhadap kaum lemah merajalela. Bahkan mereka tidak segan-segan menceraikan istrinya yang Yahudi demi menikah dengan perempuan bangsa lain yang menyembah dewa-dewi asing tersebut. Oleh sebab itulah, Tuhan mengirim seorang utusan-Nya (dalam bahasa Ibrani memakai kata: mal’akhi, yang berarti utusan-Ku) untuk memperingatkan umat Israel dan Yehuda agar bertobat sebelum Tuhan datang menghukum dan mewujudkan penghakiman atas dosa-dosa mereka. Karya dan kedatangan Tuhan memang harus disambut dengan pertobatan. Inilah ajakan penting bagi kita di Minggu Adven ke-2 ini. Pertobatan, secara sederhana juga bisa berarti: kita tidak ingin lagi jatuh untuk ke dua kalinya di lubang yang sama dalam pikiran dan sikap kita yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kalau dulu kita pernah berbuat dosa, sekarang ya jangan lagi berbuat dosa. Itulah pertobatan! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Menyambut dengan Iman (Yeremia 33: 14-18)
"Pada waktu itu dan pada masa itu Aku akan menumbuhkan Tunas keadilan bagi Daud. Ia akan melaksanakan keadilan dan kebenaran di negeri." (Yeremia 33: 15)
Tidak setiap orang bisa dengan cepat bangkit dari keterpurukan. Ada orang yang memerlukan waktu bertahun-tahun baru bisa kembali tersenyum dan tertawa menjalani hidup setelah keterpurukannya. Sebaliknya, ada orang yang tidak kurang dari seminggu, sudah kelihatan ceria kembali betapapun sebelumnya ia mengalami keterpurukan dalam hidupnya. Tentu saja, ada banyak faktor yang menyebabkan respons yang berbeda tersebut, salah satunya adalah: iman. Umat Yehuda saat itu sedang dalam gencetan dua kekuatan adidaya yang saling bertempur: Asyur dan Babel. Kebijakan politik para pemimpin Yehuda yang keliru dengan berpihak pada bangsa Asyur dan melawan Babel berakibat keterpurukan mereka. Bangsa Asyur ditaklukan oleh bangsa Babel dan kota Yerusalem, sebagai pusat kerajaan Yehuda dikepung dan juga ditaklukan Babel. Padahal, jauh-jauh hari sebelumnya nabi Yeremia telah mengingatkan Yehuda untuk tidak menciptakan aliansi politik dengan bangsa Asyur melainkan tunduk pada bangsa Babel karena itulah yang dikehendaki Tuhan bagi umat Yehuda. Namun demikian, Yeremia tetap memberikan motivasi bagi umat Yehuda untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Pada saatnya, Tuhan akan menumbuhkan tunas keadilan bagi umat-Nya. Dari garis Daud akan muncul keturunannya yang akan menyelamatkan tidak hanya umat Yehuda, melainkan seluruh dunia ini. Bagi orang-orang Kristen, Yesus itulah tunas Daud yang dijanjikan. Di Minggu adven ke-1 ini, kehadiran tunas Daud inilah yang kita sambut dengan iman. Iman, definisi yang paling mendasar, adalah sebuah bentuk kepasrahan/pemercayaan diri yang total dan mendalam kepada Tuhan. Mengapa total dan mendalam? Karena betapapun hebat krisis dan penderitaan menerpa kita dan membuat hidup kita terpuruk, semua itu sama sekali tidak akan membuat kita meninggalkan Tuhan. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Tidak setiap orang bisa dengan cepat bangkit dari keterpurukan. Ada orang yang memerlukan waktu bertahun-tahun baru bisa kembali tersenyum dan tertawa menjalani hidup setelah keterpurukannya. Sebaliknya, ada orang yang tidak kurang dari seminggu, sudah kelihatan ceria kembali betapapun sebelumnya ia mengalami keterpurukan dalam hidupnya. Tentu saja, ada banyak faktor yang menyebabkan respons yang berbeda tersebut, salah satunya adalah: iman. Umat Yehuda saat itu sedang dalam gencetan dua kekuatan adidaya yang saling bertempur: Asyur dan Babel. Kebijakan politik para pemimpin Yehuda yang keliru dengan berpihak pada bangsa Asyur dan melawan Babel berakibat keterpurukan mereka. Bangsa Asyur ditaklukan oleh bangsa Babel dan kota Yerusalem, sebagai pusat kerajaan Yehuda dikepung dan juga ditaklukan Babel. Padahal, jauh-jauh hari sebelumnya nabi Yeremia telah mengingatkan Yehuda untuk tidak menciptakan aliansi politik dengan bangsa Asyur melainkan tunduk pada bangsa Babel karena itulah yang dikehendaki Tuhan bagi umat Yehuda. Namun demikian, Yeremia tetap memberikan motivasi bagi umat Yehuda untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Pada saatnya, Tuhan akan menumbuhkan tunas keadilan bagi umat-Nya. Dari garis Daud akan muncul keturunannya yang akan menyelamatkan tidak hanya umat Yehuda, melainkan seluruh dunia ini. Bagi orang-orang Kristen, Yesus itulah tunas Daud yang dijanjikan. Di Minggu adven ke-1 ini, kehadiran tunas Daud inilah yang kita sambut dengan iman. Iman, definisi yang paling mendasar, adalah sebuah bentuk kepasrahan/pemercayaan diri yang total dan mendalam kepada Tuhan. Mengapa total dan mendalam? Karena betapapun hebat krisis dan penderitaan menerpa kita dan membuat hidup kita terpuruk, semua itu sama sekali tidak akan membuat kita meninggalkan Tuhan. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Alfa dan Omega (Wahyu 1: 4b-8)
"Aku adalah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa." (Wahyu 1 : 8)
Sangkan paraning dumadi. Asal dan tujuan kehidupan. Asal dan tujuan segala apa yang diciptakan. Ini adalah sebuah pengertian yang tidak hanya dipergumulkan oleh orang Jawa, melainkan segenap umat manusia yang peka terhadap keberadaan yang ilahi. Bahkan kepekaan semacam ini juga sudah dimiliki oleh manusia kuno, homo neanderthalensis, yang hidup 250 ribu tahun yang lalu, jauh sebelum manusia modern seperti kita ini menapaki bumi 120 ribu tahun yang lalu. Kepekaan manusia neandertal terhadap yang ilahi mereka wujudkan dengan menguburkan jenazah sesama yang mati dan menabur bunga di atas kuburannya. Yohanes dari pulau Patmos, penulis kitab Wahyu yang sarat dengan gambaran simbolis ini, dengan jelas menempatkan Yesus dalam bingkai sangkan paraning dumadi tersebut. Bagi Yohanes, Yesus itulah asal dan tujuan dari segala apa yang hidup. Yesus adalah Alfa dan Omega; alfa (α) dan omega ( Ώ), adalah huruf pertama dan terakhir dalam abjad Yunani, seperti A dan Z dalam abjad kita. Dalam kitab Wahyu, tiga kali gelar alfa dan omega ini disebutkan (Wahyu 1:8; pasal 21:6 dan 22:13) dan semuanya dibingkai dalam keyakinan bahwa Yesus itulah alfa dan omega. Ia sebagai alfa/awal, karena Ia awal dari segalanya. Ia sebagai omega/akhir, karena Ia adalah tujuan dari segalanya. Dengan begitu, Yohanes menyingkapkan identifikasi keilahian yang jelas pada Yesus. Saya mengutip Markus J. Borg, seorang pakar studi tentang Yesus sejarah: keyakinan Yesus sebagai Alfa dan Omega ini pada saat itu bisa dianggap sebagai sebuah deklarasi anti-kekaisaran. Mengapa? Karena kaisar Romawi pada waktu itu meminta disembah sebagai Tuhan dan Allah, sebagai sangkan paraning dumadi. Dengan jelas, Yohanes menyatakan pengakuannya: bukan kaisar, melainkan Yesus yang menjadi sangkan paraning dumadi itu. Oleh sebab itu, bahkan dalam berbagai penderitaan yang dialami, orang Kristen diajak untuk tetap memberikan kesetiaan kepada Yesus, karena hanya Dia yang berkuasa menyelamatkan. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Sangkan paraning dumadi. Asal dan tujuan kehidupan. Asal dan tujuan segala apa yang diciptakan. Ini adalah sebuah pengertian yang tidak hanya dipergumulkan oleh orang Jawa, melainkan segenap umat manusia yang peka terhadap keberadaan yang ilahi. Bahkan kepekaan semacam ini juga sudah dimiliki oleh manusia kuno, homo neanderthalensis, yang hidup 250 ribu tahun yang lalu, jauh sebelum manusia modern seperti kita ini menapaki bumi 120 ribu tahun yang lalu. Kepekaan manusia neandertal terhadap yang ilahi mereka wujudkan dengan menguburkan jenazah sesama yang mati dan menabur bunga di atas kuburannya. Yohanes dari pulau Patmos, penulis kitab Wahyu yang sarat dengan gambaran simbolis ini, dengan jelas menempatkan Yesus dalam bingkai sangkan paraning dumadi tersebut. Bagi Yohanes, Yesus itulah asal dan tujuan dari segala apa yang hidup. Yesus adalah Alfa dan Omega; alfa (α) dan omega ( Ώ), adalah huruf pertama dan terakhir dalam abjad Yunani, seperti A dan Z dalam abjad kita. Dalam kitab Wahyu, tiga kali gelar alfa dan omega ini disebutkan (Wahyu 1:8; pasal 21:6 dan 22:13) dan semuanya dibingkai dalam keyakinan bahwa Yesus itulah alfa dan omega. Ia sebagai alfa/awal, karena Ia awal dari segalanya. Ia sebagai omega/akhir, karena Ia adalah tujuan dari segalanya. Dengan begitu, Yohanes menyingkapkan identifikasi keilahian yang jelas pada Yesus. Saya mengutip Markus J. Borg, seorang pakar studi tentang Yesus sejarah: keyakinan Yesus sebagai Alfa dan Omega ini pada saat itu bisa dianggap sebagai sebuah deklarasi anti-kekaisaran. Mengapa? Karena kaisar Romawi pada waktu itu meminta disembah sebagai Tuhan dan Allah, sebagai sangkan paraning dumadi. Dengan jelas, Yohanes menyatakan pengakuannya: bukan kaisar, melainkan Yesus yang menjadi sangkan paraning dumadi itu. Oleh sebab itu, bahkan dalam berbagai penderitaan yang dialami, orang Kristen diajak untuk tetap memberikan kesetiaan kepada Yesus, karena hanya Dia yang berkuasa menyelamatkan. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Binasa? (Mazmur 16: 1-11)
"Sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan." (Mazmur 16: 10)
21 Desember 2012, lebih kurang satu bulan lagi ke depan. Apakah ramalan kuno bangsa Maya akan terbukti benar? Dunia ini akan kiamat? Saya yakin ramalan kuno bangsa Maya tidak ada bedanya dengan ramalan Harold Camping, seorang penyiar radio Kristen yang tidak tepat ramalannya ketika menyebut tanggal 21 Mei 2011 dan (direvisi) tanggal 21 Oktober 2011 sebagai hari kiamat. Saya heran kalau mengetahui perilaku kaum beragama tertentu yang girang menunggu datangnya hari kiamat. Bagaimana mungkin kita bisa merasakan kegirangan, bahkan andaikata kita selamat pada hari kiamat itu, ketika kita menyadari jutaan orang menemui ajal secara mengerikan di hari itu? Bukankah rasa sesak di hati, sedih dan duka yang mendalam semestinya merupakan respons kita atas bencana itu? Seseorang yang tetap bisa bergirang hati karena kemalangan yang dialami orang lain, dalam istilah psikologisnya, sedang mengalami schadenfreude. Berdasarkan riset, orang yang mengalami gejala ini sering juga adalah orang-orang yang memiliki penghargaan diri (self-esteem) yang rendah dan sifat iri hati yang kuat terhadap keberadaan pihak lain. Kebahagiaan sang Pemazmur yang terungkap dalam Mazmur 16 ini, tidak perlu dipahami sebagai schadenfreude. Sang pemazmur tidak sedang menunjukkan ungkapan syukurnya atas kemalangan yang menimpa pihak lain. Sang pemazmur sedang bersyukur atas pemeliharaan dan kasih Tuhan dalam hidupnya. Pemeliharaan Tuhan yang bahkan tidak akan membiarkan orang-orang kudus-Nya mengalami kebinasaan. Jadi, dalam keyakinan sang pemazmur, nasib umat manusia yang dirancangkan oleh Tuhan bukanlah kebinasaan, melainkan kehidupan (ayat 10-11). Oleh sebab itu, tetaplah Anda dekat dan hidup dalam jalan Tuhan. Jangan terganggu tidur nyenyak Anda, walau ada kabar-kabar yang memberitakan akhir tahun 2012 ini dunia akan kiamat! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
21 Desember 2012, lebih kurang satu bulan lagi ke depan. Apakah ramalan kuno bangsa Maya akan terbukti benar? Dunia ini akan kiamat? Saya yakin ramalan kuno bangsa Maya tidak ada bedanya dengan ramalan Harold Camping, seorang penyiar radio Kristen yang tidak tepat ramalannya ketika menyebut tanggal 21 Mei 2011 dan (direvisi) tanggal 21 Oktober 2011 sebagai hari kiamat. Saya heran kalau mengetahui perilaku kaum beragama tertentu yang girang menunggu datangnya hari kiamat. Bagaimana mungkin kita bisa merasakan kegirangan, bahkan andaikata kita selamat pada hari kiamat itu, ketika kita menyadari jutaan orang menemui ajal secara mengerikan di hari itu? Bukankah rasa sesak di hati, sedih dan duka yang mendalam semestinya merupakan respons kita atas bencana itu? Seseorang yang tetap bisa bergirang hati karena kemalangan yang dialami orang lain, dalam istilah psikologisnya, sedang mengalami schadenfreude. Berdasarkan riset, orang yang mengalami gejala ini sering juga adalah orang-orang yang memiliki penghargaan diri (self-esteem) yang rendah dan sifat iri hati yang kuat terhadap keberadaan pihak lain. Kebahagiaan sang Pemazmur yang terungkap dalam Mazmur 16 ini, tidak perlu dipahami sebagai schadenfreude. Sang pemazmur tidak sedang menunjukkan ungkapan syukurnya atas kemalangan yang menimpa pihak lain. Sang pemazmur sedang bersyukur atas pemeliharaan dan kasih Tuhan dalam hidupnya. Pemeliharaan Tuhan yang bahkan tidak akan membiarkan orang-orang kudus-Nya mengalami kebinasaan. Jadi, dalam keyakinan sang pemazmur, nasib umat manusia yang dirancangkan oleh Tuhan bukanlah kebinasaan, melainkan kehidupan (ayat 10-11). Oleh sebab itu, tetaplah Anda dekat dan hidup dalam jalan Tuhan. Jangan terganggu tidur nyenyak Anda, walau ada kabar-kabar yang memberitakan akhir tahun 2012 ini dunia akan kiamat! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Bersyukur (Rut 4: 13-17)
“Terpujilah TUHAN, yang telah rela menolong engkau pada hari ini dengan seorang penebus. Termasyhurlah kiranya nama anak itu di Israel." (Rut 4: 14)
Jika kamu ingin melihat pelangi, jangan kamu mengeluh turunnya hujan. Tidak ada pelangi, jika tidak ada hujan. Kata-kata semacam ini terasa begitu menyentuh hati, terlebih ketika kita sedang berada dalam krisis atau persoalan hidup. Kata-kata ini sedikit banyak membawa pesan pengharapan: walau sekarang kita sedang menghadapi masalah hidup, tetaplah bersyukur, karena masa depan tetap bisa memberikan kehidupan yang baik bagi kita. Di Betlehem inilah, Rut melihat “pelangi” sehabis “hujan”. Ia seorang Moab (orang bukan Israel) yang menikah dengan seorang laki-laki Israel dari Betlehem. Bertahun-tahun menikah, namun belum juga punya anak. Bahkan setelah 10 tahun menikah, suaminya menemui ajal. Siapapun yang mengalami nasib semacam ini, mudah tergoda untuk meratapi nasib. Mungkin menyalahkan pihak lain, bahkan bisa juga menyalahkan Tuhan. Namun tidak bagi Rut, ia tetap menunjukkan kesetiaannya pada Naomi mertuanya. Ketika Naomi memintanya untuk meninggalkan dirinya dan menikah lagi, Rut malah mengikuti mertuanya ke Betlehem, tempat asal mertuanya itu. Di sinilah, ia bertemu dengan Boas, seorang tuan tanah-kerabat jauh Naomi. Ia menikah dengan Boas dan memiliki seorang anak. Tak heran, semua perempuan di Betlehem bersyukur atas nasib baik yang dialami oleh Naomi dan Rut (ayat 14-15). Rut dan Naomi pun sungguh bersyukur atas kuasa Allah yang menyelamatkan hidup mereka. Tetapkah kita masih mengeluh dan tidak bisa bersyukur kepada Tuhan atas setiap “hujan” yang mengguyur hidup kita? Mengeluh membuat kita justru kehilangan harapan terhadap masa depan, sebaliknya bersyukur akan membawa kita menyongsong masa depan dengan penuh harapan. Apakah Anda tahu apa yang akan terjadi jika Rut tidak menikah dengan Boas? Jawabnya adalah Obed tidak akan lahir. Dengan demikian Daud, raja besar itu juga tidak akan pernah terlahir menjadi cucu Obed. Dan bukankah Daud adalah kakek moyang Yesus, Sang Penebus itu? Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Jika kamu ingin melihat pelangi, jangan kamu mengeluh turunnya hujan. Tidak ada pelangi, jika tidak ada hujan. Kata-kata semacam ini terasa begitu menyentuh hati, terlebih ketika kita sedang berada dalam krisis atau persoalan hidup. Kata-kata ini sedikit banyak membawa pesan pengharapan: walau sekarang kita sedang menghadapi masalah hidup, tetaplah bersyukur, karena masa depan tetap bisa memberikan kehidupan yang baik bagi kita. Di Betlehem inilah, Rut melihat “pelangi” sehabis “hujan”. Ia seorang Moab (orang bukan Israel) yang menikah dengan seorang laki-laki Israel dari Betlehem. Bertahun-tahun menikah, namun belum juga punya anak. Bahkan setelah 10 tahun menikah, suaminya menemui ajal. Siapapun yang mengalami nasib semacam ini, mudah tergoda untuk meratapi nasib. Mungkin menyalahkan pihak lain, bahkan bisa juga menyalahkan Tuhan. Namun tidak bagi Rut, ia tetap menunjukkan kesetiaannya pada Naomi mertuanya. Ketika Naomi memintanya untuk meninggalkan dirinya dan menikah lagi, Rut malah mengikuti mertuanya ke Betlehem, tempat asal mertuanya itu. Di sinilah, ia bertemu dengan Boas, seorang tuan tanah-kerabat jauh Naomi. Ia menikah dengan Boas dan memiliki seorang anak. Tak heran, semua perempuan di Betlehem bersyukur atas nasib baik yang dialami oleh Naomi dan Rut (ayat 14-15). Rut dan Naomi pun sungguh bersyukur atas kuasa Allah yang menyelamatkan hidup mereka. Tetapkah kita masih mengeluh dan tidak bisa bersyukur kepada Tuhan atas setiap “hujan” yang mengguyur hidup kita? Mengeluh membuat kita justru kehilangan harapan terhadap masa depan, sebaliknya bersyukur akan membawa kita menyongsong masa depan dengan penuh harapan. Apakah Anda tahu apa yang akan terjadi jika Rut tidak menikah dengan Boas? Jawabnya adalah Obed tidak akan lahir. Dengan demikian Daud, raja besar itu juga tidak akan pernah terlahir menjadi cucu Obed. Dan bukankah Daud adalah kakek moyang Yesus, Sang Penebus itu? Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Kristus Imam Besar (Ibrani 9: 11-14)
"...betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat..." (Ibrani 9 : 14)
Jesus is the answer. Yesus adalah jawaban. Saya kadang melihat stiker semacam ini tertempel di kaca belakang mobil. Maksudnya jelas: Yesus merupakan jawaban dari semua persoalan hidup yang dihadapi manusia, atau setidaknya Yesus dipahami sebagai jawaban atas pergumulan manusia untuk memperoleh keselamatan baik di dunia maupun akhirat. Pada hari raya Yom Kippur, pada saat surat ini ditulis sekitar tahun 64-70 Masehi, umat Yahudi merayakah hari Pendamaian setahun sekali sebagai ritus dan simbol pemulihan relasi antara Allah dengan manusia yang penuh dosa. Pada hari itu, Imam Besar akan masuk ke Ruang Maha Kudus di Bait Allah Yerusalem untuk memercikkan darah anak domba yang disembelih. Darah anak domba ini juga dipercikkan ke atas umat Israel yang hadir di situ. Mereka yang menerima percikan darah ini dipandang telah bersih dari dosa-dosa mereka dan relasi dengan Allah dipulihkan kembali. Penulis surat Ibrani ini membantah kuasa darah anak domba yang menyucikan dosa ini. Tidak mungkin darah anak domba menghapus dosa (bacalah pasal 10:4). Jawaban pergumulan penghapusan dosa dan keselamatan tidak terletak pada darah anak domba, tetapi pada darah Yesus, “anak domba” Allah yang sejati. Yesus Kristus adalah Imam Besar yang sejati, bukan karena Ia telah membawa binatang untuk dikorbankan sebagai penebusan dosa, melainkan Ia sendiri hadir sebagai Imam Besar yang mempersembahkan darahnya (hidupnya) sendiri sebagai penebusan dosa dan keselamatan manusia. Jesus is the answer. Keyakinan yang tertuang dalam stiker semacam ini mestinya tidak menjadi ungkapan tentang kesombongan diri. Keyakinan ini mestinya justru mendorong kita untuk menjadikan hidup kita bermakna bagi orang lain seperti Yesus menjadikan hidupnya bermakna bagi penebusan dosa dan keselamatan dunia ini. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Jesus is the answer. Yesus adalah jawaban. Saya kadang melihat stiker semacam ini tertempel di kaca belakang mobil. Maksudnya jelas: Yesus merupakan jawaban dari semua persoalan hidup yang dihadapi manusia, atau setidaknya Yesus dipahami sebagai jawaban atas pergumulan manusia untuk memperoleh keselamatan baik di dunia maupun akhirat. Pada hari raya Yom Kippur, pada saat surat ini ditulis sekitar tahun 64-70 Masehi, umat Yahudi merayakah hari Pendamaian setahun sekali sebagai ritus dan simbol pemulihan relasi antara Allah dengan manusia yang penuh dosa. Pada hari itu, Imam Besar akan masuk ke Ruang Maha Kudus di Bait Allah Yerusalem untuk memercikkan darah anak domba yang disembelih. Darah anak domba ini juga dipercikkan ke atas umat Israel yang hadir di situ. Mereka yang menerima percikan darah ini dipandang telah bersih dari dosa-dosa mereka dan relasi dengan Allah dipulihkan kembali. Penulis surat Ibrani ini membantah kuasa darah anak domba yang menyucikan dosa ini. Tidak mungkin darah anak domba menghapus dosa (bacalah pasal 10:4). Jawaban pergumulan penghapusan dosa dan keselamatan tidak terletak pada darah anak domba, tetapi pada darah Yesus, “anak domba” Allah yang sejati. Yesus Kristus adalah Imam Besar yang sejati, bukan karena Ia telah membawa binatang untuk dikorbankan sebagai penebusan dosa, melainkan Ia sendiri hadir sebagai Imam Besar yang mempersembahkan darahnya (hidupnya) sendiri sebagai penebusan dosa dan keselamatan manusia. Jesus is the answer. Keyakinan yang tertuang dalam stiker semacam ini mestinya tidak menjadi ungkapan tentang kesombongan diri. Keyakinan ini mestinya justru mendorong kita untuk menjadikan hidup kita bermakna bagi orang lain seperti Yesus menjadikan hidupnya bermakna bagi penebusan dosa dan keselamatan dunia ini. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Sembuh (Markus 10: 46-52)
"Lalu kata Yesus kepadanya:“Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya." (Markus 10: 52)
Semua orang pada dasarnya ingin sembuh dari sakit. Ada empat jenis penyakit yang bisa diidap oleh seseorang: Penyakit fisik, penyakit psikologis-emosional, penyakit relasional dan penyakit spiritual. Masing-masing penyakit ini tentu memerlukan pengobatan yang berbeda-beda. Seorang yang sakit diputus pacar, tentu lebih memerlukan penyembuhan luka batin daripada penyembuhan dengan minum obat depresi. Bartimeus juga ingin sembuh dari sakitnya. Ketika ia mendengar Yesus lewat di tempat ia biasa mengemis, ia berseru-seru kepada Yesus:“Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Ia bahkan berseru-seru semakin lantang ketika banyak orang menegurnya. Ia tidak pantang menyerah karena ia ingin sembuh. Tentu, ia merasa lega ketika Yesus berkenan memanggil dia. Ketika Yesus bertanya apa yang dia inginkan, dengan mantap ia menjawab ingin sembuh dari kebutaannya. Akhirnya, Bartimeus disembuhkan oleh Yesus. Ia tidak lagi buta (ayat 52). Meski demikian, apa yang sembuh dari Bartimeus sesungguhnya tidak hanya penyakit fisiknya (dari buta menjadi melihat). Ia juga mengalami kesembuhan psikologis-emosional. Ia tidak akan lagi menjadi pengemis untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan jubah pengemisnya sudah ia tanggalkan ketika dipanggil Yesus. Martabatnya dipulihkan, ia sejajar dengan orang banyak itu. Dengan demikian, terjadi pula kesembuhan terhadap penyakit relasional. Dan yang penting juga, ketika Yesus menyuruhya pergi, ia malah memutuskan untuk mengikut Yesus. Kata mengikuti dalam bahasa Yunani yang dipakai adalah ekolouthei, yang berarti menjadi murid. Bartimeus menjadi murid Yesus, dengan demikian ia juga mengalami kesembuhan spiritual. Ayo, jangan pernah kita dan keluarga kita merasa ragu untuk datang semakin mendekat kepada Yesus, ketika sedang sakit. Kita mohon agar keluarga kita disembuhkan oleh Tuhan! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Semua orang pada dasarnya ingin sembuh dari sakit. Ada empat jenis penyakit yang bisa diidap oleh seseorang: Penyakit fisik, penyakit psikologis-emosional, penyakit relasional dan penyakit spiritual. Masing-masing penyakit ini tentu memerlukan pengobatan yang berbeda-beda. Seorang yang sakit diputus pacar, tentu lebih memerlukan penyembuhan luka batin daripada penyembuhan dengan minum obat depresi. Bartimeus juga ingin sembuh dari sakitnya. Ketika ia mendengar Yesus lewat di tempat ia biasa mengemis, ia berseru-seru kepada Yesus:“Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Ia bahkan berseru-seru semakin lantang ketika banyak orang menegurnya. Ia tidak pantang menyerah karena ia ingin sembuh. Tentu, ia merasa lega ketika Yesus berkenan memanggil dia. Ketika Yesus bertanya apa yang dia inginkan, dengan mantap ia menjawab ingin sembuh dari kebutaannya. Akhirnya, Bartimeus disembuhkan oleh Yesus. Ia tidak lagi buta (ayat 52). Meski demikian, apa yang sembuh dari Bartimeus sesungguhnya tidak hanya penyakit fisiknya (dari buta menjadi melihat). Ia juga mengalami kesembuhan psikologis-emosional. Ia tidak akan lagi menjadi pengemis untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan jubah pengemisnya sudah ia tanggalkan ketika dipanggil Yesus. Martabatnya dipulihkan, ia sejajar dengan orang banyak itu. Dengan demikian, terjadi pula kesembuhan terhadap penyakit relasional. Dan yang penting juga, ketika Yesus menyuruhya pergi, ia malah memutuskan untuk mengikut Yesus. Kata mengikuti dalam bahasa Yunani yang dipakai adalah ekolouthei, yang berarti menjadi murid. Bartimeus menjadi murid Yesus, dengan demikian ia juga mengalami kesembuhan spiritual. Ayo, jangan pernah kita dan keluarga kita merasa ragu untuk datang semakin mendekat kepada Yesus, ketika sedang sakit. Kita mohon agar keluarga kita disembuhkan oleh Tuhan! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Maha Kuasa (Mazmur 104: 19-30)
"Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu." (Mazmur 104: 24)
Dari penelitian astronomi, kita mengetahui adanya zona goldilocks. Ini adalah zona di alam semesta yang memungkinkan terciptanya kehidupan di sebuah planet. Bumi terletak di zona ini. Akibatnya, jarak bumi dengan matahari pas/tepat untuk menghasilkan suhu bumi yang memunculkan kehidupan. Kalau suatu planet terlalu dekat dengan matahari, air di dalamnya akan terlalu cepat menjadi uap air, kalau terlalu jauh dari matahari semua air dengan cepat membeku menjadi es. Orang beriman memahami bumi yang letaknya pas ini, tidak lain sebagai wujud karya dan kemahakuasaan Tuhan. Bagi sang Pemazmur , alam semesta dapat berjalan secara tertib dan teratur dalam kaidah-kaidah hukum alam, karena ada dalam kendali Tuhan yang Mahakuasa. Alam semesta tertata sesuai dengan ritme yang telah ditetapkan Tuhan: matahari yang tahu akan saat terbenamnya (ayat 19). Bahkan Lewiatan, binatang besar raksasa dalam dunia mitologi Israel sebagai simbol kekacauan yang kadang merusak tataan alam semesta ini, tunduk dan jinak di hadapan Tuhan: dan Lewiatan yang telah Kaubentuk untuk bermain dengannya (ayat 26). Ayat-ayat ini tentu tidak perlu kita pahami sebagai penjelasan ilmiah mengenai cara Tuhan dalam pemeliharaan alam semesta melainkan kita pahami sebagai pengakuan iman atas campur tangan Tuhan dalam semesta ini. Pesan yang ingin disampaikan pemazmur sangat jelas: kehidupan ini ada dalam kendali Sang Pencipta yang Mahakuasa, oleh sebab itu jangan pernah umat meragukan karya pemeliharaan Tuhan yang mahakuasa ini dalam kehidupannya. Ketika keluarga Kristen menghadapi persoalan hidup, jangan sampai melupakan kemahakuasaan Tuhan ini. Kalau lupa, keluarga Kristen menjadi mudah tergoda untuk mencari sumber dan pusat kuasa lainnya yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Pengakuan terhadap kemahakuasaan Tuhan, juga berarti sebuah pengakuan bahwa di hadapan Tuhan selalu tersedia jalan bagi kita dalam mengatasi persoalan hidup yang sedang kita hadapi. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Dari penelitian astronomi, kita mengetahui adanya zona goldilocks. Ini adalah zona di alam semesta yang memungkinkan terciptanya kehidupan di sebuah planet. Bumi terletak di zona ini. Akibatnya, jarak bumi dengan matahari pas/tepat untuk menghasilkan suhu bumi yang memunculkan kehidupan. Kalau suatu planet terlalu dekat dengan matahari, air di dalamnya akan terlalu cepat menjadi uap air, kalau terlalu jauh dari matahari semua air dengan cepat membeku menjadi es. Orang beriman memahami bumi yang letaknya pas ini, tidak lain sebagai wujud karya dan kemahakuasaan Tuhan. Bagi sang Pemazmur , alam semesta dapat berjalan secara tertib dan teratur dalam kaidah-kaidah hukum alam, karena ada dalam kendali Tuhan yang Mahakuasa. Alam semesta tertata sesuai dengan ritme yang telah ditetapkan Tuhan: matahari yang tahu akan saat terbenamnya (ayat 19). Bahkan Lewiatan, binatang besar raksasa dalam dunia mitologi Israel sebagai simbol kekacauan yang kadang merusak tataan alam semesta ini, tunduk dan jinak di hadapan Tuhan: dan Lewiatan yang telah Kaubentuk untuk bermain dengannya (ayat 26). Ayat-ayat ini tentu tidak perlu kita pahami sebagai penjelasan ilmiah mengenai cara Tuhan dalam pemeliharaan alam semesta melainkan kita pahami sebagai pengakuan iman atas campur tangan Tuhan dalam semesta ini. Pesan yang ingin disampaikan pemazmur sangat jelas: kehidupan ini ada dalam kendali Sang Pencipta yang Mahakuasa, oleh sebab itu jangan pernah umat meragukan karya pemeliharaan Tuhan yang mahakuasa ini dalam kehidupannya. Ketika keluarga Kristen menghadapi persoalan hidup, jangan sampai melupakan kemahakuasaan Tuhan ini. Kalau lupa, keluarga Kristen menjadi mudah tergoda untuk mencari sumber dan pusat kuasa lainnya yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Pengakuan terhadap kemahakuasaan Tuhan, juga berarti sebuah pengakuan bahwa di hadapan Tuhan selalu tersedia jalan bagi kita dalam mengatasi persoalan hidup yang sedang kita hadapi. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Upah (Markus 10: 28-31)
"Orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat..., dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal." (Markus 10: 30)
Pendorong yang kuat bagi seseorang untuk melakukan sesuatu adalah pemberian upah. Karyawan semakin terpacu berprestasi ketika dijanjikan bonus atau reward yang besar di akhir tahun di samping gaji yang sudah biasa diterima. Anak akan belajar giat ketika orang tua menjanjikan membelikan benda keinginannya kalau bisa mendapat peringkat yang baik di sekolahnya. Itulah sebabnya sampai sekarang baik dalam dunia kerja maupun keluarga sistem upah tetap sering dipakai. Bagaimana dengan dunia iman? Apakah sistem upah juga dipakai? Apakah seorang Kristen, juga keluarga Kristen bisa mengharapkan upah karena imannya kepada Kristus? Dunia iman Kristen pun ternyata tidak bisa lepas dari mekanisme upah ini. Ketika Petrus memberitahukan kepada Yesus bahwa ia telah meninggalkan segala sesuatunya untuk mengikut Yesus, Yesus pada dasarnya menjawab dan memberitahukan kepadanya bahwa siapapun yang kehilangan atau meninggalkan sesuatu/seseorang demi untuk mengikut Yesus, orang ini akan mendapat upah dari Tuhan baik dalam hidupnya sekarang maupun pada masa yang akan datang. Meski demikian, tidak dimaksudkan oleh Yesus bahwa yang paling penting dalam iman kita kepada Tuhan terletak pada pemberian upah tersebut. Saya dan keluarga saya beriman kepada Tuhan supaya mendapat upah dari Tuhan. Bukan semacam ini! Mestinya: Saya dan keluarga saya beriman pada Tuhan. Titik! Lalu di mana upahnya? Ada, tetapi tidak usah kita pikirkan. Itu urusan Tuhan! Kita tahu, upah itu tersedia bagi orang beriman pada Tuhan, tetapi upah itu bukan menjadi tujuan iman kita. Lawrence Kohlberg, pakar psikologi moral, bahkan berpandangan kematangan seseorang dalam hal moralitas ditandai bukan karena seseorang melakukan tindakan moral atas dasar upah melainkan atas dasar pentingnya melakukan tindakan itu demi kesejahteraan umat manusia, terlepas orang itu akan mendapat upah atau tidak. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Pendorong yang kuat bagi seseorang untuk melakukan sesuatu adalah pemberian upah. Karyawan semakin terpacu berprestasi ketika dijanjikan bonus atau reward yang besar di akhir tahun di samping gaji yang sudah biasa diterima. Anak akan belajar giat ketika orang tua menjanjikan membelikan benda keinginannya kalau bisa mendapat peringkat yang baik di sekolahnya. Itulah sebabnya sampai sekarang baik dalam dunia kerja maupun keluarga sistem upah tetap sering dipakai. Bagaimana dengan dunia iman? Apakah sistem upah juga dipakai? Apakah seorang Kristen, juga keluarga Kristen bisa mengharapkan upah karena imannya kepada Kristus? Dunia iman Kristen pun ternyata tidak bisa lepas dari mekanisme upah ini. Ketika Petrus memberitahukan kepada Yesus bahwa ia telah meninggalkan segala sesuatunya untuk mengikut Yesus, Yesus pada dasarnya menjawab dan memberitahukan kepadanya bahwa siapapun yang kehilangan atau meninggalkan sesuatu/seseorang demi untuk mengikut Yesus, orang ini akan mendapat upah dari Tuhan baik dalam hidupnya sekarang maupun pada masa yang akan datang. Meski demikian, tidak dimaksudkan oleh Yesus bahwa yang paling penting dalam iman kita kepada Tuhan terletak pada pemberian upah tersebut. Saya dan keluarga saya beriman kepada Tuhan supaya mendapat upah dari Tuhan. Bukan semacam ini! Mestinya: Saya dan keluarga saya beriman pada Tuhan. Titik! Lalu di mana upahnya? Ada, tetapi tidak usah kita pikirkan. Itu urusan Tuhan! Kita tahu, upah itu tersedia bagi orang beriman pada Tuhan, tetapi upah itu bukan menjadi tujuan iman kita. Lawrence Kohlberg, pakar psikologi moral, bahkan berpandangan kematangan seseorang dalam hal moralitas ditandai bukan karena seseorang melakukan tindakan moral atas dasar upah melainkan atas dasar pentingnya melakukan tindakan itu demi kesejahteraan umat manusia, terlepas orang itu akan mendapat upah atau tidak. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Setia (Ayub 2: 1-10)
"Tetapi jawab Ayub kepadanya:” Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk”. (Ayub 2: 10)
Apakah ada manusia yang tidak menderita dalam hidup ini? Saya yakin, pada dasarnya setiap manusia adalah makhluk yang menderita. Tentu saja, tidak setiap orang menderita dalam kadar yang sama dan cara yang sama. Dari penderitaan “ringan” seperti menahan kencing akibat kemacetan jalan sampai penderitaan “berat” karena terbaring koma belasan tahun. Jenis penderitaan yang dialami seseorang juga bisa bermacam-macam: penderitaan mental, emosional, fisik maupun spiritual. Ayub (seorang yang saleh, jujur, takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan-ayat 3) juga tak luput dari penderitaan. Setelah apa yang dimilikinya hilang lenyap-harta kekayaan dan juga anak-anaknya yang mati-kini ia sendiri menanggung penyakit barah yang busuk dari telapak kami sampai kepalanya. Ketika seseorang mengalami penderitaan, mudah bagi orang itu untuk menyalahkan diri sendiri ataupun pihak lain. Akan tetapi Ayub tidak mau menyalahkan dirinya sendiri, terlebih menyalahkan pihak lain. Ia tidak mau menyalahkan Tuhan sebagai penyebab dari penderitaannya ini, bahkan ketika istrinya meminta Ayub untuk mengutuki Tuhan. Penderitaan tidak membuat Ayub kehilangan iman dan kesetiaannya kepada Tuhan, sebaliknya penderitaan justru dirangkul Ayub untuk tetap menumbuhkan iman dan kesetiaan kepada Tuhan. Keluarga Kristen juga tidak luput dari beban penderitaannya masing-masing. Keliru kalau kita beranggapan bahwa tanda keluarga yang diberkati Tuhan adalah keluarga tersebut tidak punya beban penderitaan dalam hidupnya. Dalam kisah Ayub ini, penderitaan yang dialami Ayub tidak menunjukkan rendahnya kualitas iman Ayub. Ia tetap menderita betapapun ia memiliki kualitas iman yang baik. Yang penting, ketika keluarga Kristen bergumul dalam penderitaan hidupnya, keluarga ini tetap bisa memperlihatkan bahwa kesetiaannya kepada Tuhan tidak luntur dan goyah karena beban penderitaan yang dihadapinya. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Apakah ada manusia yang tidak menderita dalam hidup ini? Saya yakin, pada dasarnya setiap manusia adalah makhluk yang menderita. Tentu saja, tidak setiap orang menderita dalam kadar yang sama dan cara yang sama. Dari penderitaan “ringan” seperti menahan kencing akibat kemacetan jalan sampai penderitaan “berat” karena terbaring koma belasan tahun. Jenis penderitaan yang dialami seseorang juga bisa bermacam-macam: penderitaan mental, emosional, fisik maupun spiritual. Ayub (seorang yang saleh, jujur, takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan-ayat 3) juga tak luput dari penderitaan. Setelah apa yang dimilikinya hilang lenyap-harta kekayaan dan juga anak-anaknya yang mati-kini ia sendiri menanggung penyakit barah yang busuk dari telapak kami sampai kepalanya. Ketika seseorang mengalami penderitaan, mudah bagi orang itu untuk menyalahkan diri sendiri ataupun pihak lain. Akan tetapi Ayub tidak mau menyalahkan dirinya sendiri, terlebih menyalahkan pihak lain. Ia tidak mau menyalahkan Tuhan sebagai penyebab dari penderitaannya ini, bahkan ketika istrinya meminta Ayub untuk mengutuki Tuhan. Penderitaan tidak membuat Ayub kehilangan iman dan kesetiaannya kepada Tuhan, sebaliknya penderitaan justru dirangkul Ayub untuk tetap menumbuhkan iman dan kesetiaan kepada Tuhan. Keluarga Kristen juga tidak luput dari beban penderitaannya masing-masing. Keliru kalau kita beranggapan bahwa tanda keluarga yang diberkati Tuhan adalah keluarga tersebut tidak punya beban penderitaan dalam hidupnya. Dalam kisah Ayub ini, penderitaan yang dialami Ayub tidak menunjukkan rendahnya kualitas iman Ayub. Ia tetap menderita betapapun ia memiliki kualitas iman yang baik. Yang penting, ketika keluarga Kristen bergumul dalam penderitaan hidupnya, keluarga ini tetap bisa memperlihatkan bahwa kesetiaannya kepada Tuhan tidak luntur dan goyah karena beban penderitaan yang dihadapinya. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Rendah Hati Melayani (Markus 9: 33-37)
"Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." (Markus 9: 35)
All the president’s men, semuanya adalah orang-orangnya presiden. Ungkapan ini lazim dipakai untuk mengambarkan bahwa orang-orang yang dekat dengan pemegang tampuk kekuasaanlah yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam sistem kekuasaan tersebut. Jangan pernah Anda berharap akan memiliki jabatan penting jika tidak dekat dengan si pemegang tampuk kekuasaan itu. Rupanya obrolan semacam inilah yang menyebabkan murid-murid Yesus bertengkar. Mereka memperdebatkan siapa yang pantas menjadi orang nomer satu di hadapan Yesus. Mungkin terbayang di hadapan mereka, menjadi orang nomer satu berarti kesejahteraan dan kekuasaan terjamin sepenuhnya. Tentu saja tidak ada salahnya ingin menjadi orang nomer satu di hadapan Yesus. Yesus juga tidak mempermasalahkan keinginan murid-murid-Nya itu, Yesus bahkan menunjukkan jalannya untuk menjadi orang nomer satu: hendaklah ia menjadi yang terakhir dan pelayan dari semuanya. Kata pelayan di sini dalam bahasa Yunani adalah diakonos (arti harfiah: melayani meja). Pada zaman Yesus, seorang diakonos adalah seorang yang pekerjaannya mempersiapkan meja dan makanan dalam suatu acara jamuan. Orang-orang Yunani melihat ini sebagai pekerjaan budak, orang merdeka bahkan tidak akan mau melakukannya. Jadi, siapapun yang ingin menjadi orang nomer satu di hadapan Yesus harus memulai dengan sikap kerendahan hati dalam kehidupan ini untuk mau melayani orang lain. Inilah maksud Yesus dengan kata diakonos. Orang yang tinggi hati susah untuk melayani karena yang paling penting dalam hidup mereka adalah terpenuhinya kekuasaan dan kesejahteraan mereka saja. Sebaliknya, orang yang rendah hati (walau mungkin di lingkungan masyarakat ia memiliki status sosial yang tinggi) akan bisa melayani karena mereka terbiasa berpikir untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebaikan bagi orang lain juga. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
All the president’s men, semuanya adalah orang-orangnya presiden. Ungkapan ini lazim dipakai untuk mengambarkan bahwa orang-orang yang dekat dengan pemegang tampuk kekuasaanlah yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam sistem kekuasaan tersebut. Jangan pernah Anda berharap akan memiliki jabatan penting jika tidak dekat dengan si pemegang tampuk kekuasaan itu. Rupanya obrolan semacam inilah yang menyebabkan murid-murid Yesus bertengkar. Mereka memperdebatkan siapa yang pantas menjadi orang nomer satu di hadapan Yesus. Mungkin terbayang di hadapan mereka, menjadi orang nomer satu berarti kesejahteraan dan kekuasaan terjamin sepenuhnya. Tentu saja tidak ada salahnya ingin menjadi orang nomer satu di hadapan Yesus. Yesus juga tidak mempermasalahkan keinginan murid-murid-Nya itu, Yesus bahkan menunjukkan jalannya untuk menjadi orang nomer satu: hendaklah ia menjadi yang terakhir dan pelayan dari semuanya. Kata pelayan di sini dalam bahasa Yunani adalah diakonos (arti harfiah: melayani meja). Pada zaman Yesus, seorang diakonos adalah seorang yang pekerjaannya mempersiapkan meja dan makanan dalam suatu acara jamuan. Orang-orang Yunani melihat ini sebagai pekerjaan budak, orang merdeka bahkan tidak akan mau melakukannya. Jadi, siapapun yang ingin menjadi orang nomer satu di hadapan Yesus harus memulai dengan sikap kerendahan hati dalam kehidupan ini untuk mau melayani orang lain. Inilah maksud Yesus dengan kata diakonos. Orang yang tinggi hati susah untuk melayani karena yang paling penting dalam hidup mereka adalah terpenuhinya kekuasaan dan kesejahteraan mereka saja. Sebaliknya, orang yang rendah hati (walau mungkin di lingkungan masyarakat ia memiliki status sosial yang tinggi) akan bisa melayani karena mereka terbiasa berpikir untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebaikan bagi orang lain juga. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Perkataan (Yakobus 3: 1-12)
"Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah." (Yakobus 3: 9)
Tahukah Anda berapa banyak kata-kata yang kita ucapkan dalam sehari? Menurut Louann Brizendine, seorang ahli neuropsikiatri, rata-rata laki-laki mengucapkan 7000 kata per hari, sedangkan perempuan 20.000 kata per hari. Tenyata, perempuan hampir tiga kali lebih banyak berkata-kata dibandingkan laki-laki. Rasul Yakobus memang tidak sedang menyoroti kuantitas kata-kata, melainkan kualitas kata-kata. Ada perkataan yang berkualitas baik, ada juga yang kualitasnya buruk. Perkataan yang berkualitas baik tentu saja adalah perkataan yang membangun kehidupan dan persaudaraan serta membawa berkat, sedangkan perkataan yang berkualitas buruk adalah perkataan yang merusak kehidupan dan persaudaraan serta menyebabkan laknat. Lidah, yang pada waktu itu secara sederhana dipahami sebagai organ penting penghasil suara/kata, diibaratkan seperti api. Api memang penting dalam hidup manusia, tetapi kalau manusia lalai menjaga api yang bernyala itu, api itu sendiri yang akan menghanguskan hidupnya. Berkata-kata itu penting, tetapi lebih penting lagi menjaga agar melalui kata-kata kita banyak orang mendapatkan berkat, tidak malah menjadi batu sandungan. Berapa banyak perkataan yang telah kita ucapkan membangun kehidupan orang lain? Masih banyakkah perkataan yang kita ucapkan menghancurkan atau melukai hati orang lain? Ada syair yang saya baca demikian: Jika luka ditubuh, masih ada harapan sembuh. Tapi jika luka di hati, ke mana obat hendak dicari. Ada juga peribahasa demikian: Mulut kamu harimau kamu. Juga ada pepatah seperti ini: Lidah orang bijak ada di belakang akal dan hatinya, sedang akal dan hati orang pandir ada di belakang lidahnya. Mari kita tetap menjadi pelaku firman, dalam setiap perkataan yang membangun, bukan perkataan yang merusak dan menyakiti. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Tahukah Anda berapa banyak kata-kata yang kita ucapkan dalam sehari? Menurut Louann Brizendine, seorang ahli neuropsikiatri, rata-rata laki-laki mengucapkan 7000 kata per hari, sedangkan perempuan 20.000 kata per hari. Tenyata, perempuan hampir tiga kali lebih banyak berkata-kata dibandingkan laki-laki. Rasul Yakobus memang tidak sedang menyoroti kuantitas kata-kata, melainkan kualitas kata-kata. Ada perkataan yang berkualitas baik, ada juga yang kualitasnya buruk. Perkataan yang berkualitas baik tentu saja adalah perkataan yang membangun kehidupan dan persaudaraan serta membawa berkat, sedangkan perkataan yang berkualitas buruk adalah perkataan yang merusak kehidupan dan persaudaraan serta menyebabkan laknat. Lidah, yang pada waktu itu secara sederhana dipahami sebagai organ penting penghasil suara/kata, diibaratkan seperti api. Api memang penting dalam hidup manusia, tetapi kalau manusia lalai menjaga api yang bernyala itu, api itu sendiri yang akan menghanguskan hidupnya. Berkata-kata itu penting, tetapi lebih penting lagi menjaga agar melalui kata-kata kita banyak orang mendapatkan berkat, tidak malah menjadi batu sandungan. Berapa banyak perkataan yang telah kita ucapkan membangun kehidupan orang lain? Masih banyakkah perkataan yang kita ucapkan menghancurkan atau melukai hati orang lain? Ada syair yang saya baca demikian: Jika luka ditubuh, masih ada harapan sembuh. Tapi jika luka di hati, ke mana obat hendak dicari. Ada juga peribahasa demikian: Mulut kamu harimau kamu. Juga ada pepatah seperti ini: Lidah orang bijak ada di belakang akal dan hatinya, sedang akal dan hati orang pandir ada di belakang lidahnya. Mari kita tetap menjadi pelaku firman, dalam setiap perkataan yang membangun, bukan perkataan yang merusak dan menyakiti. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Murah Hati (Amsal 22: 1-16)
"Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin." (Amsal 22: 9)
Filantropi! Kata ini sekarang lazim dipakai untuk menunjukkan tindakan kepedulian orang-orang yang bermurah hati memberikan bantuan terhadap orang-orang lain yang membutuhkan. Kata filantropi sendiri berasal dari bahasa Yunani: philanthropia, yang berarti cinta pada sesama. Misalnya, Bill Gates dan istrinya, telah diakui oleh dunia sebagai pasangan filantropis. Begitu banyak uang dari kekayaan mereka yang digelontorkan untuk menolong mengatasi penderitaan dan kesulitan hidup umat manusia. Sebagai satu contoh, mereka telah menyumbang $28 milliar untuk membantu membebaskan polio di India. Tentu saja, menjadi orang yang murah hati tidak harus menunggu menjadi kaya terlebih dahulu seperti Bill Gates. Bahkan pada dasarnya murah hati tidak terkait dengan kekayaan atau kemiskinan. Tidak otomatis orang kaya menjadi murah hati, sebaliknya orang miskin tidak berarti tidak bisa menjadi murah hati. Itulah sebabnya, penulis kitab Amsal mengatakan: orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin. Ia bermurah hati terlebih dulu, baru dapat berkat. Bukan sebaliknya, menunggu mendapat berkat dulu baru bermurah hati. Sifat murah hati memang sangat terkait dengan karakter, kebiasaan dan perilaku. Sifat ini bersumber dan berkembang dari kedalaman batin yang terolah secara spiritual dan kesadaran akan makna hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Berdasarkan penelitian, anak-anak yang sejak kecil dilatih dan dibiasakan untuk bermurah hati, kelak ketika anak-anak ini menjadi dewasa kebanyakan anak-anak ini akan tetap menjadi orang yang murah hati. Ketika kita senang melihat ada orang atau jemaat yang begitu murah hati, perasaan senang ini tentunya juga menjadi cermin dan dorongan bagi kita untuk melakukan hal yang sama dalam kehidupan ini, yakni menjadi pelaku firman dalam perbuatan yang murah hati. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Filantropi! Kata ini sekarang lazim dipakai untuk menunjukkan tindakan kepedulian orang-orang yang bermurah hati memberikan bantuan terhadap orang-orang lain yang membutuhkan. Kata filantropi sendiri berasal dari bahasa Yunani: philanthropia, yang berarti cinta pada sesama. Misalnya, Bill Gates dan istrinya, telah diakui oleh dunia sebagai pasangan filantropis. Begitu banyak uang dari kekayaan mereka yang digelontorkan untuk menolong mengatasi penderitaan dan kesulitan hidup umat manusia. Sebagai satu contoh, mereka telah menyumbang $28 milliar untuk membantu membebaskan polio di India. Tentu saja, menjadi orang yang murah hati tidak harus menunggu menjadi kaya terlebih dahulu seperti Bill Gates. Bahkan pada dasarnya murah hati tidak terkait dengan kekayaan atau kemiskinan. Tidak otomatis orang kaya menjadi murah hati, sebaliknya orang miskin tidak berarti tidak bisa menjadi murah hati. Itulah sebabnya, penulis kitab Amsal mengatakan: orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin. Ia bermurah hati terlebih dulu, baru dapat berkat. Bukan sebaliknya, menunggu mendapat berkat dulu baru bermurah hati. Sifat murah hati memang sangat terkait dengan karakter, kebiasaan dan perilaku. Sifat ini bersumber dan berkembang dari kedalaman batin yang terolah secara spiritual dan kesadaran akan makna hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Berdasarkan penelitian, anak-anak yang sejak kecil dilatih dan dibiasakan untuk bermurah hati, kelak ketika anak-anak ini menjadi dewasa kebanyakan anak-anak ini akan tetap menjadi orang yang murah hati. Ketika kita senang melihat ada orang atau jemaat yang begitu murah hati, perasaan senang ini tentunya juga menjadi cermin dan dorongan bagi kita untuk melakukan hal yang sama dalam kehidupan ini, yakni menjadi pelaku firman dalam perbuatan yang murah hati. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Hati dan Perbuatan (Markus 7: 1-23)
"Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya" (Markus 7: 14)
Munafik! Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat beberapa penjelasan mengenai arti kata munafik ini. Salah satunya adalah: suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Dengan kata lain: apa yang tersimpan di hati sering tidak sama dengan apa yang diwujudkan dalam perbuatan. Yesus dengan keras menyebut beberapa orang Farisi dan ahli taurat yang menemuinya dengan kata munafik (Bhs. Yunani: hypokriton). Di Injil Markus, kata ini hanya muncul satu kali dalam ucapan Yesus. Mengapa Yesus menyebut mereka sebagai orang-orang munafik? Mereka terpaku pada hal-hal bersifat ritual, tetapi telah kehilangan esensi dari ritus itu sendiri. Bagi orang Yahudi pada waktu itu, mencuci tangan sebelum makan memang merupakan tindakan kesalehan iman. Meski demikian esensi dalam tindakan ritus mencuci tangan ini bukan hanya bersih tangan/jasmani, melainkan bersih hati/batin. Dengan gamblang, Yesus menyingkap kemunafikan mereka ketika mereka sendiri tidak mau memberikan dukungan finansial kepada orang tua mereka dengan dalih uang mereka sudah dipersembahkan kepada Tuhan. Secara ritus mereka kelihatan bersih: memberi persembahan kepada Tuhan, tetapi secara hati/batiniah mereka kotor karena melakukan itu dengan maksud melepas tanggung jawab finansial terhadap orang tua mereka (ayat 11-12). Yesus menegaskan persoalan najis atau tidak, bersih atau tidak, tidak bisa sekadar dinilai dari pelaksaan ritus yang ada, tetapi juga batin/hati sebagai sumber yang mendorong pelaksaan ritus tersebut. Siapa pun yang hendak menjadi pelaku firman, perlu memperhatikan ini: perbuatan kita janganlah menjadi topeng dari hati kita. Perbuatan atau ritus yang baik dan bersih, tentu mesti bersumber juga dari hati/batin yang bersih di hadapan Tuhan. Sudahkah kita melakukan bersih-bersih hati/batin kita ini? Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Munafik! Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat beberapa penjelasan mengenai arti kata munafik ini. Salah satunya adalah: suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Dengan kata lain: apa yang tersimpan di hati sering tidak sama dengan apa yang diwujudkan dalam perbuatan. Yesus dengan keras menyebut beberapa orang Farisi dan ahli taurat yang menemuinya dengan kata munafik (Bhs. Yunani: hypokriton). Di Injil Markus, kata ini hanya muncul satu kali dalam ucapan Yesus. Mengapa Yesus menyebut mereka sebagai orang-orang munafik? Mereka terpaku pada hal-hal bersifat ritual, tetapi telah kehilangan esensi dari ritus itu sendiri. Bagi orang Yahudi pada waktu itu, mencuci tangan sebelum makan memang merupakan tindakan kesalehan iman. Meski demikian esensi dalam tindakan ritus mencuci tangan ini bukan hanya bersih tangan/jasmani, melainkan bersih hati/batin. Dengan gamblang, Yesus menyingkap kemunafikan mereka ketika mereka sendiri tidak mau memberikan dukungan finansial kepada orang tua mereka dengan dalih uang mereka sudah dipersembahkan kepada Tuhan. Secara ritus mereka kelihatan bersih: memberi persembahan kepada Tuhan, tetapi secara hati/batiniah mereka kotor karena melakukan itu dengan maksud melepas tanggung jawab finansial terhadap orang tua mereka (ayat 11-12). Yesus menegaskan persoalan najis atau tidak, bersih atau tidak, tidak bisa sekadar dinilai dari pelaksaan ritus yang ada, tetapi juga batin/hati sebagai sumber yang mendorong pelaksaan ritus tersebut. Siapa pun yang hendak menjadi pelaku firman, perlu memperhatikan ini: perbuatan kita janganlah menjadi topeng dari hati kita. Perbuatan atau ritus yang baik dan bersih, tentu mesti bersumber juga dari hati/batin yang bersih di hadapan Tuhan. Sudahkah kita melakukan bersih-bersih hati/batin kita ini? Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Kebaikan Bagi Umat-NYA (Mazmur 84)
"Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." (Mazmur 84: 12)
Siapapun yang hidup dalam iman kepada Tuhan, pasti berharap hidup akan menjadi lebih mudah untuk dijalani. Beberapa penelitian telah menunjukkan peran penting iman kepada Tuhan dalam kesehatan seseorang. Misalnya, salah satu penelitian menunjukkan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner bagi jemaat yang secara teratur datang ke gereja lebih kecil apabila dibandingkan dengan jemaat yang hanya sekali-kali datang. Harapan dan keyakinan ini juga tampak dalam ungkapan sang pemazmur tentang kerinduannya untuk selalu berada di pelataran Rumah Tuhan. Lebih baik satu hari di pelataran rumah Tuhan, daripada seribu hari di tempat lain. Secara fisik, bangunan yang dibayangkan sang pemazmur adalah bait Allah di Sion, Yerusalem. Secara teologis, sang pemazmur memahami inilah tempat yang menjadi sumber berkat dan kebaikan Allah bagi umat-Nya, karena di sinilah Tuhan Allah berdiam. Apakah sang pemazmur hendak mengungkapkan bahwa umat hanya akan menerima berkat Tuhan ketika mereka melakukan ziarah fisik ke Bait Allah di Sion? Tentu saja tidak! Maksud pemazmur adalah setiap umat yang melakukan perjalanan atau gerakan iman mengarah semakin dekat kepada Tuhan, pada dirinya sendiri akan merasakan kasih dan kebaikan Tuhan. Tuhan tidak menahan kebaikan bagi umat-Nya yang rindu untuk selalu “bergerak” mendekat kepada Tuhan. Ke mana langkah perjalanan hidup kita di dunia ini kita arahkan? Semakin jauh dari “tempat kediaman” Tuhan, semakin jauh pula berkat dan kebaikan Tuhan. Semakin dekat dengan “tempat kediaman” Tuhan, semakin besar pula berkat dan kebaikan Tuhan bagi kita bahkan ketika jalan hidup yang kita lewati penuh kerikil dan rintangan! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Siapapun yang hidup dalam iman kepada Tuhan, pasti berharap hidup akan menjadi lebih mudah untuk dijalani. Beberapa penelitian telah menunjukkan peran penting iman kepada Tuhan dalam kesehatan seseorang. Misalnya, salah satu penelitian menunjukkan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner bagi jemaat yang secara teratur datang ke gereja lebih kecil apabila dibandingkan dengan jemaat yang hanya sekali-kali datang. Harapan dan keyakinan ini juga tampak dalam ungkapan sang pemazmur tentang kerinduannya untuk selalu berada di pelataran Rumah Tuhan. Lebih baik satu hari di pelataran rumah Tuhan, daripada seribu hari di tempat lain. Secara fisik, bangunan yang dibayangkan sang pemazmur adalah bait Allah di Sion, Yerusalem. Secara teologis, sang pemazmur memahami inilah tempat yang menjadi sumber berkat dan kebaikan Allah bagi umat-Nya, karena di sinilah Tuhan Allah berdiam. Apakah sang pemazmur hendak mengungkapkan bahwa umat hanya akan menerima berkat Tuhan ketika mereka melakukan ziarah fisik ke Bait Allah di Sion? Tentu saja tidak! Maksud pemazmur adalah setiap umat yang melakukan perjalanan atau gerakan iman mengarah semakin dekat kepada Tuhan, pada dirinya sendiri akan merasakan kasih dan kebaikan Tuhan. Tuhan tidak menahan kebaikan bagi umat-Nya yang rindu untuk selalu “bergerak” mendekat kepada Tuhan. Ke mana langkah perjalanan hidup kita di dunia ini kita arahkan? Semakin jauh dari “tempat kediaman” Tuhan, semakin jauh pula berkat dan kebaikan Tuhan. Semakin dekat dengan “tempat kediaman” Tuhan, semakin besar pula berkat dan kebaikan Tuhan bagi kita bahkan ketika jalan hidup yang kita lewati penuh kerikil dan rintangan! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Berhikmat (1 Raja-raja 3: 1-15)
"...Sesungguhnya Aku memberikan kepadamu hati yang penuh hikmat dan pengertian,..." (1 Raja-raja 3: 12)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Rasanya tidak ada penyelenggara negara yang tidak kenal dengan kalimat ini. Anak-anak TK pun sudah diajari untuk menghapal kalimat ini. Akan tetapi, tahu dengan melakukan apa yang diketahui tersebut dalam kenyataannya tidak selalu berjalan beriringan. Benarkah negara kita ini sudah dipimpin oleh pemimpin yang berhikmat? Salomo, sebagai raja yang baru saja menggantikan tahta Daud ayahnya, pasti juga menghadapi godaan atas kekuasaan, kekayaan dan umur panjang yang diinginkan raja-raja lainnya yang memerintah pada waktu itu. Namun demikian, ketika Tuhan menampakkan diri kepada Salomo di Gibeon dalam mimpinya, respons Salomo menunjukkan karakter kepemimpinan yang mulia. Tuhan berfirman kepada Salomo apa saja yang ia minta kepada-Nya akan dikabulkan. Ini dia, kesempatan bagi Salomo untuk meminta kekuasaan, kekayaan dan umur panjang. Kapan lagi? Kesempatan tidak akan datang kedua kali! Meski demikian Salomo justru meminta hikmat Tuhan. Berikan kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan jahat...(ayat 9). Tuhan senang dengan permohonan Salomo ini, Ia memberikan hati yang penuh hikmat dan pengertian kepada Salomo. Karena senang dengan permintaan Salomo ini, Tuhan juga memberikan bonus kepada Salomo. Bonusnya adalah pemberian kekayaan dan kemuliaan kepada Salomo(ayat 13). Ah, seandainya para pemimpin bangsa Indonesia ini adalah orang-orang yang merindukan hikmat Allah dan mewujudkan hikmat itu dalam kepemimpinannya dan tidak tergoda melanggengkan kekuasaan dan penumpukan kekayaan pribadi. Seandainya saja setiap warga negara ini memiliki hikmat untuk melakukan yang baik dan meniadakan yang jahat, negara Indonesia ini pasti lebih baik dari hari-hari kemarin! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Rasanya tidak ada penyelenggara negara yang tidak kenal dengan kalimat ini. Anak-anak TK pun sudah diajari untuk menghapal kalimat ini. Akan tetapi, tahu dengan melakukan apa yang diketahui tersebut dalam kenyataannya tidak selalu berjalan beriringan. Benarkah negara kita ini sudah dipimpin oleh pemimpin yang berhikmat? Salomo, sebagai raja yang baru saja menggantikan tahta Daud ayahnya, pasti juga menghadapi godaan atas kekuasaan, kekayaan dan umur panjang yang diinginkan raja-raja lainnya yang memerintah pada waktu itu. Namun demikian, ketika Tuhan menampakkan diri kepada Salomo di Gibeon dalam mimpinya, respons Salomo menunjukkan karakter kepemimpinan yang mulia. Tuhan berfirman kepada Salomo apa saja yang ia minta kepada-Nya akan dikabulkan. Ini dia, kesempatan bagi Salomo untuk meminta kekuasaan, kekayaan dan umur panjang. Kapan lagi? Kesempatan tidak akan datang kedua kali! Meski demikian Salomo justru meminta hikmat Tuhan. Berikan kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan jahat...(ayat 9). Tuhan senang dengan permohonan Salomo ini, Ia memberikan hati yang penuh hikmat dan pengertian kepada Salomo. Karena senang dengan permintaan Salomo ini, Tuhan juga memberikan bonus kepada Salomo. Bonusnya adalah pemberian kekayaan dan kemuliaan kepada Salomo(ayat 13). Ah, seandainya para pemimpin bangsa Indonesia ini adalah orang-orang yang merindukan hikmat Allah dan mewujudkan hikmat itu dalam kepemimpinannya dan tidak tergoda melanggengkan kekuasaan dan penumpukan kekayaan pribadi. Seandainya saja setiap warga negara ini memiliki hikmat untuk melakukan yang baik dan meniadakan yang jahat, negara Indonesia ini pasti lebih baik dari hari-hari kemarin! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Berjalan Dalam Kebenaran TUHAN (Efesus 4: 25-5:2)
"Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih" (Efesus 5: 1)
Rupanya banyak warga negara yang berharap agama yang dipeluknya akan menjadi agama negara. Mayoritas kaum Kristen Evangelikal di Amerika punya impian agama Kristen akan menjadi agama negara Amerika. Demikian juga, kaum Muslim di Indonesia banyak yang berharap Indonesia menjadi negara agama yang berdasar syariat Islam. Oleh sebab itulah, upaya-upaya politis untuk mewujudkan impian itu menjadi sangat penting bagi orang-orang ini. Tanggung jawab kita menjadi warga negara yang tetap berjalan dalam kebenaran Tuhan sebenarnya tidak perlu kita pahami sebagai tanggung jawab untuk menjadikan negara ini diatur berdasar hukum dan peraturan satu agama tertentu. Dalam negara Indonesia yang realitasnya sudah plural ini, pengakuan dan respek terhadap kemampuan setiap agama yang ada untuk memberikan kontribusi yang terbaik bagi bangsa dan negara ini harus diberi tempat. Saya yakin, setiap agama pada dasarnya mendorong pemeluknya untuk mewujudkan kehidupan etis yang bertanggungjawab dalam kehidupan negara ini. Rasul Paulus juga menyerukan bentuk-bentuk kehidupan etis kristiani bagi jemaat Kristen dalam masyarakat-kota Efesus yang cukup plural: buanglah dusta, ketika marah jangan berbuat dosa, jangan mencuri lagi, pakailah perkataan untuk membangun, jangan menjadi pelaku kejahatan, ramah seorang terhadap yang lain, dst. Ketika sikap etis semacam ini juga menjadi sikap utama warga negara Indonesia, kita bisa yakin banyak persoalan bangsa ini bisa terselesaikan. Sayangnya, sikap etis seperti yang diajarkan Rasul Paulus ini masih belum menjadi sikap utama bagi warga negara kita ini. Warga negara ini belum mampu menjadi penurut-penurut Allah yang mewujudkan kebenaran Allah tersebut. Tak mengherankan, tahun 2011 yang lalu skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menurut survey Transparency International di angka 3 (angka 0 berarti sangat korup, 10 berarti sangat bersih). Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Rupanya banyak warga negara yang berharap agama yang dipeluknya akan menjadi agama negara. Mayoritas kaum Kristen Evangelikal di Amerika punya impian agama Kristen akan menjadi agama negara Amerika. Demikian juga, kaum Muslim di Indonesia banyak yang berharap Indonesia menjadi negara agama yang berdasar syariat Islam. Oleh sebab itulah, upaya-upaya politis untuk mewujudkan impian itu menjadi sangat penting bagi orang-orang ini. Tanggung jawab kita menjadi warga negara yang tetap berjalan dalam kebenaran Tuhan sebenarnya tidak perlu kita pahami sebagai tanggung jawab untuk menjadikan negara ini diatur berdasar hukum dan peraturan satu agama tertentu. Dalam negara Indonesia yang realitasnya sudah plural ini, pengakuan dan respek terhadap kemampuan setiap agama yang ada untuk memberikan kontribusi yang terbaik bagi bangsa dan negara ini harus diberi tempat. Saya yakin, setiap agama pada dasarnya mendorong pemeluknya untuk mewujudkan kehidupan etis yang bertanggungjawab dalam kehidupan negara ini. Rasul Paulus juga menyerukan bentuk-bentuk kehidupan etis kristiani bagi jemaat Kristen dalam masyarakat-kota Efesus yang cukup plural: buanglah dusta, ketika marah jangan berbuat dosa, jangan mencuri lagi, pakailah perkataan untuk membangun, jangan menjadi pelaku kejahatan, ramah seorang terhadap yang lain, dst. Ketika sikap etis semacam ini juga menjadi sikap utama warga negara Indonesia, kita bisa yakin banyak persoalan bangsa ini bisa terselesaikan. Sayangnya, sikap etis seperti yang diajarkan Rasul Paulus ini masih belum menjadi sikap utama bagi warga negara kita ini. Warga negara ini belum mampu menjadi penurut-penurut Allah yang mewujudkan kebenaran Allah tersebut. Tak mengherankan, tahun 2011 yang lalu skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menurut survey Transparency International di angka 3 (angka 0 berarti sangat korup, 10 berarti sangat bersih). Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Bertobat (Mazmur 51: 1-12)
Berdasarkan indeks yang dipublikasikan oleh lembaga riset nirlaba The Fund for Peace, Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 negara, dalam Indeks Negara Gagal. Semakin tinggi peringkatnya berarti semakin baik. Dalam posisi 63 ini, Indonesia masuk kategori negara-negara yang dalam bahaya (very high warning) menuju negara gagal. Tiga indikator yang terus memburuk adalah tekanan demografis, protes kelompok minoritas di masyarakat dan hak asasi manusia. Daud menyadari kegagalannya sebagai pemimpin atas dosa-dosanya yang telah diperbuat bersama Batsyeba dan kematian Uria-suami Batsyeba, dalam pengakuan dosanya di hadapan Tuhan. Pengakuannya terasa begitu otentik dengan ungkapan-ungkapan yang digunakannya: pelanggaranku, kesalahanku, dosaku, melakukan apa yang Kauanggap jahat. Penting untuk diperhatikan juga, pengakuan dosa yang tulus dari Daud ini diarahkan tidak hanya mencangkup kesalahan pada sesamanya melainkan juga, pertama dan terutama, dosanya kepada Tuhan. Dalam pengakuan dosanya, ia memohon Tuhan sendiri yang akan bertindak mengampuni dan memperbarui hidupnya. Tahap awal dari suatu pertobatan memang adalah pengakuan akan dosa. Tidak mungkin seseorang akan menyatakan pertobatan kalau tidak menyadari dan mengakui bahwa dirinya berdosa. Tahap selanjutnya adalah komitmen untuk membuka lembar baru dan menyobek lembar lama dalam kehidupan yang telah diwarnai dosa. Tentu, kasih karunia Tuhan sendiri yang akan memampukan kita sampai pada tahap ini. Beberapa kali saya baca di koran, ada usulan untuk meruwat para pemimpin bangsa ini agar bangsa Indonesia terlepas dari berbagai persoalan bangsa. Ruwatan tentu dimaksudkan untuk memurnikan para pemimpin agar tidak kena terkam kekuatan jahat yang membelokkan cita-cita luhur para pemimpin ini. Menurut saya, siapapun, tidak hanya pemimpin tetapi rakyat Indonesia pada umumnya, memang perlu memurnikan hidup, perilaku, cita-cita, kehendak, yang selama ini dijalani ketika tidak membawa kehidupan menjadi lebih baik. Bertobat menjadi sangat vital, ketika kita ingin negara kita menjadi lebih baik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Godaan (2 Samuel 11: 1-15)
"Sesudah itu Daud menyuruh orang memanggil dia. Perempuan itu datang kepadanya..." (2 Samuel 11: 4)
Godaan itu tidak usah dicari, akan datang sendiri. Saya yakin semua orang pernah menghadapi godaan dalam berbagai bentuknya, dari yang ringan sampai berat. Godaan tersebut tentu saja bisa membawa orang jauh dari kehendak Tuhan. Dalam tradisi gerejawi, bahkan diyakini salah satu dari tujuh godaan dosa yang mematikan adalah hawa nafsu seksual yang berlebihan. Disebut mematikan karena banyak orang yang tidak tahan dan terjatuh karena godaan dosa ini. Daud terjatuh juga dalam godaan dosa ini. Nafsu seksualnya bangkit ketika dari sotoh istananya ia melihat Batsyeba mandi. Sebagai raja yang penuh kuasa, apa yang diingininya tak ada yang bisa menghalanginya. Betapapun ia tahu Batsyeba sudah bersuami, tidak menjadi halangan baginya untuk melampiaskan nafsu seksualnya kepada Batsyeba. Bagaimanapun dosa beranak-pinakan dosa. Itu juga yang terjadi pada Daud. Dosanya berlanjut dengan kelicikannya untuk menghabisi nyawa Uria-suami Batsyeba di medan perang. Sementara ia enak-enakan di istana (tidak ikut berperang), ia meminta Uria maju berperang di barisan depan tanpa dukungan kekuatan militer yang memadai. Membaca kisah ini kita mendapat gambaran seorang raja yang jauh dari ideal, baik dari segi kesetiaan terhadap Tuhan maupun rakyatnya. Seorang pemimpin yang juga tidak lagi bisa menjadi teladan dalam melawan godaan nafsu seksual bagi rakyat yang dipimpinnya. Dalam Pokok-pokok Ajaran GKJ diyakini bahwa setiap orang percaya sedang berada dalam perjalanan kesempurnaan keselamatan. Keselamatan memang sudah kita terima sebagai anugerah dari Tuhan, meskipun demikian setiap orang percaya memiliki tanggung jawab menjaga keselamatan ini agar tetap terpelihara selagi kita hidup di dunia ini. Oleh sebab itu, kita perlu mengasah dan menajamkan kepekaan kita terhadap godaan-godaan yang membuat kita jatuh dalam dosa yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Dengan kata lain: jangan pernah menyepelekan godaan dosa. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Godaan itu tidak usah dicari, akan datang sendiri. Saya yakin semua orang pernah menghadapi godaan dalam berbagai bentuknya, dari yang ringan sampai berat. Godaan tersebut tentu saja bisa membawa orang jauh dari kehendak Tuhan. Dalam tradisi gerejawi, bahkan diyakini salah satu dari tujuh godaan dosa yang mematikan adalah hawa nafsu seksual yang berlebihan. Disebut mematikan karena banyak orang yang tidak tahan dan terjatuh karena godaan dosa ini. Daud terjatuh juga dalam godaan dosa ini. Nafsu seksualnya bangkit ketika dari sotoh istananya ia melihat Batsyeba mandi. Sebagai raja yang penuh kuasa, apa yang diingininya tak ada yang bisa menghalanginya. Betapapun ia tahu Batsyeba sudah bersuami, tidak menjadi halangan baginya untuk melampiaskan nafsu seksualnya kepada Batsyeba. Bagaimanapun dosa beranak-pinakan dosa. Itu juga yang terjadi pada Daud. Dosanya berlanjut dengan kelicikannya untuk menghabisi nyawa Uria-suami Batsyeba di medan perang. Sementara ia enak-enakan di istana (tidak ikut berperang), ia meminta Uria maju berperang di barisan depan tanpa dukungan kekuatan militer yang memadai. Membaca kisah ini kita mendapat gambaran seorang raja yang jauh dari ideal, baik dari segi kesetiaan terhadap Tuhan maupun rakyatnya. Seorang pemimpin yang juga tidak lagi bisa menjadi teladan dalam melawan godaan nafsu seksual bagi rakyat yang dipimpinnya. Dalam Pokok-pokok Ajaran GKJ diyakini bahwa setiap orang percaya sedang berada dalam perjalanan kesempurnaan keselamatan. Keselamatan memang sudah kita terima sebagai anugerah dari Tuhan, meskipun demikian setiap orang percaya memiliki tanggung jawab menjaga keselamatan ini agar tetap terpelihara selagi kita hidup di dunia ini. Oleh sebab itu, kita perlu mengasah dan menajamkan kepekaan kita terhadap godaan-godaan yang membuat kita jatuh dalam dosa yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Dengan kata lain: jangan pernah menyepelekan godaan dosa. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Kasih Karunia (Efesus 2: 8-22)
"Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah..." (Efesus 2: 8)
Tidak ada orang yang tidak ingin selamat. Baik selamat di dunia ini maupun di akhirat nanti. Oleh sebab itu tidak mengherankan, kata selamat begitu akrab di telinga kita. Selamat pagi, selamat datang, selamat jalan, selamat menempuh hidup baru, dan lain-lain. Pengharapan pada keselamatan pada dasarnya adalah pengharapan terhadap keselamatan yang menyeluruh. Apa gunanya selamat di dunia ini tetapi tidak selamat di akhirat? Sebaliknya juga, harapan untuk keselamatan di akhirat tidak berarti mengabaikan begitu saja keselamatan di dunia ini. Dalam keyakinan Rasul Paulus, keselamatan pertama-tama perlu dipahami sebagai pemberian Tuhan. Keselamatan merupakan kasih karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia. Kata Yunani yang dipakai untuk kasih karunia adalah kharis. Kata ini mengandung makna teologis bahwa penerima pemberian ini sebenarnya tidak layak diberi, meski demikian tetap diberi. Ia diberi bukan karena dalam dirinya sebagai penerima ada yang istimewa dibandingkan orang lain. Ia diberi karena Sang Pemberi itulah yang istimewa, bukan si penerima. Itulah sebabnya Paulus dengan tegas menyatakan: itu bukan hasil usahamu...bukan hasil pekerjaanmu, jangan ada orang yang memegahkan diri (ayat 9). Paulus tidak menginginkan jemaat menjadi arogan atas keselamatan yang diberikan Tuhan kepada mereka. Malah, siapapun yang telah menerima keselamatan itu dalam iman memiliki tanggung jawab untuk selalu hidup di dalam keselamatan yang Tuhan karuniakan. Ia tidak mau lagi menjadi orang yang ”jauh” dari Tuhan tetapi selalu menjadi orang yang “dekat” kepada Tuhan (ayat 13). Oleh sebab itu, sangatlah bijak untuk kita merenung ulang: Apakah keselamatan yang telah kita terima dari Tuhan telah menghantar kita semakin dekat pada Tuhan atau justru jauh dari Tuhan? Apakah keselamatan yang telah kita terima dari Tuhan membuat kita lebih rendah hati kepada sesama kita atau justru membuat kita jadi arogan terhadap sesama kita? Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Tidak ada orang yang tidak ingin selamat. Baik selamat di dunia ini maupun di akhirat nanti. Oleh sebab itu tidak mengherankan, kata selamat begitu akrab di telinga kita. Selamat pagi, selamat datang, selamat jalan, selamat menempuh hidup baru, dan lain-lain. Pengharapan pada keselamatan pada dasarnya adalah pengharapan terhadap keselamatan yang menyeluruh. Apa gunanya selamat di dunia ini tetapi tidak selamat di akhirat? Sebaliknya juga, harapan untuk keselamatan di akhirat tidak berarti mengabaikan begitu saja keselamatan di dunia ini. Dalam keyakinan Rasul Paulus, keselamatan pertama-tama perlu dipahami sebagai pemberian Tuhan. Keselamatan merupakan kasih karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia. Kata Yunani yang dipakai untuk kasih karunia adalah kharis. Kata ini mengandung makna teologis bahwa penerima pemberian ini sebenarnya tidak layak diberi, meski demikian tetap diberi. Ia diberi bukan karena dalam dirinya sebagai penerima ada yang istimewa dibandingkan orang lain. Ia diberi karena Sang Pemberi itulah yang istimewa, bukan si penerima. Itulah sebabnya Paulus dengan tegas menyatakan: itu bukan hasil usahamu...bukan hasil pekerjaanmu, jangan ada orang yang memegahkan diri (ayat 9). Paulus tidak menginginkan jemaat menjadi arogan atas keselamatan yang diberikan Tuhan kepada mereka. Malah, siapapun yang telah menerima keselamatan itu dalam iman memiliki tanggung jawab untuk selalu hidup di dalam keselamatan yang Tuhan karuniakan. Ia tidak mau lagi menjadi orang yang ”jauh” dari Tuhan tetapi selalu menjadi orang yang “dekat” kepada Tuhan (ayat 13). Oleh sebab itu, sangatlah bijak untuk kita merenung ulang: Apakah keselamatan yang telah kita terima dari Tuhan telah menghantar kita semakin dekat pada Tuhan atau justru jauh dari Tuhan? Apakah keselamatan yang telah kita terima dari Tuhan membuat kita lebih rendah hati kepada sesama kita atau justru membuat kita jadi arogan terhadap sesama kita? Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Setia Sampai Mati (Markus 6: 14-29)
"Sebab memang Herodeslah yang menyuruh orang menangkap Yohanes dan membelenggunya di penjara berhubung dengan peristiwa Herodias, isteri Filipus saudaranya, karena Herodes telah mengambilnya sebagai isteri" (Markus 6: 17)
Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat penghapus perbudakan, pernah berkata demikian: Aku harus berdiri di samping siapa pun yang benar, berdiri bersamanya selama dia benar dan memisahkan diri dengannya kalau dia menyimpang dari kebenaran. Hingga kematiannya karena ditembak oleh seorang fanatik pendukung perbudakan, Lincoln tetap setia pada kebenaran yang dipegangnya: semua manusia memiliki martabat yang setara. Yohanes Pembaptis dipenjarakan oleh Herodes (Antipas) karena keberaniannya menyuarakan kebenaran pada pemimpin yang sewenang-wenang. Ia mencela tindakan Herodes, yang mengambil Herodias-istri Filipus saudara satu ayah tetapi beda ibu, sebagai isterinya setelah menceraikan istrinya sendiri putri raja Nabatea Aretas IV. Bagi Yohanes, saat itu apa yang dilakukan Herodes telah melanggar hukum-hukum Tuhan tentang kekudusan perkawinan (baca: Imamat 18:16; 20:21). “Tidak halal engkau mengambil isteri saudaramu!” demikian kritik Yohanes Pembaptis. Rupanya yang gusar karena kritik Yohanes ini tidak hanya Herodes melainkan juga Herodias. Ketika ia punya kesempatan untuk membunuh Herodes, dengan liciknya ia memanfaatkan sumpah Herodes terhadap putrinya setelah Herodes terpukau oleh tarian anaknya itu dan mau memberi apa saja yang dimintanya. Anaknya segera meminta kepada Herodes:kepala Yohanes Pembaptis. Memang, ada “harga” yang kadang harus kita bayar ketika kita setia pada kebenaran Tuhan. Seperti Yohanes, Yesus juga membayar kesetiaan-Nya pada Bapa dengan kematian di kayu salib. “Harga” yang harus kita bayar, tentu bisa berbeda satu orang dengan lainnya. Namun saya yakin, anugerah-Nya akan memampukan kita membayar “harga” kebenaran iman yang kita pegang ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat penghapus perbudakan, pernah berkata demikian: Aku harus berdiri di samping siapa pun yang benar, berdiri bersamanya selama dia benar dan memisahkan diri dengannya kalau dia menyimpang dari kebenaran. Hingga kematiannya karena ditembak oleh seorang fanatik pendukung perbudakan, Lincoln tetap setia pada kebenaran yang dipegangnya: semua manusia memiliki martabat yang setara. Yohanes Pembaptis dipenjarakan oleh Herodes (Antipas) karena keberaniannya menyuarakan kebenaran pada pemimpin yang sewenang-wenang. Ia mencela tindakan Herodes, yang mengambil Herodias-istri Filipus saudara satu ayah tetapi beda ibu, sebagai isterinya setelah menceraikan istrinya sendiri putri raja Nabatea Aretas IV. Bagi Yohanes, saat itu apa yang dilakukan Herodes telah melanggar hukum-hukum Tuhan tentang kekudusan perkawinan (baca: Imamat 18:16; 20:21). “Tidak halal engkau mengambil isteri saudaramu!” demikian kritik Yohanes Pembaptis. Rupanya yang gusar karena kritik Yohanes ini tidak hanya Herodes melainkan juga Herodias. Ketika ia punya kesempatan untuk membunuh Herodes, dengan liciknya ia memanfaatkan sumpah Herodes terhadap putrinya setelah Herodes terpukau oleh tarian anaknya itu dan mau memberi apa saja yang dimintanya. Anaknya segera meminta kepada Herodes:kepala Yohanes Pembaptis. Memang, ada “harga” yang kadang harus kita bayar ketika kita setia pada kebenaran Tuhan. Seperti Yohanes, Yesus juga membayar kesetiaan-Nya pada Bapa dengan kematian di kayu salib. “Harga” yang harus kita bayar, tentu bisa berbeda satu orang dengan lainnya. Namun saya yakin, anugerah-Nya akan memampukan kita membayar “harga” kebenaran iman yang kita pegang ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Kasih Karunia-NYA Cukup! (2 Korintus 12: 2-10)
"Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah Kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2 Korintus 12: 9)
Kalau seseorang ditanya ingin hidup berkecukupan atau berlebihan, saya yakin banyak orang akan menjawab ingin hidup berlebihan. Bahkan orang yang memilih hidup berkecukupan, seringkali masih tetap punya anggapan hidup cukup itu relatif. Menurutnya, kecukupan keluarga A yang memiliki lima anak tentu tidak sama dengan keluarga B yang hanya memiliki dua anak. Rasul Paulus merupakan sosok penuh dedikasi pada Kristus. Meskipun demikian, tidak berarti ia tidak punya persoalan hidup. Dalam tubuhnya, bersemayam “duri dalam daging” yang mengganggunya(ayat 7). Kebanyakan para ahli tafsir alkitab memahami ungkapan ini sebagai penyakit yang selama ini diderita Paulus yang tak kunjung sembuh. Sudah tiga kali Paulus berdoa memohon kepada Tuhan agar “duri dalam daging” ini lenyap dalam tubuhnya, namun tak terkabulkan oleh Tuhan. Tuhan justru menjawab: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu...” (ayat 9). Menarik untuk diperhatikan kata cukup dalam bahasa Yunani: arkei, justru mengandung makna sudah berlimpah, sudah penuh. Jadi jawab Tuhan kepada Paulus, saya pahami begini:Yang kuberikan kepadamu itu sudah berlimpah-limpah, sehingga sudah mencukupimu, apalagi yang masih kurang? Cukupkanlah dengan apa yang sudah kuberikan kepadamu! Mahatma Gandhi pernah berkata: Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed. Bumi ini sesungguhnya bisa mencukupi kebutuhan semua umat manusia, tetapi tidak akan cukup memuaskan ketamakan satu orang. Ketika dalam doa permohonan kita pada Tuhan ada 10 item permintaan yang kita panjatkan, tidakkah sudah cukup apabila Tuhan mengabulkan tiga atau lima permintaan kita, ataukah kita baru merasa cukup kalau 10 item permintaan kita itu semua dikabulkan Tuhan? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo
Kalau seseorang ditanya ingin hidup berkecukupan atau berlebihan, saya yakin banyak orang akan menjawab ingin hidup berlebihan. Bahkan orang yang memilih hidup berkecukupan, seringkali masih tetap punya anggapan hidup cukup itu relatif. Menurutnya, kecukupan keluarga A yang memiliki lima anak tentu tidak sama dengan keluarga B yang hanya memiliki dua anak. Rasul Paulus merupakan sosok penuh dedikasi pada Kristus. Meskipun demikian, tidak berarti ia tidak punya persoalan hidup. Dalam tubuhnya, bersemayam “duri dalam daging” yang mengganggunya(ayat 7). Kebanyakan para ahli tafsir alkitab memahami ungkapan ini sebagai penyakit yang selama ini diderita Paulus yang tak kunjung sembuh. Sudah tiga kali Paulus berdoa memohon kepada Tuhan agar “duri dalam daging” ini lenyap dalam tubuhnya, namun tak terkabulkan oleh Tuhan. Tuhan justru menjawab: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu...” (ayat 9). Menarik untuk diperhatikan kata cukup dalam bahasa Yunani: arkei, justru mengandung makna sudah berlimpah, sudah penuh. Jadi jawab Tuhan kepada Paulus, saya pahami begini:Yang kuberikan kepadamu itu sudah berlimpah-limpah, sehingga sudah mencukupimu, apalagi yang masih kurang? Cukupkanlah dengan apa yang sudah kuberikan kepadamu! Mahatma Gandhi pernah berkata: Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed. Bumi ini sesungguhnya bisa mencukupi kebutuhan semua umat manusia, tetapi tidak akan cukup memuaskan ketamakan satu orang. Ketika dalam doa permohonan kita pada Tuhan ada 10 item permintaan yang kita panjatkan, tidakkah sudah cukup apabila Tuhan mengabulkan tiga atau lima permintaan kita, ataukah kita baru merasa cukup kalau 10 item permintaan kita itu semua dikabulkan Tuhan? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo
Pengampunan dan Kasih Setia (Mazmur 130)
"Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang." (Mazmur 130:4)
Lebih sulit mana untuk kita lakukan: Minta pengampunan atau memberi pengampunan? Bagi orang-orang tertentu, keduanya bisa sama-sama sulit dilakukan. Meminta pengampunan berarti mengakui bahwa kita sudah melakukan kesalahan kepada pihak lain, ini tidak mudah karena seseorang justru terbiasa menunjuk kesalahan pada pihak lain. Sedangkan memberi pengampunan berarti kesalahan orang lain terhadap kita tidak lagi kita hitung-hitung. Ini juga tidak mudah karena banyak orang lebih suka menghitung-hitung dan mengingat kesalahan pihak lain. Mazmur 130 merupakan mazmur ratapan untuk memohon pengampunan dari Tuhan atas dosa-dosa yang telah dilakukan umat-Nya. Permohonan ini tidak sekadar basa-basi, tetapi sungguh muncul dari kesadaran dan pertobatan yang mendalam atas dosa-dosa yang telah diperbuat umat kepada Tuhan. Pemazmur menggunakan ungkapan”dari jurang yang dalam” untuk menekankan besarnya jarak umat yang berdosa di hadapan Tuhan yang Maha Kudus (ayat 1). Pemazmur sungguh sadar, keberdosaan manusia yang dalam ini tidak layak untuk mendapat pengampunan Tuhan. Dari sudut inilah kita akhirnya melihat: pengampunan semata-mata adalah anugerah-Nya. Pada dasarnya kita tidak layak diampuni, tetapi ternyata Tuhan berkenan memberi pengampunan. Mengapa? Karena pada Tuhan memang ada pengampunan dan kasih setia. Pengampunan dimungkinkan karena kasih setia Tuhan kepada umat-Nya. Sebaliknya, kasih setia Tuhan dinyatakan ketika pengampunan diberikan kepada umat-Nya. Coba bayangkan kalau pada Tuhan tidak ada pengampunan dan kasih setia, manusia pasti hanya akan berhadapan dengan kemurkaan dan hukuman Tuhan atas dosa-dosanya! Coba bayangkan pula, kalau hidup kita tidak mau dijiwai dengan pengampunan dan kasih setia, banyak relasi dalam hidup kita akan putus dan terbengkalai. Penting bagi kita dalam kehidupan ini, belajar meminta pengampunan dan memberi pengampunan! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Lebih sulit mana untuk kita lakukan: Minta pengampunan atau memberi pengampunan? Bagi orang-orang tertentu, keduanya bisa sama-sama sulit dilakukan. Meminta pengampunan berarti mengakui bahwa kita sudah melakukan kesalahan kepada pihak lain, ini tidak mudah karena seseorang justru terbiasa menunjuk kesalahan pada pihak lain. Sedangkan memberi pengampunan berarti kesalahan orang lain terhadap kita tidak lagi kita hitung-hitung. Ini juga tidak mudah karena banyak orang lebih suka menghitung-hitung dan mengingat kesalahan pihak lain. Mazmur 130 merupakan mazmur ratapan untuk memohon pengampunan dari Tuhan atas dosa-dosa yang telah dilakukan umat-Nya. Permohonan ini tidak sekadar basa-basi, tetapi sungguh muncul dari kesadaran dan pertobatan yang mendalam atas dosa-dosa yang telah diperbuat umat kepada Tuhan. Pemazmur menggunakan ungkapan”dari jurang yang dalam” untuk menekankan besarnya jarak umat yang berdosa di hadapan Tuhan yang Maha Kudus (ayat 1). Pemazmur sungguh sadar, keberdosaan manusia yang dalam ini tidak layak untuk mendapat pengampunan Tuhan. Dari sudut inilah kita akhirnya melihat: pengampunan semata-mata adalah anugerah-Nya. Pada dasarnya kita tidak layak diampuni, tetapi ternyata Tuhan berkenan memberi pengampunan. Mengapa? Karena pada Tuhan memang ada pengampunan dan kasih setia. Pengampunan dimungkinkan karena kasih setia Tuhan kepada umat-Nya. Sebaliknya, kasih setia Tuhan dinyatakan ketika pengampunan diberikan kepada umat-Nya. Coba bayangkan kalau pada Tuhan tidak ada pengampunan dan kasih setia, manusia pasti hanya akan berhadapan dengan kemurkaan dan hukuman Tuhan atas dosa-dosanya! Coba bayangkan pula, kalau hidup kita tidak mau dijiwai dengan pengampunan dan kasih setia, banyak relasi dalam hidup kita akan putus dan terbengkalai. Penting bagi kita dalam kehidupan ini, belajar meminta pengampunan dan memberi pengampunan! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Yang Lemah Pun Dipakai-Nya (1 Samuel 17: 40-50)
“...Sebab di tangan TUHANlah pertempuran dan Ia pun menyerahkan kamu ke dalam tangan kami.” (1 Samuel 17: 47)
Pada dasarnya manusia mudah terpukau pada kebesaran, kemegahan, kekuatan dan kejayaan. Bahkan dalam psikologi ada ungkapan yang sering dipakai untuk menggambarkan hasrat manusia semacam ini, yakni Grandiosity. Ungkapan ini dipakai untuk menggambarkan manusia yang sering merasa dirinya sendiri lebih hebat, jaya, pintar dibandingkan manusia lainnya dan menganggap remeh orang-orang yang lebih lemah, bodoh, miskin,dsb. Dibandingkan Israel, teknologi militer bangsa Filistin pada waktu itu memang lebih baik. Mereka mengembangkan teknologi perang mereka dengan baik karena mereka menguasai produksi dan industri besi di kota-kota yang mereka duduki. Tidak heran mereka memandang remeh Israel. Goliat, salah satu jagoan perang mereka yang tinggi tubuhnya sekitar 3,2 meter, dengan perlengkapan perang yang lengkap, membuat tentara-tentara Israel dan raja Saul sangat ketakutan (ayat 11). Upaya raja Saul untuk memberikan hadiah anak perempuannya dan pembebasan pajak selama-lamanya bagi siapa yang mau melawan Goliat tetap tidak mampu mendorong tentara-tentara Israel berani melawan Goliat (ayat 25). Meski demikian, Goliat yang besar dan kuat itu pun akhirnya jatuh tersungkur di tanah hanya oleh tangan seorang gembala muda yang membawa sebuah umban dan lima buah kerikil. Rahasia kemenangan gembala muda itu rupanya terletak di sini: Di tangan Tuhan terletak akhir dari pertempuran ini. Bukan di tangan manusia dengan persenjataan yang hebat (ayat 47). Yang lemah dan tak berdaya bisa menjadi kuat jika ada dalam tangan penyertaan Tuhan. Sesungguhnya, tidak salah apabila manusia memiliki kerinduan untuk semakin hebat, besar, jaya, kaya dan pintar. Namun menjadi salah, kalau dengan kebesaran itu manusia mulai merendahkan orang lain. Semakin salah, kalau manusia tidak bisa memercayai bahwa Tuhan bisa memakai yang lemah dan tak berdaya dalam setiap karya-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Pada dasarnya manusia mudah terpukau pada kebesaran, kemegahan, kekuatan dan kejayaan. Bahkan dalam psikologi ada ungkapan yang sering dipakai untuk menggambarkan hasrat manusia semacam ini, yakni Grandiosity. Ungkapan ini dipakai untuk menggambarkan manusia yang sering merasa dirinya sendiri lebih hebat, jaya, pintar dibandingkan manusia lainnya dan menganggap remeh orang-orang yang lebih lemah, bodoh, miskin,dsb. Dibandingkan Israel, teknologi militer bangsa Filistin pada waktu itu memang lebih baik. Mereka mengembangkan teknologi perang mereka dengan baik karena mereka menguasai produksi dan industri besi di kota-kota yang mereka duduki. Tidak heran mereka memandang remeh Israel. Goliat, salah satu jagoan perang mereka yang tinggi tubuhnya sekitar 3,2 meter, dengan perlengkapan perang yang lengkap, membuat tentara-tentara Israel dan raja Saul sangat ketakutan (ayat 11). Upaya raja Saul untuk memberikan hadiah anak perempuannya dan pembebasan pajak selama-lamanya bagi siapa yang mau melawan Goliat tetap tidak mampu mendorong tentara-tentara Israel berani melawan Goliat (ayat 25). Meski demikian, Goliat yang besar dan kuat itu pun akhirnya jatuh tersungkur di tanah hanya oleh tangan seorang gembala muda yang membawa sebuah umban dan lima buah kerikil. Rahasia kemenangan gembala muda itu rupanya terletak di sini: Di tangan Tuhan terletak akhir dari pertempuran ini. Bukan di tangan manusia dengan persenjataan yang hebat (ayat 47). Yang lemah dan tak berdaya bisa menjadi kuat jika ada dalam tangan penyertaan Tuhan. Sesungguhnya, tidak salah apabila manusia memiliki kerinduan untuk semakin hebat, besar, jaya, kaya dan pintar. Namun menjadi salah, kalau dengan kebesaran itu manusia mulai merendahkan orang lain. Semakin salah, kalau manusia tidak bisa memercayai bahwa Tuhan bisa memakai yang lemah dan tak berdaya dalam setiap karya-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Hidup Bagi Kristus (2 Korintus 5: 14-17)
"Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka." (2 Korintus 5: 15)
Setiap orang sesungguhnya dihadapkan pada dua pilihan kehidupannya: Menjadikan hidupnya biasa-biasa saja atau menjadikan hidupnya penuh makna dan tujuan. Hidup biasa-biasa saja pada umumya dipahami hidup hanya untuk dirinya sendiri, hidup penuh makna dan tujuan berarti hidup yang tidak sekadar diarahkan untuk diri sendiri tetapi untuk pihak lain juga. Inilah sesungguhnya yang dimaksud Paulus ketika seseorang menjadi ciptaan yang baru di dalam Kristus. Kristus sendiri adalah sosok yang hidup-Nya penuh makna dan tujuan. Kristus telah mati untuk semua orang (ayat 15). Hidup satu orang dipersembahkan bagi kehidupan banyak orang. Hidup satu orang tidak hanya dirasakan kegunaannya untuk satu orang, tetapi bisa berguna bagi banyak orang. Oleh sebab itulah, siapa yang ada di dalam Kristus juga semestinya mewujudkan kehendak Yesus ini. Hidup yang juga dipersembahkan bagi pihak lain. Ia tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi bagi Kristus. Dan siapapun yang hidup bagi Kristus, ia hidup dengan merancang dan menjadikan hidupnya sendiri berguna dan bermakna bagi kehidupan pihak lain. Umur manusia begitu terbatas. Pada dasarnya dalam keterbatasan ini, manusia sering disibukkan oleh perkara-perkara hidup mereka sendiri. Kemacetan, pekerjaan, pendidikan, kebersamaan dan waktu dengan keluarga, telah menjadi bagian yang menghabiskan waktu kita dari pagi sampai petang. Akibatnya, manusia lebih sering terarah untuk hidup bagi dirinya sendiri. Meski demikian, menjadi panggilan kita semua untuk secara kreatif di tengah-tengah kesibukan kita ini, kita tetap berupaya agar hidup kita bisa menjadi hidup yang bermakna dan berguna bagi orang lain. Hanya dengan demikian, hidup kita tidak akan menjadi hidup yang biasa-biasa saja, tetapi hidup bagi Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Setiap orang sesungguhnya dihadapkan pada dua pilihan kehidupannya: Menjadikan hidupnya biasa-biasa saja atau menjadikan hidupnya penuh makna dan tujuan. Hidup biasa-biasa saja pada umumya dipahami hidup hanya untuk dirinya sendiri, hidup penuh makna dan tujuan berarti hidup yang tidak sekadar diarahkan untuk diri sendiri tetapi untuk pihak lain juga. Inilah sesungguhnya yang dimaksud Paulus ketika seseorang menjadi ciptaan yang baru di dalam Kristus. Kristus sendiri adalah sosok yang hidup-Nya penuh makna dan tujuan. Kristus telah mati untuk semua orang (ayat 15). Hidup satu orang dipersembahkan bagi kehidupan banyak orang. Hidup satu orang tidak hanya dirasakan kegunaannya untuk satu orang, tetapi bisa berguna bagi banyak orang. Oleh sebab itulah, siapa yang ada di dalam Kristus juga semestinya mewujudkan kehendak Yesus ini. Hidup yang juga dipersembahkan bagi pihak lain. Ia tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi bagi Kristus. Dan siapapun yang hidup bagi Kristus, ia hidup dengan merancang dan menjadikan hidupnya sendiri berguna dan bermakna bagi kehidupan pihak lain. Umur manusia begitu terbatas. Pada dasarnya dalam keterbatasan ini, manusia sering disibukkan oleh perkara-perkara hidup mereka sendiri. Kemacetan, pekerjaan, pendidikan, kebersamaan dan waktu dengan keluarga, telah menjadi bagian yang menghabiskan waktu kita dari pagi sampai petang. Akibatnya, manusia lebih sering terarah untuk hidup bagi dirinya sendiri. Meski demikian, menjadi panggilan kita semua untuk secara kreatif di tengah-tengah kesibukan kita ini, kita tetap berupaya agar hidup kita bisa menjadi hidup yang bermakna dan berguna bagi orang lain. Hanya dengan demikian, hidup kita tidak akan menjadi hidup yang biasa-biasa saja, tetapi hidup bagi Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Ibu dan Saudaraku (Markus 3: 31-35)
“Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Markus 3: 35)
Baik di dunia Asia Barat Daya kuno maupun Asia modern ini (dunia Timur), tidak hanya keluarga inti/nucleus family yang memiliki peran penting dalam kehidupan seseorang melainkan juga keluarga besar /extended family. Berbeda dengan dunia Barat yang memberi penekanan besar pada kebebasan individu, dunia Timur lebih memberi tekanan pada keselarasan individu dengan komunitas. Oleh sebab itu tidak terlalu mengherankan, jika kaum keluarga Yesus agak resah dan bahkan mungkin malu dengan perkataan dan perbuatan Yesus belakangan ini. Mereka beranggapan Yesus sedikit banyak telah menciptakan masalah dengan keselarasan komunitas sosial dengan tampil sebagai pribadi yang punya pandangan dan ajaran yang berbeda. Kaum keluarga-Nya sendiri bahkan menganggap Yesus sudah tidak waras (ayat 21). Pemuka agama Yahudi yang secara khusus datang dari Yerusalem untuk melakukan investigasi terhadap Yesus berkesimpulan bahwa Yesus telah kerasukan setan Beelzebul (ayat 22). Keluarga Yesus tampaknya segera ingin menjemput Yesus dari tempat Ia mengajar dan mengajak-Nya pulang agar bisa segera membereskan persoalan keluarga ini. Namun ketika Yesus diberitahu bahwa Ibu dan Saudara-saudara-Nya datang untuk menjemput-Nya, Yesus justru berkata pada orang-orang di sekeliling-Nya: Inilah Ibu-Ku, Inilah Saudara-Ku, yakni siapa saja yang melakukan kehendak Allah. Perkataan Yesus ini bukanlah suatu tanda penyangkalan terhadap Ibu dan Saudara biologis-Nya. Justru sebuah warta baru bahwa relasi dengan Yesus tidak pernah ditentukan dengan ada-tidaknya kaitan biologis dengan Yesus, melainkan ada-tidaknya kaitan kita dengan kehendak Allah. Keluarga inti atau keluarga besar menjadi keluarga yang penting dalam Tuhan sejauh memampukan pribadi-pribadi dalam keluarga tersebut mewujudkan kehendak Allah dan bukan justru mengabaikan kehendak-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Baik di dunia Asia Barat Daya kuno maupun Asia modern ini (dunia Timur), tidak hanya keluarga inti/nucleus family yang memiliki peran penting dalam kehidupan seseorang melainkan juga keluarga besar /extended family. Berbeda dengan dunia Barat yang memberi penekanan besar pada kebebasan individu, dunia Timur lebih memberi tekanan pada keselarasan individu dengan komunitas. Oleh sebab itu tidak terlalu mengherankan, jika kaum keluarga Yesus agak resah dan bahkan mungkin malu dengan perkataan dan perbuatan Yesus belakangan ini. Mereka beranggapan Yesus sedikit banyak telah menciptakan masalah dengan keselarasan komunitas sosial dengan tampil sebagai pribadi yang punya pandangan dan ajaran yang berbeda. Kaum keluarga-Nya sendiri bahkan menganggap Yesus sudah tidak waras (ayat 21). Pemuka agama Yahudi yang secara khusus datang dari Yerusalem untuk melakukan investigasi terhadap Yesus berkesimpulan bahwa Yesus telah kerasukan setan Beelzebul (ayat 22). Keluarga Yesus tampaknya segera ingin menjemput Yesus dari tempat Ia mengajar dan mengajak-Nya pulang agar bisa segera membereskan persoalan keluarga ini. Namun ketika Yesus diberitahu bahwa Ibu dan Saudara-saudara-Nya datang untuk menjemput-Nya, Yesus justru berkata pada orang-orang di sekeliling-Nya: Inilah Ibu-Ku, Inilah Saudara-Ku, yakni siapa saja yang melakukan kehendak Allah. Perkataan Yesus ini bukanlah suatu tanda penyangkalan terhadap Ibu dan Saudara biologis-Nya. Justru sebuah warta baru bahwa relasi dengan Yesus tidak pernah ditentukan dengan ada-tidaknya kaitan biologis dengan Yesus, melainkan ada-tidaknya kaitan kita dengan kehendak Allah. Keluarga inti atau keluarga besar menjadi keluarga yang penting dalam Tuhan sejauh memampukan pribadi-pribadi dalam keluarga tersebut mewujudkan kehendak Allah dan bukan justru mengabaikan kehendak-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Mau Diutus (Yesaya 6: 1-8)
"Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Maka sahutku: “Ini aku, utuslah aku!”" (Yesaya 6: 8)
Apa yang biasanya mendorong seseorang mau melakukan sesuatu dalam hidupnya? Menurut beberapa pakar motivasi, paling tidak diketahui ada empat dorongan: Dorongan untuk memiliki, dorongan untuk membina relasi, dorongan untuk pengembangan diri-keberlangsungan hidup dan dorongan untuk memberikan makna/tujuan hidup. Yesaya adalah seorang anak bangsawan yang tinggal di Yerusalem pada waktu Kerajaan Israel pecah menjadi dua: Israel dan Yehuda. Pada umur 25 tahun ketika ia berada di Bait Allah Yerusalem, ia merasakan kehadiran Tuhan dalam sebuah penglihatan. Dalam penglihatan itulah, ia menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari manusia yang penuh dosa di hadapan Tuhan. Ia khawatir pengalaman penglihatan itu akan menjadi saat akhir hidupnya. Kekhawatiran ini tampak ketika ia berseru, “Celakalah aku! Aku binasa!” (ayat 5). Akan tetapi Yesaya tidak mati. Tuhan mengampuni kesalahan dan dosa-dosanya. Bahkan kemudian Tuhan bertanya kepada Yesaya apakah ia mau pergi untuk melakukan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya. Yesaya ternyata mau, dengan sukacita ia menjawab: Ini aku, utuslah aku! Apa sebenarnya yang menjadi dorongan bagi Yesaya sehingga mau diutus oleh Tuhan untuk melakukan pekerjaan bagi umat-Nya di kerajaan Yehuda? Tidak mudah untuk menyebutkan dengan pasti, tetapi kita bisa melihat dorongan yang paling menonjol adalah menjadikan hidupnya bermakna bagi orang lain. Pengampunan dosa yang ia terima dari Tuhan membuat Yesaya ingin menjadikan hidupnya lebih bermakna atau memiliki tujuan di dalam Tuhan. Oleh sebab itu, saya berharap Anda juga tidak enggan untuk menjawab: Ini aku, utuslah aku, pada saat Tuhan meminta Anda ikut serta dalam pekerjaan dan karya-Nya bagi kehidupan ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Apa yang biasanya mendorong seseorang mau melakukan sesuatu dalam hidupnya? Menurut beberapa pakar motivasi, paling tidak diketahui ada empat dorongan: Dorongan untuk memiliki, dorongan untuk membina relasi, dorongan untuk pengembangan diri-keberlangsungan hidup dan dorongan untuk memberikan makna/tujuan hidup. Yesaya adalah seorang anak bangsawan yang tinggal di Yerusalem pada waktu Kerajaan Israel pecah menjadi dua: Israel dan Yehuda. Pada umur 25 tahun ketika ia berada di Bait Allah Yerusalem, ia merasakan kehadiran Tuhan dalam sebuah penglihatan. Dalam penglihatan itulah, ia menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari manusia yang penuh dosa di hadapan Tuhan. Ia khawatir pengalaman penglihatan itu akan menjadi saat akhir hidupnya. Kekhawatiran ini tampak ketika ia berseru, “Celakalah aku! Aku binasa!” (ayat 5). Akan tetapi Yesaya tidak mati. Tuhan mengampuni kesalahan dan dosa-dosanya. Bahkan kemudian Tuhan bertanya kepada Yesaya apakah ia mau pergi untuk melakukan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya. Yesaya ternyata mau, dengan sukacita ia menjawab: Ini aku, utuslah aku! Apa sebenarnya yang menjadi dorongan bagi Yesaya sehingga mau diutus oleh Tuhan untuk melakukan pekerjaan bagi umat-Nya di kerajaan Yehuda? Tidak mudah untuk menyebutkan dengan pasti, tetapi kita bisa melihat dorongan yang paling menonjol adalah menjadikan hidupnya bermakna bagi orang lain. Pengampunan dosa yang ia terima dari Tuhan membuat Yesaya ingin menjadikan hidupnya lebih bermakna atau memiliki tujuan di dalam Tuhan. Oleh sebab itu, saya berharap Anda juga tidak enggan untuk menjawab: Ini aku, utuslah aku, pada saat Tuhan meminta Anda ikut serta dalam pekerjaan dan karya-Nya bagi kehidupan ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Kebaikan Roh Kudus (Roma 8: 18-30)
"Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah." (Roma 8: 28)
Banyak orang bisa mengalami kehampaan spiritual dalam hidup ini. Apakah karena mereka tidak beragama? Mereka bisa saja beragama atau bahkan sangat rajin beragama. Kehampaan spiritual terjadi ketika mereka mulai merasakan kehidupan mereka, termasuk kehidupan beragama mereka berjalan karena semata-mata buah kemampuan dan kerja keras mereka. Ketika Yesus naik ke surga, apakah berarti Allah “lepas tangan” begitu saja terhadap kehidupan manusia? Kalau Allah lepas tangan begitu saja terhadap kehidupan manusia di dunia ( suatu bentuk keyakinan yang dipegang oleh penganut paham deisme), manusia bisa mengklaim bahwa segala kehidupannya adalah buah usaha dan kerja keras mereka. Akan tetapi Allah tidak “lepas tangan”. Allah hadir melalui karya Roh Kudus. Peristiwa yang terjadi di hari Pentakosta (baca: Kisah ParaRasul 2: 1-13) adalah cara baru Allah dalam menyertai kehidupan manusia, tidak melalui kehadiran Yesus secara fisik melainkan kuasa Roh-Nya. Paulus mengungkapkan keyakinan ini melalui kata-kata: Allah turut bekerja. Dalam bahasa Yunani tertulis:sunergei, dari kata dasar sunergos, berarti rekan sekerja. Allah menempatkan diri sebagai rekan sekerja manusia yang aktif bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia dalam kehidupan ini. Ini berarti Allah tidak pernah “lepas tangan”, Allah tetap “turun tangan” untuk menolong manusia menerima kebaikan dan berkat-berkat Allah melalui Roh Kudus. Dengan demikian kita semestinya tidak perlu merasakan kehampaan spiritual, juga perasaan hampa dan sendiri dalam menjalani hidup ini. Peristiwa Pentakosta merupakan peristiwa yang menyatakan pengharapan kita akan kebaikan-kebaikan Roh Kudus yang tetap kita terima dalam perjalanan hidup ini. Peristiwa Pentakosta selalu bermakna kita tidak pernah sendirian, Roh Kudus menjadi kawan sekerja kita di hidup ini. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Banyak orang bisa mengalami kehampaan spiritual dalam hidup ini. Apakah karena mereka tidak beragama? Mereka bisa saja beragama atau bahkan sangat rajin beragama. Kehampaan spiritual terjadi ketika mereka mulai merasakan kehidupan mereka, termasuk kehidupan beragama mereka berjalan karena semata-mata buah kemampuan dan kerja keras mereka. Ketika Yesus naik ke surga, apakah berarti Allah “lepas tangan” begitu saja terhadap kehidupan manusia? Kalau Allah lepas tangan begitu saja terhadap kehidupan manusia di dunia ( suatu bentuk keyakinan yang dipegang oleh penganut paham deisme), manusia bisa mengklaim bahwa segala kehidupannya adalah buah usaha dan kerja keras mereka. Akan tetapi Allah tidak “lepas tangan”. Allah hadir melalui karya Roh Kudus. Peristiwa yang terjadi di hari Pentakosta (baca: Kisah ParaRasul 2: 1-13) adalah cara baru Allah dalam menyertai kehidupan manusia, tidak melalui kehadiran Yesus secara fisik melainkan kuasa Roh-Nya. Paulus mengungkapkan keyakinan ini melalui kata-kata: Allah turut bekerja. Dalam bahasa Yunani tertulis:sunergei, dari kata dasar sunergos, berarti rekan sekerja. Allah menempatkan diri sebagai rekan sekerja manusia yang aktif bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia dalam kehidupan ini. Ini berarti Allah tidak pernah “lepas tangan”, Allah tetap “turun tangan” untuk menolong manusia menerima kebaikan dan berkat-berkat Allah melalui Roh Kudus. Dengan demikian kita semestinya tidak perlu merasakan kehampaan spiritual, juga perasaan hampa dan sendiri dalam menjalani hidup ini. Peristiwa Pentakosta merupakan peristiwa yang menyatakan pengharapan kita akan kebaikan-kebaikan Roh Kudus yang tetap kita terima dalam perjalanan hidup ini. Peristiwa Pentakosta selalu bermakna kita tidak pernah sendirian, Roh Kudus menjadi kawan sekerja kita di hidup ini. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Bagai Pohon yang Berbuah (Mazmur 1: 1-6)
"Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1: 3)
Ada banyak yang harus diperhatikan agar pohon bisa menghasilkan buah seperti yang diharapkan. Diperlukan lahan yang subur, pengetahuan tentang habitat tanaman, pemupukan, penyiangan, dan bahkan pengetahuan yang memadai tentang hama tanaman dan cara mengatasinya. Pohon yang berbuah tentu adalah pohon yang diharapkan oleh penanamnya. Sang Pemazmur mengilustrasikan kehidupan orang benar sebagai pohon yang berbuah. Mengapa orang benar bisa menghasilkan buah sesuai yang diharapkan? Orang-orang benar itu menyadari dan menghindari segala bentuk situasi dan kondisi yang bisa menjadikan mereka tidak berbuah dan akrab dengan segala situasi dan kondisi yang bisa memampukan mereka berbuah. Orang benar (Ibrani: tsedeq) adalah orang yang tidak mau hidup dalam pola pikir dan pola laku yang sama dengan orang fasik. Nasihat, jalan dan kumpulan orang fasik dipahami sebagai sumber pola pikir dan pola laku yang harus dihindari oleh orang-orang benar (ayat 1). Tentu ini bukan suatu ajakan yang bermaksud menciptakan sebuah kelompok eksklusif atas kelompok lainnya. Ini adalah suatu ajakan bagi orang-orang benar untuk menolak pola pikir dan pola laku orang fasik menjadi bagian pola pikir dan pola laku kehidupan mereka. Pola pikir dan pola laku orang benar adalah pola pikir dan pola laku yang mencerminkan kecintaannya untuk melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan sesuai firman-Nya (ayat 2). Kehidupan dan kesaksian kita sebagai orang Kristen tentu akan dilihat orang lain dari buah yang kita hasilkan. Kalau buahnya baik, orang lain juga akan mengalami berkat atas kehadiran kita, sebaliknya kalau buahnya busuk, orang lain juga tidak akan mendapatkan berkat atas kehidupan kita. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Ada banyak yang harus diperhatikan agar pohon bisa menghasilkan buah seperti yang diharapkan. Diperlukan lahan yang subur, pengetahuan tentang habitat tanaman, pemupukan, penyiangan, dan bahkan pengetahuan yang memadai tentang hama tanaman dan cara mengatasinya. Pohon yang berbuah tentu adalah pohon yang diharapkan oleh penanamnya. Sang Pemazmur mengilustrasikan kehidupan orang benar sebagai pohon yang berbuah. Mengapa orang benar bisa menghasilkan buah sesuai yang diharapkan? Orang-orang benar itu menyadari dan menghindari segala bentuk situasi dan kondisi yang bisa menjadikan mereka tidak berbuah dan akrab dengan segala situasi dan kondisi yang bisa memampukan mereka berbuah. Orang benar (Ibrani: tsedeq) adalah orang yang tidak mau hidup dalam pola pikir dan pola laku yang sama dengan orang fasik. Nasihat, jalan dan kumpulan orang fasik dipahami sebagai sumber pola pikir dan pola laku yang harus dihindari oleh orang-orang benar (ayat 1). Tentu ini bukan suatu ajakan yang bermaksud menciptakan sebuah kelompok eksklusif atas kelompok lainnya. Ini adalah suatu ajakan bagi orang-orang benar untuk menolak pola pikir dan pola laku orang fasik menjadi bagian pola pikir dan pola laku kehidupan mereka. Pola pikir dan pola laku orang benar adalah pola pikir dan pola laku yang mencerminkan kecintaannya untuk melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan sesuai firman-Nya (ayat 2). Kehidupan dan kesaksian kita sebagai orang Kristen tentu akan dilihat orang lain dari buah yang kita hasilkan. Kalau buahnya baik, orang lain juga akan mengalami berkat atas kehadiran kita, sebaliknya kalau buahnya busuk, orang lain juga tidak akan mendapatkan berkat atas kehidupan kita. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Yesus Kristus adalah TUHAN (Kisah Rasul 10: 34-48)
“...yaitu firman yang memberitakan damai sejahtera oleh Yesus Kristus, yang adalah Tuhan dari semua orang.” (Kisah 10: 36)
Di Yogyakarta, orang-orang yang masih memiliki darah bangsawan biasa memiliki gelar Gusti yang melekat dengan namanya. Istri Sri Sultan HB X misalnya bernama Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Seorang putra mahkota kerajaan akan memiliki gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anum. Dalam bahasa Jawa, Gusti bisa memiliki dua arti: Tuan atau Tuhan. Tentu saja, orang Yogyakarta sekarang kalau menyebut para bangsawan ini dengan Gusti, yang dimaksud adalah Tuan (manusia semata) bukan Tuhan yang ilahi. Rasul Petrus dalam kotbahnya di hadapan Kornelius, seorang perwira Romawi, dan banyak orang lainnya menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan dari semua orang (ayat 36). Kata Tuhan dalam bahasa Yunani tertulis: kyrios. Seperti halnya kata Gusti, kata Kyrios ini juga bisa berarti tuan atau Tuhan. Pengalaman Petrus pasca kebangkitan Yesus tentu saja mengantarnya untuk mengimani Yesus tidak hanya sebagai Tuan tetapi juga yang paling hakiki, Yesus sebagai Tuhan. Yesus itulah Tuhan Juruselamat umat manusia. Yesus itulah Tuhan yang menjadi hakim atas orang-orang hidup dan mati (ayat 42). Yesus itulah Tuhan, siapa yang percaya kepada-Nya akan mendapat pengampunan dosa (ayat 43). Apa yang kita percayai tentang Yesus pastilah juga membentuk perilaku kita sebagai orang Kristen. Kalau kita mengimani Yesus adalah Tuhan, bukan sekadar Tuan, semestinya kita memahami dan berpegang teguh bahwa Yesuslah juruselamat kita yang sejati dalam berbagai situasi kehidupan yang kita hadapi. Yang menjadi juruselamat kita bukan lagi kekuasaan, juga bukan kekayaan. Sungguh memprihatinkan, jikalau dalam kesulitan hidup, masih banyak orang Kristen melupakan dia sebagai Tuhan dan memperlakukannya hanya sebagai Tuan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Di Yogyakarta, orang-orang yang masih memiliki darah bangsawan biasa memiliki gelar Gusti yang melekat dengan namanya. Istri Sri Sultan HB X misalnya bernama Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Seorang putra mahkota kerajaan akan memiliki gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anum. Dalam bahasa Jawa, Gusti bisa memiliki dua arti: Tuan atau Tuhan. Tentu saja, orang Yogyakarta sekarang kalau menyebut para bangsawan ini dengan Gusti, yang dimaksud adalah Tuan (manusia semata) bukan Tuhan yang ilahi. Rasul Petrus dalam kotbahnya di hadapan Kornelius, seorang perwira Romawi, dan banyak orang lainnya menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan dari semua orang (ayat 36). Kata Tuhan dalam bahasa Yunani tertulis: kyrios. Seperti halnya kata Gusti, kata Kyrios ini juga bisa berarti tuan atau Tuhan. Pengalaman Petrus pasca kebangkitan Yesus tentu saja mengantarnya untuk mengimani Yesus tidak hanya sebagai Tuan tetapi juga yang paling hakiki, Yesus sebagai Tuhan. Yesus itulah Tuhan Juruselamat umat manusia. Yesus itulah Tuhan yang menjadi hakim atas orang-orang hidup dan mati (ayat 42). Yesus itulah Tuhan, siapa yang percaya kepada-Nya akan mendapat pengampunan dosa (ayat 43). Apa yang kita percayai tentang Yesus pastilah juga membentuk perilaku kita sebagai orang Kristen. Kalau kita mengimani Yesus adalah Tuhan, bukan sekadar Tuan, semestinya kita memahami dan berpegang teguh bahwa Yesuslah juruselamat kita yang sejati dalam berbagai situasi kehidupan yang kita hadapi. Yang menjadi juruselamat kita bukan lagi kekuasaan, juga bukan kekayaan. Sungguh memprihatinkan, jikalau dalam kesulitan hidup, masih banyak orang Kristen melupakan dia sebagai Tuhan dan memperlakukannya hanya sebagai Tuan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Membimbing dan Mendampingi (Kisah Para Rasul 8: 26-40)
"Jawabnya: “Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku” Lalu ia meminta Filipus naik dan duduk di sampingnya." (Kisah 8: 31)
Banyak cara seseorang bisa belajar. Seseorang bisa belajar secara autodidak (sendiri) maupun dengan pembimbingan dan pendampingan pihak lain. Tentu saja berhasil dan tidaknya cara belajar semacam itu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Seorang sida-sida dari Etiopia itu rupanya sedang belajar kitab suci secara autodidak. Seorang sida-sida biasanya adalah seorang laki-laki yang dikebiri terkait dengan tugas yang mengharuskannya dekat dengan seorang ratu atau istri raja. Ia sedang membaca bagian dari kitab Yesaya ketika Filipus mendekatinya. Filipus mendekati sida-sida ini karena perintah Roh Kudus (ayat 29). Kemauan sida-sida ini untuk mengerti bagian dari kitab Yesaya yang dibacanya mendapat respons yang positif dari Filipus. Ia membimbing dan mendampingi sida-sida itu untuk mengerti bahwa Yesaya 53: 7-8 yang dibacanya tersebut memberikan gambaran ke depan tentang karya penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus. Bimbingan dan pendampingan Filipus akhirnya membuat sida-sida itu memutuskan diri untuk dibaptis. Pembabtisan sida-sida ini sekaligus menunjukkan bahwa kuasa Roh Kudus bekerja secara universal, tidak dibatasi oleh suku, bangsa dan hukum-hukum agama (Yahudi) sekalipun. Pada waktu itu, bagi kebanyakan orang Yahudi, orang semacam sida-sida ini tidak layak diterima dalam persekutuan orang kudus (lihat: Ulangan 23:1). Iman dan kesaksian kita bisa bertumbuh baik melalui proses autodidak maupun pembimbingan dan pendampingan orang lain. Dengan kata lain, di gereja kita belajar melalui mendengar kotbah pihak lain, sedangkan di rumah kita belajar menggali pesan firman Tuhan secara autodidak dengan membaca alkitab. Bahkan bisa saja, kita memiliki kesempatan untuk membimbing dan mendampingi pihak lain yang ingin mengerti firman Tuhan yang kita yakini. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Banyak cara seseorang bisa belajar. Seseorang bisa belajar secara autodidak (sendiri) maupun dengan pembimbingan dan pendampingan pihak lain. Tentu saja berhasil dan tidaknya cara belajar semacam itu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Seorang sida-sida dari Etiopia itu rupanya sedang belajar kitab suci secara autodidak. Seorang sida-sida biasanya adalah seorang laki-laki yang dikebiri terkait dengan tugas yang mengharuskannya dekat dengan seorang ratu atau istri raja. Ia sedang membaca bagian dari kitab Yesaya ketika Filipus mendekatinya. Filipus mendekati sida-sida ini karena perintah Roh Kudus (ayat 29). Kemauan sida-sida ini untuk mengerti bagian dari kitab Yesaya yang dibacanya mendapat respons yang positif dari Filipus. Ia membimbing dan mendampingi sida-sida itu untuk mengerti bahwa Yesaya 53: 7-8 yang dibacanya tersebut memberikan gambaran ke depan tentang karya penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus. Bimbingan dan pendampingan Filipus akhirnya membuat sida-sida itu memutuskan diri untuk dibaptis. Pembabtisan sida-sida ini sekaligus menunjukkan bahwa kuasa Roh Kudus bekerja secara universal, tidak dibatasi oleh suku, bangsa dan hukum-hukum agama (Yahudi) sekalipun. Pada waktu itu, bagi kebanyakan orang Yahudi, orang semacam sida-sida ini tidak layak diterima dalam persekutuan orang kudus (lihat: Ulangan 23:1). Iman dan kesaksian kita bisa bertumbuh baik melalui proses autodidak maupun pembimbingan dan pendampingan orang lain. Dengan kata lain, di gereja kita belajar melalui mendengar kotbah pihak lain, sedangkan di rumah kita belajar menggali pesan firman Tuhan secara autodidak dengan membaca alkitab. Bahkan bisa saja, kita memiliki kesempatan untuk membimbing dan mendampingi pihak lain yang ingin mengerti firman Tuhan yang kita yakini. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Indahnya Hidup (Mazmur 23)
"Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.."(Mazmur 23: 6)
Bagi Giosue seorang bocah Yahudi berumur 5 tahun, hidup tetap terasa indah, ketika tanpa diketahuinya, Guido ayahnya mengubah penderitaan mereka di sebuah kamp konsentrasi Nazi menjadi sebuah bentuk permainan yang menyenangkan. Bagi sang ayah, tidak selayaknya anak laki-lakinya itu merasakan beban penderitaan yang sama seperti yang ia rasakan. Hidup bagi anaknya tetap harus dirasakan indah betapapun sebenarnya mereka sedang dalam penderitaan berat. Cerita menarik ini dikisahkan dalam sebuah film produksi tahun 1997 berjudul Life is Beautiful. Sang pemazmur sungguh mengalami indahnya kehidupan dalam pemeliharaan Sang Gembala sejati. Mazmur 23 sesungguhnya merupakan kesaksian sang pemazmur atas perjalanan hidupnya yang indah tersebut. Kita keliru kalau menyangka hidup yang indah berarti hidup yang bebas dari persoalan dan pergumulan hidup. Secara jujur sang pemazmur justru mengungkapkan hidupnya juga tidak bebas dari berbagai persoalan, kemalangan, penderitaan dan dukacita. Ia katakan melalui ungkapan “berjalan dalam lembah kekelaman” (ayat 4). Indahnya kehidupan ia rasakan betapapun ia berjalan dalam lembah kekelaman tersebut, ia tidak pernah merasa berjalan sendirian sebab Tuhan menyertai dan tidak meninggalkannya. Selama hidupnya, kebaikan dan kasih setia Tuhan tidak pernah pudar dalam setiap bentuk kehidupan yang ia jalani (ayat 6). Hidup dalam Tuhan memang indah namun keindahannya bukan sekadar karena berkat-berkat Tuhan yang kita terima dalam hidup ini. Hidup dalam Tuhan kita rasakan indah justru ketika kita berada dalam “lembah kekelaman” kita masing-masing, kita tidak melewatinya sendirian. Ia berjalan bersama kita. Ia menggendong kita. Ia membopong kita. Amin.
Bagi Giosue seorang bocah Yahudi berumur 5 tahun, hidup tetap terasa indah, ketika tanpa diketahuinya, Guido ayahnya mengubah penderitaan mereka di sebuah kamp konsentrasi Nazi menjadi sebuah bentuk permainan yang menyenangkan. Bagi sang ayah, tidak selayaknya anak laki-lakinya itu merasakan beban penderitaan yang sama seperti yang ia rasakan. Hidup bagi anaknya tetap harus dirasakan indah betapapun sebenarnya mereka sedang dalam penderitaan berat. Cerita menarik ini dikisahkan dalam sebuah film produksi tahun 1997 berjudul Life is Beautiful. Sang pemazmur sungguh mengalami indahnya kehidupan dalam pemeliharaan Sang Gembala sejati. Mazmur 23 sesungguhnya merupakan kesaksian sang pemazmur atas perjalanan hidupnya yang indah tersebut. Kita keliru kalau menyangka hidup yang indah berarti hidup yang bebas dari persoalan dan pergumulan hidup. Secara jujur sang pemazmur justru mengungkapkan hidupnya juga tidak bebas dari berbagai persoalan, kemalangan, penderitaan dan dukacita. Ia katakan melalui ungkapan “berjalan dalam lembah kekelaman” (ayat 4). Indahnya kehidupan ia rasakan betapapun ia berjalan dalam lembah kekelaman tersebut, ia tidak pernah merasa berjalan sendirian sebab Tuhan menyertai dan tidak meninggalkannya. Selama hidupnya, kebaikan dan kasih setia Tuhan tidak pernah pudar dalam setiap bentuk kehidupan yang ia jalani (ayat 6). Hidup dalam Tuhan memang indah namun keindahannya bukan sekadar karena berkat-berkat Tuhan yang kita terima dalam hidup ini. Hidup dalam Tuhan kita rasakan indah justru ketika kita berada dalam “lembah kekelaman” kita masing-masing, kita tidak melewatinya sendirian. Ia berjalan bersama kita. Ia menggendong kita. Ia membopong kita. Amin.
Katakan Tidak Pada Dosa (1 Yohanes 3: 1-10)
"Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah" (1 Yohanes 3: 9)
Saya yakin, pada dasarnya setiap orang dalam lubuk hatinya yang paling dalam mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang diperkenan Allah dan mana yang berdosa di hadapan Allah. Pada dasarnya setiap anak yang lahir dalam keluarga dan komunitas beragama telah belajar membedakan batas dosa dan ketidakberdosaan. Dosa tetap terjadi ketika, mengutip teolog besar Bonhoeffer, batas diinjak-injak, batas dilewati, seperti Hawa dan Adam yang melewati batas dengan memakan buah larangan Tuhan. Penulis surat Yohanes ini sungguh memiliki pandangan apresiatif tentang keberadaan manusia sebagai ciptaan Tuhan. Manusia sebagai ciptaan Tuhan pada dirinya sendiri mewujudkan keagungan Tuhan. Dalam dirinya sebagai manusia, manusia memiliki benih ilahi yang membuat keterhubungan manusia dengan Tuhan sangat dimungkinkan terjadi. Menarik sekali, kata benih yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah kata sperma, yang dalam istilah medis sekarang tetap dipakai untuk menunjukkan sel dari laki-laki yang sangat penting dalam proses pembuahan dan kelahiran anak. Tentu saja, kata sperma dipakai tidak untuk menunjukkan secara harfiah adanya keterhubungan biologis antara Tuhan dengan manusia dalam pengertian reproduksi seksual, melainkan keterhubungan spiritual yang istimewa antara Tuhan dan manusia. Keterhubungan spiritual yang istimewa inilah yang semestinya memampukan kita untuk mengatakan tidak pada godaan dosa. Barangsiapa yang tetap berbuat dosa berarti berada pada pihak iblis, karena iblis berbuat dosa dari mulanya (ayat 8). Jadi, bisakah kita tidak menginjak-injak dan melampaui batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan? Bisakah kita mengatakan tidak pada dosa? Saya yakin, Anda pasti bisa! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Saya yakin, pada dasarnya setiap orang dalam lubuk hatinya yang paling dalam mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang diperkenan Allah dan mana yang berdosa di hadapan Allah. Pada dasarnya setiap anak yang lahir dalam keluarga dan komunitas beragama telah belajar membedakan batas dosa dan ketidakberdosaan. Dosa tetap terjadi ketika, mengutip teolog besar Bonhoeffer, batas diinjak-injak, batas dilewati, seperti Hawa dan Adam yang melewati batas dengan memakan buah larangan Tuhan. Penulis surat Yohanes ini sungguh memiliki pandangan apresiatif tentang keberadaan manusia sebagai ciptaan Tuhan. Manusia sebagai ciptaan Tuhan pada dirinya sendiri mewujudkan keagungan Tuhan. Dalam dirinya sebagai manusia, manusia memiliki benih ilahi yang membuat keterhubungan manusia dengan Tuhan sangat dimungkinkan terjadi. Menarik sekali, kata benih yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah kata sperma, yang dalam istilah medis sekarang tetap dipakai untuk menunjukkan sel dari laki-laki yang sangat penting dalam proses pembuahan dan kelahiran anak. Tentu saja, kata sperma dipakai tidak untuk menunjukkan secara harfiah adanya keterhubungan biologis antara Tuhan dengan manusia dalam pengertian reproduksi seksual, melainkan keterhubungan spiritual yang istimewa antara Tuhan dan manusia. Keterhubungan spiritual yang istimewa inilah yang semestinya memampukan kita untuk mengatakan tidak pada godaan dosa. Barangsiapa yang tetap berbuat dosa berarti berada pada pihak iblis, karena iblis berbuat dosa dari mulanya (ayat 8). Jadi, bisakah kita tidak menginjak-injak dan melampaui batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan? Bisakah kita mengatakan tidak pada dosa? Saya yakin, Anda pasti bisa! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Cara Hidup (Kisah Para Rasul 4: 32-37)
"Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah." (Kisah 4: 33)
Apa yang ada di pikiran orang beragama lain ketika melihat orang Kristen dan komunitasnya? Apakah orang-orang Kristen dilihat sebagai orang-orang pembawa berkat dan kesejukan ataukah sebaliknya pembawa perselisihan dan persoalan hidup? Apakah mereka punya pandangan positif terhadap orang Kristen atau justru negatif? Jawaban-jawaban pertanyaan tersebut pastilah tidak sekadar ditentukan cara pandang dan cara hidup orang lain yang menilai kita, tetapi juga cara pandang dan cara hidup kita sendiri sebagai orang Kristen. Cara hidup orang-orang Kristen perdana ternyata membawa daya tarik yang kuat bagi orang-orang lain di sekitarnya(baca juga: Kis 2: 41-47). Mereka meruntuhkan tembok-tembok pemisah yang biasanya dibangun atas dasar status sosial, suku dan bangsa. Mereka membangun persaudaraan dan persekutuan yang unik dibandingkan komunitas sekitarnya. Persekutuan mereka ditandai dengan kerelaan untuk saling berbagi dan menopang kehidupan orang-orang Kristen perdana tersebut. Cara hidup mereka yang saling berbagi dan menopang ternyata tidak membuat mereka berkekurangan, melainkan cara hidup mereka yang semacam itu tetap menjadikan mereka hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah (ayat 33). Berbeda dengan pola pikir umum: semakin banyak memberi semakin kekurangan, yang dialami oleh jemaat Kristen mula-mula: semakin banyak memberi justru semakin melimpah-limpah kasih karunia Allah. Apakah Anda ingin memberikan kesaksian kepada masyarakat sekitar bahwa Yesus telah bangkit dari kematian? Ketika Anda tidak mampu berkata-kata, perhatikan ini: cara hidup kita sebagai pengikut Kristus justru berkata-kata lebih baik daripada banyaknya perkataan yang kita ucapkan. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo
Apa yang ada di pikiran orang beragama lain ketika melihat orang Kristen dan komunitasnya? Apakah orang-orang Kristen dilihat sebagai orang-orang pembawa berkat dan kesejukan ataukah sebaliknya pembawa perselisihan dan persoalan hidup? Apakah mereka punya pandangan positif terhadap orang Kristen atau justru negatif? Jawaban-jawaban pertanyaan tersebut pastilah tidak sekadar ditentukan cara pandang dan cara hidup orang lain yang menilai kita, tetapi juga cara pandang dan cara hidup kita sendiri sebagai orang Kristen. Cara hidup orang-orang Kristen perdana ternyata membawa daya tarik yang kuat bagi orang-orang lain di sekitarnya(baca juga: Kis 2: 41-47). Mereka meruntuhkan tembok-tembok pemisah yang biasanya dibangun atas dasar status sosial, suku dan bangsa. Mereka membangun persaudaraan dan persekutuan yang unik dibandingkan komunitas sekitarnya. Persekutuan mereka ditandai dengan kerelaan untuk saling berbagi dan menopang kehidupan orang-orang Kristen perdana tersebut. Cara hidup mereka yang saling berbagi dan menopang ternyata tidak membuat mereka berkekurangan, melainkan cara hidup mereka yang semacam itu tetap menjadikan mereka hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah (ayat 33). Berbeda dengan pola pikir umum: semakin banyak memberi semakin kekurangan, yang dialami oleh jemaat Kristen mula-mula: semakin banyak memberi justru semakin melimpah-limpah kasih karunia Allah. Apakah Anda ingin memberikan kesaksian kepada masyarakat sekitar bahwa Yesus telah bangkit dari kematian? Ketika Anda tidak mampu berkata-kata, perhatikan ini: cara hidup kita sebagai pengikut Kristus justru berkata-kata lebih baik daripada banyaknya perkataan yang kita ucapkan. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo
Kebangkitan (Yohanes 20: 11-18)
"Maria Magdalena pergi dan berkata kepada murid-murid: “Aku telah melihat Tuhan!” dan juga bahwa Dia yang mengatakan hal-hal itu kepadanya." (Yohanes 20: 18)
Seorang anak berhenti merokok setelah melihat dengan mata kepala sendiri bapaknya meninggal dunia akibat kebiasaan merokok yang menghancurkan paru-parunya. Seorang Ibu mendedikasikan hidupnya untuk membangun dan memelihara panti asuhan setelah ia melihat sendiri seorang bayi tergeletak dekat tong sampah karena dibuang oleh orang tuanya. Apa yang telah dilihat oleh anak dan ibu tersebut rupanya telah memengaruhi dan mengubah jalan hidup mereka. Maria Magdalena melihat Yesus yang telah bangkit dari kematian. Semula ia menyangka sedang berbicara dengan penjaga taman tempat tersebut. Akan tetapi, begitu namanya disebut ia segera mengenali sosok di hadapannya tersebut. Ia berseru, “Rabuni!” Sepanjang pasal 20 ayat 1-18, penulis Injil Yohanes memakai tiga kata yang berbeda dalam bahasa Yunani untuk kata melihat. Misalnya, pasal 20 ayat 1, kata melihat dalam bahasa Yunani adalah blepo. Maria melihat batu telah diambil dari kubur. Pada ayat 14, kata melihat adalah theoreo. Maria melihat Yesus yang masih ia sangka sebagai penjaga taman. Sedangkan di ayat 18, ketika Maria berseru kepada murid-murid, “Aku telah melihat Tuhan!”, kata melihat memakai kata horao. Berbeda dengan dua kata lainnya yang berarti sekadar melihat sebuah objek, kata horao ini mengandung makna suatu proses melihat melalui pengalaman langsung dan penglihatan ini pada dasarnya telah menyentuh dan mengubah hidup orang yang melihat tersebut. Tentu saja, Yesus yang bangkit yang dilihat Maria telah mengubah hidupnya. Ketika kita memercayai Yesus yang mati telah bangkit, kepercayaan kita mestinya menyentuh dan mengubah hidup kita. Kebangkitan Yesus semestinya juga mendorong kebangkitan kita di dalam menyatakan karya dan kasih Tuhan dalam hidup sehari-hari. Mari kita buka dan relakan diri kita untuk diubah dan disentuh oleh kuasa kebangkitan-Nya! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo
Seorang anak berhenti merokok setelah melihat dengan mata kepala sendiri bapaknya meninggal dunia akibat kebiasaan merokok yang menghancurkan paru-parunya. Seorang Ibu mendedikasikan hidupnya untuk membangun dan memelihara panti asuhan setelah ia melihat sendiri seorang bayi tergeletak dekat tong sampah karena dibuang oleh orang tuanya. Apa yang telah dilihat oleh anak dan ibu tersebut rupanya telah memengaruhi dan mengubah jalan hidup mereka. Maria Magdalena melihat Yesus yang telah bangkit dari kematian. Semula ia menyangka sedang berbicara dengan penjaga taman tempat tersebut. Akan tetapi, begitu namanya disebut ia segera mengenali sosok di hadapannya tersebut. Ia berseru, “Rabuni!” Sepanjang pasal 20 ayat 1-18, penulis Injil Yohanes memakai tiga kata yang berbeda dalam bahasa Yunani untuk kata melihat. Misalnya, pasal 20 ayat 1, kata melihat dalam bahasa Yunani adalah blepo. Maria melihat batu telah diambil dari kubur. Pada ayat 14, kata melihat adalah theoreo. Maria melihat Yesus yang masih ia sangka sebagai penjaga taman. Sedangkan di ayat 18, ketika Maria berseru kepada murid-murid, “Aku telah melihat Tuhan!”, kata melihat memakai kata horao. Berbeda dengan dua kata lainnya yang berarti sekadar melihat sebuah objek, kata horao ini mengandung makna suatu proses melihat melalui pengalaman langsung dan penglihatan ini pada dasarnya telah menyentuh dan mengubah hidup orang yang melihat tersebut. Tentu saja, Yesus yang bangkit yang dilihat Maria telah mengubah hidupnya. Ketika kita memercayai Yesus yang mati telah bangkit, kepercayaan kita mestinya menyentuh dan mengubah hidup kita. Kebangkitan Yesus semestinya juga mendorong kebangkitan kita di dalam menyatakan karya dan kasih Tuhan dalam hidup sehari-hari. Mari kita buka dan relakan diri kita untuk diubah dan disentuh oleh kuasa kebangkitan-Nya! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo
Dalam Nama Tuhan (Markus 11: 1-11)
“Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan...” (Markus 11: 9)
Kota Yerusalem yang berpenduduk sekitar 40 ribu orang ini menjelang hari Paskah dijejali kurang lebih 200 ribu orang yang datang dari berbagai daerah untuk melakukan ziarah Paskah ke Bait Allah di Yerusalem. Bagi orang-orang Yahudi sendiri, Paskah merupakan momen penting, suatu kenangan dan perayaan kemerdekaan atas kasih Allah yang telah membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir. Pontius Pilatus, seorang gubernur Romawi yang daerahnya mencakup Yerusalem, juga datang ke kota ini. Kedatangannya bukanlah untuk ikut merayakan Paskah bersama orang Yahudi, melainkan untuk menjamin keamanan pendudukan Romawi di daerah taklukan ini. Pemerintah Romawi selalu khawatir perayaan Paskah yang didatangi oleh banyak orang Yahudi tersebut akan dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk memberikan perlawanan terhadap pemerintah Romawi. Dari arah Timur, Pilatus memasuki kota Yerusalem dengan menunggang kuda yang kekar diiringi kavaleri Romawi bersenjata lengkap. Tujuan utama kedatangannya jelas: Mengantisipasi dan menumpas orang-orang Yahudi yang memberontak terhadap Romawi di perayaan Paskah itu. Dari arah yang berlawanan, dari Barat, Yesus dan rombongan-Nya juga memasuki kota Yerusalem. Yesus masuk ke dalam kota ini bukan dengan naik kuda tetapi keledai. Cara masuk Yesus yang unik ini baru bisa kita pahami maknanya ketika kita mengingat apa yang tertulis dalam kitab Zakharia 9:9-10. Seorang Mesias yang perkasa datang ke Yerusalem dengan naik keledai membawa damai Allah kepada bangsa-bangsa. Yesus inilah Sang Mesias, yang datang dalam nama Tuhan, memasuki kota Yerusalem bukan untuk melenyapkan kehidupan tetapi justru datang membawa kehidupan. Bagi kita semua, siapapun sekarang ini yang mengaku datang, ada atau hidup dalam namaTuhan, tidak selayaknya menyerukan kebencian dan permusuhan terhadap pihak-pihak lain yang berbeda melainkan damai dan kasih Allah bagi semuanya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Kota Yerusalem yang berpenduduk sekitar 40 ribu orang ini menjelang hari Paskah dijejali kurang lebih 200 ribu orang yang datang dari berbagai daerah untuk melakukan ziarah Paskah ke Bait Allah di Yerusalem. Bagi orang-orang Yahudi sendiri, Paskah merupakan momen penting, suatu kenangan dan perayaan kemerdekaan atas kasih Allah yang telah membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir. Pontius Pilatus, seorang gubernur Romawi yang daerahnya mencakup Yerusalem, juga datang ke kota ini. Kedatangannya bukanlah untuk ikut merayakan Paskah bersama orang Yahudi, melainkan untuk menjamin keamanan pendudukan Romawi di daerah taklukan ini. Pemerintah Romawi selalu khawatir perayaan Paskah yang didatangi oleh banyak orang Yahudi tersebut akan dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk memberikan perlawanan terhadap pemerintah Romawi. Dari arah Timur, Pilatus memasuki kota Yerusalem dengan menunggang kuda yang kekar diiringi kavaleri Romawi bersenjata lengkap. Tujuan utama kedatangannya jelas: Mengantisipasi dan menumpas orang-orang Yahudi yang memberontak terhadap Romawi di perayaan Paskah itu. Dari arah yang berlawanan, dari Barat, Yesus dan rombongan-Nya juga memasuki kota Yerusalem. Yesus masuk ke dalam kota ini bukan dengan naik kuda tetapi keledai. Cara masuk Yesus yang unik ini baru bisa kita pahami maknanya ketika kita mengingat apa yang tertulis dalam kitab Zakharia 9:9-10. Seorang Mesias yang perkasa datang ke Yerusalem dengan naik keledai membawa damai Allah kepada bangsa-bangsa. Yesus inilah Sang Mesias, yang datang dalam nama Tuhan, memasuki kota Yerusalem bukan untuk melenyapkan kehidupan tetapi justru datang membawa kehidupan. Bagi kita semua, siapapun sekarang ini yang mengaku datang, ada atau hidup dalam namaTuhan, tidak selayaknya menyerukan kebencian dan permusuhan terhadap pihak-pihak lain yang berbeda melainkan damai dan kasih Allah bagi semuanya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo.
Taat (Ibrani 5: 5-10)
"Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya...." (Ibrani 5: 8)
Bagi orang-orang tertentu, bersikap taat ternyata tidak selalu mudah. Bersikap taat mengandaikan ketertundukan pada sesuatu atau seseorang. Entah itu taat pada atasan atau taat pada hukum dan peraturan. Lebih sulit lagi bagi orang-orang yang memegang kekuasaan. Bisa terjadi sebaliknya, hukum dan peraturanlah yang harus tunduk kepada mereka dan bukan mereka yang tunduk pada hukum dan peraturan. Rupanya, banyak orang pada dasarnya memang tidak suka tunduk pada pihak lain. Penulis surat Ibrani menjelaskan ketaatan Yesus dengan sangat menarik. Baginya, Yesus memenuhi kualifikasi sebagai Imam Besar. Pada zaman dulu, seorang imam besar merupakan pemimpin tertinggi agama dan pemerintahan Yahudi. Oleh penulis surat Ibrani ini, Yesus diakui sebagai Imam Besar bukan karena memiliki garis keturunan dari suku Lewi. Suku Lewi satu-satunya suku di Israel yang memiliki hak untuk menjadi imam. Yesus menjadi Imam Besar karena ditetapkan oleh Allah sendiri menjadi Imam Besar untuk selama-lamanya menurut peraturan Melkisedek (ayat 6). Meski demikian, Yesus tidak memuliakan diri sendiri dalam statusnya sebagai Imam Besar (ayat 5), melainkan justru merendahkan diri dan mewujudkan belas kasih Allah kepada umat manusia melalui ketaatan-Nya kepada kehendak Sang Bapa. Yesus Sang Imam Besar tetap mau taat pada kehendak Sang Bapa, sekalipun ketaatan-Nya tersebut menghadapkan Yesus pada jalan salib dan penderitaan. Bisakah kita tetap taat pada Tuhan ketika ketaatan kita pada-Nya menghadapkan kita pada penderitaan dan jalan salib kita masing-masing? Saya yakin, kita pasti bisa! Dalam situasi apapun yang sedang kita hadapi, kita bisa taat kepada-Nya karena Yesus Sang Imam Besar telah menjadi model yang sempurna bagi kita dalam ketaatan kepada kehendak Bapa. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Bagi orang-orang tertentu, bersikap taat ternyata tidak selalu mudah. Bersikap taat mengandaikan ketertundukan pada sesuatu atau seseorang. Entah itu taat pada atasan atau taat pada hukum dan peraturan. Lebih sulit lagi bagi orang-orang yang memegang kekuasaan. Bisa terjadi sebaliknya, hukum dan peraturanlah yang harus tunduk kepada mereka dan bukan mereka yang tunduk pada hukum dan peraturan. Rupanya, banyak orang pada dasarnya memang tidak suka tunduk pada pihak lain. Penulis surat Ibrani menjelaskan ketaatan Yesus dengan sangat menarik. Baginya, Yesus memenuhi kualifikasi sebagai Imam Besar. Pada zaman dulu, seorang imam besar merupakan pemimpin tertinggi agama dan pemerintahan Yahudi. Oleh penulis surat Ibrani ini, Yesus diakui sebagai Imam Besar bukan karena memiliki garis keturunan dari suku Lewi. Suku Lewi satu-satunya suku di Israel yang memiliki hak untuk menjadi imam. Yesus menjadi Imam Besar karena ditetapkan oleh Allah sendiri menjadi Imam Besar untuk selama-lamanya menurut peraturan Melkisedek (ayat 6). Meski demikian, Yesus tidak memuliakan diri sendiri dalam statusnya sebagai Imam Besar (ayat 5), melainkan justru merendahkan diri dan mewujudkan belas kasih Allah kepada umat manusia melalui ketaatan-Nya kepada kehendak Sang Bapa. Yesus Sang Imam Besar tetap mau taat pada kehendak Sang Bapa, sekalipun ketaatan-Nya tersebut menghadapkan Yesus pada jalan salib dan penderitaan. Bisakah kita tetap taat pada Tuhan ketika ketaatan kita pada-Nya menghadapkan kita pada penderitaan dan jalan salib kita masing-masing? Saya yakin, kita pasti bisa! Dalam situasi apapun yang sedang kita hadapi, kita bisa taat kepada-Nya karena Yesus Sang Imam Besar telah menjadi model yang sempurna bagi kita dalam ketaatan kepada kehendak Bapa. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Kasih ALLAH (Yohanes 3: 14-21)
"Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia" (Yohanes 3: 17)
Menurut para pakar neuroteologi, gambaran yang kita miliki tentang Allah akan berpengaruh terhadap kesehatan mental kita. Berdasarkan eksperimen yang mereka lakukan, orang yang memiliki gambaran Allah sebagai Allah yang penuh kasih secara mental lebih sehat dibandingkan mereka yang memiliki gambaran Allah yang gemar menghukum. Dalam percakapannya dengan Nikodemus, seorang Farisi, Yesus menegaskan orientasi utama karya Allah di dunia ini. Yang menjadi orientasi utama Allah dalam karya-Nya di dunia ini adalah keselamatan manusia, bukan kebinasaan umat manusia. Allah berkehendak untuk menyelamatkan manusia, bukan membinasakan umat manusia karena Allah begitu mencintai manusia. Itulah sebabnya Yesus mengatakan: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini...,bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya..” (ayat 16-17). Seorang teolog Asia, Choan Seng Song bahkan meyakini Allah sedang jatuh cinta kepada manusia. Hanya Allah yang jatuh cinta pada manusia yang bisa menyerahkan anak-Nya yang tunggal untuk keselamatan umat manusia di dunia ini. Saya kadang heran, masih banyak orang beragama yang berpandangan: jikalau ada bencana alam, hal ini terjadi pasti karena hukuman Tuhan yang ditimpakan setimpal bagi dosa orang-orang tersebut. Atau begitu mudahnya seorang meramal kapan akhir zaman akan tiba, tanpa mengingat apa yang mereka yakini sendiri bahwa kalau itu terjadi akan ada pemusnahan global umat manusia. Menurut saya, ketika kita memiliki gambaran Allah yang penuh kasih daripada Allah yang gampang menghukum, tidak hanya membuat kita lebih sehat secara mental tetapi bahkan juga lebih sehat secara iman. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Menurut para pakar neuroteologi, gambaran yang kita miliki tentang Allah akan berpengaruh terhadap kesehatan mental kita. Berdasarkan eksperimen yang mereka lakukan, orang yang memiliki gambaran Allah sebagai Allah yang penuh kasih secara mental lebih sehat dibandingkan mereka yang memiliki gambaran Allah yang gemar menghukum. Dalam percakapannya dengan Nikodemus, seorang Farisi, Yesus menegaskan orientasi utama karya Allah di dunia ini. Yang menjadi orientasi utama Allah dalam karya-Nya di dunia ini adalah keselamatan manusia, bukan kebinasaan umat manusia. Allah berkehendak untuk menyelamatkan manusia, bukan membinasakan umat manusia karena Allah begitu mencintai manusia. Itulah sebabnya Yesus mengatakan: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini...,bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya..” (ayat 16-17). Seorang teolog Asia, Choan Seng Song bahkan meyakini Allah sedang jatuh cinta kepada manusia. Hanya Allah yang jatuh cinta pada manusia yang bisa menyerahkan anak-Nya yang tunggal untuk keselamatan umat manusia di dunia ini. Saya kadang heran, masih banyak orang beragama yang berpandangan: jikalau ada bencana alam, hal ini terjadi pasti karena hukuman Tuhan yang ditimpakan setimpal bagi dosa orang-orang tersebut. Atau begitu mudahnya seorang meramal kapan akhir zaman akan tiba, tanpa mengingat apa yang mereka yakini sendiri bahwa kalau itu terjadi akan ada pemusnahan global umat manusia. Menurut saya, ketika kita memiliki gambaran Allah yang penuh kasih daripada Allah yang gampang menghukum, tidak hanya membuat kita lebih sehat secara mental tetapi bahkan juga lebih sehat secara iman. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Salib Kristus (1 Korintus 1: 18-25)
"Tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun bukan orang Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah"
(1 Korintus 1: 24)
Di depan beberapa kantor polisi atau di pinggir jalan tertentu, kadang sengaja dipajang motor atau mobil ringsek karena tabrakan. Tentu saja, orang bisa menafsirkan motor atau mobil yang dipajang itu sebagai hinaan bagi para korban kecelakaan tersebut, tetapi pastilah bukan itu yang dimaksud pihak berwajib. Motor atau mobil itu dipajang dimaksudkan sebagai peringatan agar para pengemudi lebih berhati-hati dalam berkendaraan. Salib pada dasarnya memang tidak lebih dari potongan kayu biasa. Salib dipakai oleh tentara Romawi untuk menghukum orang-orang yang dianggap musuh Romawi atau teroris. Sebelum Yesus disalib, sudah banyak ratusan orang disalib oleh Romawi dan dipertontonkan di jalan-jalan. Akan tetapi, bagi pengikut Kristus, salib tidak lagi menjadi sekadar sebongkah kayu. Salib telah menjadi tanda kasih sayang Allah terhadap manusia melalui kematian Yesus. Inilah yang tidak bisa dimengerti oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani pada umumnya. Memercayai kasih Allah terwujud melalui salib Kristus, bagi orang Yahudi dilihat sebagai batu sandungan iman mereka kepada Allah, sedangkan bagi orang Yunani yang biasa berpikir filosofis, dilihat sebagai kebodohan. Oleh sebab itulah Paulus menegaskan, hanya orang yang terpanggil (ayat 24) yang akan bisa melihat salib Yesus tidak sekadar sebongkah kayu biasa. Salib yang terpajang di rumah-rumah kita atau kita gunakan sebagai kalung tentu saja jangan sampai menjadi barang yang hanya berfungsi sebagai pajangan. Ikon itu semestinya mampu mendorong kita untuk memahami kasih Allah melalui Yesus yang telah kita terima, dan ikon salib itu mendorong kita lebih mewujudkan kasih itu dalam keseharian hidup kita. Saya jelas prihatin ketika melihat ada orang yang terkenal sebagai preman atau penjahat ditangkap pihak berwajib ternyata memakai kalung salib di lehernya. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
(1 Korintus 1: 24)
Di depan beberapa kantor polisi atau di pinggir jalan tertentu, kadang sengaja dipajang motor atau mobil ringsek karena tabrakan. Tentu saja, orang bisa menafsirkan motor atau mobil yang dipajang itu sebagai hinaan bagi para korban kecelakaan tersebut, tetapi pastilah bukan itu yang dimaksud pihak berwajib. Motor atau mobil itu dipajang dimaksudkan sebagai peringatan agar para pengemudi lebih berhati-hati dalam berkendaraan. Salib pada dasarnya memang tidak lebih dari potongan kayu biasa. Salib dipakai oleh tentara Romawi untuk menghukum orang-orang yang dianggap musuh Romawi atau teroris. Sebelum Yesus disalib, sudah banyak ratusan orang disalib oleh Romawi dan dipertontonkan di jalan-jalan. Akan tetapi, bagi pengikut Kristus, salib tidak lagi menjadi sekadar sebongkah kayu. Salib telah menjadi tanda kasih sayang Allah terhadap manusia melalui kematian Yesus. Inilah yang tidak bisa dimengerti oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani pada umumnya. Memercayai kasih Allah terwujud melalui salib Kristus, bagi orang Yahudi dilihat sebagai batu sandungan iman mereka kepada Allah, sedangkan bagi orang Yunani yang biasa berpikir filosofis, dilihat sebagai kebodohan. Oleh sebab itulah Paulus menegaskan, hanya orang yang terpanggil (ayat 24) yang akan bisa melihat salib Yesus tidak sekadar sebongkah kayu biasa. Salib yang terpajang di rumah-rumah kita atau kita gunakan sebagai kalung tentu saja jangan sampai menjadi barang yang hanya berfungsi sebagai pajangan. Ikon itu semestinya mampu mendorong kita untuk memahami kasih Allah melalui Yesus yang telah kita terima, dan ikon salib itu mendorong kita lebih mewujudkan kasih itu dalam keseharian hidup kita. Saya jelas prihatin ketika melihat ada orang yang terkenal sebagai preman atau penjahat ditangkap pihak berwajib ternyata memakai kalung salib di lehernya. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Perjanjian (Kejadian 17: 1-7)
"Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu" (Kejadian 17: 7)
Perjanjian sewa-menyewa rumah. Perjanjian ini efektif, jikalau kedua pihak yang mengadakan perjanjian memenuhi tanggung-jawabnya. Penyewa membayar uang sewa, sedangkan pemilik menyediakan rumah untuk dihuni penyewanya. Demikian pula perjanjian antara Allah dengan Abram. Dalam perikop ini, Allah mengulangi kembali janji-Nya kepada Abram yang telah dicatat oleh penulis kitab Kejadian dalam pasal 15, meliputi janji pemberian keturunan dan tanah serta penyertaan kekal Allah bagi Abram dan keturunannya. Meski demikian, Allah juga menetapkan kewajiban Abram dalam perjanjian tersebut, yakni kepatuhan Abram dan keturunannya terhadap perjanjian itu:“...hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela...”(ayat 1). Perjanjian Allah dengan Abram berlatar belakang dunia kehakiman. Dalam latar belakang semacam ini, mereka yang terikat perjanjian menetapkan dan mengakui hak-hak dan kewajiban masing-masing. Tak dapat tidak, Allah telah merendahkan diri di hadapan Abram, karena dua pihak yang berlainan derajatnya mengikatkan diri dalam perjanjian. Allah mengadakan perjanjian dengan Abram, ini berarti Allah menciptakan suatu persekutuan yang bersifat hukum dengan Abram dan keturunannya. Penting untuk diperhatikan, biarpun perjanjian ini diadakan antara Allah dan Abram secara pribadi, tetapi jangkauan perjanjian ini bukan hanya bagi Abram pribadi tetapi bersifat universal, mencakup Abram dan keturunannya. Kita pada umumnya meyakini bahwa sebagai keturunan “rohaniah” Abram, kita pun terikat perjanjian dengan Allah. Oleh sebab itu, sudahkah kita melakukan tanggung jawab iman kita dalam perjanjian tersebut, dengan hidup di hadapan-Nya dengan tidak bercela? Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Perjanjian sewa-menyewa rumah. Perjanjian ini efektif, jikalau kedua pihak yang mengadakan perjanjian memenuhi tanggung-jawabnya. Penyewa membayar uang sewa, sedangkan pemilik menyediakan rumah untuk dihuni penyewanya. Demikian pula perjanjian antara Allah dengan Abram. Dalam perikop ini, Allah mengulangi kembali janji-Nya kepada Abram yang telah dicatat oleh penulis kitab Kejadian dalam pasal 15, meliputi janji pemberian keturunan dan tanah serta penyertaan kekal Allah bagi Abram dan keturunannya. Meski demikian, Allah juga menetapkan kewajiban Abram dalam perjanjian tersebut, yakni kepatuhan Abram dan keturunannya terhadap perjanjian itu:“...hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela...”(ayat 1). Perjanjian Allah dengan Abram berlatar belakang dunia kehakiman. Dalam latar belakang semacam ini, mereka yang terikat perjanjian menetapkan dan mengakui hak-hak dan kewajiban masing-masing. Tak dapat tidak, Allah telah merendahkan diri di hadapan Abram, karena dua pihak yang berlainan derajatnya mengikatkan diri dalam perjanjian. Allah mengadakan perjanjian dengan Abram, ini berarti Allah menciptakan suatu persekutuan yang bersifat hukum dengan Abram dan keturunannya. Penting untuk diperhatikan, biarpun perjanjian ini diadakan antara Allah dan Abram secara pribadi, tetapi jangkauan perjanjian ini bukan hanya bagi Abram pribadi tetapi bersifat universal, mencakup Abram dan keturunannya. Kita pada umumnya meyakini bahwa sebagai keturunan “rohaniah” Abram, kita pun terikat perjanjian dengan Allah. Oleh sebab itu, sudahkah kita melakukan tanggung jawab iman kita dalam perjanjian tersebut, dengan hidup di hadapan-Nya dengan tidak bercela? Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Hati Nurani (1 Petrus 3: 13-22)
"Juga kamu sekarang diselamatkan oleh kiasannya, yaitu baptisan-maksudnya bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus" (1 Petrus 3: 21)
Krisis dan penderitaan bisa mengubah seseorang. Seorang yang semula dikenal berwatak baik bisa berubah menjadi orang berwatak buruk karena penderitaan hidup yang dihadapinya. Barangkali, ia menjadi orang buruk pertama kali karena “terpaksa”, tetapi lama kelamaan ia berperangai buruk karena terbiasa. Krisis dan penderitaan sesungguhnya bisa mengakibatkan dua dampak yang berbeda: Seseorang bisa jauh dari Tuhan atau seseorang semakin dekat pada Tuhan. Jemaat Kristen yang mulai berkembang pada waktu itu sedang menghadapi berbagai tantangan dan mengalami berbagai penderitaan karena imannya kepada Kristus. Bagi orang Yahudi, orang-orang Kristen dianggap sekte. Bagi orang-orang Romawi, orang-orang Kristen sering dianggap tidak nasionalis. Meskipun demikian, surat Petrus ini menyampaikan pesan yang sangat penting: penderitaan dan krisis hidup tidak menjadi alasan untuk menyangkal Kristus. Bahkan menderita karena Kristus itu membahagiakan (ayat 14). Oleh sebab itulah, jemaat Kristen tetap perlu memohon agar hati nuraninya bisa tetap terarah kepada Tuhan (ayat 21). Orang Kristen harus mau menjaga hati nuraninya bahkan ketika sedang menghadapi krisis hidup. Hati nurani secara sederhana kita mengerti sebagai kepekaan batin untuk membedakan apa yang benar dari apa salah di hadapan Tuhan. “Hakim itu punya hati nurani”, ungkapan semacam ini mengandung makna positif. Hakim itu tidak kehilangan kepekaan batinnya ketika mengadili suatu perkara. Dalam situasi penderitaan dan penganiayaan, orang Kristen tetap tidak boleh kehilangan hati nuraninya. Apa pun peran kita di masyarakat ini, hati nurani yang murni akan menjadi dasar pelayanan kita kepada masyarakat. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo
Krisis dan penderitaan bisa mengubah seseorang. Seorang yang semula dikenal berwatak baik bisa berubah menjadi orang berwatak buruk karena penderitaan hidup yang dihadapinya. Barangkali, ia menjadi orang buruk pertama kali karena “terpaksa”, tetapi lama kelamaan ia berperangai buruk karena terbiasa. Krisis dan penderitaan sesungguhnya bisa mengakibatkan dua dampak yang berbeda: Seseorang bisa jauh dari Tuhan atau seseorang semakin dekat pada Tuhan. Jemaat Kristen yang mulai berkembang pada waktu itu sedang menghadapi berbagai tantangan dan mengalami berbagai penderitaan karena imannya kepada Kristus. Bagi orang Yahudi, orang-orang Kristen dianggap sekte. Bagi orang-orang Romawi, orang-orang Kristen sering dianggap tidak nasionalis. Meskipun demikian, surat Petrus ini menyampaikan pesan yang sangat penting: penderitaan dan krisis hidup tidak menjadi alasan untuk menyangkal Kristus. Bahkan menderita karena Kristus itu membahagiakan (ayat 14). Oleh sebab itulah, jemaat Kristen tetap perlu memohon agar hati nuraninya bisa tetap terarah kepada Tuhan (ayat 21). Orang Kristen harus mau menjaga hati nuraninya bahkan ketika sedang menghadapi krisis hidup. Hati nurani secara sederhana kita mengerti sebagai kepekaan batin untuk membedakan apa yang benar dari apa salah di hadapan Tuhan. “Hakim itu punya hati nurani”, ungkapan semacam ini mengandung makna positif. Hakim itu tidak kehilangan kepekaan batinnya ketika mengadili suatu perkara. Dalam situasi penderitaan dan penganiayaan, orang Kristen tetap tidak boleh kehilangan hati nuraninya. Apa pun peran kita di masyarakat ini, hati nurani yang murni akan menjadi dasar pelayanan kita kepada masyarakat. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo
Kata dan Perbuatan (Mazmur 50: 14-23)
"Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku; siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya." (Mazmur 50: 23)
“Terima kasih, Saya sudah kenyang,” kata anak itu ketika ditawari untuk makan roti yang disuguhkan pada saat menemani orangtuanya bertamu. Akan tetapi tidak lebih dari 10 menit kemudian, lima roti yang disuguhkan sudah habis dimakannya. Menurut psikologi, anak itu telah mengalami disosiasi psikologis. Apa yang ia katakan tidak sambung/sesuai dengan apa yang ia lakukan. Ia bilang sudah kenyang, tetapi roti yang terhidang di meja tamu pun ia habiskan. Orang beragama juga bisa mengalami disosiasi dalam imannya kepada Tuhan. Mereka rajin beribadah dan melakukan beraneka-ragam ritus ibadah, tetapi semuanya itu tidak sambung dengan apa yang mereka lakukan dalam kehidupan nyata. Inilah yang sesungguhnya dipergumulkan oleh sang Pemazmur pada pasal 50. Umat rajin melakukan ritus persembahan korban sembelihan dan korban bakaran di hadapan Tuhan (ayat 8), meskipun demikian dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap tega berbuat jahat pada orang lain, memfitnah, menipu dan biasa melakukan perbuatan-perbuatan jahat lainnya (ayat 18-20). Apa yang dipercayai dan dikerjakan dalam setiap ritus agama, tidak diwujudkan dalam tindakan etis yang nyata. Padahal ibadah kepada Tuhan dan pelayanan sejati terhadap sesama, ditandai dengan adanya asosiasi (keterkaitan) dan bukan disosiasi (keterputusan), antara apa yang dipercayai dalam dogma dan dipraktikkan dalam ritus, dengan apa yang diwujudkan secara etis dalam kehidupan sehari-hari. Menurut saya, jikalau di suatu negara berketuhanan yang maha esa didapati problem kejahatan kemanusiaan, korupsi, kekerasan dan konflik atas nama agama dan kepentingan golongan semakin meningkat dan lestari, pasti bisa dikatakan bahwa penduduk negara itu banyak yang mengalami disosiasi iman. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
“Terima kasih, Saya sudah kenyang,” kata anak itu ketika ditawari untuk makan roti yang disuguhkan pada saat menemani orangtuanya bertamu. Akan tetapi tidak lebih dari 10 menit kemudian, lima roti yang disuguhkan sudah habis dimakannya. Menurut psikologi, anak itu telah mengalami disosiasi psikologis. Apa yang ia katakan tidak sambung/sesuai dengan apa yang ia lakukan. Ia bilang sudah kenyang, tetapi roti yang terhidang di meja tamu pun ia habiskan. Orang beragama juga bisa mengalami disosiasi dalam imannya kepada Tuhan. Mereka rajin beribadah dan melakukan beraneka-ragam ritus ibadah, tetapi semuanya itu tidak sambung dengan apa yang mereka lakukan dalam kehidupan nyata. Inilah yang sesungguhnya dipergumulkan oleh sang Pemazmur pada pasal 50. Umat rajin melakukan ritus persembahan korban sembelihan dan korban bakaran di hadapan Tuhan (ayat 8), meskipun demikian dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap tega berbuat jahat pada orang lain, memfitnah, menipu dan biasa melakukan perbuatan-perbuatan jahat lainnya (ayat 18-20). Apa yang dipercayai dan dikerjakan dalam setiap ritus agama, tidak diwujudkan dalam tindakan etis yang nyata. Padahal ibadah kepada Tuhan dan pelayanan sejati terhadap sesama, ditandai dengan adanya asosiasi (keterkaitan) dan bukan disosiasi (keterputusan), antara apa yang dipercayai dalam dogma dan dipraktikkan dalam ritus, dengan apa yang diwujudkan secara etis dalam kehidupan sehari-hari. Menurut saya, jikalau di suatu negara berketuhanan yang maha esa didapati problem kejahatan kemanusiaan, korupsi, kekerasan dan konflik atas nama agama dan kepentingan golongan semakin meningkat dan lestari, pasti bisa dikatakan bahwa penduduk negara itu banyak yang mengalami disosiasi iman. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Belas Kasih (Markus 1: 40-45)
"Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” (Markus 1: 41)
Berdasarkan penelitian psikologis, siapa saja bisa mengalami proses desensitisasi. Desensitisasi adalah suatu kondisi ketika seseorang mulai kehilangan kepekaan terhadap penderitaan atau kemalangan orang lain. Kemalangan dan penderitaan yang terjadi pada orang lain dianggap sepele atau biasa saja. Seseorang yang terkena desensitisasi kehilangan banyak kemampuan empatisnya untuk turut merasakan penderitaan dan kemalangan orang lain. Jika ada orang lain di dekatnya menderita, mungkin orang ini tidak pernah tergerak hatinya untuk menolong betapapun ia sesungguhnya bisa menolong. Yesus tidak terkena desensitisasi. Yesus tergerak hati-Nya oleh belas kasih ketika ada seorang yang sakit kusta memohon kepada-Nya untuk ditahirkan. Penyakit kusta pada zaman Yesus dianggap penyakit sebagai hukuman Tuhan. Jadi, permohonan untuk ditahirkan adalah permohonan untuk sembuh secara fisik sekaligus bersih secara iman. Yesus mau menahirkan orang yang sakit kusta itu. Penulis Injil Markus menceritakan perasaan Yesus yang tergerak hati-Nya oleh belas kasih ini dengan kata Yunani: splagkhnistheis, yang bermakna setiap kali Yesus bertemu dengan orang yang menderita, Ia tidak bisa membendung rasa belas kasih-Nya, sehingga Ia merasa harus selalu bertindak menolong orang tersebut terlepas dari penderitaannya.Dalam diri Yesus, belas kasih telah menjadi motif utama ketika menolong orang yang sakit kusta tersebut. Pelayanan Yesus terhadap sesama murni karena kasih-Nya, bukan karena motif mencari pengikut sebanyak-banyaknya, bukan motif popularitas, juga bukan karena ada maksud-maksud pribadi Yesus yang tersembunyi. Sebagai pengikut Kristus, kita diingatkan agar tidak jatuh pada desensitisasi dan tetap mengembangkan pelayanan berdasar motif belas kasih bukan motif-motif lainnya. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Berdasarkan penelitian psikologis, siapa saja bisa mengalami proses desensitisasi. Desensitisasi adalah suatu kondisi ketika seseorang mulai kehilangan kepekaan terhadap penderitaan atau kemalangan orang lain. Kemalangan dan penderitaan yang terjadi pada orang lain dianggap sepele atau biasa saja. Seseorang yang terkena desensitisasi kehilangan banyak kemampuan empatisnya untuk turut merasakan penderitaan dan kemalangan orang lain. Jika ada orang lain di dekatnya menderita, mungkin orang ini tidak pernah tergerak hatinya untuk menolong betapapun ia sesungguhnya bisa menolong. Yesus tidak terkena desensitisasi. Yesus tergerak hati-Nya oleh belas kasih ketika ada seorang yang sakit kusta memohon kepada-Nya untuk ditahirkan. Penyakit kusta pada zaman Yesus dianggap penyakit sebagai hukuman Tuhan. Jadi, permohonan untuk ditahirkan adalah permohonan untuk sembuh secara fisik sekaligus bersih secara iman. Yesus mau menahirkan orang yang sakit kusta itu. Penulis Injil Markus menceritakan perasaan Yesus yang tergerak hati-Nya oleh belas kasih ini dengan kata Yunani: splagkhnistheis, yang bermakna setiap kali Yesus bertemu dengan orang yang menderita, Ia tidak bisa membendung rasa belas kasih-Nya, sehingga Ia merasa harus selalu bertindak menolong orang tersebut terlepas dari penderitaannya.Dalam diri Yesus, belas kasih telah menjadi motif utama ketika menolong orang yang sakit kusta tersebut. Pelayanan Yesus terhadap sesama murni karena kasih-Nya, bukan karena motif mencari pengikut sebanyak-banyaknya, bukan motif popularitas, juga bukan karena ada maksud-maksud pribadi Yesus yang tersembunyi. Sebagai pengikut Kristus, kita diingatkan agar tidak jatuh pada desensitisasi dan tetap mengembangkan pelayanan berdasar motif belas kasih bukan motif-motif lainnya. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Hamba Semua Orang (1 Korintus 9: 16-23)
"Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang." (1 Korintus 9: 19)
“Kalau bisa jadi bos, kenapa harus jadi karyawan?”, tulisan ini saya baca di selembar brosur yang dibagikan kepada para pengunjung sebuah pusat pertokoan. Brosur yang menawarkan seminar/pelatihan agar karyawan dapat meningkatkan karier mereka sehingga bisa menjadi bos. Bagi mereka, bos itu memimpin, karyawan itu dipimpin. Bos itu dilayani, karyawan itu melayani. Bos itu prestisius, karyawan itu biasa saja. Posisi Paulus dalam jemaat Kristen perdana sangat penting. Ia seorang pemimpin, seorang bos, karena ia seorang rasul bagi orang-orang Kristen pada masa itu. Meskipun demikian, dalam karya pemberitaan Injil Kristus, Paulus lebih memilih menegaskan posisinya sebagai hamba, karyawan, bukan sebagai seorang bos penuh kuasa. “...aku menjadikan diriku hamba dari semua orang...”, demikian ujar Paulus. Kata hamba yang digunakan dalam bahasa Yunani adalah: doulos, yang berarti budak. Pada zaman Paulus, budak itu tidak bebas, budak bertanggungjawab melayani tuannya sebaik-baiknya. Tentu saja perkataan Paulus ini bersifat metaforis. Paulus tidak sungguh-sungguh menjadi budak yang siap diperintah melakukan apa saja oleh semua orang. Maksud Paulus adalah apa yang penting dalam pekerjaannya bukanlah prestise sebagai seorang rasul atau pemimpin, melainkan tanggung jawab sebagai seorang rasul yang ia wujudkan dengan melayani semua orang. Bagi Paulus, tanggung jawab itu melampaui prestise. Bukan prestise yang utama, tetapi melakukan tanggungjawab itulah yang utama. Jadi, kalau Anda sekarang ini sedang menjadi bos, jadilah bos Kristen yang melakukan tanggungjawab Anda dengan baik. Kalau Anda jadi karyawan, juga jadilah karyawan Kristen yang bisa melakukan tanggung jawab Anda dengan baik! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
“Kalau bisa jadi bos, kenapa harus jadi karyawan?”, tulisan ini saya baca di selembar brosur yang dibagikan kepada para pengunjung sebuah pusat pertokoan. Brosur yang menawarkan seminar/pelatihan agar karyawan dapat meningkatkan karier mereka sehingga bisa menjadi bos. Bagi mereka, bos itu memimpin, karyawan itu dipimpin. Bos itu dilayani, karyawan itu melayani. Bos itu prestisius, karyawan itu biasa saja. Posisi Paulus dalam jemaat Kristen perdana sangat penting. Ia seorang pemimpin, seorang bos, karena ia seorang rasul bagi orang-orang Kristen pada masa itu. Meskipun demikian, dalam karya pemberitaan Injil Kristus, Paulus lebih memilih menegaskan posisinya sebagai hamba, karyawan, bukan sebagai seorang bos penuh kuasa. “...aku menjadikan diriku hamba dari semua orang...”, demikian ujar Paulus. Kata hamba yang digunakan dalam bahasa Yunani adalah: doulos, yang berarti budak. Pada zaman Paulus, budak itu tidak bebas, budak bertanggungjawab melayani tuannya sebaik-baiknya. Tentu saja perkataan Paulus ini bersifat metaforis. Paulus tidak sungguh-sungguh menjadi budak yang siap diperintah melakukan apa saja oleh semua orang. Maksud Paulus adalah apa yang penting dalam pekerjaannya bukanlah prestise sebagai seorang rasul atau pemimpin, melainkan tanggung jawab sebagai seorang rasul yang ia wujudkan dengan melayani semua orang. Bagi Paulus, tanggung jawab itu melampaui prestise. Bukan prestise yang utama, tetapi melakukan tanggungjawab itulah yang utama. Jadi, kalau Anda sekarang ini sedang menjadi bos, jadilah bos Kristen yang melakukan tanggungjawab Anda dengan baik. Kalau Anda jadi karyawan, juga jadilah karyawan Kristen yang bisa melakukan tanggung jawab Anda dengan baik! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Perbuatan-Nya Ajaib (Mazmur 111)
"Perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib dijadikan-Nya peringatan;TUHAN itu pengasih dan penyayang" (Mazmur 111: 4)
Pernahkah Anda mengalami sesuatu yang menggembirakan dalam hidup Anda yang Anda tidak pernah berpikir hal itu bisa terjadi, tetapi terjadi juga dalam hidup Anda? Misalnya, seorang jemaat pernah bercerita ketika ia kebingungan memikirkan biaya pelunasan kelahiran anaknya secara caesar, toh akhirnya pertolongan itu datang dari sumber yang tak ia duga sebelumnya. Orang beriman percaya bahwa Tuhan bisa menyertai dan menolong mereka dengan cara yang tak diduga-duga. Kepercayaan ini juga dipegang teguh oleh sang pemazmur, yang terungkap dalam mazmur 111 ini. Sang pemazmur mengucapkan syukur atas pekerjaan dan perbuatan Tuhan dalam hidupnya maupun umat-Nya. Pengalaman hidupnya menceritakan bahwa Tuhan adalah pengasih dan penyayang. Sang pemazmur mengingat ketika umat kelaparan ketika berada dalam pengembaraan di padang pasir, Tuhan memberi mereka makanan (ayat 5). Ketika mereka tidak punya tempat tinggal, Tuhan memberi mereka tanah perjanjian (ayat 6). Ketika mereka dalam perbudakan di Mesir, Tuhan membebaskan mereka (ayat 9). Bagi sang pemazmur, semua itu adalah perbuatan ajaib dari Tuhan yang menjadi sumber pertolongan mereka. Pertolongan Tuhan yang bahkan tidak mereka pikirkan dan duga sebelumnya. Pemazmur memakai kata Ibrani, niphla’oth, yang dalam teks alkitab LAI diterjemahkan sebagai perbuatan ajaib. Kata ini mengandung makna bahwa perbuatan Tuhan sungguh melampaui segala daya intelek dan imaginasi manusia. Jadi ketika dalam hidup kita ada peristiwa menggembirakan yang tidak kita duga dan tampaknya mustahil terjadi tetapi toh terjadi juga, saya yakin kita sedang merasakan perbuatan ajaib-Nya! Orang lain mungkin akan menyebut itu kebetulan saja, tetapi kita bisa yakin itulah pertolongan Tuhan bagi kita. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Pernahkah Anda mengalami sesuatu yang menggembirakan dalam hidup Anda yang Anda tidak pernah berpikir hal itu bisa terjadi, tetapi terjadi juga dalam hidup Anda? Misalnya, seorang jemaat pernah bercerita ketika ia kebingungan memikirkan biaya pelunasan kelahiran anaknya secara caesar, toh akhirnya pertolongan itu datang dari sumber yang tak ia duga sebelumnya. Orang beriman percaya bahwa Tuhan bisa menyertai dan menolong mereka dengan cara yang tak diduga-duga. Kepercayaan ini juga dipegang teguh oleh sang pemazmur, yang terungkap dalam mazmur 111 ini. Sang pemazmur mengucapkan syukur atas pekerjaan dan perbuatan Tuhan dalam hidupnya maupun umat-Nya. Pengalaman hidupnya menceritakan bahwa Tuhan adalah pengasih dan penyayang. Sang pemazmur mengingat ketika umat kelaparan ketika berada dalam pengembaraan di padang pasir, Tuhan memberi mereka makanan (ayat 5). Ketika mereka tidak punya tempat tinggal, Tuhan memberi mereka tanah perjanjian (ayat 6). Ketika mereka dalam perbudakan di Mesir, Tuhan membebaskan mereka (ayat 9). Bagi sang pemazmur, semua itu adalah perbuatan ajaib dari Tuhan yang menjadi sumber pertolongan mereka. Pertolongan Tuhan yang bahkan tidak mereka pikirkan dan duga sebelumnya. Pemazmur memakai kata Ibrani, niphla’oth, yang dalam teks alkitab LAI diterjemahkan sebagai perbuatan ajaib. Kata ini mengandung makna bahwa perbuatan Tuhan sungguh melampaui segala daya intelek dan imaginasi manusia. Jadi ketika dalam hidup kita ada peristiwa menggembirakan yang tidak kita duga dan tampaknya mustahil terjadi tetapi toh terjadi juga, saya yakin kita sedang merasakan perbuatan ajaib-Nya! Orang lain mungkin akan menyebut itu kebetulan saja, tetapi kita bisa yakin itulah pertolongan Tuhan bagi kita. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Pengampunan (Yunus 3: 1-10)
"....maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya."(Yunus 3: 10)
Seorang uskup peraih nobel perdamaian, Desmond Tutu menceritakan pengalaman membangun rekonsiliasi di Afrika Selatan pasca rezim apartheid dalam bukunya yang diberi judul: No Future Without Forgiveness. Tiada masa depan jikalau tidak ada pengampunan. Intinya, Tutu ingin menegaskan bahwa jikalau masyarakat Afrika hanya menuntut keadilan dengan memberi hukuman semaksimal mungkin bagi para pelaku kekerasan dan enggan menawarkan pengampunan, masyarakat Afrika tidak akan bisa membangun negara Afrika Selatan di masa depan dengan lebih baik. Saya melihat pasti juga tidak ada masa depan bagi kota Niniwe, jika Tuhan tidak mengampuni mereka. Kota yang menampakkan kejahatan besar di hadapan Tuhan tersebut, tinggal menanti eksekusi hukuman Tuhan. Akan tetapi Tuhan toh tetap mengutus Yunus untuk memperingatkan mereka. Tuhan tidak segera menunggangbalikkan kota Niniwe, Tuhan terlebih dulu memperingatkan mereka. Mendengar peringatan Yunus, penduduk Niniwe dan rajanya menyatakan penyesalan dan pertobatannya di hadapan Tuhan:...haruslah masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya (ayat 8). Tuhan memberi pengampunan bagi penduduk Niniwe. Tuhan memberi pengampunan bagi mereka yang bertobat. Penulis kitab Yunus menceritakan pengampunan Tuhan bagi Niniwe dengan sangat dramatis karena memakai kata: maka menyesallah Allah. Seakan-akan Tuhan tidak bisa mengantisipasi sedemikian rupa bahwa Niniwe bisa bertobat, sehingga Tuhan telah merancangkan kehancuran bagi Niniwe. Pada akhirnya, tidak menjadi masalah, seberapa besar dosa kita sekarang ini, mari kita minta ampun pada Tuhan. Mari kita tinggalkan dosa-dosa kita itu dan kembali bersama Tuhan, karena Tuhan berkenan mengampuni dosa kita. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Seorang uskup peraih nobel perdamaian, Desmond Tutu menceritakan pengalaman membangun rekonsiliasi di Afrika Selatan pasca rezim apartheid dalam bukunya yang diberi judul: No Future Without Forgiveness. Tiada masa depan jikalau tidak ada pengampunan. Intinya, Tutu ingin menegaskan bahwa jikalau masyarakat Afrika hanya menuntut keadilan dengan memberi hukuman semaksimal mungkin bagi para pelaku kekerasan dan enggan menawarkan pengampunan, masyarakat Afrika tidak akan bisa membangun negara Afrika Selatan di masa depan dengan lebih baik. Saya melihat pasti juga tidak ada masa depan bagi kota Niniwe, jika Tuhan tidak mengampuni mereka. Kota yang menampakkan kejahatan besar di hadapan Tuhan tersebut, tinggal menanti eksekusi hukuman Tuhan. Akan tetapi Tuhan toh tetap mengutus Yunus untuk memperingatkan mereka. Tuhan tidak segera menunggangbalikkan kota Niniwe, Tuhan terlebih dulu memperingatkan mereka. Mendengar peringatan Yunus, penduduk Niniwe dan rajanya menyatakan penyesalan dan pertobatannya di hadapan Tuhan:...haruslah masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya (ayat 8). Tuhan memberi pengampunan bagi penduduk Niniwe. Tuhan memberi pengampunan bagi mereka yang bertobat. Penulis kitab Yunus menceritakan pengampunan Tuhan bagi Niniwe dengan sangat dramatis karena memakai kata: maka menyesallah Allah. Seakan-akan Tuhan tidak bisa mengantisipasi sedemikian rupa bahwa Niniwe bisa bertobat, sehingga Tuhan telah merancangkan kehancuran bagi Niniwe. Pada akhirnya, tidak menjadi masalah, seberapa besar dosa kita sekarang ini, mari kita minta ampun pada Tuhan. Mari kita tinggalkan dosa-dosa kita itu dan kembali bersama Tuhan, karena Tuhan berkenan mengampuni dosa kita. Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Tubuh (1 Korintus 6: 12-10)
"Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1 Korintus 6: 20)
Ada orang-orang yang tidak menghargai dan meremehkan tubuh. Alasannya tubuh tidak penting, yang penting adalah jiwa atau rohnya. Dalam zaman Paulus, kekristenan gnostik merupakan aliran kekristenan yang menganggap tubuh adalah penjara jiwa. Keselamatan seseorang dipahami sebagai terbebasnya jiwa dari kungkungan tubuh. Agama gnostik semacam ini juga banyak ditemui di dalam agama-agama suku. Dibedakan bentuk kasar (tubuh itu sendiri) dan bentuk halus (roh/jiwa). Bentuk halus lebih mulia derajatnya dibandingkan bentuk kasar. Siksaan dan tindakan melukai tubuh sering diperlukan untuk memperlihatkan betapa mulianya roh/jiwa dibandingkan tubuh jasmani/ragawi. Sebaliknya, ada orang-orang yang memuja-muja tubuh. Mereka adalah kaum hedonis. Panca indra tubuh dipuaskan selagi manusia hidup. Segala sesuatu yang memberikan sensasi kenikmatan bagi tubuh dikejar dan diupayakan, tidak peduli sekalipun melanggar apa yang menjadi kehendak Tuhan. Itulah latar belakang yang menjadi keprihatinan Paulus ketika berkirim surat kepada jemaat di Korintus. Orang-orang Kristen Korintus diingatkan agar jangan tergoda untuk meremehkan tubuh seperti kaum gnostik maupun memuja-muja tubuh seperti kaum hedonis. Di hadapan Tuhan tubuh itu berharga, tidak terpisahkan dari jiwa/roh. Karena apa? Karena Kristus sendiri telah memberikan tubuh-Nya di kayu salib untuk keselamatan kita dan tubuh kita sekarang adalah bait Roh Kudus, tempat Roh Kudus berkarya. Oleh sebab itu mari kita rawat tubuh kita seperlunya dan sebaik-baiknya! Dan yang paling penting, mari kita gunakan segala keberadaan tubuh kita untuk memuliakan Tuhan. Tuhan semestinya kita permuliakan juga melalui tubuh kita! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo
Ada orang-orang yang tidak menghargai dan meremehkan tubuh. Alasannya tubuh tidak penting, yang penting adalah jiwa atau rohnya. Dalam zaman Paulus, kekristenan gnostik merupakan aliran kekristenan yang menganggap tubuh adalah penjara jiwa. Keselamatan seseorang dipahami sebagai terbebasnya jiwa dari kungkungan tubuh. Agama gnostik semacam ini juga banyak ditemui di dalam agama-agama suku. Dibedakan bentuk kasar (tubuh itu sendiri) dan bentuk halus (roh/jiwa). Bentuk halus lebih mulia derajatnya dibandingkan bentuk kasar. Siksaan dan tindakan melukai tubuh sering diperlukan untuk memperlihatkan betapa mulianya roh/jiwa dibandingkan tubuh jasmani/ragawi. Sebaliknya, ada orang-orang yang memuja-muja tubuh. Mereka adalah kaum hedonis. Panca indra tubuh dipuaskan selagi manusia hidup. Segala sesuatu yang memberikan sensasi kenikmatan bagi tubuh dikejar dan diupayakan, tidak peduli sekalipun melanggar apa yang menjadi kehendak Tuhan. Itulah latar belakang yang menjadi keprihatinan Paulus ketika berkirim surat kepada jemaat di Korintus. Orang-orang Kristen Korintus diingatkan agar jangan tergoda untuk meremehkan tubuh seperti kaum gnostik maupun memuja-muja tubuh seperti kaum hedonis. Di hadapan Tuhan tubuh itu berharga, tidak terpisahkan dari jiwa/roh. Karena apa? Karena Kristus sendiri telah memberikan tubuh-Nya di kayu salib untuk keselamatan kita dan tubuh kita sekarang adalah bait Roh Kudus, tempat Roh Kudus berkarya. Oleh sebab itu mari kita rawat tubuh kita seperlunya dan sebaik-baiknya! Dan yang paling penting, mari kita gunakan segala keberadaan tubuh kita untuk memuliakan Tuhan. Tuhan semestinya kita permuliakan juga melalui tubuh kita! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo
Tobat (Markus 1: 4-8)
“Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu.” (Markus 1: 4)
Kapan terakhir kali kita menyatakan pertobatan kita? Tobat secara sederhana bisa kita pahami sebagai sikap penyesalan kita pada Tuhan atas dosa-dosa kita. Suatu sikap: I am sorry, aku menyesal! Tentu saja ketika kita meyakini diri kita sebagai insan yang bisa berdosa kita diundang untuk menyatakan penyesalan kita senantiasa pada Tuhan. Meski demikian, dalam keyakinan kristiani, pertobatan tidak sekadar sikap I’m sorry. Ketika Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan pada para pendengarnya agar mendapat pengampunan dosa dari Allah, para pendengarnya tidak pertama-tama diajak untuk memanjatkan doa permohonan ampun mereka secara masal kepada Tuhan, tetapi memberikan diri mereka dibaptis. Kata tobat yang digunakan di sini dalam bahasa Yunaninya: metanoia, memiliki makna: berbalik, kembali. Maksudnya tentu saja Yohanes mengajak para pendengarnya untuk berbalik atau kembali pada Tuhan. Pembaptisan yang dilakukan menjadi tanda dan komitmen bahwa seseorang telah berbalik atau kembali kepada Tuhan. Dengan demikian, bertobat selalu berarti suatu kesetiaan untuk hidup dalam Tuhan. Kita kembali berada dalam jalan dan kebenaran Tuhan. Kita kembali intim dengan Tuhan. Kita kembali akrab dengan Tuhan. Kita kembali mengatakan dan melakukan apa yang dikehendaki Tuhan. Oleh sebab itu, ketika kita merasa jauh dengan jalan dan kebenaran Tuhan, ayo kita kembali pada Tuhan! Ketika kita merasa jauh dari Tuhan, ayo kita dekati Tuhan dan kembali pada-Nya! Ketika kita lebih menuruti keinginan kita dan mengabaikan Tuhan, ayo kita kembali pada kehendak Tuhan! Ayo kita kembali! Ayo kita bertobat! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.
Kapan terakhir kali kita menyatakan pertobatan kita? Tobat secara sederhana bisa kita pahami sebagai sikap penyesalan kita pada Tuhan atas dosa-dosa kita. Suatu sikap: I am sorry, aku menyesal! Tentu saja ketika kita meyakini diri kita sebagai insan yang bisa berdosa kita diundang untuk menyatakan penyesalan kita senantiasa pada Tuhan. Meski demikian, dalam keyakinan kristiani, pertobatan tidak sekadar sikap I’m sorry. Ketika Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan pada para pendengarnya agar mendapat pengampunan dosa dari Allah, para pendengarnya tidak pertama-tama diajak untuk memanjatkan doa permohonan ampun mereka secara masal kepada Tuhan, tetapi memberikan diri mereka dibaptis. Kata tobat yang digunakan di sini dalam bahasa Yunaninya: metanoia, memiliki makna: berbalik, kembali. Maksudnya tentu saja Yohanes mengajak para pendengarnya untuk berbalik atau kembali pada Tuhan. Pembaptisan yang dilakukan menjadi tanda dan komitmen bahwa seseorang telah berbalik atau kembali kepada Tuhan. Dengan demikian, bertobat selalu berarti suatu kesetiaan untuk hidup dalam Tuhan. Kita kembali berada dalam jalan dan kebenaran Tuhan. Kita kembali intim dengan Tuhan. Kita kembali akrab dengan Tuhan. Kita kembali mengatakan dan melakukan apa yang dikehendaki Tuhan. Oleh sebab itu, ketika kita merasa jauh dengan jalan dan kebenaran Tuhan, ayo kita kembali pada Tuhan! Ketika kita merasa jauh dari Tuhan, ayo kita dekati Tuhan dan kembali pada-Nya! Ketika kita lebih menuruti keinginan kita dan mengabaikan Tuhan, ayo kita kembali pada kehendak Tuhan! Ayo kita kembali! Ayo kita bertobat! Amin. Oleh : Pdt. Agus Hendratmo.