TUHAN Melakukan Perkara Besar dengan kehadiran-NYA (Mazmur 126: 1-6)
" TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersukacita." (Mazmur 126: 3)
Apa hal-hal besar yang telah Tuhan karuniakan dalam hidup kita? Mungkin, tidak banyak orang yang bisa langsung menjawab pertanyaan ini dengan baik. Begitu mendengar kata "besar", barangkali yang ada di pikiran kita adalah mukjizat, hal-hal yang supranatural, hal-hal yang spektakuler. Padahal, "besar" itu bahkan bisa sesuatu yang kita anggap kecil atau biasa saja. Jantung yang berdetak, barangkali kita anggap sudah biasa. Padahal, setiap hari jantung manusia berdetak 100.000 kali. Dan semua ini jelas hal yang besar. Nyanyian Ziarah yang tersusun dalam Mazmur 126 ini menggambarkan ungkapan syukur umat atas perkara-perkara atau hal-hal besar yang dikerjakan Tuhan bagi umat-Nya. Apakah itu? Tuhan telah memulihkan keadaan umat di pembuangan. Dari sengsara berganti sukacita. Dari air mata berganti sorak-sorai. Dari tandus dan gersang berganti kesuburan. Kita tidak mendapat kesan ada hal-hal yang "mukjizat", "supranatural", dan "spektakuler", melainkan sesuatu yang justru alami atau biasa. Meski demikian, apa yang alami dan biasa ini tidak dipahami umat sebagai hal biasa. Semua ini adalah karya Allah yang besar bagi umat-Nya. Tuhan telah melakukan perkara besar kepada kita...(ayat 3). Kedatangan-Nya disertai dengan perbuatan-perbuatan besar-Nya bagi umat manusia. Hal besar yang diwujudkan melalui kedatangan-Nya tentu saja adalah karya penyelamatan-Nya bagi umat manusia. Manusia tentu saja bisa menyelamatkan orang lain, misalnya dari kecelakaan atau sakit. Akan tetapi untuk menyelamatkan manusia di dunia ini yang menjauh dari Allah, kedatangan-Nyalah yang memungkinkan semua itu terjadi. Hal besar diwujudkan-Nya dengan datang untuk menyelamatkan manusia yang hidup menjauh dari Allah. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Apa hal-hal besar yang telah Tuhan karuniakan dalam hidup kita? Mungkin, tidak banyak orang yang bisa langsung menjawab pertanyaan ini dengan baik. Begitu mendengar kata "besar", barangkali yang ada di pikiran kita adalah mukjizat, hal-hal yang supranatural, hal-hal yang spektakuler. Padahal, "besar" itu bahkan bisa sesuatu yang kita anggap kecil atau biasa saja. Jantung yang berdetak, barangkali kita anggap sudah biasa. Padahal, setiap hari jantung manusia berdetak 100.000 kali. Dan semua ini jelas hal yang besar. Nyanyian Ziarah yang tersusun dalam Mazmur 126 ini menggambarkan ungkapan syukur umat atas perkara-perkara atau hal-hal besar yang dikerjakan Tuhan bagi umat-Nya. Apakah itu? Tuhan telah memulihkan keadaan umat di pembuangan. Dari sengsara berganti sukacita. Dari air mata berganti sorak-sorai. Dari tandus dan gersang berganti kesuburan. Kita tidak mendapat kesan ada hal-hal yang "mukjizat", "supranatural", dan "spektakuler", melainkan sesuatu yang justru alami atau biasa. Meski demikian, apa yang alami dan biasa ini tidak dipahami umat sebagai hal biasa. Semua ini adalah karya Allah yang besar bagi umat-Nya. Tuhan telah melakukan perkara besar kepada kita...(ayat 3). Kedatangan-Nya disertai dengan perbuatan-perbuatan besar-Nya bagi umat manusia. Hal besar yang diwujudkan melalui kedatangan-Nya tentu saja adalah karya penyelamatan-Nya bagi umat manusia. Manusia tentu saja bisa menyelamatkan orang lain, misalnya dari kecelakaan atau sakit. Akan tetapi untuk menyelamatkan manusia di dunia ini yang menjauh dari Allah, kedatangan-Nyalah yang memungkinkan semua itu terjadi. Hal besar diwujudkan-Nya dengan datang untuk menyelamatkan manusia yang hidup menjauh dari Allah. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pembawa Kabar Baik (Yesaya 40: 1-11)
"...Hai Yerusalem, pembawa kabar baik, nyaringkanlah suaramu kuat-kuat, nyaringkanlah suaramu, jangan takut! Katakanlah kepada kota-kota Yehuda: "Lihat, itu Allahmu!" (Yesaya 40: 9)
Pada umumnya, tidak ada orang yang mau mendengar kabar buruk, apalagi disuruh menyampaikan kabar buruk. Sebagus apapun cara penyampaian kabar buruk itu, kabar itu tetap akan berisi kabar buruk. Jika bisa memilih, kita akan memilih menjadi pembawa kabar baik bukan kabar buruk bagi orang lain. Masa-masa buruk bangsa Yehuda, rupanya akan segera berlalu. Umat yang berada di pembuangan Babel diberitahu bahwa masa pembuangan mereka akan berakhir. Mereka bisa mempersiapkan diri untuk ke pulang Yerusalem. Dalam pemahaman umat, alasan mereka berada di pembuangan Babel karena hukuman Tuhan atas dosa-dosa mereka. Kini mereka sudah diampuni oleh Tuhan, hukuman yang diberikan Tuhan telah dijalani umat dengan tuntas. Tuhan menyayangi umat-Nya dan ingin memberikan yang terbaik bagi umat-Nya. Kabar baik ini perlu diwartakan kepada kota-kota lain di Yehuda. Yerusalem atau Sion disuruh menjadi pembawa kabar baik itu bagi mereka. Bahkan dipahami Tuhan sendiri yang datang memimpin kepulangan umat ke Yerusalem. Seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya (ayat 11). Pada dasarnya, kita juga adalah para pembawa kabar baik itu. Kabar baik bahwa Tuhan datang. Tuhan telah datang! Tuhan akan datang! Tuhan yang telah dan akan datang kembali ini adalah Tuhan yang penuh kasih yang kita wartakan di dalam Yesus Kristus. Tuhan yang selalu dan akan tetap mengasihi kita. Perhatikan, kita bukan diminta untuk menyampaikan kabar buruk, tetapi kabar baik. Oleh sebab itu, jangan takut, jangan khawatir! Yang penting pakailah cara yang baik, agar kabar baik tetap diterima dengan baik. Kalau cara yang dipakai buruk, maka kabar baik itu malah bisa diterima dengan buruk. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pada umumnya, tidak ada orang yang mau mendengar kabar buruk, apalagi disuruh menyampaikan kabar buruk. Sebagus apapun cara penyampaian kabar buruk itu, kabar itu tetap akan berisi kabar buruk. Jika bisa memilih, kita akan memilih menjadi pembawa kabar baik bukan kabar buruk bagi orang lain. Masa-masa buruk bangsa Yehuda, rupanya akan segera berlalu. Umat yang berada di pembuangan Babel diberitahu bahwa masa pembuangan mereka akan berakhir. Mereka bisa mempersiapkan diri untuk ke pulang Yerusalem. Dalam pemahaman umat, alasan mereka berada di pembuangan Babel karena hukuman Tuhan atas dosa-dosa mereka. Kini mereka sudah diampuni oleh Tuhan, hukuman yang diberikan Tuhan telah dijalani umat dengan tuntas. Tuhan menyayangi umat-Nya dan ingin memberikan yang terbaik bagi umat-Nya. Kabar baik ini perlu diwartakan kepada kota-kota lain di Yehuda. Yerusalem atau Sion disuruh menjadi pembawa kabar baik itu bagi mereka. Bahkan dipahami Tuhan sendiri yang datang memimpin kepulangan umat ke Yerusalem. Seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya (ayat 11). Pada dasarnya, kita juga adalah para pembawa kabar baik itu. Kabar baik bahwa Tuhan datang. Tuhan telah datang! Tuhan akan datang! Tuhan yang telah dan akan datang kembali ini adalah Tuhan yang penuh kasih yang kita wartakan di dalam Yesus Kristus. Tuhan yang selalu dan akan tetap mengasihi kita. Perhatikan, kita bukan diminta untuk menyampaikan kabar buruk, tetapi kabar baik. Oleh sebab itu, jangan takut, jangan khawatir! Yang penting pakailah cara yang baik, agar kabar baik tetap diterima dengan baik. Kalau cara yang dipakai buruk, maka kabar baik itu malah bisa diterima dengan buruk. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Waktunya Sudah Dekat (Markus 13: 24-37)
"Demikian juga, jika kamu lihat hal-hal itu terjadi, ketahuilah bahwa waktunya sudah dekat, sudah di ambang pintu." (Markus 13: 29)
Randy Gardner, yang waktu itu masih berusia 17 tahun, tercatat di dalam Buku Rekor Dunia Guinness sebagai orang yang tidak tidur. Mengapa? Karena dia bisa bertahan tidak tidur selama 264 jam atau lebih dari 11 hari. Namun tentu saja, orang-orang seperti Gardner yang bisa bertahan tidak tidur selama 11 hari itu sangat sedikit jumlahnya. Umumnya seseorang bisa bertahan tidak tidur tidak lebih dari 3 hari. Seberapa lama seseorang yang menantikan kedatangan Yesus dapat tahan berjaga-jaga? Yesus mengambarkan kedatangan Anak Manusia sebagai Tuan Rumah yang pulang dari bepergian. Waktu kedatangan-Nya sudah dekat. Namun demikian, tidak seorangpun yang tahu waktu persisnya, pagi atau malam. Mereka yang tahan untuk berjaga-jaga dan tidak tertidur, merekalah yang akan menyambut-Nya. Mereka yang tidak tahan dan tertidur, tidak akan bisa menyambut kedatangan Tuannya. Tentu saja, berjaga-jaga menanti kedatangan Anak Manusia tidak kemudian kita bertahan untuk tidak tidur seperti yang dilakukan Gardner. Ada kelompok-kelompok akhir zaman yang rupanya menyuruh para pengikutnya berkumpul dan berjaga-jaga di satu tempat tertentu karena yakin bahwa waktu-Nya sudah dekat. Sabda Yesus bermakna figuratif, berjaga-jaga menggambarkan kondisi iman yang terolah dengan baik. Ketika iman kita terolah dengan baik, kita tidak perlu lagi khawatir menanti kedatangan Anak manusia. Kapan pun Anak Manusia datang, kita sudah siap. Oleh sebab itu, mari kita olah iman kita dengan baik. Di dalam Pokok-pokok Ajaran GKJ, kita diingatkan bahwa ada kemungkinan karena suatu penggodaan, orang percaya melepaskan percayanya, sehingga gagal di jalan dan tidak dapat mencapai kesempurnaan keselamatan. Orang-orang yang gagal inilah orang-orang yang tidak tahan untuk berjaga-jaga menyambut kedatangan-Nya. Amin. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Randy Gardner, yang waktu itu masih berusia 17 tahun, tercatat di dalam Buku Rekor Dunia Guinness sebagai orang yang tidak tidur. Mengapa? Karena dia bisa bertahan tidak tidur selama 264 jam atau lebih dari 11 hari. Namun tentu saja, orang-orang seperti Gardner yang bisa bertahan tidak tidur selama 11 hari itu sangat sedikit jumlahnya. Umumnya seseorang bisa bertahan tidak tidur tidak lebih dari 3 hari. Seberapa lama seseorang yang menantikan kedatangan Yesus dapat tahan berjaga-jaga? Yesus mengambarkan kedatangan Anak Manusia sebagai Tuan Rumah yang pulang dari bepergian. Waktu kedatangan-Nya sudah dekat. Namun demikian, tidak seorangpun yang tahu waktu persisnya, pagi atau malam. Mereka yang tahan untuk berjaga-jaga dan tidak tertidur, merekalah yang akan menyambut-Nya. Mereka yang tidak tahan dan tertidur, tidak akan bisa menyambut kedatangan Tuannya. Tentu saja, berjaga-jaga menanti kedatangan Anak Manusia tidak kemudian kita bertahan untuk tidak tidur seperti yang dilakukan Gardner. Ada kelompok-kelompok akhir zaman yang rupanya menyuruh para pengikutnya berkumpul dan berjaga-jaga di satu tempat tertentu karena yakin bahwa waktu-Nya sudah dekat. Sabda Yesus bermakna figuratif, berjaga-jaga menggambarkan kondisi iman yang terolah dengan baik. Ketika iman kita terolah dengan baik, kita tidak perlu lagi khawatir menanti kedatangan Anak manusia. Kapan pun Anak Manusia datang, kita sudah siap. Oleh sebab itu, mari kita olah iman kita dengan baik. Di dalam Pokok-pokok Ajaran GKJ, kita diingatkan bahwa ada kemungkinan karena suatu penggodaan, orang percaya melepaskan percayanya, sehingga gagal di jalan dan tidak dapat mencapai kesempurnaan keselamatan. Orang-orang yang gagal inilah orang-orang yang tidak tahan untuk berjaga-jaga menyambut kedatangan-Nya. Amin. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
TUHAN yang menjadikan kita dan memiliki kita. (Mazmur 100: 1-5)
"Ketahuilah, bahwa TUHANlah Allah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita." (Mazmur 100: 3)
Mengapa banyak orang (terutama di luar negeri) masih tidak percaya terhadap eksistensi Tuhan? Beberapa alasan yang sering dikemukakan oleh kaum ateis adalah kepercayaan terhadap Tuhan sesuatu yang irasional dan kepercayaan kepada Tuhan justru mendorong manusia tidak segan-segan melakukan kekerasan dan kekejaman atas nama Tuhan. Tentu terhadap alasan-alasan ini, sudah banyak tanggapan yang diberikan, yang pada intinya alasan-alasan tersebut tidak bisa menjadi dasar untuk menolak eksistensi Tuhan. Mazmur 100 ini adalah mazmur ungkapan syukur. Umat bersyukur karena menyadari pemeliharaan dan kasih setia Tuhan yang diterima dalam hidupnya. Syukur dan pemeliharaan Tuhan inilah yang pada akhirnya membawa umat pada kesadaran bahwa keberadaan mereka dikehendaki oleh Tuhan. Dengan kata lain, mereka berada bukan asal berada. Keberadaan mereka dikehendaki Tuhan, mereka kepunyaan Tuhan, mereka dijadikan oleh Tuhan, untuk mewujudkan tugas panggilan Allah di tengah-tengah kehidupan ini. Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita. Pemahaman bahwa Tuhan itu eksis, dan bahwa keberadaan-Nya menghendaki keberadaan manusia untuk mewujudkan panggilannya akan membawa manusia beriman menyadari makna hidupnya. Hidupnya yang dijadikan Tuhan, akan diolah agar bisa menjadi bermakna bagi sesamanya. Tepat seperti apa yang dikatakan seorang rahib Hindu, Swami Vivekananda, "Jika seseorang mengenal Tuhan, wajahnya, suaranya, dan rupanya berubah. Ia menjadi berkat, kesukaan untuk umat manusia." Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Mengapa banyak orang (terutama di luar negeri) masih tidak percaya terhadap eksistensi Tuhan? Beberapa alasan yang sering dikemukakan oleh kaum ateis adalah kepercayaan terhadap Tuhan sesuatu yang irasional dan kepercayaan kepada Tuhan justru mendorong manusia tidak segan-segan melakukan kekerasan dan kekejaman atas nama Tuhan. Tentu terhadap alasan-alasan ini, sudah banyak tanggapan yang diberikan, yang pada intinya alasan-alasan tersebut tidak bisa menjadi dasar untuk menolak eksistensi Tuhan. Mazmur 100 ini adalah mazmur ungkapan syukur. Umat bersyukur karena menyadari pemeliharaan dan kasih setia Tuhan yang diterima dalam hidupnya. Syukur dan pemeliharaan Tuhan inilah yang pada akhirnya membawa umat pada kesadaran bahwa keberadaan mereka dikehendaki oleh Tuhan. Dengan kata lain, mereka berada bukan asal berada. Keberadaan mereka dikehendaki Tuhan, mereka kepunyaan Tuhan, mereka dijadikan oleh Tuhan, untuk mewujudkan tugas panggilan Allah di tengah-tengah kehidupan ini. Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita. Pemahaman bahwa Tuhan itu eksis, dan bahwa keberadaan-Nya menghendaki keberadaan manusia untuk mewujudkan panggilannya akan membawa manusia beriman menyadari makna hidupnya. Hidupnya yang dijadikan Tuhan, akan diolah agar bisa menjadi bermakna bagi sesamanya. Tepat seperti apa yang dikatakan seorang rahib Hindu, Swami Vivekananda, "Jika seseorang mengenal Tuhan, wajahnya, suaranya, dan rupanya berubah. Ia menjadi berkat, kesukaan untuk umat manusia." Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
ALLAH Tidak Menetapkan Murka (1 Tesalonika 5: 1-11)
"Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita." (1 Tesalonika 5: 9)
Pada tahun 2006, Universitas Baylor di Texas, mengadakan survei secara nasional untuk mencari tahu bagaimana orang-orang menghayati Tuhan. Hasilnya, mereka menemukan hanya 23% responden yang memercayai Tuhan penuh kasih, 32% melihat Tuhan sebagai Sosok yang otoriter, 16% melihat-Nya sebagai suka menghakimi, 24% melihat-Nya sebagai yang tidak peduli pada manusia, dan 5% menganggap-Nya tidak ada. Andrew Newberg, seorang doktor di bidang sains otak, melalui risetnya telah menunjukkan bahwa semakin kuat umat beragama memercayai bahwa Tuhan yang disembahnya sebagai Tuhan yang penuh kasih, semakin sehat jiwa dan raga orang tersebut dibandingkan kalau ia memercayai Tuhan sebagai, misalnya, sosok yang gemar menghukum manusia. Rasul Paulus melalui suratnya kepada jemaat di Tesalonika ini mengajak agar jemaat Tesalonika bertumbuh sebagai jemaat yang berpegang teguh pada Tuhan yang penuh cinta kasih, bukan Tuhan yang lebih mengedepankan murka dan penghukuman bagi umat manusia. Kasih Tuhan dan keselamatan umat-Nya yang menjadi perhatian utama Tuhan, bukan penghukuman dan murka-Nya. Kasih Tuhan ini menemukan bentuk sempurnanya melalui keselamatan yang terjadi karena kematian Yesus. Kaum militan agama yang gemar mengobarkan permusuhan dan kekerasan bagi pihak lain atas nama agamanya, pastilah menyimpan gagasan tentang Tuhan yang otoriter, pemarah, dan suka menghukum. Tuhan disembah karena sebenarnya umat takut terhadap Tuhan, bukan karena kasih-Nya pada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pada tahun 2006, Universitas Baylor di Texas, mengadakan survei secara nasional untuk mencari tahu bagaimana orang-orang menghayati Tuhan. Hasilnya, mereka menemukan hanya 23% responden yang memercayai Tuhan penuh kasih, 32% melihat Tuhan sebagai Sosok yang otoriter, 16% melihat-Nya sebagai suka menghakimi, 24% melihat-Nya sebagai yang tidak peduli pada manusia, dan 5% menganggap-Nya tidak ada. Andrew Newberg, seorang doktor di bidang sains otak, melalui risetnya telah menunjukkan bahwa semakin kuat umat beragama memercayai bahwa Tuhan yang disembahnya sebagai Tuhan yang penuh kasih, semakin sehat jiwa dan raga orang tersebut dibandingkan kalau ia memercayai Tuhan sebagai, misalnya, sosok yang gemar menghukum manusia. Rasul Paulus melalui suratnya kepada jemaat di Tesalonika ini mengajak agar jemaat Tesalonika bertumbuh sebagai jemaat yang berpegang teguh pada Tuhan yang penuh cinta kasih, bukan Tuhan yang lebih mengedepankan murka dan penghukuman bagi umat manusia. Kasih Tuhan dan keselamatan umat-Nya yang menjadi perhatian utama Tuhan, bukan penghukuman dan murka-Nya. Kasih Tuhan ini menemukan bentuk sempurnanya melalui keselamatan yang terjadi karena kematian Yesus. Kaum militan agama yang gemar mengobarkan permusuhan dan kekerasan bagi pihak lain atas nama agamanya, pastilah menyimpan gagasan tentang Tuhan yang otoriter, pemarah, dan suka menghukum. Tuhan disembah karena sebenarnya umat takut terhadap Tuhan, bukan karena kasih-Nya pada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Hanya Kepada TUHAN (Yosua 24: 14-25)
"Tetapi bangsa itu berkata kepada Yosua: "Tidak, hanya kepada TUHAN saja kami akan beribadah." (Yosua 24: 21)
Di masa kecil, di kampung saya, saya sering melihat beberapa orang duduk bersimpuh di bawah pohon beringin setiap malam Jumat. Suasana semacam itu membawa hawa mistis tersendiri. Apakah mereka berdoa, apakah mereka meminta sesuatu kepada Tuhan atau roh penunggu pohon beringin itu, saya tidak pernah berani menanyakan pada waktu itu. Yang mengusik pikiran saya hanya satu, mengapa mereka melakukan itu semua di bawah pohon beringin setiap malam Jumat dengan aroma kental kemenyan yang dibakar? Dalam saat-saat krisis hidup, manusia bisa tergoda untuk mendua hati. Terbagi kesetiaan dan perhatiannya pada yang lain, bukan semata kepada pihak yang sesungguhnya satu-satunya yang berhak mendapatkan kesetiaan dan perhatiannya. Itulah sebabnya, Yosua meminta kembali semua suku orang Israel memperbarui kembali perjanjiannya di Sikhem kepada Tuhan. Tuhan telah membimbing mereka semua masuk ke tanah yang dijanjikan. Ketika mereka sudah menempati tanah Kanaan, bukan berarti pekerjaan telah usai. Justru tugas dan tantangan telah menanti di depan. Saat mereka menghadapi tugas dan tantangan hidup mereka inilah, mereka pasti akan bergumul dengan beragam kesulitan. Di saat kondisi sulit, mereka harus mampu menunjukkan kesetiaan dan kepercayaan yang mutlak hanya kepada Tuhan. Orang-orang Kanaan lokal dan bangsa tetangga pastilah akan menawarkan dewa-dewi sembahan mereka sendiri untuk dijadikan dewa-dewi perlindungan dan berkat bagi orang Israel. Meninggalkan Tuhan, dan menyembah dewa-dewi mereka. Baal dewa penguasa alam, Mot dewa musim, Astarte dewi kelahiran dan kesuburan. Pembaruan perjanjian dengan Tuhan akan meneguhkan iman dan kesetiaan umat hanya kepada Tuhan. Percaya dan beribadah hanya kepada Tuhan, bukan pada kekuatan-kekuatan semu dalam hidup ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Di masa kecil, di kampung saya, saya sering melihat beberapa orang duduk bersimpuh di bawah pohon beringin setiap malam Jumat. Suasana semacam itu membawa hawa mistis tersendiri. Apakah mereka berdoa, apakah mereka meminta sesuatu kepada Tuhan atau roh penunggu pohon beringin itu, saya tidak pernah berani menanyakan pada waktu itu. Yang mengusik pikiran saya hanya satu, mengapa mereka melakukan itu semua di bawah pohon beringin setiap malam Jumat dengan aroma kental kemenyan yang dibakar? Dalam saat-saat krisis hidup, manusia bisa tergoda untuk mendua hati. Terbagi kesetiaan dan perhatiannya pada yang lain, bukan semata kepada pihak yang sesungguhnya satu-satunya yang berhak mendapatkan kesetiaan dan perhatiannya. Itulah sebabnya, Yosua meminta kembali semua suku orang Israel memperbarui kembali perjanjiannya di Sikhem kepada Tuhan. Tuhan telah membimbing mereka semua masuk ke tanah yang dijanjikan. Ketika mereka sudah menempati tanah Kanaan, bukan berarti pekerjaan telah usai. Justru tugas dan tantangan telah menanti di depan. Saat mereka menghadapi tugas dan tantangan hidup mereka inilah, mereka pasti akan bergumul dengan beragam kesulitan. Di saat kondisi sulit, mereka harus mampu menunjukkan kesetiaan dan kepercayaan yang mutlak hanya kepada Tuhan. Orang-orang Kanaan lokal dan bangsa tetangga pastilah akan menawarkan dewa-dewi sembahan mereka sendiri untuk dijadikan dewa-dewi perlindungan dan berkat bagi orang Israel. Meninggalkan Tuhan, dan menyembah dewa-dewi mereka. Baal dewa penguasa alam, Mot dewa musim, Astarte dewi kelahiran dan kesuburan. Pembaruan perjanjian dengan Tuhan akan meneguhkan iman dan kesetiaan umat hanya kepada Tuhan. Percaya dan beribadah hanya kepada Tuhan, bukan pada kekuatan-kekuatan semu dalam hidup ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Yang terbesar, Yang melayani. (Matius 23: 1-12)
"Barangsiapa terbesar di antara kamu,
hendaklah ia menjadi pelayanmu." (Matius 23: 11)
Istilah Servant Leadership atau Kepemimpinan Hamba/Pelayan, tidak hanya dikenal di kalangan gereja, namun juga di dunia bisnis maupun politis. Di dunia bisnis, istilah ini dipakai dan dipopulerkan oleh Robert K. Greenleaf. Menurutnya, tugas pertama pemimpin adalah melayani bukan memimpin. Kelebihan seorang pemimpin bukanlah terletak pada status dan posisinya, namun berdasarkan penghayatannya sebagai seseorang yang melayani berdasarkan statusnya tersebut. Pemimpin yang melayani, menjadi topik penting yang diajarkan Yesus pada para pengikut-Nya. Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah pemimpin formal dalam kehidupan keagamaan dan politik orang-orang Yahudi. Merekalah yang menduduki "Kursi Musa". Tidak ada yang keliru dengan posisi mereka ini. Yang keliru adalah mereka menikmati penggunaan kekuasaan kepemimpinan itu untuk kepentingan mereka sendiri dan pencitraan diri untuk kemuliaan mereka sendiri. Itulah sebabnya Yesus berkata, "...turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya." (ayat 3). Bagi Yesus, kepemimpinan adalah fungsi, bukan status. Apa fungsinya? Melayani! Pemimpin yang tidak melayani malah barangkali tidak pantas disebut pemimpin. Itulah sebabnya Yesus juga mengatakan, "Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias." (ayat 10). Keluarga Kristen juga dipanggil untuk menumbuhkan spirit pelayanannya di dalam keluarga. Orang tua melayani anak, anak melayani orang tua. Suami melayani istri, istri melayani suami. Ketika spirit pelayanan menjadi kebiasaan (habit), keluarga akan lebih mudah memberikan pelayanannya bagi dunia yang membutuhkannya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Istilah Servant Leadership atau Kepemimpinan Hamba/Pelayan, tidak hanya dikenal di kalangan gereja, namun juga di dunia bisnis maupun politis. Di dunia bisnis, istilah ini dipakai dan dipopulerkan oleh Robert K. Greenleaf. Menurutnya, tugas pertama pemimpin adalah melayani bukan memimpin. Kelebihan seorang pemimpin bukanlah terletak pada status dan posisinya, namun berdasarkan penghayatannya sebagai seseorang yang melayani berdasarkan statusnya tersebut. Pemimpin yang melayani, menjadi topik penting yang diajarkan Yesus pada para pengikut-Nya. Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah pemimpin formal dalam kehidupan keagamaan dan politik orang-orang Yahudi. Merekalah yang menduduki "Kursi Musa". Tidak ada yang keliru dengan posisi mereka ini. Yang keliru adalah mereka menikmati penggunaan kekuasaan kepemimpinan itu untuk kepentingan mereka sendiri dan pencitraan diri untuk kemuliaan mereka sendiri. Itulah sebabnya Yesus berkata, "...turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya." (ayat 3). Bagi Yesus, kepemimpinan adalah fungsi, bukan status. Apa fungsinya? Melayani! Pemimpin yang tidak melayani malah barangkali tidak pantas disebut pemimpin. Itulah sebabnya Yesus juga mengatakan, "Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias." (ayat 10). Keluarga Kristen juga dipanggil untuk menumbuhkan spirit pelayanannya di dalam keluarga. Orang tua melayani anak, anak melayani orang tua. Suami melayani istri, istri melayani suami. Ketika spirit pelayanan menjadi kebiasaan (habit), keluarga akan lebih mudah memberikan pelayanannya bagi dunia yang membutuhkannya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Diberkati dengan waktu hidup berkulitas. (Mazmur 90: 7-12)
"Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana" (Mazmur 90: 12)
Sebuah riset di Inggris mengungkapkan bahwa warga Inggris lebih banyak menggunakan waktu dengan gadget mereka (ponsel, tablet, komputer, dsb.) dibandingkan waktu tidur mereka. Rata-rata mereka menggunakan waktu 8 jam 41 menit per hari saat memakai gadget mereka, dibandingkan waktu tidur mereka 8 jam 21 menit per hari. Riset serupa tampaknya belum dilakukan di Indonesia. Namun demikian ada info yang menyebutkan orang Indonesia rata-rata menghabiskan 6 sampai 7,5 jam dalam seminggu hanya untuk menonton video dari ponsel atau tablet. Penggunaan gadget semacam ini mau tidak mau pasti juga akan memengaruhi waktu kebersamaan mereka dengan keluarga. Sang pemazmur tentu saja hidup dalam dunia yang tidak mengenal gadget seperti kita saat ini. Namun pengalaman waktu yang terbuang karena hal-hal yang tidak penting adalah pengalaman yang terjadi pada manusia dari zaman dahulu sampai sekarang. Itulah sebabnya sang pemazmur mengatakan: segala hari kami berlalu..., kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh (ayat 9). Menyadari hal ini, sang pemazmur tidak ingin waktu hidupnya berlalu sia-sia, ia ingin memakai waktunya untuk memberikan makna bagi kehidupannya. Kesadaran akan waktu hidupnya yang terbatas, justru memberikan dorongan yang kuat baginya untuk mewujudkan hidup yang berkualitas. Karena waktu terbatas, hidup haruslah menjadi berkualitas. Sang pemazmur memohon hal tersebut kepada Tuhan agar Tuhan sendiri memampukannya mengelola hari-hari hidupnya dengan berkualitas. Coba kita perhatikan waktu hidup kita! Sungguhkah kita kekurangan waktu untuk menikmatinya bersama dengan keluarga kita? Ataukah waktu kita yang ada sesungguhnya telah disita dengan kegiatan-kegiatan yang tidak penting yang telah kita lakukan? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Sebuah riset di Inggris mengungkapkan bahwa warga Inggris lebih banyak menggunakan waktu dengan gadget mereka (ponsel, tablet, komputer, dsb.) dibandingkan waktu tidur mereka. Rata-rata mereka menggunakan waktu 8 jam 41 menit per hari saat memakai gadget mereka, dibandingkan waktu tidur mereka 8 jam 21 menit per hari. Riset serupa tampaknya belum dilakukan di Indonesia. Namun demikian ada info yang menyebutkan orang Indonesia rata-rata menghabiskan 6 sampai 7,5 jam dalam seminggu hanya untuk menonton video dari ponsel atau tablet. Penggunaan gadget semacam ini mau tidak mau pasti juga akan memengaruhi waktu kebersamaan mereka dengan keluarga. Sang pemazmur tentu saja hidup dalam dunia yang tidak mengenal gadget seperti kita saat ini. Namun pengalaman waktu yang terbuang karena hal-hal yang tidak penting adalah pengalaman yang terjadi pada manusia dari zaman dahulu sampai sekarang. Itulah sebabnya sang pemazmur mengatakan: segala hari kami berlalu..., kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh (ayat 9). Menyadari hal ini, sang pemazmur tidak ingin waktu hidupnya berlalu sia-sia, ia ingin memakai waktunya untuk memberikan makna bagi kehidupannya. Kesadaran akan waktu hidupnya yang terbatas, justru memberikan dorongan yang kuat baginya untuk mewujudkan hidup yang berkualitas. Karena waktu terbatas, hidup haruslah menjadi berkualitas. Sang pemazmur memohon hal tersebut kepada Tuhan agar Tuhan sendiri memampukannya mengelola hari-hari hidupnya dengan berkualitas. Coba kita perhatikan waktu hidup kita! Sungguhkah kita kekurangan waktu untuk menikmatinya bersama dengan keluarga kita? Ataukah waktu kita yang ada sesungguhnya telah disita dengan kegiatan-kegiatan yang tidak penting yang telah kita lakukan? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Diberkati dengan kejujuran dan Integritas (Matius 22: 15-22)
"Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka." (Matius 22: 16)
Ketika bunglon terancam hidupnya, ia akan mengubah warna kulitnya serupa dengan warna lingkungan sekitarnya, sehingga keberadaannya tersamarkan. Harapannya tentu saja, lawan tidak akan melihatnya dengan jelas. Ini memang sebuah tindakan penyelamatan diri, barangkali karena menyadari lawan yang dihadapinya terlalu kuat. Manusia juga bisa tergoda menampakkan perilaku bunglon, ketika menghadapi tantangan hidup yang berat. Ia akan kompromis atau hanya ikut arus mana yang menguntungkan dan menyelamatkannya. Sayangnya, perilaku ini sering terjadi dengan prinsip dan nilai-nilai iman yang dikorbankan. Ia menjadi kehilangan kejujuran dan integritasnya. Yesus tidak kehilangan kejujuran dan integritas-Nya ketika ditanya sekelompok orang yang sebenarnya bermaksud menjebak-Nya, "Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" Yesus menjawab,"Berilah kepada Kaisar apa yang milik Kaisar, dan kepada Allah apa yang milik Allah!" (Jawaban Yesus ini saya ambil dari terjemahan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari, yang saya lihat lebih cocok dengan bahasa Yunaninya). Yesus tidak gentar dengan kekaisaran Romawi yang waktu itu menjajah dan menciptakan beban pajak yang berat bagi umat Israel, bagi Yesus, kaisar hanya boleh memiliki apa yang memang menjadi miliknya. Sebagai keluarga Kristen, kita dipanggil untuk menjaga dan mempertahankan kejujuran dan integritas iman kita kepada Tuhan ketika menghadapi beragam persoalan hidup. Jangan menjadi keluarga Kristen bunglon yang mengorbankan nilai-nilai iman kepada Kristus ketika menghadapi masalah hidup. Kita adalah milik Allah, kita tentu akan mendapat penyertaan dari-Nya dalam kehidupan ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ketika bunglon terancam hidupnya, ia akan mengubah warna kulitnya serupa dengan warna lingkungan sekitarnya, sehingga keberadaannya tersamarkan. Harapannya tentu saja, lawan tidak akan melihatnya dengan jelas. Ini memang sebuah tindakan penyelamatan diri, barangkali karena menyadari lawan yang dihadapinya terlalu kuat. Manusia juga bisa tergoda menampakkan perilaku bunglon, ketika menghadapi tantangan hidup yang berat. Ia akan kompromis atau hanya ikut arus mana yang menguntungkan dan menyelamatkannya. Sayangnya, perilaku ini sering terjadi dengan prinsip dan nilai-nilai iman yang dikorbankan. Ia menjadi kehilangan kejujuran dan integritasnya. Yesus tidak kehilangan kejujuran dan integritas-Nya ketika ditanya sekelompok orang yang sebenarnya bermaksud menjebak-Nya, "Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" Yesus menjawab,"Berilah kepada Kaisar apa yang milik Kaisar, dan kepada Allah apa yang milik Allah!" (Jawaban Yesus ini saya ambil dari terjemahan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari, yang saya lihat lebih cocok dengan bahasa Yunaninya). Yesus tidak gentar dengan kekaisaran Romawi yang waktu itu menjajah dan menciptakan beban pajak yang berat bagi umat Israel, bagi Yesus, kaisar hanya boleh memiliki apa yang memang menjadi miliknya. Sebagai keluarga Kristen, kita dipanggil untuk menjaga dan mempertahankan kejujuran dan integritas iman kita kepada Tuhan ketika menghadapi beragam persoalan hidup. Jangan menjadi keluarga Kristen bunglon yang mengorbankan nilai-nilai iman kepada Kristus ketika menghadapi masalah hidup. Kita adalah milik Allah, kita tentu akan mendapat penyertaan dari-Nya dalam kehidupan ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Diberkati dengan Kesukacitaan (Filipi 4: 1-9)
"Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (Filipi 4: 4)
Survei yang dilakukan Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa pada tahun 2009 menunjukkan sekitar 94% masyarakat Indonesia mengidap depresi dari mulai tingkat ringan hingga paling berat. Ini memang bukan data terkini. Paling tidak, data ini memberikan gambaran apa yang terjadi di Indonesia. Depresi tidak sama dengan psikotik. Psikotik adalah gangguan kejiwaan, sedangkan depresi merupakan gangguan mental umum. Jika penderita psikotik kehilangan kontak terhadap realitas dan berperilaku asosial, seperti bicara, tertawa sendiri dan tidak mengenakan pakaian, mereka yang depresi kehilangan minat, kegembiraan, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, dan seterusnya. Apa yang diserukan Rasul Paulus kepada jemaat Kristen di Filipi? Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! (ayat 4). Dalam bahasa Yunani, tertulis: Kairete-bersukacitalah, en Kyrio-dalam Tuhan, pantote-senantiasa. Penderitaan dan tantangan hidup yang dialami orang Kristen tidak boleh merenggut kegembiraan hidup dan iman mereka. Tidak ada kehidupan tanpa ada persoalan, yang penting adalah mengatasi persoalan tersebut dengan kegembiraan iman kepada Tuhan. Sukacita ini muncul bukan karena kesenangan dan kenikmatan duniawi, malah kesukacitaan ini timbul di dalam Tuhan (en Kyrio). Sukacita ini juga bukanlah ungkapan sesaat, melainkan suatu kebiasaan (habit) yang terus menerus diwujudkan( pantote). Jadilah peredam depresi dan pembangkit kesukacitaan bagi keluarga kita. Berdoalah agar keluarga kita diberkati dengan kesukacitaan. Jika anak kita mendapat nilai buruk di ujian semesternya, jangan memarahinya habis-habisan hingga depresi, tetapi bangkitkanlah semangatnya dengan penuh kasih untuk meraih apa yang kurang dalam dirinya tersebut. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Survei yang dilakukan Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa pada tahun 2009 menunjukkan sekitar 94% masyarakat Indonesia mengidap depresi dari mulai tingkat ringan hingga paling berat. Ini memang bukan data terkini. Paling tidak, data ini memberikan gambaran apa yang terjadi di Indonesia. Depresi tidak sama dengan psikotik. Psikotik adalah gangguan kejiwaan, sedangkan depresi merupakan gangguan mental umum. Jika penderita psikotik kehilangan kontak terhadap realitas dan berperilaku asosial, seperti bicara, tertawa sendiri dan tidak mengenakan pakaian, mereka yang depresi kehilangan minat, kegembiraan, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, dan seterusnya. Apa yang diserukan Rasul Paulus kepada jemaat Kristen di Filipi? Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! (ayat 4). Dalam bahasa Yunani, tertulis: Kairete-bersukacitalah, en Kyrio-dalam Tuhan, pantote-senantiasa. Penderitaan dan tantangan hidup yang dialami orang Kristen tidak boleh merenggut kegembiraan hidup dan iman mereka. Tidak ada kehidupan tanpa ada persoalan, yang penting adalah mengatasi persoalan tersebut dengan kegembiraan iman kepada Tuhan. Sukacita ini muncul bukan karena kesenangan dan kenikmatan duniawi, malah kesukacitaan ini timbul di dalam Tuhan (en Kyrio). Sukacita ini juga bukanlah ungkapan sesaat, melainkan suatu kebiasaan (habit) yang terus menerus diwujudkan( pantote). Jadilah peredam depresi dan pembangkit kesukacitaan bagi keluarga kita. Berdoalah agar keluarga kita diberkati dengan kesukacitaan. Jika anak kita mendapat nilai buruk di ujian semesternya, jangan memarahinya habis-habisan hingga depresi, tetapi bangkitkanlah semangatnya dengan penuh kasih untuk meraih apa yang kurang dalam dirinya tersebut. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Diberkati dengan Kesetiaan (Keluaran 20: 1-17)
"Tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku." (Keluaran 20: 6)
Angka perceraian di Indonesia termasuk tinggi. Tahun 2014 ini, angka perceraian mencapai 354.000, atau sudah melewati 10% dari jumlah perkawinan setiap tahunnya. Tercatat 80% perceraian terjadi pada pasangan muda, baru 2-5 tahun menikah. Sejak tahun 2005, angka perceraian di Indonesia selalu di atas 10%. Rupanya, kesetiaan pada pasangan hidup masih menjadi persoalan besar bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Tuhan terlebih dahulu menunjukkan kasih setia-Nya kepada umat-Nya. Tuhan tidak terlebih dahulu menuntut umat menunjukkan kesetiaannya pada Tuhan. 10 hukum Tuhan diberikan bukan agar manusia memperoleh kesetiaan Tuhan, justru sebaliknya karena manusia telah menerima kasih setia Tuhan, manusia dipanggil untuk menghayati dan mewujudkan kesetiaan di dalam kehidupannya. Bagi kita, 10 hukum Tuhan ini pada dasarnya juga bisa kita katakan hukum-hukum kesetiaan. Kesetiaan pada satu-satunya Tuhan yang berdaulat: jangan ada allah lain, jangan menyembah dan beribadah kepadanya (ayat 3-7), bahkan ketika beragam tantangan hidup kita hadapi. Kesetiaan relasi suami-istri: jangan berzinah, jangan mengingini istrinya (ayat 14,17). Kesetiaan pada relasi dan tataan sosial, dalam mewujudkan panggilannya sebagai keluarga Kristen: hormati ayah ibumu, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengingini apa yang menjadi hak sesamamu (ayat 12-17). Itulah sebabnya, kita sekeluarga bisa memohon pada Tuhan agar selalu diberkati dengan kesetiaan-Nya. Ada banyak sebab, seseorang bisa tidak setia kepada suami/istri dan juga kepada Tuhan. Seseorang bahkan bisa mencoba membenarkan dirinya sendiri mengapa ia menjadi tidak setia. Akan tetapi, ketika kesetiaan telah menjadi "bahasa" kita pada Tuhan dan sesama, tidak sekalipun kita terpikir untuk mengingkari kesetiaan tersebut. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Angka perceraian di Indonesia termasuk tinggi. Tahun 2014 ini, angka perceraian mencapai 354.000, atau sudah melewati 10% dari jumlah perkawinan setiap tahunnya. Tercatat 80% perceraian terjadi pada pasangan muda, baru 2-5 tahun menikah. Sejak tahun 2005, angka perceraian di Indonesia selalu di atas 10%. Rupanya, kesetiaan pada pasangan hidup masih menjadi persoalan besar bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Tuhan terlebih dahulu menunjukkan kasih setia-Nya kepada umat-Nya. Tuhan tidak terlebih dahulu menuntut umat menunjukkan kesetiaannya pada Tuhan. 10 hukum Tuhan diberikan bukan agar manusia memperoleh kesetiaan Tuhan, justru sebaliknya karena manusia telah menerima kasih setia Tuhan, manusia dipanggil untuk menghayati dan mewujudkan kesetiaan di dalam kehidupannya. Bagi kita, 10 hukum Tuhan ini pada dasarnya juga bisa kita katakan hukum-hukum kesetiaan. Kesetiaan pada satu-satunya Tuhan yang berdaulat: jangan ada allah lain, jangan menyembah dan beribadah kepadanya (ayat 3-7), bahkan ketika beragam tantangan hidup kita hadapi. Kesetiaan relasi suami-istri: jangan berzinah, jangan mengingini istrinya (ayat 14,17). Kesetiaan pada relasi dan tataan sosial, dalam mewujudkan panggilannya sebagai keluarga Kristen: hormati ayah ibumu, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengingini apa yang menjadi hak sesamamu (ayat 12-17). Itulah sebabnya, kita sekeluarga bisa memohon pada Tuhan agar selalu diberkati dengan kesetiaan-Nya. Ada banyak sebab, seseorang bisa tidak setia kepada suami/istri dan juga kepada Tuhan. Seseorang bahkan bisa mencoba membenarkan dirinya sendiri mengapa ia menjadi tidak setia. Akan tetapi, ketika kesetiaan telah menjadi "bahasa" kita pada Tuhan dan sesama, tidak sekalipun kita terpikir untuk mengingkari kesetiaan tersebut. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Firman-MU Menunjukkan Jalan (Matius 21: 28-32)
"Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya...." (Matius 21: 32)
Dalam dunia kita yang ditopang oleh internet ini, ketika seseorang melacak kata, misalnya: Tuhan, Yesus, kebenaran, akan mendapatkan data yang bahkan kita tidak selesai untuk membacanya berhari-hari. Internet telah menampakkan sifat yang biasanya kita kenakan pada Tuhan, yakni Mahatahu. Tak heran, seorang profesor Sosiologi Sherry Turkel mengatakan: People see the Net as a new metaphor for God. Internet sebagai metafor baru tentang Tuhan, manusia datang dan meminta petunjuk dan jalan yang benar kepadanya. Para imam Bait Allah dan tua-tua bangsa Yahudi rupanya tidak bisa membedakan mana jalan yang benar dengan yang tidak benar di hadapan Tuhan. Ketika Yohanes Pembaptis diutus Allah untuk menunjukkan jalan Tuhan bagi umat Israel, mereka tidak memercayainya. Sikap mereka ini digambarkan Yesus dalam perumpamaan-Nya tentang dua orang anak, sebagai sikap anak bungsu ketika menanggapi perintah ayahnya. Ia menanggapi permintaan ayahnya untuk bekerja dalam kebun anggur dengan jawaban ya, namun hari itu juga ia tetap tidak pergi untuk bekerja di kebun. Orang Jawa bilang: inggih-inggih, nanging boten kepanggih. Ya, ya, percaya bahwa Yohanes Pembaptis mendapat kuasa dari Allah, tetapi tetap tidak mau menuruti jalan yang ditunjukkannya. Pada akhirnya, justru yang diberkati adalah para pemungut cukai dan perempuan pelacur, bagaikan sikap anak sulung, pertama menjawab tidak, tapi kemudian menyesali jawabannya dan pergi ke kebun anggur untuk bekerja. Justru merekalah yang menerima jalan dan kebenaran yang ditunjukkan Yohanes. Hanya dalam hubungan yang akrab dengan Tuhan, bahkan bukan melalui internet, kita akan bisa menilai jalan yang kita lewati benar atau tidak. Hanya dalam hubungan yang akrab dengan firman-Nya, kita akan semakin peka untuk membedakan mana jalan yang dikehendaki Tuhan dan mana yang tidak dalam hidup kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Dalam dunia kita yang ditopang oleh internet ini, ketika seseorang melacak kata, misalnya: Tuhan, Yesus, kebenaran, akan mendapatkan data yang bahkan kita tidak selesai untuk membacanya berhari-hari. Internet telah menampakkan sifat yang biasanya kita kenakan pada Tuhan, yakni Mahatahu. Tak heran, seorang profesor Sosiologi Sherry Turkel mengatakan: People see the Net as a new metaphor for God. Internet sebagai metafor baru tentang Tuhan, manusia datang dan meminta petunjuk dan jalan yang benar kepadanya. Para imam Bait Allah dan tua-tua bangsa Yahudi rupanya tidak bisa membedakan mana jalan yang benar dengan yang tidak benar di hadapan Tuhan. Ketika Yohanes Pembaptis diutus Allah untuk menunjukkan jalan Tuhan bagi umat Israel, mereka tidak memercayainya. Sikap mereka ini digambarkan Yesus dalam perumpamaan-Nya tentang dua orang anak, sebagai sikap anak bungsu ketika menanggapi perintah ayahnya. Ia menanggapi permintaan ayahnya untuk bekerja dalam kebun anggur dengan jawaban ya, namun hari itu juga ia tetap tidak pergi untuk bekerja di kebun. Orang Jawa bilang: inggih-inggih, nanging boten kepanggih. Ya, ya, percaya bahwa Yohanes Pembaptis mendapat kuasa dari Allah, tetapi tetap tidak mau menuruti jalan yang ditunjukkannya. Pada akhirnya, justru yang diberkati adalah para pemungut cukai dan perempuan pelacur, bagaikan sikap anak sulung, pertama menjawab tidak, tapi kemudian menyesali jawabannya dan pergi ke kebun anggur untuk bekerja. Justru merekalah yang menerima jalan dan kebenaran yang ditunjukkan Yohanes. Hanya dalam hubungan yang akrab dengan Tuhan, bahkan bukan melalui internet, kita akan bisa menilai jalan yang kita lewati benar atau tidak. Hanya dalam hubungan yang akrab dengan firman-Nya, kita akan semakin peka untuk membedakan mana jalan yang dikehendaki Tuhan dan mana yang tidak dalam hidup kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Firman-MU memampukan Kami! (Filipi 1: 27-30)
"Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus,... bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil." (Filipi 1: 27)
Nick Vujicic, dalam pengantarnya untuk bukunya yang berjudul Life Without Limits, mengatakan: Kita sering merasa kehidupan tidak adil. Kesulitan dan penderitaan memang dapat memunculkan kebimbangan dan keputusasaan. Akan tetapi Alkitab mengatakan, Apapun cobaan yang kalian hadapi, terimalah dengan sukacita...sebagian kesulitan yang kita hadapi menawarkan kesempatan bagi kita untuk menggali siapa sesungguhnya diri kita dan kontribusi apa yang dapat kita berikan pada sesama. Dengan iman terhadap Tuhan yang bersumber dari Alkitab inilah, walau ia tak punya lengan dan tungkai, ia bisa memberikan inspirasi bagi jutaan orang untuk tidak begitu saja takluk terhadap keterbatasan hidupnya. Ketika Rasul Paulus menulis surat kepada jemaat di Filipi ini, ia sedang berada dalam penjara di Roma, menunggu pengadilan tehadap dirinya. Melalui surat ini, Paulus jelas ingin memberikan teladan hidup dan nasihat pastoral yang memampukan orang-orang Kristen Filipi untuk tetap beriman teguh kepada Kristus dalam segala penderitaan yang dihadapi. Bahkan Paulus mengatakan bahwa orang-orang Kristen tidak hanya dikaruniai iman kepada Kristus, melainkan juga kekuatan untuk menderita bagi Kristus (ayat 29). Paulus membuktikan dan memberikan contoh dirinya sendiri, sekalipun sedang berada di penjara karena Kristus, ia tetap berkomunikasi dengan jemaat Kristen Filipi dan menyatakan bahwa penjara tidak membuatnya mengingkari Kristus. Ketika kesulitan dan penderitaan hidup menjadi bagian yang tak terelakkan dalam hidup kita, kita diingatkan untuk mencari sumber kekuatan dari firman-Nya. Firman itulah yang akan memampukan kita, seperti Paulus atau Nick Vujicic, untuk berjuang dalam iman yang teguh kepada Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Nick Vujicic, dalam pengantarnya untuk bukunya yang berjudul Life Without Limits, mengatakan: Kita sering merasa kehidupan tidak adil. Kesulitan dan penderitaan memang dapat memunculkan kebimbangan dan keputusasaan. Akan tetapi Alkitab mengatakan, Apapun cobaan yang kalian hadapi, terimalah dengan sukacita...sebagian kesulitan yang kita hadapi menawarkan kesempatan bagi kita untuk menggali siapa sesungguhnya diri kita dan kontribusi apa yang dapat kita berikan pada sesama. Dengan iman terhadap Tuhan yang bersumber dari Alkitab inilah, walau ia tak punya lengan dan tungkai, ia bisa memberikan inspirasi bagi jutaan orang untuk tidak begitu saja takluk terhadap keterbatasan hidupnya. Ketika Rasul Paulus menulis surat kepada jemaat di Filipi ini, ia sedang berada dalam penjara di Roma, menunggu pengadilan tehadap dirinya. Melalui surat ini, Paulus jelas ingin memberikan teladan hidup dan nasihat pastoral yang memampukan orang-orang Kristen Filipi untuk tetap beriman teguh kepada Kristus dalam segala penderitaan yang dihadapi. Bahkan Paulus mengatakan bahwa orang-orang Kristen tidak hanya dikaruniai iman kepada Kristus, melainkan juga kekuatan untuk menderita bagi Kristus (ayat 29). Paulus membuktikan dan memberikan contoh dirinya sendiri, sekalipun sedang berada di penjara karena Kristus, ia tetap berkomunikasi dengan jemaat Kristen Filipi dan menyatakan bahwa penjara tidak membuatnya mengingkari Kristus. Ketika kesulitan dan penderitaan hidup menjadi bagian yang tak terelakkan dalam hidup kita, kita diingatkan untuk mencari sumber kekuatan dari firman-Nya. Firman itulah yang akan memampukan kita, seperti Paulus atau Nick Vujicic, untuk berjuang dalam iman yang teguh kepada Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Firman-MU menyelamatkan Kami! (Keluaran 14: 19-31)
"Demikianlah pada hari itu TUHAN menyelamatkan orang Israel dari tangan orang Mesir. Dan orang Israel melihat orang Mesir mati terhantar di pantai laut." (Keluaran 14: 30)
Apakah manusia yang hidup di zaman modern-pascamodern ini masih memerlukan ajaran-ajaran dalam kitab suci untuk menyelamatkan hidup mereka? Tidakkah manusia modern harus mengandalkan temuan-temuan sains untuk keberlangsungan hidupnya di dunia ini? Sam Harris, seorang ateis, dalam bukunya The Moral Landscape bahkan menuduh moralitas yang diajarkan dalam kitab suci tidak membantu meningkatkan kesejahteraan dan martabat kemanusiaan. Tentu saja, kita yang hidup di zaman modern-pascamodern ini tetap memerlukan ajaran-ajaran kitab suci kita. Kitab suci mewartakan karya penyelamatan Allah bagi umat-Nya. Salah satu karya penyelamatan Allah yang ditulis dengan baik oleh para penulis perikop kita ini adalah penyeberangan umat Israel di laut Teberau. Melalui pertolongan Tuhan Allah, umat Israel di bawah pimpinan Musa dapat menyeberangi laut Teberau dengan selamat, sedangkan orang-orang Mesir yang mengejar mereka akhirnya mati tenggelam. Perhatikan apa yang telah dilakukan Tuhan: Dan semalam-malaman itu TUHAN menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras, membuat laut itu menjadi tanah kering (ayat 21). Apa yang dikerjakan oleh Tuhan? Menguakkan air laut. Jadi, Tuhan sendiri yang bertindak. Berapa lama? Semalam-malaman. Peristiwa yang diceritakan secara lisan turun-temurun ini akhirnya dituliskan para rabi Israel dalam kitab keluaran ini, tentu saja agar umat-Nya yang tidak mengalami langsung peristiwa itu dapat menangkap pesan keselamatan yang sama. Oleh karena itu, pada saat kita membaca kitab suci kita, perhatikan dengan baik-baik: pesan keselamatan apa yang diwartakan bagi saya pribadi, komunitas dan dunia ini. Dan apa yang kita temukan itu, biarlah menjadi kekuatan bagi kita hidup dalam karya penyelamatan-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Apakah manusia yang hidup di zaman modern-pascamodern ini masih memerlukan ajaran-ajaran dalam kitab suci untuk menyelamatkan hidup mereka? Tidakkah manusia modern harus mengandalkan temuan-temuan sains untuk keberlangsungan hidupnya di dunia ini? Sam Harris, seorang ateis, dalam bukunya The Moral Landscape bahkan menuduh moralitas yang diajarkan dalam kitab suci tidak membantu meningkatkan kesejahteraan dan martabat kemanusiaan. Tentu saja, kita yang hidup di zaman modern-pascamodern ini tetap memerlukan ajaran-ajaran kitab suci kita. Kitab suci mewartakan karya penyelamatan Allah bagi umat-Nya. Salah satu karya penyelamatan Allah yang ditulis dengan baik oleh para penulis perikop kita ini adalah penyeberangan umat Israel di laut Teberau. Melalui pertolongan Tuhan Allah, umat Israel di bawah pimpinan Musa dapat menyeberangi laut Teberau dengan selamat, sedangkan orang-orang Mesir yang mengejar mereka akhirnya mati tenggelam. Perhatikan apa yang telah dilakukan Tuhan: Dan semalam-malaman itu TUHAN menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras, membuat laut itu menjadi tanah kering (ayat 21). Apa yang dikerjakan oleh Tuhan? Menguakkan air laut. Jadi, Tuhan sendiri yang bertindak. Berapa lama? Semalam-malaman. Peristiwa yang diceritakan secara lisan turun-temurun ini akhirnya dituliskan para rabi Israel dalam kitab keluaran ini, tentu saja agar umat-Nya yang tidak mengalami langsung peristiwa itu dapat menangkap pesan keselamatan yang sama. Oleh karena itu, pada saat kita membaca kitab suci kita, perhatikan dengan baik-baik: pesan keselamatan apa yang diwartakan bagi saya pribadi, komunitas dan dunia ini. Dan apa yang kita temukan itu, biarlah menjadi kekuatan bagi kita hidup dalam karya penyelamatan-Nya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Firman-MU Menegur Kami! (Matius 18: 15-20)
"Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali." (Matius 18: 15)
Ada sebuah pepatah Tiongkok yang berbunyi: Ada orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu, ajarilah dia karena ia orang jujur. Ada orang yang mengetahui bahwa dirinya tahu, ikutilah dia karena ia bijak. Ada orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu, yakinkan dirinya karena ia rendah diri. Lalu ada orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, hindari dia karena ia bebal! Tidak selamanya nasihat atau teguran yang diberikan mendatangkan hasil seperti yang diharapkan. Barangkali karena caranya yang kurang benar atau watak bebal orang yang dinasihati. Yesus memberikan contoh kepada murid-murid-Nya cara menasihati saudara mereka yang jatuh dalam dosa. Tegurlah orang yang berdosa ini secara empat mata. Jika ia tidak mau terima teguran ini, barangkali dia tidak merasa berdosa, bawalah kepadanya satu atau dua orang lagi, supaya ia tidak merasa sangsi atas dosa yang telah diperbuatnya. Akan tetapi, ketika dia tetap keras kepala dan tetap merasa bahwa dirinya benar dan tidak berdosa, kasus ini harus dibawa dalam komunitas yang lebih luas. Namun ketika putusan komunitas ini yang menyatakan dia berdosa juga tetap ditolak, orang ini tidak layak dipandang sebagai seorang yang mengenal Allah. Menjadi orang yang terbuka untuk menerima nasihat atau teguran sering memang tidak mudah. Kita lebih mudah terjebak pada bias pembenaran diri. Kita yang benar, orang lain salah. Kita yang benar, firman Tuhan yang salah! Tidak heran, banyak orang tidak suka membaca ayat-ayat Alkitab yang berisi teguran, ayat-ayat semacam ini sering dilompati saja. Tidak juga mengherankan, banyak orang tidak suka mendengar kotbah pendeta yang berisi teguran, maunya yang berisi hiburan saja. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ada sebuah pepatah Tiongkok yang berbunyi: Ada orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu, ajarilah dia karena ia orang jujur. Ada orang yang mengetahui bahwa dirinya tahu, ikutilah dia karena ia bijak. Ada orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu, yakinkan dirinya karena ia rendah diri. Lalu ada orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, hindari dia karena ia bebal! Tidak selamanya nasihat atau teguran yang diberikan mendatangkan hasil seperti yang diharapkan. Barangkali karena caranya yang kurang benar atau watak bebal orang yang dinasihati. Yesus memberikan contoh kepada murid-murid-Nya cara menasihati saudara mereka yang jatuh dalam dosa. Tegurlah orang yang berdosa ini secara empat mata. Jika ia tidak mau terima teguran ini, barangkali dia tidak merasa berdosa, bawalah kepadanya satu atau dua orang lagi, supaya ia tidak merasa sangsi atas dosa yang telah diperbuatnya. Akan tetapi, ketika dia tetap keras kepala dan tetap merasa bahwa dirinya benar dan tidak berdosa, kasus ini harus dibawa dalam komunitas yang lebih luas. Namun ketika putusan komunitas ini yang menyatakan dia berdosa juga tetap ditolak, orang ini tidak layak dipandang sebagai seorang yang mengenal Allah. Menjadi orang yang terbuka untuk menerima nasihat atau teguran sering memang tidak mudah. Kita lebih mudah terjebak pada bias pembenaran diri. Kita yang benar, orang lain salah. Kita yang benar, firman Tuhan yang salah! Tidak heran, banyak orang tidak suka membaca ayat-ayat Alkitab yang berisi teguran, ayat-ayat semacam ini sering dilompati saja. Tidak juga mengherankan, banyak orang tidak suka mendengar kotbah pendeta yang berisi teguran, maunya yang berisi hiburan saja. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Keragaman Karunia (Roma 12: 6-8)
"Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita..." (Roma 12: 6)
Clifford Geertz, seorang anthropolog Amerika yang sering melakukan riset dan banyak menghasilkan tulisan tentang Indonesia, menyatakan bahwa Indonesia sedemikian kompleksnya. Indonesia tidak hanya multietnis, melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Tiongkok, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhisme, Islam, Kristen, Kapitalis, Sosialis, dan seterusnya). Menurut saya, dalam kompleksitas semacam ini, agar NKRI tetap tegak berdiri, masyarakat harus belajar mengenyahkan heterophobia, yakni ketakutan terhadap yang lain hanya karena mereka berbeda dengan dirinya. Rasul Paulus menasihati jemaat Kristen di Roma agar tidak jatuh dalam heterophobia. Nasihat ini amat penting, karena Paulus mengetahui ketegangan yang terjadi antara jemaat Kristen Yahudi dengan jemaat Kristen dari bangsa-bangsa lain yang menetap di Roma tersebut. Jemaat Kristen Yahudi dan jemaat Kristen non-Yahudi di Roma ternyata mengembangkan pelayanan mereka dengan keragaman karunia. Keragaman karunia ini, di satu sisi membuat jemaat Kristen Roma lebih vital, namun di sisi lain menimbulkan kebingungan, ketidakpastian, kesombongan, dan bahkan ketakutan. Jemaat Kristen Roma mulai beranggapan ada jenis karunia tertentu yang lebih baik dan penting dibandingkan lainnya, sehingga perlu mendapatkan penekanan utama. Muncullah kemudian, upaya-upaya dominasi yang satu terhadap lainnya. Perbedaan dan keragaman karunia pada dasarnya hendak dienyahkan, dan diganti dengan dominasi karunia tertentu. Menurut Paulus, jemaat Kristen Roma harus merangkul, memakai dan memanfaatkan keragaman itu dalam pelayanannya, bukan malah membenci keragaman karunia Tuhan itu. Keragaman di Indonesia adalah karunia Tuhan. Keragaman ini bukan untuk ditakuti, dibenci, dan disingkirkan, melainkan dipakai dan didayagunakan untuk membangun Indonesia dengan lebih baik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Clifford Geertz, seorang anthropolog Amerika yang sering melakukan riset dan banyak menghasilkan tulisan tentang Indonesia, menyatakan bahwa Indonesia sedemikian kompleksnya. Indonesia tidak hanya multietnis, melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Tiongkok, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhisme, Islam, Kristen, Kapitalis, Sosialis, dan seterusnya). Menurut saya, dalam kompleksitas semacam ini, agar NKRI tetap tegak berdiri, masyarakat harus belajar mengenyahkan heterophobia, yakni ketakutan terhadap yang lain hanya karena mereka berbeda dengan dirinya. Rasul Paulus menasihati jemaat Kristen di Roma agar tidak jatuh dalam heterophobia. Nasihat ini amat penting, karena Paulus mengetahui ketegangan yang terjadi antara jemaat Kristen Yahudi dengan jemaat Kristen dari bangsa-bangsa lain yang menetap di Roma tersebut. Jemaat Kristen Yahudi dan jemaat Kristen non-Yahudi di Roma ternyata mengembangkan pelayanan mereka dengan keragaman karunia. Keragaman karunia ini, di satu sisi membuat jemaat Kristen Roma lebih vital, namun di sisi lain menimbulkan kebingungan, ketidakpastian, kesombongan, dan bahkan ketakutan. Jemaat Kristen Roma mulai beranggapan ada jenis karunia tertentu yang lebih baik dan penting dibandingkan lainnya, sehingga perlu mendapatkan penekanan utama. Muncullah kemudian, upaya-upaya dominasi yang satu terhadap lainnya. Perbedaan dan keragaman karunia pada dasarnya hendak dienyahkan, dan diganti dengan dominasi karunia tertentu. Menurut Paulus, jemaat Kristen Roma harus merangkul, memakai dan memanfaatkan keragaman itu dalam pelayanannya, bukan malah membenci keragaman karunia Tuhan itu. Keragaman di Indonesia adalah karunia Tuhan. Keragaman ini bukan untuk ditakuti, dibenci, dan disingkirkan, melainkan dipakai dan didayagunakan untuk membangun Indonesia dengan lebih baik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Seruan Minta Tolong (Keluaran 2: 23-25)
"Allah mendengar mereka mengerang, lalu Ia mengingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub." (Keluaran 2: 24)
Siapa membutuhkan Tuhan? Orang Ateis tidak butuh Tuhan, campur tangan yang ilahi tidak diperlukan dalam hidup ini, bahkan kepercayaan terhadap yang ilahi dianggap merugikan kemanusiaan. Di negara-negara yang menganut paham sekularisme, agama dan Tuhan hanya boleh dihayati dalam ruang privat. Agama dan Tuhan dicegah untuk tampil dan dikumandangakan dalan ranah publik. Tidak demikian dengan orang-orang yang percaya pada Tuhan. Mereka tidak hanya membutuhkan Tuhan, bahkan segenap aspek hidup mereka tidak bisa dilepaskan dari Tuhan. Ketika umat Israel merasakan penderitaan yang berat akibat perbudakan di Mesir, kepada Tuhanlah mereka berseru minta tolong dan bukan pada bangsa-bangsa lain agar menolong mereka. Tuhan mendengar seruan minta tolong mereka. Tuhan menolong umat karena mengingat perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. Kebahagiaan bagi setiap orang percaya biasanya dirasakan ketika Tuhan berkenan mendengar dan memberikan pertolongan terhadap seruan minta tolong mereka. Tindakan Tuhan ini akan meneguhkan iman mereka. Namun bagaimana kalau terjadi sebaliknya, ketika kita merasa Tuhan tidak mendengar seruan kita dan memberikan pertolongan bagi kita? Ada orang-orang yang tetap berseru-seru pada Tuhan sampai dikabulkan permohonannya, ada orang-orang yang mulai meninggalkan Tuhan, namun demikian pastilah tetap ada orang-orang yang setia memegang teguh imannya kepada Tuhan dan tidak mau membiarkan imannya goyah bahkan ketika seruan minta tolongnya belum dijawab Tuhan. Meskipun sampai sekarang ini, masih banyak persoalan bangsa yang belum bisa diselesaikan, seruan minta tolong kita kepada Tuhan tetap selalu kita nyatakan dan memberi kekuatan bagi kita menjalani hidup di negara kita ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Siapa membutuhkan Tuhan? Orang Ateis tidak butuh Tuhan, campur tangan yang ilahi tidak diperlukan dalam hidup ini, bahkan kepercayaan terhadap yang ilahi dianggap merugikan kemanusiaan. Di negara-negara yang menganut paham sekularisme, agama dan Tuhan hanya boleh dihayati dalam ruang privat. Agama dan Tuhan dicegah untuk tampil dan dikumandangakan dalan ranah publik. Tidak demikian dengan orang-orang yang percaya pada Tuhan. Mereka tidak hanya membutuhkan Tuhan, bahkan segenap aspek hidup mereka tidak bisa dilepaskan dari Tuhan. Ketika umat Israel merasakan penderitaan yang berat akibat perbudakan di Mesir, kepada Tuhanlah mereka berseru minta tolong dan bukan pada bangsa-bangsa lain agar menolong mereka. Tuhan mendengar seruan minta tolong mereka. Tuhan menolong umat karena mengingat perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. Kebahagiaan bagi setiap orang percaya biasanya dirasakan ketika Tuhan berkenan mendengar dan memberikan pertolongan terhadap seruan minta tolong mereka. Tindakan Tuhan ini akan meneguhkan iman mereka. Namun bagaimana kalau terjadi sebaliknya, ketika kita merasa Tuhan tidak mendengar seruan kita dan memberikan pertolongan bagi kita? Ada orang-orang yang tetap berseru-seru pada Tuhan sampai dikabulkan permohonannya, ada orang-orang yang mulai meninggalkan Tuhan, namun demikian pastilah tetap ada orang-orang yang setia memegang teguh imannya kepada Tuhan dan tidak mau membiarkan imannya goyah bahkan ketika seruan minta tolongnya belum dijawab Tuhan. Meskipun sampai sekarang ini, masih banyak persoalan bangsa yang belum bisa diselesaikan, seruan minta tolong kita kepada Tuhan tetap selalu kita nyatakan dan memberi kekuatan bagi kita menjalani hidup di negara kita ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Berkat Bagi yang Rukun (Mazmur 133: 1-3)
"Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya." (Mazmur 133: 33)
Negara yang menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya, tidak boleh terperangkap dalam tahap tradisionalisme/tribalisme. Menurut Donna Zajonc, dalam bukunya The Politics of Hope, tahap tribalisme ini ditandai dengan polarisasi yang tajam antara "kami" dengan "mereka". Prinsip yang berlaku adalah kalau kamu tidak di pihak kami, berarti kamu adalah musuh kami. Suku, partai politik, dan agama yang beragam dan berbeda tidak lagi menjadi identitas yang memperkaya kehidupan suatu negara melainkan telah menjadi politik identitas untuk menjadikan suku, partai politik, dan agamanya sendiri mendominasi atas yang lain Kata-kata pemazmur mengenai persaudaraan yang rukun ini memang bisa keliru dipahami sebagai bentuk persaudaraan sukuistik-yang hanya mementingkan suku bangsa sendiri di atas suku bangsa lain. Namun sesungguhnya tidak demikian maksud pemazmur. Mazmur ini justru mengandung pesan yang melampaui pola pikir tradisionalisme/tribalisme ini. Mazmur ini tidak dimaksudkan bagi satu suku di Israel, melainkan 12 suku yang ada di Israel yang memiliki keragaman karakter. 12 suku Israel itu diajak untuk melampaui pikiran sukuistik mereka, yang hanya memperhatikan kepentingan sukunya sendiri menuju hidup bersama dalam kesatuan dan kerukunan. Berkat-berkat Tuhan akan dirasakan oleh umat dalam kesatuan dan kerukunan mereka, bukan dalam keterpecahan dan kesendirian mereka. Berkat Allah bagi bangsa Indonesia hingga ulang tahun ke-69 ini justru tampak dalam keragaman suku, golongan-partai politik, dan agama yang dapat diolah dalam kesatuan dan kerukunan. Jika warga negara ini masih terperangkap dalam pola pikir tribalisme, berkat Allah ini justru tidak akan membawa kehidupan yang lebih baik melainkan perpecahan dan konflik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Negara yang menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya, tidak boleh terperangkap dalam tahap tradisionalisme/tribalisme. Menurut Donna Zajonc, dalam bukunya The Politics of Hope, tahap tribalisme ini ditandai dengan polarisasi yang tajam antara "kami" dengan "mereka". Prinsip yang berlaku adalah kalau kamu tidak di pihak kami, berarti kamu adalah musuh kami. Suku, partai politik, dan agama yang beragam dan berbeda tidak lagi menjadi identitas yang memperkaya kehidupan suatu negara melainkan telah menjadi politik identitas untuk menjadikan suku, partai politik, dan agamanya sendiri mendominasi atas yang lain Kata-kata pemazmur mengenai persaudaraan yang rukun ini memang bisa keliru dipahami sebagai bentuk persaudaraan sukuistik-yang hanya mementingkan suku bangsa sendiri di atas suku bangsa lain. Namun sesungguhnya tidak demikian maksud pemazmur. Mazmur ini justru mengandung pesan yang melampaui pola pikir tradisionalisme/tribalisme ini. Mazmur ini tidak dimaksudkan bagi satu suku di Israel, melainkan 12 suku yang ada di Israel yang memiliki keragaman karakter. 12 suku Israel itu diajak untuk melampaui pikiran sukuistik mereka, yang hanya memperhatikan kepentingan sukunya sendiri menuju hidup bersama dalam kesatuan dan kerukunan. Berkat-berkat Tuhan akan dirasakan oleh umat dalam kesatuan dan kerukunan mereka, bukan dalam keterpecahan dan kesendirian mereka. Berkat Allah bagi bangsa Indonesia hingga ulang tahun ke-69 ini justru tampak dalam keragaman suku, golongan-partai politik, dan agama yang dapat diolah dalam kesatuan dan kerukunan. Jika warga negara ini masih terperangkap dalam pola pikir tribalisme, berkat Allah ini justru tidak akan membawa kehidupan yang lebih baik melainkan perpecahan dan konflik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Setara Dalam Kebhinekaan (Roma 10: 4-15)
"Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya." (Roma 10: 12)
Adrian Cronauer memberikan kata-kata yang menarik mengenai kesetaraan dalam kebinekaan: Martin Luther King, Jr. tidak membawa satu potong baju tertentu sebagai simbol kepercayaannya mengenai kesetaraan rasial, yang ia bawa adalah bendera Amerika. Barangkali apa yang dimaksud Cronauer adalah hasrat untuk kesetaraan semestinya tidak dimulai dengan upaya menonjolkan kepentingan kelompoknya masing-masing, melainkan pada kepentingan bersama yang mewadahi keragaman kelompok yang ada. Kebenaran hukum Taurat, dalam pandangan Paulus, bersifat terbatas. Ia membatasi keselamatan dan kehidupan hanya bagi mereka yang mau tunduk dan menjalani hukum Taurat. Pada prakteknya pelaksanaan hukum ini berlaku bagi orang Yahudi saja, karena orang-orang di luar Yahudi enggan untuk melakukan hukum Taurat. Kebenaran ini berbeda dengan kebenaran karena iman. Kebenaran karena iman melampaui kebenaran hukum Taurat. Mereka yang menerima keselamatan dan hidup tidak didasarkan pada ukuran ras, suku, bangsa, ataupun pelaksanaan hukum Taurat, melainkan karena imannya kepada Yesus. Iman kepada Yesus memampukan untuk memahami keselamatan tidak terbatas pada kelompok orang tertentu, melainkan dianugerahkan bagi semua orang. Itulah sebabnya Paulus mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan Yunani, karena Allah di dalam Yesus adalah Tuhan dari semua orang. Dengan demikian, kesetaraan tidak berarti menghilangkan perbedaan, namun demikian juga tidak membiarkan salah satu yang beda ini mendominasi lain-lainnya. Yang beda ini, dalam relasinya dengan yang lain, akan selalu mengupayakan yang terbaik demi kepentingan bersama, dan bukan kepentingannya sendiri. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Adrian Cronauer memberikan kata-kata yang menarik mengenai kesetaraan dalam kebinekaan: Martin Luther King, Jr. tidak membawa satu potong baju tertentu sebagai simbol kepercayaannya mengenai kesetaraan rasial, yang ia bawa adalah bendera Amerika. Barangkali apa yang dimaksud Cronauer adalah hasrat untuk kesetaraan semestinya tidak dimulai dengan upaya menonjolkan kepentingan kelompoknya masing-masing, melainkan pada kepentingan bersama yang mewadahi keragaman kelompok yang ada. Kebenaran hukum Taurat, dalam pandangan Paulus, bersifat terbatas. Ia membatasi keselamatan dan kehidupan hanya bagi mereka yang mau tunduk dan menjalani hukum Taurat. Pada prakteknya pelaksanaan hukum ini berlaku bagi orang Yahudi saja, karena orang-orang di luar Yahudi enggan untuk melakukan hukum Taurat. Kebenaran ini berbeda dengan kebenaran karena iman. Kebenaran karena iman melampaui kebenaran hukum Taurat. Mereka yang menerima keselamatan dan hidup tidak didasarkan pada ukuran ras, suku, bangsa, ataupun pelaksanaan hukum Taurat, melainkan karena imannya kepada Yesus. Iman kepada Yesus memampukan untuk memahami keselamatan tidak terbatas pada kelompok orang tertentu, melainkan dianugerahkan bagi semua orang. Itulah sebabnya Paulus mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan Yunani, karena Allah di dalam Yesus adalah Tuhan dari semua orang. Dengan demikian, kesetaraan tidak berarti menghilangkan perbedaan, namun demikian juga tidak membiarkan salah satu yang beda ini mendominasi lain-lainnya. Yang beda ini, dalam relasinya dengan yang lain, akan selalu mengupayakan yang terbaik demi kepentingan bersama, dan bukan kepentingannya sendiri. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Memberi Makan (Matius 14: 13-21)
"Tetapi Yesus berkata kepada mereka: "Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan." (Matius 14: 16)
Ada banyak fakta yang mengejutkan tentang pangan. Menurut FAO (Badan Pangan PBB), sekarang ini di dunia kira-kira ada 923 juta orang yang kelaparan. Ironisnya, bersamaan dengan itu negara-negara industrialis membuang 670 juta metrik ton makanan setahun, jumlah yang nyaris setara dengan seluruh produksi pangan bersih di Afrika sub-sahara. Di samping itu, lebih dari 10 juta anak meninggal setiap tahun kebanyakan disebabkan karena kelaparan. Orang banyak yang telah mendengar ajaran Yesus hingga menjelang malam tersebut, pastilah merasa lapar. Murid-murid Yesus menyadari hal itu. Itulah sebabnya mereka memohon agar Yesus memerintahkan orang banyak itu untuk pergi sehingga bisa membeli makanan di desa-desa. Di tempat mereka berada sekarang, tidak ada penjual makanan. Permohonan murid-murid, rupanya tidak disetujui Yesus. Kata Yesus, "Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan". Saya membayangkan keheranan murid-murid atas perintah Yesus ini. Bagaimana mungkin memberi makan bagi orang sebanyak ini, yang ada hanya lima roti dan dua ikan? Mereka menyerahkan lima roti dan dua ikan itu kepada Yesus. Yesus mengucap berkat, memecah-mecah roti itu dan mengembalikan pada para murid, yang kemudian membagikan roti itu kepada orang banyak. Apa yang dilakukan Yesus pastilah menggugah kesadaran para murid bahwa Yesus sungguh menaruh perhatian pada orang banyak yang kelaparan tersebut. Ketika kelaparan menjadi problem bagi orang banyak, Yesus menunjukkan bagaimana seharusnya murid-murid Yesus memberikan respons yang tepat terhadap problem ini. Mother Teresa dengan tepat mengatakan, "Jika kamu tidak bisa memberi makan bagi seratus orang, berilah makan bagi satu orang"!Apakah kita juga bisa merelakan "lima roti dan dua ikan" yang kita miliki untuk memberi mereka makan? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Ada banyak fakta yang mengejutkan tentang pangan. Menurut FAO (Badan Pangan PBB), sekarang ini di dunia kira-kira ada 923 juta orang yang kelaparan. Ironisnya, bersamaan dengan itu negara-negara industrialis membuang 670 juta metrik ton makanan setahun, jumlah yang nyaris setara dengan seluruh produksi pangan bersih di Afrika sub-sahara. Di samping itu, lebih dari 10 juta anak meninggal setiap tahun kebanyakan disebabkan karena kelaparan. Orang banyak yang telah mendengar ajaran Yesus hingga menjelang malam tersebut, pastilah merasa lapar. Murid-murid Yesus menyadari hal itu. Itulah sebabnya mereka memohon agar Yesus memerintahkan orang banyak itu untuk pergi sehingga bisa membeli makanan di desa-desa. Di tempat mereka berada sekarang, tidak ada penjual makanan. Permohonan murid-murid, rupanya tidak disetujui Yesus. Kata Yesus, "Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan". Saya membayangkan keheranan murid-murid atas perintah Yesus ini. Bagaimana mungkin memberi makan bagi orang sebanyak ini, yang ada hanya lima roti dan dua ikan? Mereka menyerahkan lima roti dan dua ikan itu kepada Yesus. Yesus mengucap berkat, memecah-mecah roti itu dan mengembalikan pada para murid, yang kemudian membagikan roti itu kepada orang banyak. Apa yang dilakukan Yesus pastilah menggugah kesadaran para murid bahwa Yesus sungguh menaruh perhatian pada orang banyak yang kelaparan tersebut. Ketika kelaparan menjadi problem bagi orang banyak, Yesus menunjukkan bagaimana seharusnya murid-murid Yesus memberikan respons yang tepat terhadap problem ini. Mother Teresa dengan tepat mengatakan, "Jika kamu tidak bisa memberi makan bagi seratus orang, berilah makan bagi satu orang"!Apakah kita juga bisa merelakan "lima roti dan dua ikan" yang kita miliki untuk memberi mereka makan? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Bersemai Sebagai Orang-orang Pilihan-Nya (Mazmur 105: 1-11)
"Hai anak cucu Abraham, hamba-Nya, hai anak-anak Yakub, orang-orang pilihan-Nya." (Mazmur 105: 6)
Apa reaksi kita ketika kita mengetahui orang-orang yang berbeda agama dengan kita, terang-terangan mengatakan: Kami adalah orang-orang pilihan-Nya. Reaksi awal barangkali akan membangkitkan perasaan tidak nyaman. Kalau mereka orang-orang pilihan-Nya, lalu kami yang berbeda agama dengan mereka siapa? Bukankah tidak ada orang yang merasa nyaman menjalani hidup ini jika mengetahui dirinya bukan umat pilihan Tuhan? Tidakkah klaim "Kami adalah Umat Pilihan-NYA" hanya akan menimbulkan kesombongan dan perasaan superioritas terhadap lainnya? Ketika klaim umat pilihan hanya dipakai sebagai status istimewa yang membedakan satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, klaim tersebut memang mudah membawa manusia jatuh dalam kesombongan. Namun kalau klaim ini pertama-tama dipahami sebagai panggilan dan tanggung jawab, kecenderungan menjadi arogan bisa diatasi. Pemazmur sungguh menyadari jebakan kesombongan ini. Itulah sebabnya Pemazmur lebih dulu menekankan bahwa hakikat keterpilihan mereka adalah tanggung jawab dan panggilan. Tanggung jawab dan panggilan dalam hal apa? Memperkenalkan karya dan perbuatan besar Tuhan bagi bangsa-bangsa lain (ayat 1). Harold H. Rowley, seorang guru besar bahasa-bahasa Semit, meringkas hakikat keterpilihan ini dengan kalimat: Election, not for honour but for service. Menjadi umat pilihan Tuhan bukan untuk kemuliaan dan kemegahan umat yang dipilih itu, melainkan untuk melayani dan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain. Siapapun yang memiliki klaim sebagai umat pilihan-Nya, hendaknya bersemai sebagai orang-orang pilihan-Nya yang menjadi berkat bagi orang lain. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Apa reaksi kita ketika kita mengetahui orang-orang yang berbeda agama dengan kita, terang-terangan mengatakan: Kami adalah orang-orang pilihan-Nya. Reaksi awal barangkali akan membangkitkan perasaan tidak nyaman. Kalau mereka orang-orang pilihan-Nya, lalu kami yang berbeda agama dengan mereka siapa? Bukankah tidak ada orang yang merasa nyaman menjalani hidup ini jika mengetahui dirinya bukan umat pilihan Tuhan? Tidakkah klaim "Kami adalah Umat Pilihan-NYA" hanya akan menimbulkan kesombongan dan perasaan superioritas terhadap lainnya? Ketika klaim umat pilihan hanya dipakai sebagai status istimewa yang membedakan satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, klaim tersebut memang mudah membawa manusia jatuh dalam kesombongan. Namun kalau klaim ini pertama-tama dipahami sebagai panggilan dan tanggung jawab, kecenderungan menjadi arogan bisa diatasi. Pemazmur sungguh menyadari jebakan kesombongan ini. Itulah sebabnya Pemazmur lebih dulu menekankan bahwa hakikat keterpilihan mereka adalah tanggung jawab dan panggilan. Tanggung jawab dan panggilan dalam hal apa? Memperkenalkan karya dan perbuatan besar Tuhan bagi bangsa-bangsa lain (ayat 1). Harold H. Rowley, seorang guru besar bahasa-bahasa Semit, meringkas hakikat keterpilihan ini dengan kalimat: Election, not for honour but for service. Menjadi umat pilihan Tuhan bukan untuk kemuliaan dan kemegahan umat yang dipilih itu, melainkan untuk melayani dan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain. Siapapun yang memiliki klaim sebagai umat pilihan-Nya, hendaknya bersemai sebagai orang-orang pilihan-Nya yang menjadi berkat bagi orang lain. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Menyemai Pengharapan (Roma 8: 18-25)
"Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?" (Roma 8: 24)
Uskup Desmond Tutu, yang berjuang bersama-sama Nelson Mandela mewujudkan masyarakat Afrika Selatan bebas dari apartheid, pernah mengatakan: Pengharapan adalah kemampuan kita untuk melihat secercah terang ketika kita berada di tengah-tengah kegelapan yang ada. Kemampuan untuk melihat secercah terang inilah yang pada akhirnya membawa Afrika Selatan bebas dari sistem apartheid. Saya melihat ada kesamaan makna perkataan Tutu dengan Rasul Paulus dalam perikop surat Roma ini. Barangkali Tutu terinspirasi oleh Paulus. Paulus menyinggung tentang penderitaan umat Kristen yang berada dalam penganiayaan orang-orang Romawi. Kata-kata seperti "penderitaan zaman sekarang ini" (ayat 18), "sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin" (ayat 23), sedikit banyak menjadi gambaran penderitaan umat Kristen Yahudi yang dipaksa keluar dari kota Roma karena peraturan yang dikeluarkan oleh Kaisar Klaudius pada tahun 49 Masehi. Apakah penderitaan akan menyurutkan keteguhan iman orang-orang Kristen pada waktu itu? Tidak! Penderitaan karena Kristus tidak bisa dibandingkan dengan kemuliaan masa depan yang akan dinyatakan bagi orang-orang percaya. Kemuliaan masa depan menjadikan penderitaan karena iman kita kepada Kristus yang sekarang kita tanggung, menjadi tidak ada artinya lagi. Ibarat seseorang yang berminggu-minggu kesakitan mencari jalan keluar ketika terperangkap dalam gua yang gelap, dari kejauhan ia melihat pintu keluarnya yang terang karena sinar matahari. Segala kesakitannya tidak lagi berarti ketika ia menatap pintu keluar gua tersebut. Menyemai pengharapan bagi masa depan berarti kita tidak akan membiarkan penderitaan yang kita alami karena Kristus, membuat kita berhenti mengarahkan perjalanan kita ke masa depan yang mulia itu. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Uskup Desmond Tutu, yang berjuang bersama-sama Nelson Mandela mewujudkan masyarakat Afrika Selatan bebas dari apartheid, pernah mengatakan: Pengharapan adalah kemampuan kita untuk melihat secercah terang ketika kita berada di tengah-tengah kegelapan yang ada. Kemampuan untuk melihat secercah terang inilah yang pada akhirnya membawa Afrika Selatan bebas dari sistem apartheid. Saya melihat ada kesamaan makna perkataan Tutu dengan Rasul Paulus dalam perikop surat Roma ini. Barangkali Tutu terinspirasi oleh Paulus. Paulus menyinggung tentang penderitaan umat Kristen yang berada dalam penganiayaan orang-orang Romawi. Kata-kata seperti "penderitaan zaman sekarang ini" (ayat 18), "sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin" (ayat 23), sedikit banyak menjadi gambaran penderitaan umat Kristen Yahudi yang dipaksa keluar dari kota Roma karena peraturan yang dikeluarkan oleh Kaisar Klaudius pada tahun 49 Masehi. Apakah penderitaan akan menyurutkan keteguhan iman orang-orang Kristen pada waktu itu? Tidak! Penderitaan karena Kristus tidak bisa dibandingkan dengan kemuliaan masa depan yang akan dinyatakan bagi orang-orang percaya. Kemuliaan masa depan menjadikan penderitaan karena iman kita kepada Kristus yang sekarang kita tanggung, menjadi tidak ada artinya lagi. Ibarat seseorang yang berminggu-minggu kesakitan mencari jalan keluar ketika terperangkap dalam gua yang gelap, dari kejauhan ia melihat pintu keluarnya yang terang karena sinar matahari. Segala kesakitannya tidak lagi berarti ketika ia menatap pintu keluar gua tersebut. Menyemai pengharapan bagi masa depan berarti kita tidak akan membiarkan penderitaan yang kita alami karena Kristus, membuat kita berhenti mengarahkan perjalanan kita ke masa depan yang mulia itu. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Menerima Semaian Firman dalam Tanah yang Baik (Matius 13: 1-9, 18-23)
"Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah,..." (Matius 13: 23)
Dua faktor besar yang membentuk kehidupan kita adalah gen (nature) dan pengasuhan/lingkungan (nurture). Sebagai contoh: gen berperan besar dalam pembentukan ukuran dan bentuk tubuh kita, namun demikian lingkungan dan gaya hidup ternyata juga memegang peranan penting mengubah yang telah ditetapkan gen ini. Jadi, tak mengherankan jika kakek-nenek dan orangtua bertubuh pendek, anaknya bisa bertubuh tinggi dan besar karena faktor gizi dan kegemaran olah raga yang dimiliki anaknya. Dalam perumpamaan Yesus tentang seorang penabur ini kita mengetahui bahwa benih yang ditaburkan adalah sama, namun lingkungan tempat benih itu diterima tidak sama. Seberapapun baik dan unggulnya benih itu, pada akhirnya lingkungan akan memengaruhi penerimaan terhadap benih yang ditaburkan itu. Benih yang ditaburkan di pinggir jalan, tanah yang berbatu-batu, dan semak duri ternyata bukanlah lingkungan yang baik bagi pertumbuhan benih tersebut. Dalam penjelasannya, Yesus mengartikan benih sebagai firman Tuhan yang ditabur di pinggir jalan tidak bisa bertumbuh, karena penerima tidak mengerti firman itu sehingga kemudian dirampas si jahat. Firman yang ditabur di tanah yang berbatu-batu tidak bertumbuh, karena tidak kuat berakar dalam diri penerima, ketika krisis melanda-ia menjadi murtad. Firman yang ditabur di semak duri tidak bertumbuh karena penerima senantiasa dihinggapi kekuatiran dan godaan dunia. Benih (firman) yang ditaburkan oleh Tuhan pastilah baik. Ini nature dari firman itu! Tanggung jawab kita adalah menyediakan lingkungan (nurture) yang baik agar bisa menerima semaian firman itu dalam tanah yang baik. Betapapun baiknya pesan firman Tuhan yang kita dengar dari Pendeta di gereja, menjadi percuma kalau kita tidak bisa menciptakan "tanah yang baik" dalam menerima firman itu. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Dua faktor besar yang membentuk kehidupan kita adalah gen (nature) dan pengasuhan/lingkungan (nurture). Sebagai contoh: gen berperan besar dalam pembentukan ukuran dan bentuk tubuh kita, namun demikian lingkungan dan gaya hidup ternyata juga memegang peranan penting mengubah yang telah ditetapkan gen ini. Jadi, tak mengherankan jika kakek-nenek dan orangtua bertubuh pendek, anaknya bisa bertubuh tinggi dan besar karena faktor gizi dan kegemaran olah raga yang dimiliki anaknya. Dalam perumpamaan Yesus tentang seorang penabur ini kita mengetahui bahwa benih yang ditaburkan adalah sama, namun lingkungan tempat benih itu diterima tidak sama. Seberapapun baik dan unggulnya benih itu, pada akhirnya lingkungan akan memengaruhi penerimaan terhadap benih yang ditaburkan itu. Benih yang ditaburkan di pinggir jalan, tanah yang berbatu-batu, dan semak duri ternyata bukanlah lingkungan yang baik bagi pertumbuhan benih tersebut. Dalam penjelasannya, Yesus mengartikan benih sebagai firman Tuhan yang ditabur di pinggir jalan tidak bisa bertumbuh, karena penerima tidak mengerti firman itu sehingga kemudian dirampas si jahat. Firman yang ditabur di tanah yang berbatu-batu tidak bertumbuh, karena tidak kuat berakar dalam diri penerima, ketika krisis melanda-ia menjadi murtad. Firman yang ditabur di semak duri tidak bertumbuh karena penerima senantiasa dihinggapi kekuatiran dan godaan dunia. Benih (firman) yang ditaburkan oleh Tuhan pastilah baik. Ini nature dari firman itu! Tanggung jawab kita adalah menyediakan lingkungan (nurture) yang baik agar bisa menerima semaian firman itu dalam tanah yang baik. Betapapun baiknya pesan firman Tuhan yang kita dengar dari Pendeta di gereja, menjadi percuma kalau kita tidak bisa menciptakan "tanah yang baik" dalam menerima firman itu. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Menyemai Cinta Kasih Dalam Keluarga (Kej. 24: 58-67)
"Lalu Ishak membawa Ribka ke dalam kemah Sara, ibunya, dan mengambil dia menjadi isterinya. Ishak mencintainya dan demikian ia dihiburkan setelah ibunya meninggal " (Kej. 24: 67)
Seberapa jauh cinta kasih telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan keluarga kita? Apakah kita termasuk orang yang beranggapan cinta kasih dalam keluarga sesuatu yang dengan sendirinya terpelihara secara otomatis atau sesuatu yang harus kita semai dan pelihara dengan sadar dan terus-menerus ? Ed Bacon, dalam bukunya berjudul 8 Habits of Love menunjukkan pada kita bahwa cinta kasih tidak otomatis bertumbuh dalam kehidupan keluarga, agar cinta kasih dapat terus bertumbuh harus ditopang melalui kebiasaan-kebiasaan cinta kasih yang secara sadar dan terarah dipraktikkan untuk memelihara dan mengembangkan cinta kasih tersebut. Ishak mencintai Ribka. Ishak memberikan cinta kasihnya pada Ribka yang menjadi isterinya. Besarnya cinta kasih Ishak kepada Ribka terlihat dari perubahan suasana hati Ishak, dari dukacita karena ibundanya meninggal, menjadi terhibur dengan keberadaan Ribka (ayat 67). Pertemuan Ribka dan Ishak sebagai suami isteri, bahkan tidak dipahami sebagai keberhasilan manusiawi semata karena kerja keras Eliezer, hamba Abraham yang disuruh mencarikan jodoh bagi Ishak (Kej. 15:2). Hubungan mereka sebagai suami-isteri terjadi karena kehendak Allah sendiri."TUHAN telah membuat perjalananku berhasil," kata Eliezer (Kej. 24: 56). Cinta kasih mereka abadi dan monogami. Berbeda dengan kebiasaan poligami yang ada pada waktu itu, di dalam alkitab diceritakan Ishak tidak punya isteri lagi selain Ribka. Menyemai cinta kasih dalam keluarga pada dasarnya merupakan panggilan setiap keluarga Kristen. Keluarga yang hampa dengan cinta kasih tidak mewujudkan keluarga Kristen yang sejati. Kebiasaan-kebiasaan baik yang bisa memelihara cinta kasih, tetap perlu dipraktikkan dalam kehidupan keluarga kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Seberapa jauh cinta kasih telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan keluarga kita? Apakah kita termasuk orang yang beranggapan cinta kasih dalam keluarga sesuatu yang dengan sendirinya terpelihara secara otomatis atau sesuatu yang harus kita semai dan pelihara dengan sadar dan terus-menerus ? Ed Bacon, dalam bukunya berjudul 8 Habits of Love menunjukkan pada kita bahwa cinta kasih tidak otomatis bertumbuh dalam kehidupan keluarga, agar cinta kasih dapat terus bertumbuh harus ditopang melalui kebiasaan-kebiasaan cinta kasih yang secara sadar dan terarah dipraktikkan untuk memelihara dan mengembangkan cinta kasih tersebut. Ishak mencintai Ribka. Ishak memberikan cinta kasihnya pada Ribka yang menjadi isterinya. Besarnya cinta kasih Ishak kepada Ribka terlihat dari perubahan suasana hati Ishak, dari dukacita karena ibundanya meninggal, menjadi terhibur dengan keberadaan Ribka (ayat 67). Pertemuan Ribka dan Ishak sebagai suami isteri, bahkan tidak dipahami sebagai keberhasilan manusiawi semata karena kerja keras Eliezer, hamba Abraham yang disuruh mencarikan jodoh bagi Ishak (Kej. 15:2). Hubungan mereka sebagai suami-isteri terjadi karena kehendak Allah sendiri."TUHAN telah membuat perjalananku berhasil," kata Eliezer (Kej. 24: 56). Cinta kasih mereka abadi dan monogami. Berbeda dengan kebiasaan poligami yang ada pada waktu itu, di dalam alkitab diceritakan Ishak tidak punya isteri lagi selain Ribka. Menyemai cinta kasih dalam keluarga pada dasarnya merupakan panggilan setiap keluarga Kristen. Keluarga yang hampa dengan cinta kasih tidak mewujudkan keluarga Kristen yang sejati. Kebiasaan-kebiasaan baik yang bisa memelihara cinta kasih, tetap perlu dipraktikkan dalam kehidupan keluarga kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kerahtamahan Terhadap Orang Lain (Matius 10: 40-42)
"Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku,...ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya..." (Matius 10: 42)
Melayang ingatan saya ke masa kecil, bermain jauh dari rumah bersama teman-teman, namun tak kuatir kehausan. Mengapa? Karena di depan beberapa rumah yang ada, penghuninya meletakkan kendi pelepas dahaga yang memang diperuntukkan buat siapa saja yang kehausan. Ketika haus, saya dan teman-teman minum air dari kendi tersebut. Kendi yang diletakkan di depan rumah tersebut menunjukkan watak keramahtamahan penghuni rumah tersebut terhadap orang asing. Mempunyai watak yang ramah terhadap orang asing atau orang lain tidak selalu mudah! Pada zaman Yesus, lazim seseorang kuatir bahkan takut pada orang asing, orang yang tidak dikenalnya. Ketakutan semacam ini akan memengaruhi pikiran dan sikap terhadap orang asing tersebut. Orang asing akan disikapi dengan penuh kecurigaan, bahkan permusuhan. Namun, ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya pergi untuk memberitakan Kabar Baik, Yesus meminta murid-murid-Nya untuk bisa berpikir positif terhadap orang asing yang mereka jumpai dalam pelaksanaan tugas mereka. Pikiran positif mereka terhadap orang asing tentu akan memengaruhi sikap mereka terhadap orang asing tersebut. Kalau mereka mempunyai pikiran jelek terhadap orang asing, perlakuan mereka juga akan menjadi jelek. Murid-murid dinasihati Yesus untuk mewujudkan keramahtamahan terhadap orang lain, seperti halnya orang lain itu juga bisa sungguh-sungguh tulus berbagi kebaikan dan keramah-tamahan bagi para murid. Dalam hidup kita ini, tentu saja ada orang-orang asing berwatak jahat yang pantas dihindari. Namun demikian ada orang-orang yang asing bagi kita yang berwatak mulia dan ramah tamah. Orang-orang ini, yang bisa berbeda suku, bangsa, dan agama dengan kita, dengan penuh keramahtamahan menyambut (ayat 40-41) dan memberi air sejuk (ayat 42) bagi kita semua sebagai pengikut-pengikut Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Melayang ingatan saya ke masa kecil, bermain jauh dari rumah bersama teman-teman, namun tak kuatir kehausan. Mengapa? Karena di depan beberapa rumah yang ada, penghuninya meletakkan kendi pelepas dahaga yang memang diperuntukkan buat siapa saja yang kehausan. Ketika haus, saya dan teman-teman minum air dari kendi tersebut. Kendi yang diletakkan di depan rumah tersebut menunjukkan watak keramahtamahan penghuni rumah tersebut terhadap orang asing. Mempunyai watak yang ramah terhadap orang asing atau orang lain tidak selalu mudah! Pada zaman Yesus, lazim seseorang kuatir bahkan takut pada orang asing, orang yang tidak dikenalnya. Ketakutan semacam ini akan memengaruhi pikiran dan sikap terhadap orang asing tersebut. Orang asing akan disikapi dengan penuh kecurigaan, bahkan permusuhan. Namun, ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya pergi untuk memberitakan Kabar Baik, Yesus meminta murid-murid-Nya untuk bisa berpikir positif terhadap orang asing yang mereka jumpai dalam pelaksanaan tugas mereka. Pikiran positif mereka terhadap orang asing tentu akan memengaruhi sikap mereka terhadap orang asing tersebut. Kalau mereka mempunyai pikiran jelek terhadap orang asing, perlakuan mereka juga akan menjadi jelek. Murid-murid dinasihati Yesus untuk mewujudkan keramahtamahan terhadap orang lain, seperti halnya orang lain itu juga bisa sungguh-sungguh tulus berbagi kebaikan dan keramah-tamahan bagi para murid. Dalam hidup kita ini, tentu saja ada orang-orang asing berwatak jahat yang pantas dihindari. Namun demikian ada orang-orang yang asing bagi kita yang berwatak mulia dan ramah tamah. Orang-orang ini, yang bisa berbeda suku, bangsa, dan agama dengan kita, dengan penuh keramahtamahan menyambut (ayat 40-41) dan memberi air sejuk (ayat 42) bagi kita semua sebagai pengikut-pengikut Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Penaklukan Kuasa Dosa (Roma 6: 1-14)
"Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia." (Roma 6: 14)
"It's all in the genes!" Demikian pandangan beberapa pakar biologi. Semuanya bisa dilacak pada gen manusia. Nasib kita, kesehatan, moralitas dan kehidupan kita bisa dibaca dari gen yang kita miliki. Apakah 10 tahun lagi kita akan menderita penyakit kanker bisa diketahui dari gen kita. Tak diragukan lagi bahwa gen memang membentuk anatomi fisik manusia, akan tetapi betulkah gen juga membentuk anatomi spiritual manusia? Apakah seseorang terus melakukan dosa dan tidak mau bertobat karena memiliki gen-gen dosa, sehingga tidak bisa disalahkan dan bebas dari segala pertanggungjawaban? Tentu saja Rasul Paulus tidak pernah membahas hubungan antara dosa dan gen. Yang menjadi pemahaman kunci Rasul Paulus tentang dosa adalah dosa sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Tuhan yang dilakukan manusia dengan kesadaran diri. Itulah sebabnya Paulus mengatakan: "Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman..." (ayat 13). Perkataan Rasul Paulus ini berarti kita dengan kesadaran diri bisa memilih untuk tidak menyerahkan anggota-anggota tubuh kita kepada dosa. Kita tidak pernah diprogram oleh gen kita untuk berbuat dosa, namun kita berbuat dosa karena kita dengan sadar memilih untuk berbuat dosa. Kesengajaan dan kesadaran untuk berbuat banyak dosa ini juga dicegah oleh Paulus dengan membantah jemaat yang punya pandangan bahwa semakin sering dosa dilakukan, semakin bertambah juga kasih karunia. Sama sekali tidak! Siapapun yang hidup dalam kasih karunia Allah, tidak akan mau dikuasai oleh dosa (ayat 2). Dosa-dosa pada dasarnya tetap ada dalam kendali kita. Kita dengan sengaja bisa memilih untuk tidak melakukan dosa dan tidak dikuasai oleh dosa. Jadi, jangan pernah kita menyalahkan gen untuk dosa-dosa yang kita perbuat padahal ada dalam kendali kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
"It's all in the genes!" Demikian pandangan beberapa pakar biologi. Semuanya bisa dilacak pada gen manusia. Nasib kita, kesehatan, moralitas dan kehidupan kita bisa dibaca dari gen yang kita miliki. Apakah 10 tahun lagi kita akan menderita penyakit kanker bisa diketahui dari gen kita. Tak diragukan lagi bahwa gen memang membentuk anatomi fisik manusia, akan tetapi betulkah gen juga membentuk anatomi spiritual manusia? Apakah seseorang terus melakukan dosa dan tidak mau bertobat karena memiliki gen-gen dosa, sehingga tidak bisa disalahkan dan bebas dari segala pertanggungjawaban? Tentu saja Rasul Paulus tidak pernah membahas hubungan antara dosa dan gen. Yang menjadi pemahaman kunci Rasul Paulus tentang dosa adalah dosa sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Tuhan yang dilakukan manusia dengan kesadaran diri. Itulah sebabnya Paulus mengatakan: "Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman..." (ayat 13). Perkataan Rasul Paulus ini berarti kita dengan kesadaran diri bisa memilih untuk tidak menyerahkan anggota-anggota tubuh kita kepada dosa. Kita tidak pernah diprogram oleh gen kita untuk berbuat dosa, namun kita berbuat dosa karena kita dengan sadar memilih untuk berbuat dosa. Kesengajaan dan kesadaran untuk berbuat banyak dosa ini juga dicegah oleh Paulus dengan membantah jemaat yang punya pandangan bahwa semakin sering dosa dilakukan, semakin bertambah juga kasih karunia. Sama sekali tidak! Siapapun yang hidup dalam kasih karunia Allah, tidak akan mau dikuasai oleh dosa (ayat 2). Dosa-dosa pada dasarnya tetap ada dalam kendali kita. Kita dengan sengaja bisa memilih untuk tidak melakukan dosa dan tidak dikuasai oleh dosa. Jadi, jangan pernah kita menyalahkan gen untuk dosa-dosa yang kita perbuat padahal ada dalam kendali kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pewarta Injil (Matius 28: 16-20)
"Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus." (Kisah Para Rasul 2: 4)
Dari tujuh milyar penghuni planet bumi ini, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pew Forum on Religion and Public Life, terdapat sekitar 2,2 milyar orang pemeluk agama Kristen (Protestan dan Katolik), pemeluk agama Islam 1,6 milyar, agama Hindu 1 milyar dan agama Budha 500 juta orang. Tampak jelas terlihat, kebanyakan penduduk planet bumi ini menganggap agama sebagai sesuatu yang vital dalam kehidupan mereka. Ketika perintah untuk memberitakan Injil ini disampaikan Yesus kepada murid-murid-Nya, saya yakin mereka tidak memiliki gambaran bahwa penduduk bumi ini bisa mencapai tujuh milyar dan akhirnya para pengikut Kristus akan mencapai jumlah sekitar 2,2 milyar seperti sekarang ini. Yang ada di pemikiran murid-murid Yesus tersebut hanyalah bagaimana perintah Yesus itu bisa dilaksanakan dalam perkataan dan gaya hidup mereka sehari-hari. Injil atau kabar baik itu (berasal dari kata Yunani, eu-baik dan angelion-kabar) ketika diwartakan sungguh-sungguh harus mengubah kondisi manusia yang tidak baik karena jauh dari Allah dan karya penyelamatan Kristus, menjadi dekat dengan Allah dan karya penyelamatan-Nya di dalam Kristus. Itulah sebabnya setiap upaya pewartaan kabar baik bagi umat manusia tidak boleh bertentangan dengan hakikat kabar baik itu sendiri. Hakikat kabar baik itu terletak di dalam cinta kasih Allah yang besar bagi umat manusia ini. Allah mencintai semua ciptaan-Nya, oleh sebab itulah Allah berkenan menyelamatkan mereka. Dengan demikian setiap upaya pewartaan kabar baik yang tidak menghargai keragamaan manusia yang bertumbuh mengenal Allah melalui agamanya masing-masing akan bertentangan dengan kabar baik itu sendiri. Di dalam pewartaan Injil, jelas tidak diperlukan adanya "kampanye hitam" bagi para pemeluk agama lain! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Dari tujuh milyar penghuni planet bumi ini, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pew Forum on Religion and Public Life, terdapat sekitar 2,2 milyar orang pemeluk agama Kristen (Protestan dan Katolik), pemeluk agama Islam 1,6 milyar, agama Hindu 1 milyar dan agama Budha 500 juta orang. Tampak jelas terlihat, kebanyakan penduduk planet bumi ini menganggap agama sebagai sesuatu yang vital dalam kehidupan mereka. Ketika perintah untuk memberitakan Injil ini disampaikan Yesus kepada murid-murid-Nya, saya yakin mereka tidak memiliki gambaran bahwa penduduk bumi ini bisa mencapai tujuh milyar dan akhirnya para pengikut Kristus akan mencapai jumlah sekitar 2,2 milyar seperti sekarang ini. Yang ada di pemikiran murid-murid Yesus tersebut hanyalah bagaimana perintah Yesus itu bisa dilaksanakan dalam perkataan dan gaya hidup mereka sehari-hari. Injil atau kabar baik itu (berasal dari kata Yunani, eu-baik dan angelion-kabar) ketika diwartakan sungguh-sungguh harus mengubah kondisi manusia yang tidak baik karena jauh dari Allah dan karya penyelamatan Kristus, menjadi dekat dengan Allah dan karya penyelamatan-Nya di dalam Kristus. Itulah sebabnya setiap upaya pewartaan kabar baik bagi umat manusia tidak boleh bertentangan dengan hakikat kabar baik itu sendiri. Hakikat kabar baik itu terletak di dalam cinta kasih Allah yang besar bagi umat manusia ini. Allah mencintai semua ciptaan-Nya, oleh sebab itulah Allah berkenan menyelamatkan mereka. Dengan demikian setiap upaya pewartaan kabar baik yang tidak menghargai keragamaan manusia yang bertumbuh mengenal Allah melalui agamanya masing-masing akan bertentangan dengan kabar baik itu sendiri. Di dalam pewartaan Injil, jelas tidak diperlukan adanya "kampanye hitam" bagi para pemeluk agama lain! Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kepenuhan ROH KUDUS (Kisah Para Rasul 2: 1-13))
"Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya." (Kisah Para Rasul 2: 4)
Apa tanda seseorang dipenuhi Roh Kudus? Pertanyaan yang kadang saya dengar di kelompok pemahaman alkitab. Di zaman kita ini, oleh beberapa kelompok kekristenan kharismatik, kata kepenuhan ini dihubungkan dengan kepenuhan kuasa-kuasa supranatural yang dimiliki orang Kristen. Bagi mereka, tanda dipenuhi Roh Kudus adalah orang Kristen diberi kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang supranatural. Orang Kristen yang tidak bisa melakukan perbuatan supranatural adalah orang Kristen yang tidak dipenuhi oleh Roh Kudus. Dalam bahasa Yunani, kata kepenuhan ini terjemahan dari kata eplesthesan. Penulis menggunakan kata ini sebanyak 6 kali dalam kitab ini (Kis. 2:4; 3:10; 4:31; 5:17; 13:45). Di Kis. 2:4 ini, kepenuhan Roh Kudus memang dihubungkan dengan kemampuan supranatural, dalam hal ini kemampuan para rasul yang bisa berkata-kata dalam bahasa-bahasa yang bisa dimengerti oleh manusia dari berbagai bangsa dan bahasa. Memang ini sesuatu yang supranatural. Namun demikian, di ayat lain, Kis. 4:31-36, kepenuhan Roh Kudus tidak dihubungkan dengan kemampuan supranatural. Ketika orang-orang Kristen awal dipenuhi dengan Roh Kudus, yang kemudian tampak adalah keberanian mereka untuk memberitakan firman Allah dan cara hidup jemaat Kristen yang mewujudkan kesehatian, kasih, dan saling berbagi harta benda untuk menopang kebutuhan komunitas Kristen perdana tersebut. Ini bukan sesuatu yang supranatural. Itulah sebabnya, kita tidak perlu merasa ragu apakah hidup kita dipenuhi Roh Kudus jika kita tidak bisa melakukan hal-hal supranatural. Tanda seseorang dipenuhi Roh Kudus tidak hanya terlihat ketika orang Kristen diberi karunia supranatural, tetapi juga terlihat melalui hal-hal yang natural, seperti keberanian dan cara hidup kita yang memancarkan kasih, iman dan kesetiaan kepada Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Apa tanda seseorang dipenuhi Roh Kudus? Pertanyaan yang kadang saya dengar di kelompok pemahaman alkitab. Di zaman kita ini, oleh beberapa kelompok kekristenan kharismatik, kata kepenuhan ini dihubungkan dengan kepenuhan kuasa-kuasa supranatural yang dimiliki orang Kristen. Bagi mereka, tanda dipenuhi Roh Kudus adalah orang Kristen diberi kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang supranatural. Orang Kristen yang tidak bisa melakukan perbuatan supranatural adalah orang Kristen yang tidak dipenuhi oleh Roh Kudus. Dalam bahasa Yunani, kata kepenuhan ini terjemahan dari kata eplesthesan. Penulis menggunakan kata ini sebanyak 6 kali dalam kitab ini (Kis. 2:4; 3:10; 4:31; 5:17; 13:45). Di Kis. 2:4 ini, kepenuhan Roh Kudus memang dihubungkan dengan kemampuan supranatural, dalam hal ini kemampuan para rasul yang bisa berkata-kata dalam bahasa-bahasa yang bisa dimengerti oleh manusia dari berbagai bangsa dan bahasa. Memang ini sesuatu yang supranatural. Namun demikian, di ayat lain, Kis. 4:31-36, kepenuhan Roh Kudus tidak dihubungkan dengan kemampuan supranatural. Ketika orang-orang Kristen awal dipenuhi dengan Roh Kudus, yang kemudian tampak adalah keberanian mereka untuk memberitakan firman Allah dan cara hidup jemaat Kristen yang mewujudkan kesehatian, kasih, dan saling berbagi harta benda untuk menopang kebutuhan komunitas Kristen perdana tersebut. Ini bukan sesuatu yang supranatural. Itulah sebabnya, kita tidak perlu merasa ragu apakah hidup kita dipenuhi Roh Kudus jika kita tidak bisa melakukan hal-hal supranatural. Tanda seseorang dipenuhi Roh Kudus tidak hanya terlihat ketika orang Kristen diberi karunia supranatural, tetapi juga terlihat melalui hal-hal yang natural, seperti keberanian dan cara hidup kita yang memancarkan kasih, iman dan kesetiaan kepada Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kesehatian dan Tekun Berdoa (Yohanes 14: 15-21)
"Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama ..." (Yohanes 14: 14)
Apa yang tersisa dari doa, ketika doa-doa yang kita panjatkan tidak terkabul? Masih adakah yang berharga dari doa-doa yang tidak dikabulkan? Ketika seseorang berdoa kepada Tuhan, orang itu punya pengharapan bahwa doanya akan dikabulkan oleh Tuhan. Namun ketika doa-doa tidak terkabulkan, bukankah doa-doa yang tidak terkabul tersebut tidak lagi berguna? Tidak! Doa yang tidak terkabul, bahkan tetap merupakan doa yang berharga dan punya manfaat tidak hanya bagi yang berdoa tetapi juga bagi yang didoakan. Mengapa? (1) doa yang kita panjatkan, terlebih bagi orang lain, akan mendekatkan kita secara emosional dan iman pada orang lain. Doa akan membentuk kesehatian antara pendoa dan yang didoakan. Ada keprihatinan, nilai-nilai, harapan-harapan yang dirasakan bersama dan kebersamaan inilah yang akan memampukan kita menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi; (2) doa menyembuhkan perasaan isolasi yang dimiliki orang lain. Ketika kita berdoa bagi orang lain, orang lain akan menemukan dirinya tidak dalam kesendirian. Orang itu akan menyadari bahwa dia merupakan bagian dari komunitas yang lebih luas dari dirinya sendiri. Dan yang penting adalah komunitas ini adalah komunitas yang menaruh perhatian padanya. Kesehatian dan ketekunan berdoa semacam inilah yang pada waktu itu menjiwai para pengikut Yesus dalam menjalani kehidupan mereka. Patut diperhatikan bahwa mereka tetap sehati dan tekun berdoa bahkan ketika Yesus tidak hadir lagi secara fisik dalam kebersamaan dengan mereka. Saya yakin, kesehatian dan ketekunan dalam doa inilah yang menjadikan mereka tetap teguh dan kuat ketika mereka nanti menghadapi penganiayaan dari pemuka agama Yahudi dan pemerintah Romawi. Jadi, jangan pernah kita meragukan manfaat doa bahkan ketika doa kita tidak dikabulkan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Apa yang tersisa dari doa, ketika doa-doa yang kita panjatkan tidak terkabul? Masih adakah yang berharga dari doa-doa yang tidak dikabulkan? Ketika seseorang berdoa kepada Tuhan, orang itu punya pengharapan bahwa doanya akan dikabulkan oleh Tuhan. Namun ketika doa-doa tidak terkabulkan, bukankah doa-doa yang tidak terkabul tersebut tidak lagi berguna? Tidak! Doa yang tidak terkabul, bahkan tetap merupakan doa yang berharga dan punya manfaat tidak hanya bagi yang berdoa tetapi juga bagi yang didoakan. Mengapa? (1) doa yang kita panjatkan, terlebih bagi orang lain, akan mendekatkan kita secara emosional dan iman pada orang lain. Doa akan membentuk kesehatian antara pendoa dan yang didoakan. Ada keprihatinan, nilai-nilai, harapan-harapan yang dirasakan bersama dan kebersamaan inilah yang akan memampukan kita menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi; (2) doa menyembuhkan perasaan isolasi yang dimiliki orang lain. Ketika kita berdoa bagi orang lain, orang lain akan menemukan dirinya tidak dalam kesendirian. Orang itu akan menyadari bahwa dia merupakan bagian dari komunitas yang lebih luas dari dirinya sendiri. Dan yang penting adalah komunitas ini adalah komunitas yang menaruh perhatian padanya. Kesehatian dan ketekunan berdoa semacam inilah yang pada waktu itu menjiwai para pengikut Yesus dalam menjalani kehidupan mereka. Patut diperhatikan bahwa mereka tetap sehati dan tekun berdoa bahkan ketika Yesus tidak hadir lagi secara fisik dalam kebersamaan dengan mereka. Saya yakin, kesehatian dan ketekunan dalam doa inilah yang menjadikan mereka tetap teguh dan kuat ketika mereka nanti menghadapi penganiayaan dari pemuka agama Yahudi dan pemerintah Romawi. Jadi, jangan pernah kita meragukan manfaat doa bahkan ketika doa kita tidak dikabulkan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Penyertaan TUHAN (Yohanes 14: 15-21)
Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya (Yohanes 14: 16)
Menurut Anda, siapa yang akan berada di puncak tangga kesuksesan hidup ini? Orang yang suka berbagi kepada sesamanya (giver) atau yang gemar mengambil (taker) kepunyaan sesamanya? Jawaban menarik muncul dari riset yang dilakukan oleh Adam Grant, dalam bukunya Give and Take. Jika banyak orang mengira orang-orang yang suka berbagi untuk menolong orang lain tidak akan menapaki tangga kesuksesan hidup, riset Grant menunjukkan hal berbeda. Merekalah justru yang mendominasi tangga bawah dan tangga atas kesuksesan hidup. Orang yang tidak mau berbagi dan maunya hanya mengambil atau menerima justru hanya berada di tengah-tengah tangga kesuksesan hidup. Kesediaan berbagi pada pihak lain yang memerlukan merupakan perwujudan kasih Allah. Seseorang yang mengasihi sesamanya berarti juga mengasihi Allah. Mengasihi Allah berarti juga mengasihi Kristus. Mereka yang mengasihi Kristus tidak mungkin tidak disertai oleh Kristus. Orang tersebut akan mendapat penyertaan dari Tuhan dalam kehidupan yang dijalaninya (ayat 16). Itulah sebabnya Yesus kemudian bersabda: Barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia..(ayat 21). Tentu saja, motif kita untuk berbagi pada mereka yang memerlukan bukan pertama-tama karena ingin sukses dalam hidup ini. Motif kita adalah motif syukur. Kita bersyukur karena terlebih dulu Tuhan telah memberikan kasihnya pada kita, dan kita bisa mengambil/menerima kasih pemberian Tuhan itu. Give and take, atau take and give menjadi bahasa kesetiaan kita pada Tuhan dan pelayanan kita pada sesama. Kitayakin, bahasa kesetiaan dan pelayanan kita ini akan tetap bisa berkembang karena kita mendapat penyertaan Tuhan dalam berbagi kehidupan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Menurut Anda, siapa yang akan berada di puncak tangga kesuksesan hidup ini? Orang yang suka berbagi kepada sesamanya (giver) atau yang gemar mengambil (taker) kepunyaan sesamanya? Jawaban menarik muncul dari riset yang dilakukan oleh Adam Grant, dalam bukunya Give and Take. Jika banyak orang mengira orang-orang yang suka berbagi untuk menolong orang lain tidak akan menapaki tangga kesuksesan hidup, riset Grant menunjukkan hal berbeda. Merekalah justru yang mendominasi tangga bawah dan tangga atas kesuksesan hidup. Orang yang tidak mau berbagi dan maunya hanya mengambil atau menerima justru hanya berada di tengah-tengah tangga kesuksesan hidup. Kesediaan berbagi pada pihak lain yang memerlukan merupakan perwujudan kasih Allah. Seseorang yang mengasihi sesamanya berarti juga mengasihi Allah. Mengasihi Allah berarti juga mengasihi Kristus. Mereka yang mengasihi Kristus tidak mungkin tidak disertai oleh Kristus. Orang tersebut akan mendapat penyertaan dari Tuhan dalam kehidupan yang dijalaninya (ayat 16). Itulah sebabnya Yesus kemudian bersabda: Barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia..(ayat 21). Tentu saja, motif kita untuk berbagi pada mereka yang memerlukan bukan pertama-tama karena ingin sukses dalam hidup ini. Motif kita adalah motif syukur. Kita bersyukur karena terlebih dulu Tuhan telah memberikan kasihnya pada kita, dan kita bisa mengambil/menerima kasih pemberian Tuhan itu. Give and take, atau take and give menjadi bahasa kesetiaan kita pada Tuhan dan pelayanan kita pada sesama. Kitayakin, bahasa kesetiaan dan pelayanan kita ini akan tetap bisa berkembang karena kita mendapat penyertaan Tuhan dalam berbagi kehidupan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Batu-batu yang Hidup (1 Petrus 2: 4-10)
"Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus,..." (1 Petrus 2: 5)
Tertullianus, salah satu bapak gereja mula-mula yang aktif berkarya pada tahun 197-an, pernah mengatakan: semen est sanguis Christianorum. Kata-kata dalam bahasa Latin ini berarti darah para martir adalah benih gereja. Perkataan Tertullianus ini ingin menunjukkan realitas pedih namun membanggakan bahwa dedikasi dan pengorbanan orang-orang Kristen awal, yang tidak gentar dihukum oleh pemerintah Romawi karena imannya kepada Kristus, telah membuat kekristenan tetap bertumbuh. Saya yakin, surat 1 Petrus yang sering dibacakan dalam pertemuan orang-orang Kristen awal ini, memberikan pengaruh yang besar terhadap keberanian orang-orang Kristen awal dalam proses pertumbuhan gereja Kristen. Yesus adalah Batu yang Hidup. Melalui Yesuslah, jemaat Kristen dibangun. Banyak orang menolak Yesus dan menyingkirkan-Nya. Akan tetapi batu yang dibuang ini adalah batu yang dipakai Allah dalam karya penyelamatan-Nya bagi manusia. Pengikut Kristus juga adalah batu-batu yang hidup. Batu-batu yang dipakai oleh Kristus untuk membangun jemaat-Nya, membangun rumah rohani, menjadi imam-imam yang kudus yang berkarya bagi Allah. Keyakinan umat bahwa dirinya adalah batu yang hidup pastilah memampukan umat untuk memberikan dedikasi dan komitmen penuh pada Kristus di tengah penganiayaan pemerintah Romawi. Kita bersyukur ketika Tuhan berkenan memberikan kesempatan kepada kita untuk menjadi batu-batu hidup di GKJ Nehemia ini dan bahkan mendukung dinamika batu-batu hidup di gereja-gereja lain sehingga mereka semakin bertumbuh dalam pelayanan mereka. Oleh sebab itu, janganlah kita berhenti menjadi batu-batu hidup dalam partisipasi dan dukungan kita bagi gereja Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Tertullianus, salah satu bapak gereja mula-mula yang aktif berkarya pada tahun 197-an, pernah mengatakan: semen est sanguis Christianorum. Kata-kata dalam bahasa Latin ini berarti darah para martir adalah benih gereja. Perkataan Tertullianus ini ingin menunjukkan realitas pedih namun membanggakan bahwa dedikasi dan pengorbanan orang-orang Kristen awal, yang tidak gentar dihukum oleh pemerintah Romawi karena imannya kepada Kristus, telah membuat kekristenan tetap bertumbuh. Saya yakin, surat 1 Petrus yang sering dibacakan dalam pertemuan orang-orang Kristen awal ini, memberikan pengaruh yang besar terhadap keberanian orang-orang Kristen awal dalam proses pertumbuhan gereja Kristen. Yesus adalah Batu yang Hidup. Melalui Yesuslah, jemaat Kristen dibangun. Banyak orang menolak Yesus dan menyingkirkan-Nya. Akan tetapi batu yang dibuang ini adalah batu yang dipakai Allah dalam karya penyelamatan-Nya bagi manusia. Pengikut Kristus juga adalah batu-batu yang hidup. Batu-batu yang dipakai oleh Kristus untuk membangun jemaat-Nya, membangun rumah rohani, menjadi imam-imam yang kudus yang berkarya bagi Allah. Keyakinan umat bahwa dirinya adalah batu yang hidup pastilah memampukan umat untuk memberikan dedikasi dan komitmen penuh pada Kristus di tengah penganiayaan pemerintah Romawi. Kita bersyukur ketika Tuhan berkenan memberikan kesempatan kepada kita untuk menjadi batu-batu hidup di GKJ Nehemia ini dan bahkan mendukung dinamika batu-batu hidup di gereja-gereja lain sehingga mereka semakin bertumbuh dalam pelayanan mereka. Oleh sebab itu, janganlah kita berhenti menjadi batu-batu hidup dalam partisipasi dan dukungan kita bagi gereja Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Berbagi Harta Benda (Kisah Para Rasul 2: 41-47)
"...dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing." (Kisah Para Rasul 2: 45)
Bill Gates, manusia terkaya di planet ini yang terkenal karena kemurahan hatinya untuk berbagi harta benda yang dimilikinya, suatu saat berkata: Ketika kamu punya uang, hanya kamu yang lupa siapa dirimu. Akan tetapi jikalau kamu tidak punya uang, seluruh dunia melupakan siapakah dirimu. Perkataan Gates ini menunjukkan kepada kita bahwa dunia belum bisa menggunakan harta benda dengan bijak dalam hubungan dirinya dengan sesama. Cara hidup jemaat perdana menunjukkan kesediaan berbagi harta benda secara menakjubkan. Jemaat awal yang jumlahnya lebih dari 3000 orang ini sangat memperhatikan pertumbuhan spiritual/rohani mereka: bertekun dalam persekutuan, doa, pengajaran dan sakramen. Namun rupanya bukan hanya pertumbuhan spiritual yang diperhatikan, pemenuhan kebutuhan hidup jasmani mereka juga mendapat perhatian yang penting. Dalam kesatuan dan kebersamaan mereka, segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama. Harta benda pribadi yang mereka miliki, dijual dan dibagi-bagikan kepada sesama sesuai dengan keperluan masing-masing. Cara hidup jemaat perdana ini rupanya menjadi daya tarik bagi banyak orang, menjadikan mereka disukai semua orang dan semakin banyak orang tertarik untuk bergabung dengan komunitas ini (ayat 47). Memang, sebuah komunitas keagamaan yang tidak sekadar memikirkan pertumbuhan rohani jemaatnya, melainkan juga kebutuhan jasmani jemaatnya, dan bahkan masyarakat sekitar akan memiliki "keunggulan kompetitif/daya saing" dan "keunggulan survival/daya hidup" dibandingkan komunitas lainnya yang hanya memikirkan kebutuhan rohani umat-nya. Kerelaan berbagi harta benda bagi yang kekurangan pada dasarnya menjadi salah satu watak penting komunitas Kristen dalam relasinya dengan dunia ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Bill Gates, manusia terkaya di planet ini yang terkenal karena kemurahan hatinya untuk berbagi harta benda yang dimilikinya, suatu saat berkata: Ketika kamu punya uang, hanya kamu yang lupa siapa dirimu. Akan tetapi jikalau kamu tidak punya uang, seluruh dunia melupakan siapakah dirimu. Perkataan Gates ini menunjukkan kepada kita bahwa dunia belum bisa menggunakan harta benda dengan bijak dalam hubungan dirinya dengan sesama. Cara hidup jemaat perdana menunjukkan kesediaan berbagi harta benda secara menakjubkan. Jemaat awal yang jumlahnya lebih dari 3000 orang ini sangat memperhatikan pertumbuhan spiritual/rohani mereka: bertekun dalam persekutuan, doa, pengajaran dan sakramen. Namun rupanya bukan hanya pertumbuhan spiritual yang diperhatikan, pemenuhan kebutuhan hidup jasmani mereka juga mendapat perhatian yang penting. Dalam kesatuan dan kebersamaan mereka, segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama. Harta benda pribadi yang mereka miliki, dijual dan dibagi-bagikan kepada sesama sesuai dengan keperluan masing-masing. Cara hidup jemaat perdana ini rupanya menjadi daya tarik bagi banyak orang, menjadikan mereka disukai semua orang dan semakin banyak orang tertarik untuk bergabung dengan komunitas ini (ayat 47). Memang, sebuah komunitas keagamaan yang tidak sekadar memikirkan pertumbuhan rohani jemaatnya, melainkan juga kebutuhan jasmani jemaatnya, dan bahkan masyarakat sekitar akan memiliki "keunggulan kompetitif/daya saing" dan "keunggulan survival/daya hidup" dibandingkan komunitas lainnya yang hanya memikirkan kebutuhan rohani umat-nya. Kerelaan berbagi harta benda bagi yang kekurangan pada dasarnya menjadi salah satu watak penting komunitas Kristen dalam relasinya dengan dunia ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Berbagi Kebaikan (Mazmur 116: 12-19)
"...akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya." (Mazmur 116: 14)
Aturan/prinsip timbal balik (resiprokal) tampaknya mendasari relasi antarmanusia. Ketika seseorang menerima bantuan dari orang lain, penerima bantuan itu merasa wajib untuk membalas dengan balasan yang setimpal atas kebaikan yang telah diterimanya tersebut. Balasan kebaikan itu bisa diberikan langsung kepada yang bersangkutan (pay it back) atau diberikan pada pihak lain (pay it forward). Sang Pemazmur sangat merasakan besarnya kebaikan yang telah diterimanya dari Tuhan. "Ia mendengarkan suaraku dan permohonanku" (ayat 1). Ia pengasih, adil dan penyayang (ayat 5). Ia meluputkan dari maut (ayat 8). Namun demikian, sang pemazmur tidak sekadar ingin menjadi penerima kebaikan-kebaikan Tuhan tersebut. Ia ingin membalas kebaikan yang telah diterimanya dari Tuhan. Itulah sebabnya kemudian sang Pemazmur berkata, "Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku? Aku akan mengangkat piala keselamatan , dan akan menyerukan nama Tuhan, akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya." (ayat 12-14). Balasan sang pemazmur langsung ditujukan kepada Tuhan (pay it back), sumber dari kebaikan-kebaikan yang telah diterimanya sekaligus juga diteruskan atau diberikan juga kepada umat-Nya (pay it forward). Berbagi kebaikan atas apa yang telah kita terima dari Tuhan menjadi olah spiritulitas yang penting dalam pertumbuhan iman jemaat secara personal maupun komunitas. Aturan/prinsip timbal balik yang terpelihara dalam pikiran dan hati manusia sejak zaman purba, tampaknya memang sesuai dengan rancangan illahi keberadaan manusia dalam kehidupan ini. Manusia diajak untuk menjalani kehidupan ini dengan memperhatikan pihak lain juga, tidak hanya diri sendiri. Manusia diajak untuk tidak hanya menjadi penerima kebaikan Allah, tetapi juga menjadi distributor kebaikan Allah itu bagi sesamanya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Aturan/prinsip timbal balik (resiprokal) tampaknya mendasari relasi antarmanusia. Ketika seseorang menerima bantuan dari orang lain, penerima bantuan itu merasa wajib untuk membalas dengan balasan yang setimpal atas kebaikan yang telah diterimanya tersebut. Balasan kebaikan itu bisa diberikan langsung kepada yang bersangkutan (pay it back) atau diberikan pada pihak lain (pay it forward). Sang Pemazmur sangat merasakan besarnya kebaikan yang telah diterimanya dari Tuhan. "Ia mendengarkan suaraku dan permohonanku" (ayat 1). Ia pengasih, adil dan penyayang (ayat 5). Ia meluputkan dari maut (ayat 8). Namun demikian, sang pemazmur tidak sekadar ingin menjadi penerima kebaikan-kebaikan Tuhan tersebut. Ia ingin membalas kebaikan yang telah diterimanya dari Tuhan. Itulah sebabnya kemudian sang Pemazmur berkata, "Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku? Aku akan mengangkat piala keselamatan , dan akan menyerukan nama Tuhan, akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya." (ayat 12-14). Balasan sang pemazmur langsung ditujukan kepada Tuhan (pay it back), sumber dari kebaikan-kebaikan yang telah diterimanya sekaligus juga diteruskan atau diberikan juga kepada umat-Nya (pay it forward). Berbagi kebaikan atas apa yang telah kita terima dari Tuhan menjadi olah spiritulitas yang penting dalam pertumbuhan iman jemaat secara personal maupun komunitas. Aturan/prinsip timbal balik yang terpelihara dalam pikiran dan hati manusia sejak zaman purba, tampaknya memang sesuai dengan rancangan illahi keberadaan manusia dalam kehidupan ini. Manusia diajak untuk menjalani kehidupan ini dengan memperhatikan pihak lain juga, tidak hanya diri sendiri. Manusia diajak untuk tidak hanya menjadi penerima kebaikan Allah, tetapi juga menjadi distributor kebaikan Allah itu bagi sesamanya. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Maut (Kisah Para Rasul 2: 22-32)
"Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu." (Kisah Para Rasul 2: 24)
Mungkinkah manusia bisa menghindar dari kematian? Saat ini, jelas tidak mungkin! Manusia tidak berdaya saat kematian/maut menjemputnya. Akan tetapi, manusia modern punya mimpi suatu saat mereka bisa menaklukkan maut. Mimpi mereka adalah: death can be cured. Mereka tidak hanya ingin menyembuhkan orang yang sakit, tetapi juga orang yang mati. Bagi mereka, kematian harus dapat disembuhkan. Dalam kotbahnya, Rasul Petrus memberikan kesaksian bahwa Yesus tidak ditaklukkan oleh maut. Yesus tidak berada selamanya dalam kuasa maut. Yesus mati, ya itu benar! Jangan pernah meragukan Yesus tidak pernah mati! Jangan juga berpandangan Yesus pura-pura mati atau mati suri saja. Tidak! Yesus mati! Akan tetapi Yesus tidak mati untuk selama-lamanya. Yesus bangkit! Maut tidak kuasa mencengkeram-Nya untuk selama-lamanya. Bukan maut yang menaklukkan Yesus, melainkan Yesus yang menaklukkan kuasa maut. Rasul Petrus mengatakan, "...karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu." Mengapa tidak mungkin? Kalau Yesus sama seperti manusia pada umumnya yang ditaklukkan maut, maka berakhirlah kehidupan ini. Tidak ada pengharapan kehidupan setelah kematian. Kehidupan hanya terarah pada kematian, mengutip pandangan filsuf Jerman, Martin Heidegger tentang Sein-zum-tode, manusia adalah keberadaan yang menuju kematian. Yesus bangkit dari kematian, maka umat percaya pun meletakkan pengharapan mereka akan kebangkitan mereka dari kematian. Di dunia ini bisa jadi mereka takluk akan kuasa maut, akan tetapi kebangkitan Kristus menunjukkan kekuasaan maut sesungguhnya begitu terbatas. Hidup memang terbatas, tetapi jangan lupa kuasa maut juga terbatas. Oleh sebab itu, gunakan hidup yang terbatas ini sebaik-baiknya dalam iman dan kesetiaan kita pada Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Mungkinkah manusia bisa menghindar dari kematian? Saat ini, jelas tidak mungkin! Manusia tidak berdaya saat kematian/maut menjemputnya. Akan tetapi, manusia modern punya mimpi suatu saat mereka bisa menaklukkan maut. Mimpi mereka adalah: death can be cured. Mereka tidak hanya ingin menyembuhkan orang yang sakit, tetapi juga orang yang mati. Bagi mereka, kematian harus dapat disembuhkan. Dalam kotbahnya, Rasul Petrus memberikan kesaksian bahwa Yesus tidak ditaklukkan oleh maut. Yesus tidak berada selamanya dalam kuasa maut. Yesus mati, ya itu benar! Jangan pernah meragukan Yesus tidak pernah mati! Jangan juga berpandangan Yesus pura-pura mati atau mati suri saja. Tidak! Yesus mati! Akan tetapi Yesus tidak mati untuk selama-lamanya. Yesus bangkit! Maut tidak kuasa mencengkeram-Nya untuk selama-lamanya. Bukan maut yang menaklukkan Yesus, melainkan Yesus yang menaklukkan kuasa maut. Rasul Petrus mengatakan, "...karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu." Mengapa tidak mungkin? Kalau Yesus sama seperti manusia pada umumnya yang ditaklukkan maut, maka berakhirlah kehidupan ini. Tidak ada pengharapan kehidupan setelah kematian. Kehidupan hanya terarah pada kematian, mengutip pandangan filsuf Jerman, Martin Heidegger tentang Sein-zum-tode, manusia adalah keberadaan yang menuju kematian. Yesus bangkit dari kematian, maka umat percaya pun meletakkan pengharapan mereka akan kebangkitan mereka dari kematian. Di dunia ini bisa jadi mereka takluk akan kuasa maut, akan tetapi kebangkitan Kristus menunjukkan kekuasaan maut sesungguhnya begitu terbatas. Hidup memang terbatas, tetapi jangan lupa kuasa maut juga terbatas. Oleh sebab itu, gunakan hidup yang terbatas ini sebaik-baiknya dalam iman dan kesetiaan kita pada Kristus. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Manusia Baru (Kolose 3: 1-11)
"Dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya." (Kolose 3: 10)
Apa yang akan terjadi pada manusia 1000 tahun lagi? Kalau pertanyaan ini ditujukan pada manusia yang hidup pada tahun 1014 mungkin tak terbayangkan sama sekali kondisi manusia di tahun 2014 ini dengan segala perkembangan tekhnologi dan sains yang ada. Akan tetapi kalau pertanyaan ini ditanyakan kepada para saintis tahun 2014 ini, jawaban mereka akan seperti ini: tekhnologi DNA akan memampukan manusia menjadi manusia super-lebih kuat melawan penyakit, terjadi perpaduan manusia dengan mesin, evolusi manusia lebih cepat dan manusia beradaptasi hidup di ruang angkasa (Majalah BBC Knowledge, vol.6 Januari 2014, hal. 34-41). Intinya, akan terjadi pembaruan manusia besar-besaran dibandingkan millenium sekarang ini. Paulus tidak menyangkal adanya proses pembaruan yang bisa terjadi terus-menerus dalam kehidupan manusia. Manusia tidak statis, melainkan dinamis. Meski demikian, Paulus melihat titik awal pembaruan yang sejati ada di dalam iman akan Kristus yang bangkit. Kebangkitan Yesus dengan jelas menunjukkan bahwa kita tidak lagi dikuasai dalam kemanusiaan lama penuh dosa, melainkan kita berubah dalam kemanusiaan baru menurut gambar Khalik kita. Itulah sebabnya Paulus berkata, "Kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada..." (ayat 1). Panggilan para pengikut Kristus bukan sekadar menjadi manusia baru, melainkan manusia baru yang terus-menerus diperbarui dalam iman akan Kristus yang bangkit. Pembaruan semacam ini tidak akan pernah membuat kita meninggalkan iman kepada Kristus yang bangkit. Jadi, jangan pernah ragu untuk menjadi diri yang terus-menerus diperbarui, karena Kristus yang bangkit telah memperbarui manusia lama kita agar bisa menjadi manusia baru di dalam-Nya Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Apa yang akan terjadi pada manusia 1000 tahun lagi? Kalau pertanyaan ini ditujukan pada manusia yang hidup pada tahun 1014 mungkin tak terbayangkan sama sekali kondisi manusia di tahun 2014 ini dengan segala perkembangan tekhnologi dan sains yang ada. Akan tetapi kalau pertanyaan ini ditanyakan kepada para saintis tahun 2014 ini, jawaban mereka akan seperti ini: tekhnologi DNA akan memampukan manusia menjadi manusia super-lebih kuat melawan penyakit, terjadi perpaduan manusia dengan mesin, evolusi manusia lebih cepat dan manusia beradaptasi hidup di ruang angkasa (Majalah BBC Knowledge, vol.6 Januari 2014, hal. 34-41). Intinya, akan terjadi pembaruan manusia besar-besaran dibandingkan millenium sekarang ini. Paulus tidak menyangkal adanya proses pembaruan yang bisa terjadi terus-menerus dalam kehidupan manusia. Manusia tidak statis, melainkan dinamis. Meski demikian, Paulus melihat titik awal pembaruan yang sejati ada di dalam iman akan Kristus yang bangkit. Kebangkitan Yesus dengan jelas menunjukkan bahwa kita tidak lagi dikuasai dalam kemanusiaan lama penuh dosa, melainkan kita berubah dalam kemanusiaan baru menurut gambar Khalik kita. Itulah sebabnya Paulus berkata, "Kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada..." (ayat 1). Panggilan para pengikut Kristus bukan sekadar menjadi manusia baru, melainkan manusia baru yang terus-menerus diperbarui dalam iman akan Kristus yang bangkit. Pembaruan semacam ini tidak akan pernah membuat kita meninggalkan iman kepada Kristus yang bangkit. Jadi, jangan pernah ragu untuk menjadi diri yang terus-menerus diperbarui, karena Kristus yang bangkit telah memperbarui manusia lama kita agar bisa menjadi manusia baru di dalam-Nya Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pikiran dan Perasaan Seperti KRISTUS (Filipi 2: 5-11)
"Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus." (Filipi 2: 5)
De Imitatione Christi atau Imitasi Kristus adalah sebuah buku pegangan devosi Kristen yang ditulis oleh Thomas Kempis seorang biarawan asal Kempen-Jerman, yang mengingatkan pentingnya orang-orang Kristen menjalani hidup ini dengan meniru atau meneladani Kristus sebagai model kehidupan mereka di dunia ini. Di paragraf awal bukunya, Kempis menuliskan: Barangsiapa mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan. Ini adalah sabda Kristus yang menasihati kita harus meniru kehidupan-Nya jika kita sungguh-sungguh ingin dicerahkan dan dibebaskan dari segala kebutaan hati. Apa yang harus kita tiru dari Kristus? Tentu ada banyak yang harus kita tiru. Rasul Paulus menyebutkan contohnya: pikiran dan perasaan kita mesti sama atau sejalan dengan pikiran dan perasaan Kristus. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (ayat 5). Kata Yunani yang dipakai Paulus adalah phren, yang bisa berarti pikiran, perasaan, pemahaman, atau perilaku. Pikiran, perasaan, dan perilaku Kristus yang mana yang harus ditiru? Menurut Paulus: Kerendahan hati-Nya dan ketaatan-Nya pada kehendak Sang Bapa. Yesus tidak memanfaatkan status-Nya yang setara dengan Bapa untuk kepentingan-Nya sendiri, Yesus justru memilih memenuhi kehendak Bapa-Nya, bahkan hingga mati di kayu salib untuk menyelamatkan umat manusia (ayat 6-8). Kerendahan hati dan ketaatan Yesus ini menjadi model bagi kita untuk hidup dalam kerendahan hati dan ketaatan pada kehendak Allah dalam hidup kita. Memiliki pikiran, perasaan, dan perilaku seperti Kristus bisa jadi memang bukan perkara yang mudah. Akan tetapi ketika kita menyadari bahwa kita dipanggil sebagai orang Kristen-artinya orang yang percaya dan mengikuti Kristus, bukankah sudah menjadi tugas panggilan kita untuk hidup meniru Kristus? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
De Imitatione Christi atau Imitasi Kristus adalah sebuah buku pegangan devosi Kristen yang ditulis oleh Thomas Kempis seorang biarawan asal Kempen-Jerman, yang mengingatkan pentingnya orang-orang Kristen menjalani hidup ini dengan meniru atau meneladani Kristus sebagai model kehidupan mereka di dunia ini. Di paragraf awal bukunya, Kempis menuliskan: Barangsiapa mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan. Ini adalah sabda Kristus yang menasihati kita harus meniru kehidupan-Nya jika kita sungguh-sungguh ingin dicerahkan dan dibebaskan dari segala kebutaan hati. Apa yang harus kita tiru dari Kristus? Tentu ada banyak yang harus kita tiru. Rasul Paulus menyebutkan contohnya: pikiran dan perasaan kita mesti sama atau sejalan dengan pikiran dan perasaan Kristus. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (ayat 5). Kata Yunani yang dipakai Paulus adalah phren, yang bisa berarti pikiran, perasaan, pemahaman, atau perilaku. Pikiran, perasaan, dan perilaku Kristus yang mana yang harus ditiru? Menurut Paulus: Kerendahan hati-Nya dan ketaatan-Nya pada kehendak Sang Bapa. Yesus tidak memanfaatkan status-Nya yang setara dengan Bapa untuk kepentingan-Nya sendiri, Yesus justru memilih memenuhi kehendak Bapa-Nya, bahkan hingga mati di kayu salib untuk menyelamatkan umat manusia (ayat 6-8). Kerendahan hati dan ketaatan Yesus ini menjadi model bagi kita untuk hidup dalam kerendahan hati dan ketaatan pada kehendak Allah dalam hidup kita. Memiliki pikiran, perasaan, dan perilaku seperti Kristus bisa jadi memang bukan perkara yang mudah. Akan tetapi ketika kita menyadari bahwa kita dipanggil sebagai orang Kristen-artinya orang yang percaya dan mengikuti Kristus, bukankah sudah menjadi tugas panggilan kita untuk hidup meniru Kristus? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Keinginan Roh (Roma 6-11)
"Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus." (Roma 8: 9).
Pola pikir (mind-set) yang kita pegang akan mempengaruhi perilaku, pilihan, dan tujuan hidup kita. Jika pola pikir kita dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang buruk, perilaku kita juga ditandai dengan perilaku-perilaku yang buruk. Jika pola pikir kita dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang baik, perilaku kita juga akan memantulkan kebaikan-kebaikan. Pola pikir apa yang tepat bagi orang-orang yang percaya kepada Kristus? Rasul Paulus menghadapkan jemaat Kristen Roma pada dua pola pikir yang bertentangan: pola pikir hidup dalam daging dengan pola pikir hidup dalam Roh. Hidup dalam daging berarti kematian dan perseteruan dengan Allah, karena hidup hanya diarahkan bagi kepentingan pribadi dan bukan apa yang menjadi kehendak Allah. Sedangkan hidup dalam Roh berarti kehidupan dan damai sejahtera, karena hidup diarahkan pada kehendak Allah. Apakah Paulus termasuk rasul yang menganggap bahwa tubuh jasmani manusia sebagai yang kotor dan tidak penting dibandingkan kerohanian atau jiwa manusia? Tubuh jasmani manusia (Yunani:soma) pada dasarnya baik, tidak kotor dengan sendirinya, tergantung bagaimana manusia menggunakan tubuh jasmaninya itu. Namun ketika tubuh itu tidak dipergunakan sebagaimana yang diharapkan Tuhan dalam kehidupan manusia, maka dalam bahasa Paulus, tubuh (soma) itu telah menjadi daging (sarks). Dan bagi Paulus, mereka yang hidup dalam daging (sarks), tidak mungkin berkenan kepada Allah (ayat 8). Hidup dalam Roh (pneuma) berarti mengikuti apa yang menjadi keinginan Roh, bukan keinginan pribadi manusia semata. Oleh sebab itu, bangun, ciptakan, dan peliharalah pola pikir yang selalu terarah pada Roh, maka perilaku kita juga akan memantulkan buah-buah Roh dalam kehidupan sehari-hari. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pola pikir (mind-set) yang kita pegang akan mempengaruhi perilaku, pilihan, dan tujuan hidup kita. Jika pola pikir kita dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang buruk, perilaku kita juga ditandai dengan perilaku-perilaku yang buruk. Jika pola pikir kita dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang baik, perilaku kita juga akan memantulkan kebaikan-kebaikan. Pola pikir apa yang tepat bagi orang-orang yang percaya kepada Kristus? Rasul Paulus menghadapkan jemaat Kristen Roma pada dua pola pikir yang bertentangan: pola pikir hidup dalam daging dengan pola pikir hidup dalam Roh. Hidup dalam daging berarti kematian dan perseteruan dengan Allah, karena hidup hanya diarahkan bagi kepentingan pribadi dan bukan apa yang menjadi kehendak Allah. Sedangkan hidup dalam Roh berarti kehidupan dan damai sejahtera, karena hidup diarahkan pada kehendak Allah. Apakah Paulus termasuk rasul yang menganggap bahwa tubuh jasmani manusia sebagai yang kotor dan tidak penting dibandingkan kerohanian atau jiwa manusia? Tubuh jasmani manusia (Yunani:soma) pada dasarnya baik, tidak kotor dengan sendirinya, tergantung bagaimana manusia menggunakan tubuh jasmaninya itu. Namun ketika tubuh itu tidak dipergunakan sebagaimana yang diharapkan Tuhan dalam kehidupan manusia, maka dalam bahasa Paulus, tubuh (soma) itu telah menjadi daging (sarks). Dan bagi Paulus, mereka yang hidup dalam daging (sarks), tidak mungkin berkenan kepada Allah (ayat 8). Hidup dalam Roh (pneuma) berarti mengikuti apa yang menjadi keinginan Roh, bukan keinginan pribadi manusia semata. Oleh sebab itu, bangun, ciptakan, dan peliharalah pola pikir yang selalu terarah pada Roh, maka perilaku kita juga akan memantulkan buah-buah Roh dalam kehidupan sehari-hari. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Sang Gembala yang Baik (Mazmur 23)
"Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku." (Mazmur 23: 1)
God is personal, but never private. Apa maksud kalimat ini? Setiap umat Tuhan bisa menghayati dan merasakan kehadiran dan karya Tuhan secara pribadi dalam kehidupannya masing-masing, namun demikian Tuhan bukan sejenis properti yang hanya mereka miliki sendiri. Kehadiran dan karya Tuhan tidak terbatasi hanya dalam kehidupan pribadi kita masing-masing. Mazmur 23 begitu menyentuh hati dan iman banyak orang, termasuk kita, karena sentuhan personal yang terasakan sangat kuat dan dalam. Tuhan adalah gembalaku, aku, bahkan tidak dikatakan Tuhan adalah gembala kami. Juga tidak dikatakan Tuhan adalah Sang Gembala. Tuhan adalah gembalaku berarti Tuhan yang jauh, yang transenden, ternyata juga Tuhan yang bisa dialami begitu dekat dan personal. Ketika sang pemazmur merefleksikan kedekatan Tuhan dalam hidupnya, tentu saja sang pemazmur tidak bermaksud Tuhan hanya menjadi milik pribadinya. Dengan mazmur ini, justru hendak ditegaskan kehadiran dan karya Tuhan yang bisa dirasakan secara personal oleh semua umat-Nya, seperti sang pemazmur sendiri telah merasakan kehadiran dan karya Tuhan secara personal. Harold S. Kushner, seorang rabi Yahudi, ketika menafsirkan Mazmur 23 ini, dalam bukunya berjudul The Lord is My Shepherd: Healing Wisdom of The Twenty-Third Psalm, sampai pada pandangan: melalui mazmur 23 ini kita bisa belajar bahwa Tuhan tidak pernah menjanjikan kehidupan bagi kita yang bebas dari penderitaan, krisis, dan segala macam ketidakadilan hidup yang kita alami. Ada saat-saat dalam hidup kita, kita harus "berjalan dalam lembah kekelaman" (ayat 4) dan berada "di hadapan lawanku" (ayat 5), lawan yang masih ada, dan yang barangkali senantiasa ingin meremukkan, menyakiti, dan menghancurkan kita. Namun janji Tuhan adalah kita tidak akan menghadapi semua itu secara sendirian, kita akan menghadapinya bersama Tuhan karena Tuhan adalah gembalaku. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
God is personal, but never private. Apa maksud kalimat ini? Setiap umat Tuhan bisa menghayati dan merasakan kehadiran dan karya Tuhan secara pribadi dalam kehidupannya masing-masing, namun demikian Tuhan bukan sejenis properti yang hanya mereka miliki sendiri. Kehadiran dan karya Tuhan tidak terbatasi hanya dalam kehidupan pribadi kita masing-masing. Mazmur 23 begitu menyentuh hati dan iman banyak orang, termasuk kita, karena sentuhan personal yang terasakan sangat kuat dan dalam. Tuhan adalah gembalaku, aku, bahkan tidak dikatakan Tuhan adalah gembala kami. Juga tidak dikatakan Tuhan adalah Sang Gembala. Tuhan adalah gembalaku berarti Tuhan yang jauh, yang transenden, ternyata juga Tuhan yang bisa dialami begitu dekat dan personal. Ketika sang pemazmur merefleksikan kedekatan Tuhan dalam hidupnya, tentu saja sang pemazmur tidak bermaksud Tuhan hanya menjadi milik pribadinya. Dengan mazmur ini, justru hendak ditegaskan kehadiran dan karya Tuhan yang bisa dirasakan secara personal oleh semua umat-Nya, seperti sang pemazmur sendiri telah merasakan kehadiran dan karya Tuhan secara personal. Harold S. Kushner, seorang rabi Yahudi, ketika menafsirkan Mazmur 23 ini, dalam bukunya berjudul The Lord is My Shepherd: Healing Wisdom of The Twenty-Third Psalm, sampai pada pandangan: melalui mazmur 23 ini kita bisa belajar bahwa Tuhan tidak pernah menjanjikan kehidupan bagi kita yang bebas dari penderitaan, krisis, dan segala macam ketidakadilan hidup yang kita alami. Ada saat-saat dalam hidup kita, kita harus "berjalan dalam lembah kekelaman" (ayat 4) dan berada "di hadapan lawanku" (ayat 5), lawan yang masih ada, dan yang barangkali senantiasa ingin meremukkan, menyakiti, dan menghancurkan kita. Namun janji Tuhan adalah kita tidak akan menghadapi semua itu secara sendirian, kita akan menghadapinya bersama Tuhan karena Tuhan adalah gembalaku. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Mematahkan Sekat Prasangka dan Kebencian (Yohanes 4: 1-14)
"Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?" (Yohanes 4: 9)
Apa itu prasangka? Pada prinsipnya, prasangka merupakan sikap, pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang negatif dan antipati terhadap pihak lain. Di Indonesia, isu mengenai suku, agama, ras, gender, dan orientasi seksual merupakan gelanggang besar bagi bertumbuhnya prasangka dan kebencian pada pihak lain yang berbeda. Orang-orang Samaria dan Yahudi sebenarnya sama-sama orang Israel yang mempunyai akar yang sama dalam Musa dan memegang kelima kitab Taurat sebagai fondasi iman mereka. Namun orang-orang Yahudi tidak mau bergaul dengan orang-orang Samaria karena dalam pemahaman mereka orang-orang Samaria tidak murni Israel lagi karena nenek moyang mereka menikah dengan bangsa bukan Yahudi. Bagaimana Yesus menangani prasangka dan kebencian yang tumbuh bertahun-tahun antara orang-orang Samaria dan Yahudi? (1) Yesus meminta minum pada seorang perempuan Samaria. Dengan permintaan ini, Yesus menunjukkan bahwa diri-Nya tidak mau dikuasai oleh norma-norma kultural, sosial, dan agama yang menumbuhkan kebencian dan permusuhan terhadap pihak lain. Norma-norma tersebut mestinya lebih mendekatkan dan menciptakan persaudaraan dengan yang lain, bukan menjauhkan dan meletakkan mereka dalam konflik dan kebencian; (2) Yesus tetap melanjutkan perjumpaan dan percakapan yang ditabukan tersebut untuk menciptakan kesetaraan antara orang Samaria dan Yahudi, meski perempuan Samaria itu awalnya heran dan enggan untuk memberikan minum kepada Yesus. Memang diperlukan kesabaran dan tekad yang kuat untuk mematahkan prasangka dan kebencian yang sudah tumbuh berabad-abad. Sebagai pengikut Kristus, janganlah kita mau terjerat belitan prasangka dan kebencian pada pihak lain hanya karena mereka berbeda dan tidak sama dengan diri kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Apa itu prasangka? Pada prinsipnya, prasangka merupakan sikap, pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang negatif dan antipati terhadap pihak lain. Di Indonesia, isu mengenai suku, agama, ras, gender, dan orientasi seksual merupakan gelanggang besar bagi bertumbuhnya prasangka dan kebencian pada pihak lain yang berbeda. Orang-orang Samaria dan Yahudi sebenarnya sama-sama orang Israel yang mempunyai akar yang sama dalam Musa dan memegang kelima kitab Taurat sebagai fondasi iman mereka. Namun orang-orang Yahudi tidak mau bergaul dengan orang-orang Samaria karena dalam pemahaman mereka orang-orang Samaria tidak murni Israel lagi karena nenek moyang mereka menikah dengan bangsa bukan Yahudi. Bagaimana Yesus menangani prasangka dan kebencian yang tumbuh bertahun-tahun antara orang-orang Samaria dan Yahudi? (1) Yesus meminta minum pada seorang perempuan Samaria. Dengan permintaan ini, Yesus menunjukkan bahwa diri-Nya tidak mau dikuasai oleh norma-norma kultural, sosial, dan agama yang menumbuhkan kebencian dan permusuhan terhadap pihak lain. Norma-norma tersebut mestinya lebih mendekatkan dan menciptakan persaudaraan dengan yang lain, bukan menjauhkan dan meletakkan mereka dalam konflik dan kebencian; (2) Yesus tetap melanjutkan perjumpaan dan percakapan yang ditabukan tersebut untuk menciptakan kesetaraan antara orang Samaria dan Yahudi, meski perempuan Samaria itu awalnya heran dan enggan untuk memberikan minum kepada Yesus. Memang diperlukan kesabaran dan tekad yang kuat untuk mematahkan prasangka dan kebencian yang sudah tumbuh berabad-abad. Sebagai pengikut Kristus, janganlah kita mau terjerat belitan prasangka dan kebencian pada pihak lain hanya karena mereka berbeda dan tidak sama dengan diri kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Memberi Karena Peduli (Yohanes 3: 1-21)
"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yohanes 3: 16).
Kasih itu pasti memberi. Dan sebentuk pemberian selalu dapat menghasilkan perubahan yang berarti. Tepat sekali judul dari buku yang ditulis oleh Bill Clinton, mantan presiden Amerika Serikat: Giving, How Each of Us Can Change The World. Dengan memberi kepada yang memerlukan, kita masing-masing sesungguhnya bisa ikut mengubah dunia ini menjadi lebih baik. Allah begitu peduli dan mengasihi manusia ciptaan-Nya. Kasih Allah ini terwujud dalam kepedulian-Nya memberikan anak-Nya yang tunggal untuk keselamatan manusia. Perhatikan baik-baik beberapa kata penting di pasal 3 ayat 16 ini: (1) kasih, agape- kasih Allah yang diberikan ini adalah kasih tanpa syarat (2) dunia, kosmos-kasih ini diberikan bukan hanya untuk satu atau beberapa orang tertentu, melainkan untuk seluruh umat manusia di dunia ini (3) anak-Nya yang tunggal- apa yang diberikan adalah pemberian terbaik dari Allah (4) percaya, pistis- ajakan bukan untuk sekadar percaya secara kognitif melainkan memberikan dan memercayakan hidup kita sepenuh hati kepada Allah (5) hidup kekal, zoen aionion- hidup kekal yang diberikan Allah bukan sekadar umur panjang melainkan suasana persekutuan kekal bersama Tuhan, yang berlawanan dengan keterputusan kekal dengan Tuhan. Allah sudah memberikan yang terbaik kepada manusia ciptaan-Nya melalui Yesus Kristus, lalu apa yang bisa kita berikan bagi Allah dan ciptaan-Nya? Pemberian bisa beragam jenisnya tergantung dari apa yang bisa kita berikan: uang, barang, waktu, tenaga, ketrampilan, perhatian, doa, dan lain-lainnya. Jangan pernah ragu untuk memberikan pada Tuhan dan dunia ini apa yang sesungguhnya bisa kita berikan pada-Nya dan dunia ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Kasih itu pasti memberi. Dan sebentuk pemberian selalu dapat menghasilkan perubahan yang berarti. Tepat sekali judul dari buku yang ditulis oleh Bill Clinton, mantan presiden Amerika Serikat: Giving, How Each of Us Can Change The World. Dengan memberi kepada yang memerlukan, kita masing-masing sesungguhnya bisa ikut mengubah dunia ini menjadi lebih baik. Allah begitu peduli dan mengasihi manusia ciptaan-Nya. Kasih Allah ini terwujud dalam kepedulian-Nya memberikan anak-Nya yang tunggal untuk keselamatan manusia. Perhatikan baik-baik beberapa kata penting di pasal 3 ayat 16 ini: (1) kasih, agape- kasih Allah yang diberikan ini adalah kasih tanpa syarat (2) dunia, kosmos-kasih ini diberikan bukan hanya untuk satu atau beberapa orang tertentu, melainkan untuk seluruh umat manusia di dunia ini (3) anak-Nya yang tunggal- apa yang diberikan adalah pemberian terbaik dari Allah (4) percaya, pistis- ajakan bukan untuk sekadar percaya secara kognitif melainkan memberikan dan memercayakan hidup kita sepenuh hati kepada Allah (5) hidup kekal, zoen aionion- hidup kekal yang diberikan Allah bukan sekadar umur panjang melainkan suasana persekutuan kekal bersama Tuhan, yang berlawanan dengan keterputusan kekal dengan Tuhan. Allah sudah memberikan yang terbaik kepada manusia ciptaan-Nya melalui Yesus Kristus, lalu apa yang bisa kita berikan bagi Allah dan ciptaan-Nya? Pemberian bisa beragam jenisnya tergantung dari apa yang bisa kita berikan: uang, barang, waktu, tenaga, ketrampilan, perhatian, doa, dan lain-lainnya. Jangan pernah ragu untuk memberikan pada Tuhan dan dunia ini apa yang sesungguhnya bisa kita berikan pada-Nya dan dunia ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Pengampunan (Mazmur 32: 1-11)
"...Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!" (Mazmur 32: 11)
Pernahkah Anda bayangkan Tuhan tidak punya watak pengampun? Tuhan hanya punya watak penghukum dan penghancur bagi umat-Nya yang tidak mau melakukan perintah dan kehendak-Nya? Tampaknya tidak akan ada manusia yang sudi menyembah-Nya jika tidak ada watak pengampun dalam diri-Nya. Sang pemazmur datang kepada Tuhan karena menyadari watak pengampunTuhan tersedia bagi umat-Nya. Di hadapan Tuhan, tidak ada gunanya manusia menyembunyikan dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya, seakan-akan Tuhan bisa dikelabui oleh manusia. Yang perlu dilakukan manusia adalah mengakui dosa dan kesalahannya sehingga justru beroleh pengampunan dari Tuhan. Itulah sebabnya sang pemazmur menuliskan: Aku akan mengaku kepada Tuhan pelanggaran-pelanggaranku, dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku (ayat 5). Betulkah Tuhan selalu berkenan mengampuni dosa dan kesalahan manusia? Apakah watak pengampun Tuhan tidak akan disalahgunakan manusia untuk tetap berbuat dosa, toh nanti akan diampuni juga oleh Tuhan? Kita bisa berpegang pada apa yang menjadi keyakinan pemazmur: setiap ada pengakuan dosa, pasti ada pengampunan. Manusia yang menyalahgunakan pengampunan Tuhan untuk kembali berbuat dosa adalah manusia yang sesungguhnya tidak pernah menyatakan pengakuan dosa di hadapan Tuhan. Hasil riset dalam bidang neurosains bahkan memberitahukan pada kita bahwa kepercayaan umat pada Tuhan yang penuh watak pengampun lebih memberikan manfaat bagi kesehatan mental dan spiritual umat daripada ketika mereka memercayai Tuhan yang penuh dengan watak pemarah dan penghancur. Jadi jangan pernah kita ragu untuk mengakui dosa dan memohon pengampunan Tuhan atas dosa dan kesalahan kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pernahkah Anda bayangkan Tuhan tidak punya watak pengampun? Tuhan hanya punya watak penghukum dan penghancur bagi umat-Nya yang tidak mau melakukan perintah dan kehendak-Nya? Tampaknya tidak akan ada manusia yang sudi menyembah-Nya jika tidak ada watak pengampun dalam diri-Nya. Sang pemazmur datang kepada Tuhan karena menyadari watak pengampunTuhan tersedia bagi umat-Nya. Di hadapan Tuhan, tidak ada gunanya manusia menyembunyikan dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya, seakan-akan Tuhan bisa dikelabui oleh manusia. Yang perlu dilakukan manusia adalah mengakui dosa dan kesalahannya sehingga justru beroleh pengampunan dari Tuhan. Itulah sebabnya sang pemazmur menuliskan: Aku akan mengaku kepada Tuhan pelanggaran-pelanggaranku, dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku (ayat 5). Betulkah Tuhan selalu berkenan mengampuni dosa dan kesalahan manusia? Apakah watak pengampun Tuhan tidak akan disalahgunakan manusia untuk tetap berbuat dosa, toh nanti akan diampuni juga oleh Tuhan? Kita bisa berpegang pada apa yang menjadi keyakinan pemazmur: setiap ada pengakuan dosa, pasti ada pengampunan. Manusia yang menyalahgunakan pengampunan Tuhan untuk kembali berbuat dosa adalah manusia yang sesungguhnya tidak pernah menyatakan pengakuan dosa di hadapan Tuhan. Hasil riset dalam bidang neurosains bahkan memberitahukan pada kita bahwa kepercayaan umat pada Tuhan yang penuh watak pengampun lebih memberikan manfaat bagi kesehatan mental dan spiritual umat daripada ketika mereka memercayai Tuhan yang penuh dengan watak pemarah dan penghancur. Jadi jangan pernah kita ragu untuk mengakui dosa dan memohon pengampunan Tuhan atas dosa dan kesalahan kita. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Hukum dan Perintah (Keluaran 24: 12-18)
"...maka Aku akan memberikan kepadamu loh batu, yakni hukum dan perintah, yang telah Kutuliskan untuk diajarkan kepada mereka." (Keluaran 24: 12)
Dalam hidup ini, rupanya memang ada orang-orang dengan karakter antinomian. Siapa itu? Mereka adalah orang-orang yang punya watak suka melanggar atau menabrak aturan, hukum, tata tertib yang ada, meskipun hukum yang ada itu sebenarnya baik untuk diberlakukan. Bagi mereka, hukum hanya dipandang sebagai alat pengekang dan pembatas kebebasan manusia. Oleh karena itu, mereka enggan dan tidak mau taat pada hukum atau aturan yang ada. Tuhan berfirman kepada Musa agar naik ke gunung Sinai karena Tuhan akan memberikan kepada Musa loh batu yang berisi hukum dan perintah Tuhan untuk diajarkan kepada umat Israel. Hukum (Ibrani: Towrah) dan perintah (Ibrani: mitsvah) diberikan Tuhan tentu bukan sebagai alat pengekang dan pembatas kebebasan umat. Hukum dan perintah-Nya adalah wujud kepedulian Tuhan terhadap kehidupan moral dan religius umat-Nya. Penting untuk diperhatikan, pemberian hukum dan perintah ini tidak dimaksudkan sebagai sarana bagi manusia untuk memperoleh keselamatan/kehidupan kekal. Pelaksanaan hukum dan perintah ini justru sebagai sambutan/tanggapan umat atas berkat, perlindungan, dan keselamatan yang telah diberikan Tuhan kepada mereka. Sambutan/tanggapan yang benar kepada Tuhan mengandung suatu ketaatan terhadap hukum dan perintah Tuhan yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam hidup ini, yang kita perlukan bukanlah menjadi orang yang antinomian, melainkan belajar untuk taat kepada hukum dan perintah Tuhan. Ketaatan yang perlu dikembangkan adalah ketaatan yang sukarela, yang muncul karena kesadaran yang mendalam terhadap pentingnya hukum dan perintah Tuhan itu dalam hidup kita. Ketaatan yang terpaksa hanya akan menghasilkan pelanggaran, ketaatan yang sukarela akan menumbuhkan dan memperkuat iman kepada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Dalam hidup ini, rupanya memang ada orang-orang dengan karakter antinomian. Siapa itu? Mereka adalah orang-orang yang punya watak suka melanggar atau menabrak aturan, hukum, tata tertib yang ada, meskipun hukum yang ada itu sebenarnya baik untuk diberlakukan. Bagi mereka, hukum hanya dipandang sebagai alat pengekang dan pembatas kebebasan manusia. Oleh karena itu, mereka enggan dan tidak mau taat pada hukum atau aturan yang ada. Tuhan berfirman kepada Musa agar naik ke gunung Sinai karena Tuhan akan memberikan kepada Musa loh batu yang berisi hukum dan perintah Tuhan untuk diajarkan kepada umat Israel. Hukum (Ibrani: Towrah) dan perintah (Ibrani: mitsvah) diberikan Tuhan tentu bukan sebagai alat pengekang dan pembatas kebebasan umat. Hukum dan perintah-Nya adalah wujud kepedulian Tuhan terhadap kehidupan moral dan religius umat-Nya. Penting untuk diperhatikan, pemberian hukum dan perintah ini tidak dimaksudkan sebagai sarana bagi manusia untuk memperoleh keselamatan/kehidupan kekal. Pelaksanaan hukum dan perintah ini justru sebagai sambutan/tanggapan umat atas berkat, perlindungan, dan keselamatan yang telah diberikan Tuhan kepada mereka. Sambutan/tanggapan yang benar kepada Tuhan mengandung suatu ketaatan terhadap hukum dan perintah Tuhan yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam hidup ini, yang kita perlukan bukanlah menjadi orang yang antinomian, melainkan belajar untuk taat kepada hukum dan perintah Tuhan. Ketaatan yang perlu dikembangkan adalah ketaatan yang sukarela, yang muncul karena kesadaran yang mendalam terhadap pentingnya hukum dan perintah Tuhan itu dalam hidup kita. Ketaatan yang terpaksa hanya akan menghasilkan pelanggaran, ketaatan yang sukarela akan menumbuhkan dan memperkuat iman kepada Tuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kepentingan Politik (Mazmur 119: 33-40)
"Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba." (Mazmur 119: 36)
Say not I, but we. Jangan katakan aku, tapi katakan kita. Apa maksud Giuseppe Mazzini, seorang politikus asal Itali menyampaikan kata-kata tersebut? Maksudnya adalah ketika upaya politik hanya ditujukan untuk mengejar dan memenuhi kepentingannya sendiri, politik hanya akan membawa keserakahan dan konflik. Akan tetapi kalau upaya politik ditujukan untuk mewujudkan kepentingan bersama, politik akan membawa manusia dalam sebuah persaudaraan yang melayani kemanusiaan. Menurut Mazzini, dalam politik kepentingan pribadi harus diarahkan untuk melayani kepentingan kemanusiaan bersama. Penghayatan sang pemazmur untuk mewujudkan iman kepada Tuhan yang melampaui pemenuhan kepentingan sendiri tampak dalam perikop kita ini. Pemazmur taat kepada ketetapan, hukum, perintah, dan peringatan Tuhan bukan demi memenuhi kepentingannya sendiri dan bukan karena ingin mendapat laba/keuntungan demi dirinya sendiri. Akan tetapi karena pemazmur menghayati ketetapan, hukum, dan perintah Tuhan tersebut memang baik untuk diikuti (ayat 39). Bahkan timbul perasaan suka dan kegembiraan (ayat 35) serta kerinduan di hati sang pemazmur (ayat 40) ketika menaati ketetapan dan perintah Tuhan tersebut. Itulah sebabnya sang pemazmur memohon kepada Tuhan: condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu dan jangan kepada laba (ayat 36). Alkitab New International Version menuliskannya: and not toward selfish gain, jangan kepada laba bagi diri sendiri. Negara akan rusak dan bahkan hancur ketika para politikus hanya berpikir tentang kepentingannya sendiri dan bukan kepentingan bersama masyarakat Indonesia ini. Ketika calon legislatif menghabiskan biaya kampanye beberapa milyar dan berpikir uang itu pasti akan kembali ke tangannya setelah ia terpilih, jelas calon itu berpolitik hanya demi kepentingannya sendiri. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Say not I, but we. Jangan katakan aku, tapi katakan kita. Apa maksud Giuseppe Mazzini, seorang politikus asal Itali menyampaikan kata-kata tersebut? Maksudnya adalah ketika upaya politik hanya ditujukan untuk mengejar dan memenuhi kepentingannya sendiri, politik hanya akan membawa keserakahan dan konflik. Akan tetapi kalau upaya politik ditujukan untuk mewujudkan kepentingan bersama, politik akan membawa manusia dalam sebuah persaudaraan yang melayani kemanusiaan. Menurut Mazzini, dalam politik kepentingan pribadi harus diarahkan untuk melayani kepentingan kemanusiaan bersama. Penghayatan sang pemazmur untuk mewujudkan iman kepada Tuhan yang melampaui pemenuhan kepentingan sendiri tampak dalam perikop kita ini. Pemazmur taat kepada ketetapan, hukum, perintah, dan peringatan Tuhan bukan demi memenuhi kepentingannya sendiri dan bukan karena ingin mendapat laba/keuntungan demi dirinya sendiri. Akan tetapi karena pemazmur menghayati ketetapan, hukum, dan perintah Tuhan tersebut memang baik untuk diikuti (ayat 39). Bahkan timbul perasaan suka dan kegembiraan (ayat 35) serta kerinduan di hati sang pemazmur (ayat 40) ketika menaati ketetapan dan perintah Tuhan tersebut. Itulah sebabnya sang pemazmur memohon kepada Tuhan: condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu dan jangan kepada laba (ayat 36). Alkitab New International Version menuliskannya: and not toward selfish gain, jangan kepada laba bagi diri sendiri. Negara akan rusak dan bahkan hancur ketika para politikus hanya berpikir tentang kepentingannya sendiri dan bukan kepentingan bersama masyarakat Indonesia ini. Ketika calon legislatif menghabiskan biaya kampanye beberapa milyar dan berpikir uang itu pasti akan kembali ke tangannya setelah ia terpilih, jelas calon itu berpolitik hanya demi kepentingannya sendiri. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pilih (Ulangan 30: 15-20)
"...kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu" (Ulangan 30: 19)
Kita membuat pilihan setiap saat. Kita memilih mau minum teh atau kopi. Kita memilih mau nonton tv atau tidur. Kita memilih makan di rumah atau di restoran. Seringkali juga apa yang kita pilih bisa menggambarkan siapa diri kita. William Jennings Bryan, seorang politikus, bahkan mengatakan destiny is not a matter of chance, it is a matter of choice. Apa yang ia maksudkan adalah nasib hidup kita bukan sekadar perkara kesempatan yang tiba-tiba muncul begitu saja dalam hidup kita, melainkan lebih merupakan perkara apa yang kita pilih dalam kehidupan ini. Apa yang kita pilih dalam kehidupan kita ini sungguh menentukan dan membentuk nasib kita di masa datang. Umat Israel saat itu harus memilih. Apa dan kepada siapa mereka harus menjatuhkan pilihan mereka. Kehidupan atau kematian, keberuntungan atau kecelakaan, mengasihi Tuhan atau menyembah allah lain, binasa atau panjang umur, berkat atau kutuk. Apakah situasi yang dihadapi umat Israel saat itu membuat umat kebingungan memutuskan pilihan mereka? Tidak! Musa bahkan sudah memberitahukan apa dan siapa yang seharusnya mereka pilih dan konsekuensi pilihan mereka. "...aku memerintahkan kepadamu untuk mengasihi TUHAN, Allahmu..." (ayat 16), "...Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu" (ayat 19). Tentu, kemauan umat Israel untuk melakukan perintah Musa ini akan menentukan masa depan umat Israel. Banyak orang salah mengira, jika mereka tidak menggunakan hak pilih mereka, mereka tidak perlu terbebani dengan rasa bersalah ketika pemimpin yang terpilih bertindak tidak seperti yang diharapkan. Sebenarnya, apakah seorang pemimpin terpilih nantinya menjadi sosok yang kita harapan atau tidak, itu adalah persoalan yang berbeda. Bagi kita sekarang yang penting adalah bersikap bijak dan cermat menggunakan hak pilih kita untuk turut membentuk masa depan kehidupan bangsa dan negara ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kita membuat pilihan setiap saat. Kita memilih mau minum teh atau kopi. Kita memilih mau nonton tv atau tidur. Kita memilih makan di rumah atau di restoran. Seringkali juga apa yang kita pilih bisa menggambarkan siapa diri kita. William Jennings Bryan, seorang politikus, bahkan mengatakan destiny is not a matter of chance, it is a matter of choice. Apa yang ia maksudkan adalah nasib hidup kita bukan sekadar perkara kesempatan yang tiba-tiba muncul begitu saja dalam hidup kita, melainkan lebih merupakan perkara apa yang kita pilih dalam kehidupan ini. Apa yang kita pilih dalam kehidupan kita ini sungguh menentukan dan membentuk nasib kita di masa datang. Umat Israel saat itu harus memilih. Apa dan kepada siapa mereka harus menjatuhkan pilihan mereka. Kehidupan atau kematian, keberuntungan atau kecelakaan, mengasihi Tuhan atau menyembah allah lain, binasa atau panjang umur, berkat atau kutuk. Apakah situasi yang dihadapi umat Israel saat itu membuat umat kebingungan memutuskan pilihan mereka? Tidak! Musa bahkan sudah memberitahukan apa dan siapa yang seharusnya mereka pilih dan konsekuensi pilihan mereka. "...aku memerintahkan kepadamu untuk mengasihi TUHAN, Allahmu..." (ayat 16), "...Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu" (ayat 19). Tentu, kemauan umat Israel untuk melakukan perintah Musa ini akan menentukan masa depan umat Israel. Banyak orang salah mengira, jika mereka tidak menggunakan hak pilih mereka, mereka tidak perlu terbebani dengan rasa bersalah ketika pemimpin yang terpilih bertindak tidak seperti yang diharapkan. Sebenarnya, apakah seorang pemimpin terpilih nantinya menjadi sosok yang kita harapan atau tidak, itu adalah persoalan yang berbeda. Bagi kita sekarang yang penting adalah bersikap bijak dan cermat menggunakan hak pilih kita untuk turut membentuk masa depan kehidupan bangsa dan negara ini. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Garam dan Terang Dunia (Matius 5: 13-16)
"Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga" (Matius 5: 16).
Pada zaman Yesus, orang-orang Romawi mengenal ungkapan dalam bahasa Latin yang berbunyi: Nil sole et sale utilius. Ungkapan ini berarti: Tidak ada yang lebih berguna daripada garam dan matahari. Mengapa matahari? Tanpa matahari, tidak ada kehidupan. Mengapa garam? Tanpa garam, manusia tidak akan bisa merasakan nikmatnya makanan yang disantap. Bahkan, di samping berfungsi memberikan rasa pada makanan, garam juga berfungsi sebagai bahan pengawet untuk mencegah pembusukan. Yesus rupanya memakai ungkapan yang sudah ada ini untuk menggambarkan keberadaan dan identitas para pengikut-Nya. Perhatikanlah dengan cermat perikop kita ini, Yesus tidak meminta murid-murid-Nya untuk menjadi garam dan terang dunia. Sebagai murid-murid Yesus, pada hakikatnya mereka adalah garam dan terang dunia. "Kamu adalah garam dunia" (ayat 13), "Kamu adalah terang dunia." (ayat 14). Yang diminta oleh Yesus adalah mereka sungguh-sungguh mewujudkan fungsi dan kegunaan hidup mereka sebagai garam dan terang dalam keseluruhan dinamika hidup yang mereka jalani sehingga nama Tuhan semakin dipermuliakan (ayat 16). Para pengikut Yesus yang tidak lagi bisa memberikan faedah dan manfaat bagi kehidupan ini bagaikan garam yang menjadi tawar dan terang yang telah padam cahayanya. Itulah sebabnya, orang-orang Kristen tidak perlu menghindari keterlibatan mereka dalam ranah politik. Dalam kehidupan politik, garam dan terang Kristen justru harus berfungsi dan bermanfaat. Salah satu contoh: Kalau tetangga-tetangga Anda meminta Anda jadi ketua RT atau RW, atau bahkan jadi panitia pembangunan masjid, jangan Anda menolak, karena itu justru saat yang tepat garam dan terang kita memberikan faedah dan manfaat. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Pada zaman Yesus, orang-orang Romawi mengenal ungkapan dalam bahasa Latin yang berbunyi: Nil sole et sale utilius. Ungkapan ini berarti: Tidak ada yang lebih berguna daripada garam dan matahari. Mengapa matahari? Tanpa matahari, tidak ada kehidupan. Mengapa garam? Tanpa garam, manusia tidak akan bisa merasakan nikmatnya makanan yang disantap. Bahkan, di samping berfungsi memberikan rasa pada makanan, garam juga berfungsi sebagai bahan pengawet untuk mencegah pembusukan. Yesus rupanya memakai ungkapan yang sudah ada ini untuk menggambarkan keberadaan dan identitas para pengikut-Nya. Perhatikanlah dengan cermat perikop kita ini, Yesus tidak meminta murid-murid-Nya untuk menjadi garam dan terang dunia. Sebagai murid-murid Yesus, pada hakikatnya mereka adalah garam dan terang dunia. "Kamu adalah garam dunia" (ayat 13), "Kamu adalah terang dunia." (ayat 14). Yang diminta oleh Yesus adalah mereka sungguh-sungguh mewujudkan fungsi dan kegunaan hidup mereka sebagai garam dan terang dalam keseluruhan dinamika hidup yang mereka jalani sehingga nama Tuhan semakin dipermuliakan (ayat 16). Para pengikut Yesus yang tidak lagi bisa memberikan faedah dan manfaat bagi kehidupan ini bagaikan garam yang menjadi tawar dan terang yang telah padam cahayanya. Itulah sebabnya, orang-orang Kristen tidak perlu menghindari keterlibatan mereka dalam ranah politik. Dalam kehidupan politik, garam dan terang Kristen justru harus berfungsi dan bermanfaat. Salah satu contoh: Kalau tetangga-tetangga Anda meminta Anda jadi ketua RT atau RW, atau bahkan jadi panitia pembangunan masjid, jangan Anda menolak, karena itu justru saat yang tepat garam dan terang kita memberikan faedah dan manfaat. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Politik Kristiani (Mikha 6: 1-8)
"Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN daripadamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mikha 6: 8)
Politik itu kotor dan jahat! Ya betul, bisa. Politik itu suci! Ya betul, bisa juga. Lalu mana yang benar, politik itu kotor atau suci? Jika kita memahami politik sebagai upaya-upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, politik bisa menjadi sangat kotor dan jahat. Namun apabila kita memahami politik sebagai upaya-upaya publik untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama(the common search for the common good), politik itu suci dan orang-orang Kristen justru dipanggil untuk berpolitik dalam kesuciannya tersebut. Situasi politik pada zaman nabi Mikha sangat memprihatinkan. Dapat diringkaskan sebagai berikut: Orang-orang tergoda menjadi kaya dengan ekploitasi dan penindasan sesamanya, Hakim-hakim memenangkan perkara karena suap, nabi-nabi dan para imam tidak berani mengkritik umatnya yang menjadi pelaku kejahatan, dan yang lebih parah lagi umat menutupi kejahatannya dengan melakukan ritus-ritus keagamaan. Apakah Tuhan berkenan terhadap sikap hidup umat-Nya ini? Tidak! Itulah sebabnya Tuhan berfirman melalui nabi Mikha: "Berkenankah Tuhan kepada ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak..." (ayat 7). "Apakah yang dituntun Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (ayat 8). Sebenarnya kotor dan sucinya politik bergantung pada model upaya-upaya politik yang dianut dan karakter para pelaku politik. Jika para pelaku politik mau menggunakan model politik dan mengembangkan karakter politik yang dijiwai keadilan, kesetiaan, dan kerendahan hati, kita bisa berharap banyak kehidupan menjadi semakin lebih baik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Politik itu kotor dan jahat! Ya betul, bisa. Politik itu suci! Ya betul, bisa juga. Lalu mana yang benar, politik itu kotor atau suci? Jika kita memahami politik sebagai upaya-upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, politik bisa menjadi sangat kotor dan jahat. Namun apabila kita memahami politik sebagai upaya-upaya publik untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama(the common search for the common good), politik itu suci dan orang-orang Kristen justru dipanggil untuk berpolitik dalam kesuciannya tersebut. Situasi politik pada zaman nabi Mikha sangat memprihatinkan. Dapat diringkaskan sebagai berikut: Orang-orang tergoda menjadi kaya dengan ekploitasi dan penindasan sesamanya, Hakim-hakim memenangkan perkara karena suap, nabi-nabi dan para imam tidak berani mengkritik umatnya yang menjadi pelaku kejahatan, dan yang lebih parah lagi umat menutupi kejahatannya dengan melakukan ritus-ritus keagamaan. Apakah Tuhan berkenan terhadap sikap hidup umat-Nya ini? Tidak! Itulah sebabnya Tuhan berfirman melalui nabi Mikha: "Berkenankah Tuhan kepada ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak..." (ayat 7). "Apakah yang dituntun Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (ayat 8). Sebenarnya kotor dan sucinya politik bergantung pada model upaya-upaya politik yang dianut dan karakter para pelaku politik. Jika para pelaku politik mau menggunakan model politik dan mengembangkan karakter politik yang dijiwai keadilan, kesetiaan, dan kerendahan hati, kita bisa berharap banyak kehidupan menjadi semakin lebih baik. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.
Dipanggil bagi KRISTUS (Matius 4: 12-22)
"Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia."" (Matius 4: 19)
Di sampul belakang majalah Time, edisi 19 Desember 2013 yang secara khusus diterbitkan untuk mengenang Nelson Mandela, tertulis kata-kata Mandela: Ordinary people can change the world. Mandela: orang biasa sanggup mengubah dunia. Tampaknya tulisan ini hendak menyampaikan pesan bahwa sekarang kita memang melihat Mandela sebagai seorang yang extraordinary, seorang yang luar biasa. Akan tetapi, dulu sesungguhnya adalah orang biasa saja seperti kebanyakan orang pada umumnya. Dan orang biasa ini ternyata bisa mengajak dunia untuk memandang dan menyikapi perlakuan aparteid, pengampunan, kebenaran dan rekonsiliasi dengan cara yang berbeda. Simon Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes adalah orang-orang biasa menurut ukuran zamannya. Mereka adalah para nelayan, yang menjala ikan. Itu bukanlah sebuah pekerjaan yang "wah". Profesi yang "wah" tentu saja melekat pada para pejabat, bahkan juga kaum imam yang memegang pemerintahan dan kekuasaan. Akan tetapi, orang-orang biasa ini justru yang pertama-tama dipanggil Yesus untuk menjadi murid-murid-Nya. "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Mereka memang orang-orang biasa, tetapi akhirnya kita tahu, ketika mereka menyatakan kesediaan mereka untuk mengikuti Yesus dan mau diubah oleh Yesus melalui pengalaman dan kebersamaan dengan-Nya, mereka pada akhirnya menjadi orang-orang luar biasa dalam ketaatan, pelayanan, dan cinta mereka bagi Kristus. Anda jangan tergoda untuk berpikir: Saya tidak bisa apa-apa karena saya orang biasa saja. Jangan pernah Anda menolak dipanggil berkarya bagi Kristus dengan alasan: saya orang biasa saja. Saran saya: Anda sanggupi saja panggilan itu. Anda kerjakan sebaik-baiknya! Nanti Anda akan mengalami sendiri bahwa ternyata Anda bisa menjadi bukan orang biasa saja. Amin Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Di sampul belakang majalah Time, edisi 19 Desember 2013 yang secara khusus diterbitkan untuk mengenang Nelson Mandela, tertulis kata-kata Mandela: Ordinary people can change the world. Mandela: orang biasa sanggup mengubah dunia. Tampaknya tulisan ini hendak menyampaikan pesan bahwa sekarang kita memang melihat Mandela sebagai seorang yang extraordinary, seorang yang luar biasa. Akan tetapi, dulu sesungguhnya adalah orang biasa saja seperti kebanyakan orang pada umumnya. Dan orang biasa ini ternyata bisa mengajak dunia untuk memandang dan menyikapi perlakuan aparteid, pengampunan, kebenaran dan rekonsiliasi dengan cara yang berbeda. Simon Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes adalah orang-orang biasa menurut ukuran zamannya. Mereka adalah para nelayan, yang menjala ikan. Itu bukanlah sebuah pekerjaan yang "wah". Profesi yang "wah" tentu saja melekat pada para pejabat, bahkan juga kaum imam yang memegang pemerintahan dan kekuasaan. Akan tetapi, orang-orang biasa ini justru yang pertama-tama dipanggil Yesus untuk menjadi murid-murid-Nya. "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Mereka memang orang-orang biasa, tetapi akhirnya kita tahu, ketika mereka menyatakan kesediaan mereka untuk mengikuti Yesus dan mau diubah oleh Yesus melalui pengalaman dan kebersamaan dengan-Nya, mereka pada akhirnya menjadi orang-orang luar biasa dalam ketaatan, pelayanan, dan cinta mereka bagi Kristus. Anda jangan tergoda untuk berpikir: Saya tidak bisa apa-apa karena saya orang biasa saja. Jangan pernah Anda menolak dipanggil berkarya bagi Kristus dengan alasan: saya orang biasa saja. Saran saya: Anda sanggupi saja panggilan itu. Anda kerjakan sebaik-baiknya! Nanti Anda akan mengalami sendiri bahwa ternyata Anda bisa menjadi bukan orang biasa saja. Amin Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kaya dalam Perkataan dan Pengetahuan (1 Korintus 1: 1-9)
"Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan" (1 Korintus 1: 5)
Kita sering mendengar frasa knowledge is power, atau dalam bahasa latinnya scientia est potentia, yang artinya pengetahuan adalah kekuasaan. Maksud frasa ini adalah siapa yang menguasai pengetahuan dan informasi, dia yang empunya kekuasaan dan bahkan kekayaan. Mau lihat salah satu contohnya? Bill Gates. Manusia terkaya di planet bumi ini. Pendiri bisnis Microsoft ini sekarang dilaporkan kekayaannya hampir tembus Rp 1.000 triliun. Tidak mungkin Bill Gates bisa memperoleh semua ini kalau tidak memiliki pengetahuan yang canggih mengenai dunia komputer. Rasul Paulus bersyukur kepada Tuhan atas berkat kasih karunia yang diberikan Tuhan kepada jemaat Korintus (ayat 4). Berkat apakah yang diterima oleh jemaat Korintus tersebut? Iman yang semakin bertumbuh dalam Kristus. Iman yang tidak macet pertumbuhannya. Iman yang selalu diperkaya dalam perkataan (logos) dan pengetahuan (gnosis) tentang Kristus (ayat 5). Paulus bersyukur karena iman yang selalu bertumbuh inilah iman yang menyebabkan kebenaran iman kristiani semakin diteguhkan. Itulah sebabnya Paulus berkata: sebab kesaksian kita tentang Kristus diteguhkan di antara kamu (ayat 6). Dengan kata lain, iman yang bertumbuh adalah iman yang bisa menjadi sarana kesaksian yang baik, sebaliknya iman yang macet dan yang pampat malah bisa memperburuk kesaksian iman Kristen. Seperti jemaat Korintus, kita diundang juga untuk mau bertumbuh dalam perkataan dan pengetahuan kita dalam iman kepada Kristus. Jadi, misalnya kalau ada orang lain yang bertanya pada Anda tentang Trinitas, jangan Anda jawab: "Mbuh, ra ngerti. Aku tidak tahu, aku hanya percaya saja!" Jawaban semacam ini tidak akan menghasilkan kesaksian iman yang baik. Kalau kita tidak tahu, mari kita cari tahu! Mari kita ciptakan iman yang bertumbuh, bukan iman yang macet dan pampat. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kita sering mendengar frasa knowledge is power, atau dalam bahasa latinnya scientia est potentia, yang artinya pengetahuan adalah kekuasaan. Maksud frasa ini adalah siapa yang menguasai pengetahuan dan informasi, dia yang empunya kekuasaan dan bahkan kekayaan. Mau lihat salah satu contohnya? Bill Gates. Manusia terkaya di planet bumi ini. Pendiri bisnis Microsoft ini sekarang dilaporkan kekayaannya hampir tembus Rp 1.000 triliun. Tidak mungkin Bill Gates bisa memperoleh semua ini kalau tidak memiliki pengetahuan yang canggih mengenai dunia komputer. Rasul Paulus bersyukur kepada Tuhan atas berkat kasih karunia yang diberikan Tuhan kepada jemaat Korintus (ayat 4). Berkat apakah yang diterima oleh jemaat Korintus tersebut? Iman yang semakin bertumbuh dalam Kristus. Iman yang tidak macet pertumbuhannya. Iman yang selalu diperkaya dalam perkataan (logos) dan pengetahuan (gnosis) tentang Kristus (ayat 5). Paulus bersyukur karena iman yang selalu bertumbuh inilah iman yang menyebabkan kebenaran iman kristiani semakin diteguhkan. Itulah sebabnya Paulus berkata: sebab kesaksian kita tentang Kristus diteguhkan di antara kamu (ayat 6). Dengan kata lain, iman yang bertumbuh adalah iman yang bisa menjadi sarana kesaksian yang baik, sebaliknya iman yang macet dan yang pampat malah bisa memperburuk kesaksian iman Kristen. Seperti jemaat Korintus, kita diundang juga untuk mau bertumbuh dalam perkataan dan pengetahuan kita dalam iman kepada Kristus. Jadi, misalnya kalau ada orang lain yang bertanya pada Anda tentang Trinitas, jangan Anda jawab: "Mbuh, ra ngerti. Aku tidak tahu, aku hanya percaya saja!" Jawaban semacam ini tidak akan menghasilkan kesaksian iman yang baik. Kalau kita tidak tahu, mari kita cari tahu! Mari kita ciptakan iman yang bertumbuh, bukan iman yang macet dan pampat. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Kekuatan dan Berkat (Mazmur 29)
"TUHAN kiranya memberi kekuatan kepada umat-Nya, TUHAN kiranya memberkati umat-Nya dengan sejahtera!" (Mazmur 29:11)
Saya suka melihat film tentang superhero: Superman, Batman, Spider-man, Iron Man, dsb. Mengapa? Film-film semacam itu selalu mengandung pesan penting bahwa pada akhirnya kekuatan kebaikan selalu mengalahkan kekuatan kejahatan. Dalam istilah alkitabiahnya: kuasa terang menaklukan kuasa kegelapan. Mungkinkah orang-orang yang beriman sesungguhnya juga superheroes yang ditempatkan Allah di dunia ini untuk berkarya bagi Tuhan? Mungkin sekali! Karena dalam mazmur ini diungkapkan bahwa Tuhan yang penuh kuasa berkenan memberikan kekuatan dan berkat kepada umat-Nya (ayat 11). Umat diberi kekuatan dalam bentuk apa? Jika kita perhatikan, di dalam mazmur ini kuasa Tuhan terutama dinyatakan melalui kuasa suara-Nya: Suara Tuhan penuh kekuatan (ayat 4), suara Tuhan mematahkan dan menumbangkan pohon (ayat 5), suara Tuhan menyemburkan nyala api (ayat 7), suara Tuhan membuat padang gurun gemetar (ayat 8). Dengan demikian kekuatan yang diberikan Tuhan kepada kita, kita pahami bukan sebagai kekuatan agar kita bisa terbang, kebal terhadap senjata, berayun-ayun dengan jaring laba-laba, seperti para superhero dalam film-film, melainkan kekuatan untuk menyuarakan suara Tuhan melalui suara kita dalam kehidupan kita sehari-hari. Tuhan tidak sekadar memberi kekuatan, tetapi juga memberikan berkat. Mereka yang dalam hidupnya mau menyuarakan suara Tuhan, mereka juga akan mendapat berkat dari Tuhan. Berkat apa? Berkat damai sejahtera. Maka janganlah Anda ragu menganggap diri Anda sebagai superhero yang ditempatkan Allah dalam dunia ini. Anda adalah superhero, maka bertindaklah seperti superhero utusan Tuhan. Dengan suara Tuhan yang Anda suarakan, dengan berkat Tuhan yang Anda terima, tunjukkanlah bahwa kuasa terang mampu mengalahkan kuasa kegelapan. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Saya suka melihat film tentang superhero: Superman, Batman, Spider-man, Iron Man, dsb. Mengapa? Film-film semacam itu selalu mengandung pesan penting bahwa pada akhirnya kekuatan kebaikan selalu mengalahkan kekuatan kejahatan. Dalam istilah alkitabiahnya: kuasa terang menaklukan kuasa kegelapan. Mungkinkah orang-orang yang beriman sesungguhnya juga superheroes yang ditempatkan Allah di dunia ini untuk berkarya bagi Tuhan? Mungkin sekali! Karena dalam mazmur ini diungkapkan bahwa Tuhan yang penuh kuasa berkenan memberikan kekuatan dan berkat kepada umat-Nya (ayat 11). Umat diberi kekuatan dalam bentuk apa? Jika kita perhatikan, di dalam mazmur ini kuasa Tuhan terutama dinyatakan melalui kuasa suara-Nya: Suara Tuhan penuh kekuatan (ayat 4), suara Tuhan mematahkan dan menumbangkan pohon (ayat 5), suara Tuhan menyemburkan nyala api (ayat 7), suara Tuhan membuat padang gurun gemetar (ayat 8). Dengan demikian kekuatan yang diberikan Tuhan kepada kita, kita pahami bukan sebagai kekuatan agar kita bisa terbang, kebal terhadap senjata, berayun-ayun dengan jaring laba-laba, seperti para superhero dalam film-film, melainkan kekuatan untuk menyuarakan suara Tuhan melalui suara kita dalam kehidupan kita sehari-hari. Tuhan tidak sekadar memberi kekuatan, tetapi juga memberikan berkat. Mereka yang dalam hidupnya mau menyuarakan suara Tuhan, mereka juga akan mendapat berkat dari Tuhan. Berkat apa? Berkat damai sejahtera. Maka janganlah Anda ragu menganggap diri Anda sebagai superhero yang ditempatkan Allah dalam dunia ini. Anda adalah superhero, maka bertindaklah seperti superhero utusan Tuhan. Dengan suara Tuhan yang Anda suarakan, dengan berkat Tuhan yang Anda terima, tunjukkanlah bahwa kuasa terang mampu mengalahkan kuasa kegelapan. Amin.Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
TUHANlah Sumber Pembaruan (Efesus 3: 1-12)
"Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya" (Efesus 3: 12).
Tesis para sekularis yang memprediksikan bahwa keberadaan agama di abad ini semakin terabaikan tidak terbukti. Apa yang dianggap oleh kaum sekularis sebagai para pembunuh agama di zaman modern ini, seperti perkembangan teknologi dan sains ternyata malah menyediakan agama sarana-sarana baru untuk berkembang dengan baik. Agama masih dan tetap memberikan daya transformatif bagi para penganutnya untuk menjadikan kehidupan ini menjadi lebih baik. Paulus sangat menyadari peran transformatif/pembaruan agama, terutama agama Kristen yang dianutnya. Bagaimana daya transformatif agama Kristen ini bekerja dalam diri Paulus? (1) Paulus yang hina (ia menyebut dirinya hina ketika mengingat ia pernah menjadi penganiaya orang-orang Kristen) dipakai Allah untuk menjadi pelayan bagi pewartaan Injil kasih karunia Allah (ayat 7); (2) Paulus secara khusus diutus Allah untuk memberitakan Injil bagi orang-orang bukan Yahudi, yang dalam iman mereka kepada Kristus turut menjadi ahli waris dalam janji keselamatan di dalam Yesus (ayat 6,8). Daya transformatif inilah yang memampukan Paulus menyerahkan hidup dan pelayanannya kepada Allah melalui iman kepada Kristus. Di dalam iman kepada Kristus, Paulus memiliki keberanian untuk datang dan menyandarkan hidupnya kepada Allah agar ia dapat selalu membarui kehidupan iman dan pengharapannya di dunia ini. Siapa yang akan menjadi sumber transformasi hidup kita di tahun 2014 ini? Apakah kita akan tergoda oleh pemikiran para sekularis yang berpandangan kalau ingin memperbarui hidupmu, jangan pakai iman dan agamamu, tetapi pakailah pandangan hidup dunia ini yang lebih baik dari pandangan hidup agama dan iman yang ada? Atau kita mau bertindak seperti Paulus yang mencari dan mendasarkan pembaruan hidupnya dari Tuhan yang telah menyatakan rahasia dan kehendak-Nya bagi umat manusia di dunia ini? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th
Tesis para sekularis yang memprediksikan bahwa keberadaan agama di abad ini semakin terabaikan tidak terbukti. Apa yang dianggap oleh kaum sekularis sebagai para pembunuh agama di zaman modern ini, seperti perkembangan teknologi dan sains ternyata malah menyediakan agama sarana-sarana baru untuk berkembang dengan baik. Agama masih dan tetap memberikan daya transformatif bagi para penganutnya untuk menjadikan kehidupan ini menjadi lebih baik. Paulus sangat menyadari peran transformatif/pembaruan agama, terutama agama Kristen yang dianutnya. Bagaimana daya transformatif agama Kristen ini bekerja dalam diri Paulus? (1) Paulus yang hina (ia menyebut dirinya hina ketika mengingat ia pernah menjadi penganiaya orang-orang Kristen) dipakai Allah untuk menjadi pelayan bagi pewartaan Injil kasih karunia Allah (ayat 7); (2) Paulus secara khusus diutus Allah untuk memberitakan Injil bagi orang-orang bukan Yahudi, yang dalam iman mereka kepada Kristus turut menjadi ahli waris dalam janji keselamatan di dalam Yesus (ayat 6,8). Daya transformatif inilah yang memampukan Paulus menyerahkan hidup dan pelayanannya kepada Allah melalui iman kepada Kristus. Di dalam iman kepada Kristus, Paulus memiliki keberanian untuk datang dan menyandarkan hidupnya kepada Allah agar ia dapat selalu membarui kehidupan iman dan pengharapannya di dunia ini. Siapa yang akan menjadi sumber transformasi hidup kita di tahun 2014 ini? Apakah kita akan tergoda oleh pemikiran para sekularis yang berpandangan kalau ingin memperbarui hidupmu, jangan pakai iman dan agamamu, tetapi pakailah pandangan hidup dunia ini yang lebih baik dari pandangan hidup agama dan iman yang ada? Atau kita mau bertindak seperti Paulus yang mencari dan mendasarkan pembaruan hidupnya dari Tuhan yang telah menyatakan rahasia dan kehendak-Nya bagi umat manusia di dunia ini? Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th